Harta Karun Jenghis Khan 8
Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
Padahal, menurut peta, guha di mana harta karun itu disimpan, tertutup oleh batu-batu karang yang berguguran dari atas selama ratusan tahun dan untuk menyingkirkan batu-batu besar ini dibutuhkan tenaga para perajurit. Mereka semua harus dapat turun ke bawah, ke tepi pantai di mana terdapat guha-guha itu. Setelah tiba di atas tebing, Pat-pi Mo-ko lalu berunding dengan jaksa Phang dan para pembantunya, kemudian mengambil keputusan untuk mengerahkan anak buah mereka untuk membuat jalan darurat ke bawah tebing. Mereka memang sudah siap membawa alat-alat dan mulailah seratus orang perajurit itu bekerja, membuat jalan dari atas tebing ke bawah. Lewah tengah hari, mereka semua telah berhasil menuruni tebing itu dan berkumpul di pantai yang luas di bawah tebing, di mana terdapat guha-guha batu karang yang sebagian besar tertutup oleh batu-batu karang sebesar perut kerbau yang berguguran dari atas.
Mulailah mereka bekerja keras membongkari batu-batu karang di depan dan atas sebuah guba menurut petunjuk Mo-ko yang telah mengukur sesuai dengan petunjuk peta. Menurut peta itu, dari bentuknya seperti kepala naga. Guha itu terletak presis di bawah kepala naga itu. Tenaga seratus orang yang dikerahkan tentu saja dapat menyelesaikan pekerjaan itu dengan cepat. Setelah matahari mulai condong ke barat sehingga tempat itu tidak panas lagi karena sinar matahari tertutup puncak tebing, para perajurit yang bekerja tiba-tiba bersorak ketika mereka melihat guha besar yang tertutup batu-batu tadi. Pat-pi Mo-ko lalu menyuruh mereka semua mundur. Dia sendiri lalu mengajak jaksa Phang, Su Tong Hak, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, dua orang pembantunya yang menarik rantai yang membelenggu tiga orang muda itu memasuki guha. Para perajurit disuruh menanti di luar.
Dengan wajah berseri dan jantung berdebar mereka semua memasuki mulut guha yang cukup lebar itu. Juga Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee merasakan ketegangan dalam hati mereka. Kim Hong dan Kok Siang merasa tegang karena merekapun ingin melihat harta karun itu, sedangkan In Bwee merasa tegang karena ia merasa khawatir kalau-kalau kekasihnya akan dibunuh setelah harta karun itu terdapat oleh pamannya. Guha yang lebar itu ternyata di bagian dalamnya menyempit dan akhirnya mereka berhenti pada sebuah pintu batu. Dari bentuknya, dapat diduga bahwa daun pintu ini tentu buatan manusia, merupakan batu tebal berbentuk segi empat dan di tengah-tengah daun pintu batu itu terdapat sebuah lubang kecil. Itulah lubang kuncinya!
"Ah, di sinilah tempatnya! Tak salah lagi!"
Kata Pat-pi Mo-ko dan suaranya gemetar, juga tangannya ketika dia mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam saku bajunya.
Kunci emas yang diterimanya dari In Bwee yang telah berhasil mengambilnya dari tangan Pendekar Sadis! Semua mata para pemhantu Pat-pi Mo-ko memandang dengan penuh ketegangan dan kegembiraan, akan tetapi pandang mata Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee yang sudah tahu bahwa kunci emas itu palsu, adalah kegembiraan yang bercampur dengan kegelian hati, akan tetapi juga tegang karena mereka tidak dapat membayangkan bagaimana akan jadinya nanti setelah datuk sesat itu tidak berhasil membuka dengan kunci palsu. Seperti juga kuncinya, lubang kunci itu terbuat dari pada emas, akan tetapi ketika Pat-pi Mo-ko memasukkan kunci itu ke lubangnya, ternyata ukurannya tidak cocok dan kunci itu sama sekali tidak dapat masuk!
"Ehh...?"
Pat-pi Mo-ko mengerutkan alisnya dan menusuk-nusukkan kunci itu, memutar-mutar, akan tetapi tetap saja kunci emas itu tidak dapat memasuki lubang kecil itu karena memang bukan ukurannya. Lubang itu kecil memanjang dan berlika-liku, harus mempergunakan kunci yang pas ukuran dan cetakannya. Akhirnya Pat-pi Mo-ko menjadi marah karena dia mulai sadar bahwa kunci emas itu adalah palsu!
"Keparat!"
Bentaknya sambil mencabut kembali kunci itu, memandang kepada kunci itu kemudian menoleh kepada keponakannya yang memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"In Bwee! Keparat kau ! Kunci apa yang kau berikan kepadaku ini?"
"Katanya itu kunci emaas..."
"Bohong! Ini kunci palsu!"
"Paman, aku hanya menerima dari dia yang mengatakan bahwa itulah kuncinya. Mana aku bisa tahu apakah kunci itu palsu ataukah tulen?"
Bantah In Bwee.
"Hi-hik, orangnya berhati jahat dan palsu, mendapatkan peta palsu dan setelah akhirnya menemukan peta aseli dengan cara yang keji, masih tidak berhasil karena kuncinyapun palsu!"
Kim Hong mentertawakan.
"Jahanam!"
Pat-pi Mo-ko membentak marah.
"Kalau engkau tidak memberikan kuncinya yang tulen, akan kusiksa kau sampai mampus!"
"Hi-hik, lucunya! Jangan-jangan setelah kau dapatkan harta karun itu, ternyata harta itupun palsu, Mo-ko! Betapa lucunya! Ingin aku melihat mukamu!"
Kim Hong tidak mempedulikan ancaman orang.
Mendengar ini, Mo-ko menoleh ke arah pintu yang tak dapat dibukanya itu. Ucapan itu sungguh terasa menusuk perasaannya. Bagaimana kalau benar demikian? Bagaimana kalau sesudah semua jerih payah, semua harapan muluk ini, ternyata harta karun itu palsu dan hanya merupakan permainan orang gila di jaman dahulu belaka? Dia bukan hanya akan kecewa setengah mati, akan tetapi juga amat malu karena namanya tentu akan menjadi buah tertawan orang sedunia kang-ouw dan dia akan dianggap seperti seorang badut! Bayangan ini membuatnya menjadi marah dan penasaran sekali. Sementara itu, ketika melihat betapa Pat-pi Mo-ko tidak mampu membuka pintu itu dengan kunci emasnya, tahulah Su Tong Hak bahwa kunci emas yang katanya diterima oleh In Bwee dari Pendekar Sadis itu adalah palsu.
Tentu kunci aselinya masih berada di tangan pendekar itu, pikirnya. Maka bekerjalah otak yang bercabang itu. Kini tidak menguntungkan untuk menempel kepada Pat-pi Mo-ko. Lebib baik sekarang juga berusaha mendekati Pendekar Sadis dan dia merasa yakin bahwa pendekar itu berada di antara para perajurit yang berjaga di luar. Berpikir demikian, diam-diam, mempergunakan kesempatan selagi semua orang dicekam ketegangan melihat betapa kunci itu tidak dapat membuka pintu, Su Tong Hak lalu meninggalkan guha itu dan keluar, menghampiri para perajurit yang sedang beristirahat di luar guha sambil mencari-cari. Para perajurit itupun berkumpul di depan guha, di luar sambil mencoba untuk melihat ke dalam karena merekapun ingin sekali melihat apakah harta karun itu dapat ditemukan.
Pat-pi Mo-ko sudah menjadi marah sekali, marah karena kecewa dan merasa dipermainkan. Dia menggulung lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang berotot, kekar dan nampak kuat sekali. Dengan menggerak-gerakkan kedua lengannya yang besar, dia mengerahkan tenaga sin-kangnya dan terdengarlah suara berkerotokan dari kedua lengan itu, bahkan nampak uap mengepul dari kedua telapak tangannya. Melihat ini, diam-diam Kim Hong terkejut dan kagum. Ternyata bahwa datuk ini memang telah mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi dan memiliki sin-kang yang amat kuat. Teringatlah ia ketika pertama kali terjebak dalam kompleks tahanan kantor kejaksaan, ia pernah melompat untuk mendobrak pintu dan disambut oleh pukulan kakek itu sehingga ia terlempar kembali ke bawah.
"Hyaaattt...!"
Tiba-tiba Pat-pi Mo-ko menerjang ke depan, ke arah pintu, kedua tangannya menghantam ke arah pintu batu itu dengan maksud untuk menghantam pecah pintu rahasia itu, membukanya tanpa bantuan kunci lagi. Hebat bukan main pukulan kedua telapak tangannya ini. Tiba-tiba saja seluruh ruangan guha itu tergetar keras, disusul oleh gemuruh dari atas guha. Suara bergemuruh itu makin hebat, pintu batu itu retak akan tetapi tidak pecah dan tidak runtuh, dan kini terdengar suara yang amat berisik di luar guha, disusul oleh teriakan-teriakan mengerikan dari para perajurit yang tadi berkumpul di luar guha. Mendengar suara itu, Pat-pi Mo-ko dan semua orang yang berada di dalam guha cepat memutar tubuh dan memandang. Ketika mereka melihat apa yang tejadi di luar guha, mata mereka terbelalak dan pucat.
Ternyata dari atas tebing berjatuhan ratusan batu-batu besar, menggelinding ke bawah dan menghantam para perajurit yang berada di luar guha itu bagaikan hujan lebatnya! Ketika akhirnya suara gemuruh berhenti dan tidak ada lagi batu yang melayang turun, semua orang keluar dan penglihatan di luar guha sungguh amat mengerikan. Hampir seluruh perajurit yang seratus orang jumlahnya itu tewas tertimbun dan terhimpit batu-batu besar. Darah mengalir ke mana-mana dan erangan-erangan orang yang terhimpit batu amat mengerikan. Paling banyak tinggal belasan orang saja yang selamat secara ajaib dan hanya mengalami luka-luka kecil. Dan di antara mereka yang tewas terdapat pula Su Tong Hak yang terhimpit batu dengan kepala remuk dan lenyap menjadi berkeping-keping! Melihat ini, pucatlah wajah Jaksa Phang.
"Celaka...!"
Serunya dengan tubuh menggigil melihat betapa pasukannya terbinasa.
"Keparat! Harus kubunuh bedebah-bedebah itu!"
Dan diapun lari kembali memasuki guha teringat kepada tiga orang tawanannya. Akan tetapa matanya terbelalak melihat betapa Toan Kim Hong dan dua orang yang lain itu telah bebas dari belenggu dan di situ berdiri pula seorang pemuda tampan yang berpakaian sebagai seorang perajurit.
Mula-mula dia mengira bahwa tentu dia seorang di antara perajurit yang lolos dari hujan batu. Akan tetapi melihat sikap perajurit itu yang merangkul Kim Hong, jantungnya berdebar tegang dan matanya memandang terbelalak kepada perajurit muda yang tampan dan gagah itu. Perajurit itu bukan lain adalah Thian Sin, Si Pendekar Sadis! Seperti telah kita ketahui, pendekar ini menanti saat baik dan membiarkan pihak musuh mencarikan tempat harta karun itu untuknya. Dia melihat bahwa keselamatan kekasihnya, Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee masih terancam. Maka, dia mengikuti semua persiapan Pat-pi Mo-ko yang hendak memimpin rombongan untuk mencari harta karun Jenghis Khan menurut petunjuk peta aseli, kemudian diam-diam diapun membayangi rombongan itu,
Kadang-kadang menyamar sebagai perajurit, kadang-kadang pula membayangi dari jauh. Ketika rombongan itu tiba di tempat tujuan dan membongkari batu-batu besar, diapun menyamar sebagai perajurit dan ikut pula membantu! Pada waktu Pat-pi Mo-ko dan para pembantunya memasuki guha untuk membuka pintu rahasia, diapun melihat dari luar, di barisan terdepan sehingga dengan ketajaman matanya dia dapat menyaksikan apa yang terjadi di dalam guha. Thian Sin sendiri terkejut bukan main ketika Pat-pi Mo-ko menggunakan tenaga sin-kang yang amat kuat untuk menghantam pintu rahasia di dalam guha kemudian mengakibatkan hujan batu dari atas. Dia tahu bahwa pukulan itu menggetarkan tebing dan batu-batu karang yang berada di atas guha menjadi terguncang dan longsor.
Untung bahwa dia bertindak cepat dan dengan cekatan sekali dia melompat ke depan dan berlindung di dalam guha kecil di samping guha besar itu. Ketika hujan batu mereda dan semua orang yang berada di dalam guha besar itu keluar, dia menggunakan kepandaiannya untuk menyelinap masuk. Mula-mula dia menggabungkan diri dengan tenaga Kim Hong untuk mematahkan belenggu dari lengan dan kaki kekasihnya itu. Setelah menciumnya sekali tanpa mengeluarkan kata-kata, Thian Sin dibantu oleh Kim Hong lalu melepaskan belenggu yang merantai tangan dan kaki Kok Siang dan In Bwee. Itulah sebabnya ketika Pat-pi Mo-ko kembali ke dalam guha, mereka telah bebas semua dari belenggu mereka! Thian Sin tersenyun memandang kepada musuh yang baru pertama kali ini dihadapinya dan dia berkata,
"Selamat bertemu, Pat-pi Mo-ko! Bagaimana dengan kiriman kunci emas dariku itu? Cukup menyenangkan?"
"Pendekar Sadis! Engkau menipuku dengan kunci palsu!"
Bentak Pat-pi Mo-ko yang dengan mudah dapat menduga siapa adanya pemuda tampan gagah yang menyamar sebagai seorang perajurit ini.
"Kuncinya yang aseli juga ada, Mo-ko, ada padaku. Akan tetapi tidak akan mudah engkau bisa mendapatkannya dariku!"
Sambil berkata demikian, Thian Sin mengeluarkan sebuah kunci emas dari saku bajunya dan mengacungkannya ke atas, memamerkannya kepada datuk jahat itu. Hal ini membuat muka Pat-pi Mo-ko menjadi semakin hitam. Pada saat itu, Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko dan Phang-taijin telah masuk pula ke dalam guha. Merekapun terheran dan terkejut melihat betapa tiga orang tawanan itu telah bebas dan kini memandang kepada pemuda yang berpakaian perajurit, yang tahu-tahu telah muncul di dalam guha itu. Hai-pa-cu Can Hoa segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda teman Kim Hong yang pernah dijumpainya di dalam rumah makan ketika dia dikalahkan oleh Kok Siang.
Akan tetapi Tiat-ciang Lui Cai Ko memandang dengan heran. Diapun sudah mendengar dari Mo-ko tentang Pendekar Sadis dan berpesan agar berhati-hati karena Pendekar Sadis selain terlibat dalam urusan harta karun, juga tentu takkan tinggal diam karena kekasihnya, Toan Kim Hong, menjadi tawanan mereka. Dan kini, tahu-tahu pada saat-saat terakhir yang menegangkan, ada pemuda menyamar perajurit yang berada di dalam guha dan agaknya telah membebaskan para tawanan. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Pendekar Sadis? Betapapun juga, agak lega hati Tiat-ciang Lui Cai Ko karena pendekar itu ternyata sama sekali tidak mendatangkan kesan yang menyeramkan, bahkan membuat dia agak memandang rendah kepada seorang pemuda tampan seperti itu.
"Berikan kunci itu kepadaku, Pendekar Sadis!"
Bentak Pat-pi Mo-ko dengan suara penuh geram.
"Atau, engkau akan mati di tanganku!"
"Ha-ha-ha, suaramu tinggi amat! Padahal, kalau aku menghendaki, sudah sejak lama namamu tinggal menjadi kenangan saja. Akan tetapi aku menanti sampai engkau membantuku menemukan tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan. Mau minta kunci? Marilah kita putuskan hal itu di luar, tempat yang lebih luas."
"Baik? Akupun sudah lama mendengar nama Pendekar Sadis dan ingin sekali melihat apakah kepandaianmu juga sehebat namamu!"
Berkata demikian, Pat-pi Mo-ko lalu keluar, diikuti oleh Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko, dan juga Phang-taijin yang memandang khawatir. Setelah tiba di luar, Phang-taijin segera memberi isyarat kepada sisa pasukannya untuk melindunginya.
Enam belas orang perajurit yang sudah payah lahir batin, lahirnya sudah luka-luka dan lemah, batinnya sudah penuh dengan rasa ngeri dan takut, datang mengerumuninya dan entah siapa yang mengharapkan perlindungan siapa! Mereka berkumpul, seperti sekumpulan anak-anak yang ketakutan dan saling membutuhkan hiburan. Thian Sin bersama tiga orang muda itupun melangkah keluar dari dalam gaha. Di luar, tiga orang tokoh sesat itu sudah berdiri dengan sikap galak dan siap. Dan seperti sikap jagoan-jagoan besar, mereka bertiga tidak mengeluarkan senjata masing-masing. Seorang jagoan besar cukup mengandalkan keampuhan kaki tangannya, dan baru dalam keadaan terpaksa dan terdesak saja dia akan menggunakan senjatanya! Ketika melangkah keluar, Kok Siang sudah berkata kepada Thian Sin,
"Ceng-taihiap, Hai-pa-cu Can Hoa itu bagianku, serahkan saja kepadaku!"
"Dan Pat-pi Mo-ko itu bagianku!"
Kata pula Kim Hong.
"Tidak, Kim Hong. Biar aku yang menghadapi Mo-ko, engkau bereskan saja si mata juling Tiat-ciang Lui Cai Ko itu."
"Ah, si gendut itu tidak ada harganya untuk dilawan!"
Kata Kim Hong. Thian Sin tersenyum.
"Bagianmu sudah cukup, Kim Hong. Selama ini aku yang menganggur, maka biarlah kuhadapi Mo-ko itu. Tidak adil kalau dalam perkara ini, engkau saja yang banyak mengeluarkan keringat dan aku enak-enakan saja!"
Kim Hong tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah. Akan tetapi mereka itu orang-orang jahat semua, patut untuk dibasmi habis."
"Bagaimana dengan jaksa korup itu?"
Tanya Thian Sin.
"Serahkan saja padaku!"
Kata Kok Siang yang tersenyum nakal.
"Diapun perlu dihajar dengan cara lain."
Maka ketika mereka bertiga tiba di luar, diikuti oleh In Bwee yang tentu saja hanya menonton karena ia tidak berani menentang pamannya atau gurunya, mereka sudah siap siaga dan menghampiri lawan masing-masing yang sudah dipilihnya.
"Nah, Pat-pi Mo-ko. Kita tiga lawan tiga. Adil, bukan? Di tempat sunyi dan para perajurit itu agaknya sudah tidak mampu lagi untuk membantumu mengeroyok kami."
Kata Than Sin tersenyum. Tiba-tiba In Bwee yang merasa tidak kebagian pekerjaan itu berkata,
"Kalau mereka berani bergerak, biarlah aku yang akan menghajar mereka!"
Pat-pi Mo-ko yang biasanya amat pemberani dan tidak pernah mengenal takut itu, kini memandang ke kanan kiri dan mukanya yang hitam itu agak pucat. Penglihatan di situ memang mengerikan. Para perajurit yang terhimpit batu, ada yang tertimbun dan hanya nampak kakinya, ada yang masih merintih, ada yang berkelojotan dan darah di mana-mana! Semua itu merupakan tanda malapetaka hebat di pihaknya. Dan dia tahu bahwa Hai-pa-cu Can Hoa pernah kalah oleh Kok Siang dan kini terpaksa harus menghadapinya lagi. Sedangkan Tiat-ciang Lui Cai Ko juga tidak dapat terlalu diharapkan akan bisa mengatasi Toan Kim Hong. Dia sendiri tidak takut welawan Pendekar Sadis, akan tetapi setelah dia mendengar segala kehebatan Pendekar Sadis di masa lalu, diam-diam dia merasa gentar juga.
"Pendekar Sadis, kalau kita saling gempur, tentu satu di antara kita akan tewas sedangkan yang lain besar kemungkinan akan menderita luka pula. Harta karun itu tentu banyak sekali dan tidak akan habis oleh satu pihak saja. Bagaimana kalau aku menawarkan kerja sama sekali lagi dan yang terakhir! Kita bersama temukan harta karun itu dan kita bagi rata!"
Thian Sin tersenyum dan bertolak pinggang.
"Pat-pi Mo-ko, kalau kami ini merupakan orang-orang hamba nafsu dan pengejar kekayaan macam kalian, mungkin usulmu itu akan kami pertimbangkan. Akan tetapi sayang untukmu, kami adalah orang-orang yang menentang kejahatan dan kalau kami bertanya kepada arwah kakek petani Ciang Gun dan isterinya, lalu arwah Louw siucai yang terbunuh tanpa dosa, akan nasib Ciang Kim Su yang malang, apakah engkau bisa mengharapkan kami sudi bekerja sama dengan kalian?"
"Betul-betul engkau tidak mau bekerja sama dengan aku?"
Sekali lagi Pat-pi Mo-ko membentak.
"Sayang sekali..."
Baru sampai di situ Thian Sin bicara, tiba-tiba lawannya sudah menubruk ke depan dan mengirim serangan dahsyat sekali. Agaknya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang sudah maklum akan kehebatan Thian Sin itu ingin merobohkan lawan secepatnya, maka begitu menyerang dia sudah mengerahkan sin-kangnya yang tadi mampu mengguncangkan guha dan membuat batu-batu terbongkar dan longsor.
Tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanannya menghantam dengan jari tangan terbuka ke arah dada lawan. Dari kedua tangan itu keluar uap putih dan didahului oleh angin pukulan yang mengeluarkan suara bercuitan. Thian Sin tidak berani memandang rendah karena dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka dengan tenang diapun menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menampar. Tamparannya kelihatannya sembarangan dan tidak keras, akan tetapi membuat kakek tinggi besar itu terkejut karena sebelum tamparan itu tiba, dia telah merasakan sambaran hawa pukulan panas yang luar biasa kuatnya. Kakek ini mengerahkan tenaga pada lengannya dan menangkis, sengaja hendak mengadu tenaga dengan pendekar yang masih muda itu.
"Dukkk...!"
Dua tenaga raksasa bertemu dan batu-batu yang bertebaran di sekeliling tempat itu seperti tergetar. Akibat benturan dua tenaga raksasa melalui dua lengan itu,
Tubuh Thian Sin masih kokoh dan tidak tergoyang sedikitpun juga, akan tetapi Pat-pi Mo-ko terpaksa melangkah ke belakang sampai tiga langkah dan tubuhnya agak menggigil kedinginan! Matanya terbelalak dan dia terkejut setengah mati. Tadi, sambaran hawa pukulan itu terasa panas, akan tetapi setelah beradu lengan, bagaimana ada hawa yang demikian dinginnya menyelinap ke dalam tubuh melalui lengan? Dan kekuatan itu! Bukan main dahsyatnya dan harus diakuinya bahwa tadi dia telah mengerahkan seluruh tenaga. Akan tetapi, kalau Pendekar Sadis sama sekali tidak goyah, dia sendiri terdorong sampai tiga langkah. Dari sini saja dapat dia mengerti bahwa dalam hal kekuatan sin-kang, dia tidak mampu menandingi pendekar yang aneh dan hebat itu. Diapun lalu mencabut sepasang senjatanya, yaitu sepasang pedang dan begitu dia menggerakkan tubuh dan tangan,
Nampak dua gulungan sinar membungkus dan menyelimuti bayangan tubuhnya dan terdengar suara mengaung-ngaung seperti suara lebah-lebah mengamuk. Itulah ilmu pedang pasangan Pek-hong-siang-kiam (Ilmu Sepasang Pedang Seratus Lebah) yang menjadi ilmu andalan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Datuk ini dijuluki Pat-pi Mo-ko (Iblis Berlengan Delapan) karena dia memiliki kecepatan gerak tangan yang membuat lengannya seperti nampak menjai banyak akan tetapi menghadapi Pendekar Sadis, dia tidak berani hanya mengandalkan kedua lengannya dan kini mengandalkan sepasang pedangnya yang memang hebat itu. Akan tetapi, sudah lama Thian Sin seperti telah melupakan senjata di luar kaki tangannya sendiri. Biarpun dia maklum bahwa lawan ini merupakan lawan yang berat, tidak kalah berat dibandingkan dengan para datuk yang pernah dilawannya,
Namun dia tidak merasa khawatir dan mengandalkan gin-kangnya untuk menghadapi amukan sepasang pedang itu. Tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang seperti kapas ringannya sehingga sebelum pedang menyambar, tubuhnya seperti telah terdorong oleh angin pedang dan dapat menghindar dengan cepatnya, kemudian kedua kaki tangannya tidak tinggal diam dan membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan serangan dua pedang lawan. Hai-pa-cu Can Hoa pernah dikalahkan oleh Kok Siang. Kini, menghadapi pemuda itu, dadanya penuh dengan nafsu membalas dendam atas kekalahannya. Dia tidak merasa gentar karena sekarang dia telah memegang sebatang golok gergaji yang kelihatannya mengerikan. Can Hoa maklum akan kelihaian lawan, maka biarpun tadi dia bertangan kosong,
Kini melihat Kok Siang telah menghadapinya, diapun tidak ragu-ragu lagi mencabut goloknya. Bukan saja golok besar ini yang membuat hatinya tabah, akan tetapi diapun tahu bahwa pemuda ini telah mengalami siksaan dan dibelenggu selama beberapa hari, kurang tidur dan kurang makan. Hal ini tentu melemahkan pemuda sesterawan ini. Selain itu, pemuda ini telah kehilangan senjatanya yang diandalkan, yaitu siangkoan pit dari emas dan perak itu. Sentanya itu terjatuh ketika pemuda ini terjebak ke dalam air dan seperti juga senjata milik Kim Hong, siangkoan pit itu telah dirampas dan tidak pernah dikembalikan kepada pemuda ini. Maka, dibandingkan dengan pertemuannya pertama kini pihaknya lebih banyak memperoleh keuntungan dan dia merasa yakin bahwa dia sekali ini akan menang dan akan dapat membalas kekalahannya tempo hari.
"Kutu buku, bersiaplah untuk mampus! Darahmu akan diminum oleh golokku ini!"
Berkata demikian, Hai-pa-cu Can Hoa sudah menerjang ke depan, memutar goloknya dan menyerang kalang kabut. Tiba-tiba nampak sinar emas dan perak berkelebat, bersilang dan menangkis golok itu dengan gerakan menggunting dari kanan kiri.
"Cringgg...!"
Hai-pa-cu Can Hoa terkejut bukan main ketika merasa betapa goloknya tergetar hebat dan cepat dia mencabut golok itu dari jepitan sepasang siangkoan pit emas dan perak.
"Ehhh...!"
Teriaknya kaget dan heran melihat betapa pemuda itu sudah memegang sepasang senjatanya! Tentu deja dia tidak tahu bahwa senjata itu, juga sepasang pedang hitam milik Kim Hong, telah diambil oleh Thian Sin dari tempat penyimpanan senjata di gudang dekat tahanan, dan ketika pemuda itu membayangi rombongan, kedua macam senjata itu dibawanya dan tadi di dalam guha, dia telah mengembalikan senjata itu kepada pemiliknya masing-masing. Kok Siang tersenyum mengejek.
"Hai-pa-cu Can Hoa, arwah pamanku Louw siucai telah menanti di sana untuk membuat perhitungan denganmu!"
Hai-pa-cu Can Hoa mengeluarkan bentakan nyaring, dan diapun sudah menyerang lagi, goloknya menyambar-nyambar dengan ganasnya, akan tetapi di balik keganasan sikapnya ini, tersembunyi rasa gentar yang hebat, membuat mukanya pucat dan matanya terbelalak. Di lain pihak, Kok Siang bergerak dengan cekatan dan tenang, merasa yakin bahwa dia akhirnya pasti akan mampu mengalahkan penjahat yang hanya besar gertak dan kekasarannya ini. Kim Hong tadinya menghadapi Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan tenang, bertangan kosong dan dengan senyum mengejek.
"Nah, gendut, sekarang kita berhadapan satu lawan satu! Keluarkanlah semua kepandaianmu!"
Tiat-ciang Lui Cai Ko masih hendak berlagak karena dia melawan seorang gadis cantik. Dia masih merasa malu kalau harus mengeluarkan senjata, maka diapun tertawa dan berkata.
"Nona yang manis, kalau sekali ini aku dapat meringkusmu, engkau akar kutelanjangi dan kuperkosa di sini juga!"
Dan sebelum kata-katanya habis, dia sudah menubruk ke depan, tangan kirinya menyambar ke arah dada sedangkan tangan kanan menyusul kaki kanan yang menendang, mencengkeram ke arah pundak. Serangan yang amat hebat dan sekaligus telah menggunakan kedua tangan dan sebelah kaki. Akan tetapi, Kim Hong yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi itu, dengan mudahnya berloncatan mengelak dan ketika tubuhnya turun, kakinya mencuat dengan gerakan kilat yang sama sekali tidak dapat diikuti oleh pandang mata lawan.
"Wuuuuttt... plakk!"
Dan sepatunya yang kecil dan terkena lumpur itu telah mengenai dagu lawan, membuat tubuh Tiat-ciang Lui Cai Ko terjengkang dan nyaris jatuh terbanting kalau saja dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya! Setelah bergulingan, dia meloncat bangun lagi. Wajahnya merah, matanya berapi-api dan mulutnya menyeringai, seperti orang tertawa! Dia merasa malu dan marah bukan main.
Dalam segebrakan saja dia telah dirobohkan lawan! Kini diapun tahu bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia mengerti bahwa Kim Hong ini adalah seorang yang memiliki gin-kang luar biasa hebatnya, membuat gerakannya cepat sekali, tak dapat diikuti dengan pandang mata, maka tentu merupakan lawan yang berbahaya sekali, walaupun agaknya tenaga wanita ini tidak begitu besar dan tendangannya tadipun tidak begitu kuat. Sungguh pendapat yang didasari kesombongan kosong belaka sehingga membuat dia tidak waspada. Dia tidak melihat bahwa kalau King Hong menghendaki, sekali tendangan tadi saja sudah akan mampu meremukkan tulang gerahamya! Gadis itu memang sengaja hendak mempemainkan, maka belum menurunkan tenaga dalamnya.
"Wuuut! Wuuut!"
Tiat-ciang Lui Cai Ko menggunakan kedua tangan meraba pinggangnya dan ternyata kini tangan kirinya memegang sebatang pisau yang panjangnya ada tiga puluh senti,
Ujungnya berkarat dan berwarna kehijauan, tanda bahwa pisau itu direndam dalam cairan beracun! Dan tangan kanannya memegang sebatang sabuk atau cambuk baja yang ujungnya memakai kaitan seperti mata kail! Sungguh senjata-senjata yang amat berbahaya dan hebat, pikir Kim Hong. Akan tetapi karena ia sudah dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawan, iapun tidak merasa perlu untuk mengeluarkan sepasang pedangnya dan hanya menanti dengan sikap tenang, dengan kedua kaki ditekuk di bagian lutut dan kedua lengan tergantung lepas di kanan kiri, akan tetapi biarpun nampaknya santai saja, sebenarnya seluruh urat syaraf di tubuhnya telah siap siaga dan tubuh itu telah dipenuhi dengan tenaga sin-kang yang tinggi dan kuat.
"Hi-hik, itu senjatamu? Pisau penyembelih babi cocok dengan perutmu yang gendut, dan matamu menjadi juling itu tentu karena terlalu sering memutar cambuk itu. Hati-hati, jangan-jangan kaitan cambukmu akan mengenai matamu sendiri, dari juling menjadi buta!"
Kim Hong mengejek tanpa memperdulikan serangan lawan yang sudah menyambar sebelum kata-katanya habis itu.
Dengan hanya sedikit menggerakkan leher, mukanya ditarik ke belakang dan sambaran pisau pada lehernya itu lewat beberapa senti di depan lehernya. Ketika pada detik berikutnya cambuk baja itu melecut dari atas, ke arah ubun-ubun kepalanya, Kim Hong menggeser kakinya, melangkah sambil memutar dan cambuk itu hanya menyambar lewat dan ujungnya yang dipasangi kaitan itu mengenai tanah yang tertutup batu karang. Terdengar suara keras dan debu mengepul, batu karang hancur pinggirnya kena hantem ujung cambuk. Tentu saja Tiat-ciang Lui Cai Ko menjadi penasaran dan semakin marah. Dia menyerang kalang kabut dan seperti biasanya orang yang dihimpit kemarahan, kewaspadaannya berkurang dan dia hanya menuruti nafsu amarah, menyerang tanpa menggunakan perhitungan lagi.
Cambuknya meledak-ledak menyambar dari atas dan bawah, pisaunya juga berkilauan menyambar-nyambar. Namun, dengan amat mudahnya Kim Hong selalu dapat menghindarkan diri, belum juga balas menyerang karena dara ini ingin mempermainkan lawan sampai sepuasnya sebelum turun tangan. Sementara itu, melihat betapa tiga orang itu sudah berkelahi, Phang-taijin yang hampir kehabisan perajurit dan juga kehabisan nyali itu, diam-diam memerintahkan sisa pasukannya yang tinggal enam belas orang itu untuk mengawalnya naik ke tebing dan melarikan diri. Akan tetapi, baru saja dia maju beberapa langkah diiringkan oleh para perajurit, menuju ke jalan darurat menuju naik ke tebing, tiba-tiba tubuh In Bwee berkelebat dan gadis ini sudah mendahuluinya dan menghadangnya sambil bertolak pinggang.
"Orang she Phang, engkau hendak lari ke mana? Siapapun tidak boleh pergi dari sini!"
Kata In Bwee dengan sikap keren. Melihat ini, Phang-taijin membelalakkan matanya.
"Nona Bouw, apa engkau tidak tahu siapa aku maka berani melarangku pergi? Ingat, aku bisa menangkapmu dan menuduhmu melawan pejabat!"
Phang-taijin menggertak dan bersikap galak. In Bwee tersenyum manis. Dara ini sekarang berbesar hati. Biarpun dibandingkan dengan tiga orang teman lain ilmu silatnya masih terlalu rendah, akan tetapi sebagai murid Pat-pi Mo-ko, pandangannya sudah cukup tajam untuk dapat menilai bahwa keadaan teman-temannya berada di atas angin. Ia teringat akan ucapan Kok Siang tadi yang menyanggupi untuk membereskan dan memberi hukuman yang keras untuk pembesar yang bersekongkol dengan penjahat ini, maka ketika melihat pembesar itu hendak melarikan diri, iapun segera menghadang dan mencegahnya untuk membantu kekasihnya.
"Orang she Phang, pada saat sekarang, engkau masih hendak mengandalkan kedudukanmu? Siapapun tahu bahwa engkau bukanlah pejabat lagi melainkan penjahat atau kaki tangan penjahat, dan urusan di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah."
Karena yang menghadang hanya seorang gadis, Phang-taijin lalu menyuruh enam belas orang perajutit itu maju.
"Hajar gadis lancang ini!"
Katanya. Enam belas orang perajurit itu sebenarnya sudah kehabisan semangat seperti bola kempis, dan menurut kehendak hati mereka, satu-satunya keinginan mereka, adalah melarikan diri dari tempat yang berobah menjadi seperti neraka ini.
Akan tetapi mereka takut untuk membangkang perintah, apa lagi melihat bahwa gadis itu hendak menghalangi mereka melarikan diri. Maka mereka lalu menjadi nekat dan menyerbu. In Bwee menyambut mereka dengan gerakan kaki tangannya dan terdengar para perajurit itu mengaduh-aduh ketika tubuh mereka terbanting ke sana sini. Ketika Kok Siang melihat kekasihnya dikeroyok oleh para perajurit, dia menjadi marah dan khawatir. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan sepasang siangkoan-pit di tangannya bergerak cepat. Nampak sinar perak berkelebat di depan mulut Hai-pa-cu Can Hoa yang menjadi silau dan di lain saat, sebuah tendangan dengan keras mengenai pergelangan tangan kanannya, membuat goloknya terlempar dan sebelum Si Macam Tutul Laut itu sempat memperbaiki posisinya, sinar emas berkelebat dan menyambar tenggorokannya.
"Aughhh...!"
Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Hai-pa-cu Can Hoa roboh dan tewas tak lama kemudian karena pit emas di tangan Kok Siang telah menembus tenggorokan dan menotok jalan darah maut. Kok Siang tidak melihat lagi keadaan lawan yang sudah roboh itu dan cepat dia meloncat ke arah kekasihnya.
Akan tetapi kekhawatirannya tadi sama sekali tak beralasan karena kini belasan orang itu sudah dirobohkan semua oleh In Bwee, bahkan belum terkena pukulan atau tendangannya sudah menjatuhkan diri dan pura-pura luka tidak dapat melawan lagi. Tinggal Phang-taijin yang berdiri dengan muka pucat dan kedua kaki menggigil lemas, tanpa mampu mengeluarkan suara. Melihat betapa Kok Siang sudah merobohkan lawannya, Kim Hong merasa bahwa sudah terlampau lama ia mempemainkan lawan. Ketika cabuk atau cambuk baja itu menyambar lagi ke arah kepalanya, tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking dan sinar hitam menyambar, menyambut cambuk itu dan tahu-tahu ujung cambuk itu sudah terbelit oleh ujung rambutnya. Pisau yang menyambar dari arah kanannya itu dielakkan, kemudian tangan kirinya dari bawah menghantam ke atas dan tepat mengenai dada lawan.
"Ngukkk!"
Tiba-tiba saja tubuh yang perutnya gendut sekali itu menjadi lemas, napasnya terengah, kedua tangan melepaskan senjata dan mendekap ke arah atas perut gendutnya, matanya semakin juling melihat ke arah perut dan akhirnya diapun roboh terkulai. Pukulan satu kali dari jari tangan halus Kim Hong tadi telah menyalurkan kekuatan sin-kang dan merusak jantung lawan sehingga pukulan itu sudah cukup untuk merenggut nyawa Tiat-ciang Lui Cai Ko yang sebenarnya masih kalah jauh dibandingkan dengan Toan Kim Hong.
Kini mereka bertiga menonton perkelahian antara Thian Sin dan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng dan memang pertandingan ini sajalah yang nampak paling seru dan seimbang. Memang pada waktu itu, Thian Sin sedang berada dalam puncak kelihaiannya. Biarpun dia bertangan kosong dan lawannya yang berilmu tinggi itu menggunakan sepasang pedangnya dengan amat hebatnya, namun Thian Sin sama sekali tidak pernah terdesak. Tubuhnya seperti menyelinap dan beterbangan di antara dua sinar pedang yang bergulung-gulung itu. Amat mengerikan dipandang kalau diingat betapa sedikit saja tergores sinar itu, tubuh bisa koyak-koyak! Akan tetapi juga amat indahnya. Setelah lewat puluhan jurus dan sepasang pedang yang amat diandalkannya itu tidak mampu mendesak lawan,
Pat-pi Mo-ko mulai merasa gentar dan juga takjub sekali. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan sehebat ini. Kini mengertilah dia mengapa datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru dunia beberapa tahun yang lalu kalah semua melawan Pendekar Sadis. Kiranya memang hebat bukan main ilmu kepandaian pemuda ini, hebat dan juga aneh, hampir semua gerakan pemuda ini tidak dikenalnya. Karena merasa kewalahan untuk dapat mendesak lawan, akhirnya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri saja. Sepasang pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga andaikata ada hujan lebat dari atas sekalipun menimpa dirinya, tidak akan ada setetes air yang mampu mengenai tubuhnya. Demikian rapat sinar pedang bergulung-gulung menyelimutinya,
Seolah-olah telah berobah menjadi benteng baja yang menutupi tubuhnya dan yang melindunginya dari ancaman apapun dari luar. Melihat siasat lawan ini, Thian Sin maklum bahwa kalau dia tidak mengeluarkan ilmu simpanannya, akan makan waktu terlalu lama menjatuhkan lawan tangguh ini. Dia lalu diam-diam mengerahkan tenaganya, lalu pada saat lawan mundur, dia merendahkan dirinya dan tiba-tiba dari mulutnya keluar suara melengking nyaring yang menggetarkan jantung lawan, disusul oleh tubuhnya yang tadi merendah itu kini tiba-tiba meluncur ke depan dengan kecepatan kilat dan dengan kekuatan dahsyat sekali. Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng terkejut ketika merasa ada angin hebat melanda dirinya. Dia berusaha untuk menggerakkan sepasang pedangnya menyambut ke depan, ke arah bayangan lawan yang meluncur itu.
"Bressss...!"
Sukar diikuti dengan pandang mata terjadinya benturan itu akan tetapi tahu-tahu tubuh Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang tinggi besar itu terpelanting dan terjengkang lalu terguling-guling, menabrak batu karang besar dan berhenti. tidak bergerak lagi. Sebatang pedang, pedangnya sendiri, menembus lehernya sampai ke tengkuk, pedang ke dua masih terkepal tangan kiri. Kiranya dalam benturan tadi, saking hebatnya daya serang Thian Sin, pedang kanan itu membalik dan menembus leher sendiri. Tewaslah Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng dan habislah sudah komplotan jahat yang berlindung di balik kedudukan Jaksa Phang di kota raja itu!
Kota raja geger ketika pada suatu pagi, tubuh Jaksa Phang tergantung tinggi-tinggi di depan kantornya dengan kaki tangan terikat dan ikatan tangannya itu digantungkan di atas wuwungan bagian depan sehingga nampak dari jalan. Hal ini menarik banyak perhatian, apa lagi karena sehelai kain putih yang lebar tergantung dan tubuh jaksa Phang itu penuh dengan tulisan yang rapi dan indah. Ketika orang-orang menolongnya dan membaca tulisan itu, keadaan menjadi semakin geger dan berita itu segera menjalar luas di kota raja. Isi tulisan itu membuka rahasia jaksa itu tentang perbuatan-perbuatannya yang korup dan jahat, tentang persekutuannya dengan penjahat-penjahat dan betapa kantor kejaksaan dijadikan tempat persembunyian penjahat besar Pat-pi Mo-ko!
Berita ini sumpai ke dalam istana dan kaisar sendiri menjadi marah dan malu, lalu memerintahkan untuk menangkap jaksa Phang itu, dipecat dan dijatuhi hukuman berat. Mudah kita duga bahwa yang melakukan perbuatan itu tentulah Bu Kok Siang orangnya! Setelah Thian Sin muncul dan membebaskan dia, Kim Hong dan In Bwee, kemudian mereka dapat membasmi para datuk sesat bersama anak buahnya, Thian Sin lalu mengajak mereka bertiga, sambil membawa Phang-taijin sebagai tawanan, menuju ke guha di mana terdapat pintu tadi. Kok Siang menotok roboh jaksa itu dan melemparnya ke sudut, kemudian Thian Sin mengeluarkan kunci emas yang aseli dari sakunya dan ternyata kunci itu tepat sekali memasuki lubang kunci dari emas di tengah-tengah daun pintu baja.
Thian Sin memasukkan kuncinya dan memutar-mutar, tiba-tiba terdengar suara keras dan semua orang sudah terkejut dan berhati-hati, takut kalau-kalau terjadi longsor batu-batu karang lagi seperti tadi. Akan tetapi ternyata ketika suara keras itu berhenti, lantai di sebelah kanan daun pintu itu amblong dan berlubang. Kiranya kunci itu hanya menggerakkan alat rahasia yang sudah dipasang di situ di mana terdapat batu besar yang digerakkan oleh alat baja bergeser dan menurun. Di balik batu besar itu terdapat lubang dan inilah tempat rahasia penyimpanan harta karun. Bukan di belakang daun pintu, karena belakang pintu itu tidak ada apa-apanya, hanya ada dinding tebing batu karang. Setelah rasa kagetnya hilang, Thin Sin lalu memeriksa lubang dan di sini mereka menemukan empat buah peti kuno berukir.
"Ah, inilah harta karun itu!"
Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thian Sin berseru dan empat orang itu merasa gembira bukan main, seperti sekumpulan anak-anak yang menemukan sesuatu yang menarik. Mereka lalu mengeluarkan empat buah peti kuno itu dan ketika empat buah peti itu dibuka, ternyata berisi emas dan permata intan berlian ratna mutu manikam, logam mulia dan batu mulia berkilau-kilauan menyilaukan mata! Bagaikan anak-anak kecil yang melihat mainan bagus, mereka merakup benda-benda itu, dipermainkannya di antara jari-jari tangan dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri.
"Bukan main! Kalau benda sebanyak ini sampai terjatuh ke tangan mereka, sungguh sayang!"
Akhirnya Kok Siang berkata.
"Harta karun Jenghis Khan ini rahasianya ditemukan oleh keluarga Ciang, maka kita harus menyerahkan kepada yang berhak, yaitu Ciang Kim Su."
Kata Kim Hong dengan suara tegas. Mendengar ini, tiba-tiba Kok Siang menjura kepada wanita itu.
"Nona Toan, sungguh bijaksana sekali ucapan itu dan aku merasa takluk. Seorang seperti nona ini dan juga Ceng-taihiap, barulah pantas disebut pendekar!"
"Sayang, orang yang berhak sudah tidak ada lagi!"
Kata Thian Sin.
"Apa maksudmu, Thian Sin?"
Kim Hong bertanya dan Kok Siang bersama In Bwee juga memandang heran.
"Aku sudah melihat pemuda petani itu. Dia disiksa untuk dipaksa mengaku tentang peta aseli. Tentu saja dia sendiri tidak tahu dan penyiksaan itu membuat dia terluka parah dan ketika aku mengunjunginya di dalam sel tahanannya di kompleks kejaksaan itu, dia meninggal dunia tanpa dapat ditolong lagi."
"Ahhh...!"
In Bwee berseru dan merasa kasihan sekali. Karena menemukan harta karun Jenghis Khan, keluarga petani yang terdiri dari ayah ibu dan anak itu semua telah tewas! Agaknya jalan pikiran In Bwee ini terasa juga oleh tiga orang pendekar itu. Kok Siang menggeleng-geleng kepalanya.
"Jenghis Khan terkenal dengan kekerasan dan kekejamannya, dan harta karunnya inipun ternyata membawa kutuk bagi para penemunya. Untung sekali sekarang terjatuh ke tangan kalian, sepasang pendekar budiman. Mudah-mudahan saja harta karun itu akan dapat bermanfaat dan mendatangkan kebaikan bagi banyak orang melalui tangan kalian berdua."
"Harta karun ini milik kita bersama sekarang, Bu-twako."
Kata Kim Hong.
"Kita bersama yang telah mendapatkannya, oleh karena itu kita semua pula yang berhak memilikinya. Kita akan bagi rata..."
"Tidak, aku tidak mau! Sejak kecil aku menjadi anak orang kaya, dan aku bahkan sering kali melihat betapa kekayaan tidak selalu mendatangkan kebahagiaan. Tidak, aku ingin hidup seadanya dan miskin... di samping Siang-koko..."
Dan gadis itu lalu memegang lengan pemuda pujaannya itu sambil memandang mesra. Kok Sing tersenyum.
"Baik Bwee-moi, ataupun aku tidak berhak sama sekali, juga tidak membutuhkan. Aku sendiri bukan orang miskin. Aku menerimanya dari paman Louw, dan paman Louw sama sekali tidak berhak. Pula, mendiang pamanku itu memalsu peta, bukan karena ingin menguasai yang aseli, melainkan karena curiga kepada Su Tong Hak dan ingin menolong dan menyerahkannya kelak kepada yang berhak, yaitu Ciang Kim Su. Maka, setelah sekarang jatuh ke tangan kalian yang memang berjasa dan hanya karena adanya kalian maka harta ini dapat ditemukan, maka kalian berdualah yang berhak memilikinya, Ceng-taihiap dan Nona Toan."
Thian Sin menghela napas dan memandang kagum kepada Kok Siang dan In Bwee.
"Ahh, sungguh jarang dapat ditemukan di dalam dunia ini orang-orang seperti kalian berdua. Biasanya, di mana terdapat harta, tentu terjadi perebutan. Untuk memiliki harta, manusia tidak segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman. Akan tetapi kalian malah menolaknya. Kami sendiri juga tidak membutuhkan harta. Akan tetapi karena harta karun ini telah terjatuh ke tangan kita, sudah seharusnya kalau kita pergunakan untuk kebaikan. Memerangi kejahatan bukan merupakan suatu hal yang mudah dan ringan, juga kadang-kadang membutuhkan banyak biaya. Oleh karena itu, harta karun Jenghis Khan yang saya yakin tentu sudah bergelimang darah ini, yang sekarang saja telah membunuh puluhan orang di luar guha, akan dapat kita pakai untuk menebus dosa-dosanya, untuk manfaat banyak orang dan untuk biaya memerangi kejahatan. Engkaupun berhak memperoleh bagianmu, Bu-siucai."
Akan tetapi Kok Siang menggeleng kepalanya sambil tersenyum lalu merangkul leher In Bwee yang memegang lengannya.
"Tidak, taihiap. Dalam peristiwa perebutan harta karun Jenghis Khan ini, aku telah memperoleh bagianku sendiri, telah memperoleh harta karun yang tiada keduanya di dunia ini, yang jauh lebih berharga dari pada semua harta dalam empat peti itu, yalah Bwee-moi!"
Thian Sin dan Kim Hong tersenyum saling pandang, sedangkan In Bwee menjadi merah mukanya dan tersenyum bangga dan bahagia. Pendekar Sadis dan kekasihnya tidak mau memaksa lagi dan merekapun lalu meninggalkan tempat itu, membawa empat peti harta karun dan juga membawa Phang-taijin sebagai tawanan. Mereka mempergunakan kereta yang tertinggal di atas tebing dan pada malam itu juga, Kok Siang membereskan Phang-taijin, menulis surat pembeberan rahasia busuk pembesar itu dan menggantungkan pembesar korup dan suratnya ke wuwungan depan rumah gedung pembesar itu. Ketika Kok Siang melakukan hal ini, dia ditemani oleh In Bwee, Thian Sin dan Kim Hong.
Akan tetapi Pendekar Sadis dan kekasihnya tidak mau mengganggu dan membiarkan sasterawan perkasa itu untuk memuaskan hatinya dengan melakukan hukuman itu sendiri. Setelah selesai melakukan tugas terakhir dalam urusan harta karun Jenghis Khan itu, mereka berkumpul di tempat sunyi di luar kota raja, di mana telah menanti sebuah kereta yang akan membawa Pendekar Sadis dan kekasihnya meninggalkan kota raja pada malam hari itu juga. Empat buah peti harta karun itu telah disusun rapi di dalam kereta, ditutupi dan tidak nampak dari luar. Dua pasang orang muda itu kini saling berhadapan di bawah sinar bulan purnama. Cuaca dan pemandangan indah sekali, mendatangkan rasa kegembiraan luar biasa walaupun ada sedikit rasa haru karena mereka hendak saling berpisahan.
"Kami harap saja kalian akan dapat menjadi pasangan yang baik dan berbahagia."
Kata Kim Hong sambil memeluk In Bwee dan gadis hartawan ini mengusap air matanya karena selama beberapa hari menjadi kenalan Kim Hong ia merasa amat kagum dan sayang kepada pendekar wanita itu.
"Mudah-mudahan saja kami akan dapat menjadi pasangan berbahagia seperti ji-wi."
Kata In Bwee.
"Bagaimana rencanamu selanjutnya dengan nona Bouw, Bu-siucai?"
Thian Sin bertanya.
"Kami akan minta persetujuan orang tua Bwee-moi dengan terang-terangan. Dan kami sudah bersepakat bahwa andaikata orang tuanya tidak menyetujui, kami berdua akan pergi begitu saja!"
Kim Hong dan Thian Sin tertawa.
"Aih, mudah-mudahan tidak. Kami kira, orang tua adik Bwee akan cukup bijaksana untuk dapat melihat bahwa mereka telah mempunyai seorang calon mantu yang hebat!"
Kata Kim Hong.
"Dan bagaimana dengan ji-wi (kalian berdua)?"
Tanya Bu Kok Siang.
"Kami akan pulang dan beristirahat."
Jawab Thian Sin.
"Di mana... ah, ji-wi sudah menjelaskan bahwa ji-wi takkan memberitahukan tempat tinggal ji-wi kepada siapapun juga. Biarlah, kami hanya berdoa semoga kelak kita masih akan dapat saling bertemu pula."
Kata Kok Siang.
Setelah bersalaman dan saling memberi hormat, akhirnya Thian Sin dan Kim Hong memasuki kereta dan Thian Sin melarikan kuda-kuda penarik kereta, diikuti oleh pandang mata Kok Siang dan In Bwee, sampai kereta itu lenyap ditelan kegelapan di sudut sana. Mereka merasa terharu dan kehilangan, akan tetapi ketika mereka teringat bahwa mereka bersama, lenyaplah rasa kehilangan itu dan sambil bergandeng tangan merekapun kembali ke kamar mereka di rumah penginapan di mana mereka menyewa dua buah kamar untuk mereka. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa di kamar Kok Siang terdapat sebuah di antara empat peti harta karun itu, dengan isi yang masih penuh dan utuh! Dan di atas peti itu terdapat tulisan:
SEMOGA KALIAN BERBAHAGIA.
Kedua orang itu saling pandang dan akhirnya In Bwee menubruk calon suaminya sambil menangis, terharu akan kebaikan hati Pendekar Sadis dan kekasihnya. Sementara itu, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dua sosok tubuh berada di dalam sebuah perahu layar, dan perahu itu dengan perlahan meninggalkan pantai menuju ke laut bebas. Sebuah perahu layar yang berukuran sedang saja, tidak ada anak perahunya kecuali mereka berdua.
Diatas dek perahu terdapat tiga buah peti kuno berukir indah. Mereka itu adalah Thian Sin dan Kim Hong yang sedang berlayar menuju pulang, ke tempat tinggal mereka yaitu di Pulau Teratai Merah, membawa hasil petualangan mereka, yaitu tiga peti terisi harta karun Jenghis Khan! Mereka akan pulang dan beristirahat, tanpa mereka sadari bahwa mereka akan menghadapi pengalaman-pengalaman yang lebih menyeramkan lagi dalam kisah petualangan mereka "SILUMAN GUHA TENGKORAK"! Kita akan berjumpa kembali dengan sepasang pendekar ini dalam kisah yang menyeramkan itu, di mana selain ilmu silat, juga ilmu sihir dipergunakan! Sampai jumpa!
TAMAT
dino, http://indozone.net/literatures/literature/49
3 September 2005 jam 10:24pm
Pendekar Sadis Eps 8 Pendekar Sadis Eps 1 Pendekar Sadis Eps 25