Asmara Berdarah 33
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 33
"Lepaskan ia!"
Bentaknya marah. Akan tetapi, suami isteri pendekar dari Pulau Teratai Merah itu tahu-tahu telah menghadangnya.
"Mengejar dia sama dengan bunuh diri!"
Kata Pendekar Sadis.
"Gadis itu dibawa pergi ayah kandungnya sendiri, mencampurinya adalah suatu kebodohan!"
Kata pula Toan Kim Hong. Ci Kang maklum bahwa suami isteri ini mencegahnya untuk melakukan pengejaran dengan maksud menghindarkannya dari bahaya maut dan diapun sadar akan kebodohannya.
Pula, Raja Iblis itu telah cepat menghilang dan dia sendiri tidak begitu mengenal daerah ini maka melakukan pengejaran selain tak mungkin, juga benar-benar sama dengan membunuh diri. Baru menghadapi Raja Iblis seorang diri saja dia sudah kalah, apalagi kalau raja sesat itu muncul bersama kaki tangannya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, tidak mungkin dia dapat mendiamkan saja Hui Cu dibawa ayahnya. Gadis itu seperti berada dalam cengkeraman harimau. Lebih celaka lagi, seperti berada dalam cengkeraman iblis. Harimau takkan membunuh anaknya sendiri, akan tetapi Raja Iblis itu hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, atau akan dibunuhnya. Kini setelah Raja Iblis pergi, Ci Kang dapat mencurahkan perhatiannya kepada suami isteri itu. Dia memandang kepada mereka dan merasa jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Jadi inikah yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu? Ayah dan ibu Sui Cin, gadis yang dicintanya. Dan mereka ini demikian gagah perkasa, demikian anggun dan berpakaian indah. Sepasang pendekar yang berilmu tinggi, yang dapat membuat datuk sesat seperti Raja Iblis melarikan diri. Sepasang pendekar perkasa yang agaknya kaya raya pula. Sedangkan dia? Dia hanya seorang yatim piatu, dan lebih lagi, anak seorang datuk sesat yang buta. Dibandingkan dengan Sui Cin dan keluarganya, dia tidak lebih pantas menjadi seorang pelayan atau pegawai mereka saja. Akan tetapi dia teringat bahwa kemunculan dua orang ini tadi telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut. Kalau tidak ada mereka ini, tentu dia sudah tewas di tangan Raja Iblis, maka diapun cepat menjura dengan sikap menghormat.
"Jiwi locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya. Saya menghaturkan terima kasih."
Suami isteri itu memandang dengan wajah berseri. Mereka merasa suka kepada pemuda gagah yang berani melawan Raja Iblis dan membela gadis itu. Mereka menduga bahwa tentu pemuda ini kekasih gadis itu, atau setidaknya mencinta gadis itu dan mungkin Raja Iblis tidak merestui hubungan mereka. Akan tetapi semua itu bukan urusan mereka.
"Orang muda, engkau gagah dan agaknya tidak akan mudah dapat dirobohkan oleh Raja Iblis itu. Tidak perlu berterima kasih karena kebetulan saja kita berjumpa di sini dan setiap orang gagah memang wajib menentang iblis jahat seperti Raja Iblis itu. Nah, selamat berpisah,"
Kata Ceng Thian Sin dengan ramah. Bersama isterinya dia membalikkan tubuhnya hendak melanjutkan perjalanan mereka.
Kepergian Sui Cin yang amat lama itu menggelisahkan hati suami isteri ini dan mereka seringkali melakukan perjalanan untuk mencari puteri mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin pulang ke Pulau Teratai Merah, ia tidak bertemu dengan ayah bundanya yang sedang pergi mencarinya. Ia meninggalkan surat dan melanjutkan perjalanannya ke utara, sesuai dengan perintah gurunya. Dan tak lama kemudian, Ceng Thian Sin dan isterinya yang kembali ke pulau itu, menemukan surat puteri mereka. Tentu saja keduanya merasa khawatir sekali mendengar betapa Sui Cin terlibat dalam urusan menentang pemberontakan di utara, hendak menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Karena mengkhawatirkan puteri mereka, suami isteri ini berangkat lagi melakukan pengejaran ke utara.
"Jiwi, harap perlahan dulu!"
Mendengar suara pemuda itu menahan mereka, Ceng Thian Sin dan isterinya berhenti melangkah dan menengok dengan heran.
"Ada apakah, orang muda?"
Pendekar Sadis bertanya.
"Kalau tadi saya tidak salah dengar, locianpwe berjuluk Pendekar Sadis. Apakah locianpwe bernama Ceng Thian Sin dan jiwi adalah ayah bunda dari nona Ceng Sui Cin?"
"Benar, apakah engkau mengenal anakku?"
Toan Kim Hong berseru dengan wajah berseri dan suaranya mengandung kegembiraan. Selama ini mereka berdua sudah mencari-cari akan tetapi belum pernah mendengar tentang puterinya dan tidak dapat menemukan jejaknya. Dan kini, tanpa disangkanya ia mendengar orang bertanya tentang Sui Cin!
"Saya mengenal nona Ceng dengan baik,"
Jawab Ci Kang perlahan. Ceng Thian Sin memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah mendengar bahwa pemuda ini mengenal Sui Cin dan agaknya merupakan sumber berita di mana adanya puterinya itu, tiba-tiba saja pemuda itu menjadi penting baginya.
"Orang muda, sungguh Thian telah menuntun kami untuk bertemu denganmu di sini. Siapakah namamu, orang muda?"
"Nama saya Siangkoan Ci Kang."
"Siangkoan...? Jarang mendengar tokoh dengan she Siangkoan di dunia persilatan,"
Kata Pendekar Sadis.
"Bukankah ada seorang datuk yang juga memiliki she Siangkoan, yang terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi?"
Tiba-tiba Toan Kim Hong berkata.
"Ah, maksudmu Siangkoan Lojin? Mana ada hubungannya dengan..."
"Maaf, locianpwe. Siangkoan Lojin adalah mendiang ayah saya."
"Ahh..."
Suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mendengar tentang Siangkoan Lojin atau Si Iblis Buta yang terkenal sebagai seorang datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi, juga amat kejam. Dan mereka juga mendengar berita di dunia kang-ouw selama mereka mencari Sui Cin bahwa Iblis Buta telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis yang kini merampas kedudukan pemimpin para datuk kaum sesat. Kini merekapun menduga bahwa tentu pemuda ini memusuhi Raja Iblis karena mendendam atas kematian ayahnya. Akan tetapi mengapa pemua ini membela puteri Raja Iblis? Mereka tidak ingin tahu lebih banyak karena hal itu bukan urusan mereka.
"Orang muda, engkau tadi mengatakan mengenal baik anak kami. Di manakah kini anak kami Sui Cin itu?"
Pendekar Sadis bertanya tidak sabar.
"Menurut pengetahuan saya, nona Ceng Sui Cin kini berada bersama para pimpinan suku bangsa di utara ini. Ia telah membantu nenek Yelu Kim yang berhasil meraih kedudukan pemimpin para suku bangsa. Kalau jiwi dapat bertemu dengan nenek Yelu Kim yang kini menjadi pemimpin besar para kepala suku bangsa di utara, tentu jiwi akan dapat bertemu pula dengan nona Ceng."
"Apa? Anakku membantu pemimpin para kepala suku liar?"
Toan Kim Hong bertanya, matanya terbelalak.
"Orang muda, di mana adanya rombongan nenek Yelu Kim itu sekarang?"
Ceng Thian Sin bertanya.
"Tidak begitu jauh dari sini, locianpwe. Di balik bukit tandus di barat itu. Kalau tidak salah, para kepala suku masih berada di sana bersama rombongan masing-masing."
"Terima kasih, orang muda. Kami akan mencarinya sekarang juga."
Thian Sin bersama isterinya lalu mengangguk dan meninggalkan Ci Kang yang hanya menjura dengan hormat kepada mereka. Dia tidak berani bicara banyak tentang Su Cin, tentang hubungannya dengan gadis itu. Setelah mereka pergi, pemuda itu berdiri termangu-mangu, merasa nelangsa dan kesepian, merasa betapa semakin jauhnya dirinya dari Sui Cin, gadis yang dicintanya itu. Akan tetapi, dia segera teringat kepada Hui Cu dan bangkit semangatnya. Saat ini, yang terpenting adalah menolong Hui Cu dari cengkeraman iblis, dari tangan ayahnya sendiri. Maka diapun cepat pergi dari situ untuk mencari jejak Hui Cu, atau lebih tepat lagi, jejak Raja Iblis.
Pertemuan yang dinanti-nantikan dengan hati tegang oleh para pendekar itupun tibalah. Malam bulan purnama dan mengambil tempat di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang sudah rusak dan keadaannya menyeramkan karena tidak pernah ditinggali manusia. Malam itu, tidak kurang dari seratus orang pendekar dari berbagai aliran berkumpul di tempat itu. Tentu saja tidak semua aliran mengirim wakilnya karena tidak semua pendekar berjiwa patriot. Bahkan banyak sekali para pendekar di dunia kang-ouw yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan pemerintahan dan pemberontakan. Mereka lebih suka bekerja secara bebas, menghadapi kejahatan perorangan dan tidak suka terikat dalam suatu kelompok.
Akan tetapi yang hadir pada malam hari itu telah mewakili sebagian besar dari para perguruan silat dan cabang persilatan. Hal ini adalah karena sebagian besar dari para pendekar merasa perlu untuk menghadiri pertemuan. Pemberontakan yang terjadi sekarang ini bukan sekedar pemberontakan dari golongan yang tidak puas terhadap golongan lain yang berkuasa, bukan sekedar perebutan kedudukan belaka. Akan tetapi yang memberontak adalah kaum sesat yang menjadi musuh besar mereka di sepanjang masa. Raja Iblis sendiri, dibantu oleh Cap-sha-kui, mengumpulkan para datuk sesat untuk merampas kedudukan dan menggulingkan pemerintah. Kalau sampai mereka berhasil, kalau sampai pemerintah dipegang oleh kaum sesat, berarti dunia para pendekar akan hancur! Jadi, pemberontakan kaum sesat itu bukan hanya mengancam para penguasa yang sekarang menduduki kekuasaan, melainkan juga mengancam kehidupan para pendekar sendiri.
Di pekarangan bangunan-bangunan rusak yang amat luas, yang kini menjadi padang rumput karena tidak terpelihara, para pendekar berkumpul dan membentuk sebuah lingkaran lebar. Di dalam lingkaran itu dinyalakan api unggun besar. Mereka bekerja bergotong-royong tanpa adanya suatu pimpinan karena memang mereka itu datang untuk berunding, mendengar berita dari mulut ke mulut, dan di antara mereka tidak terdapat golongan pimpinan. Hanya dengan sendirinya mereka semua menganggap para locianpwe yang hadir sebagai pimpinan, bukan hanya karena usia mereka yang lebih tua, melainkan juga karena kedudukan mereka dalam tingkat kepandaian. Di antara para tokoh tua dari berbagai cabang persilatan seperti dari Siauw-Lim-Pai, Bu-Tong-Pai dan Kun-Lun-Pai yang hadir, terdapat pula empat orang tokoh tua yang dianggap sebagai tokoh-tokoh bertingkat tinggi oleh mereka, walaupun sebagian dari para pendekar tidak pernah mengenal mereka.
Hanya kaum tua yang mewakili partai-partai besar itu saja yang mengenal empat orang ini dan memperkenalkan mereka dengan sikap hormat kepada para pendekar. Mereka ini adalah Ciu-sian Lokai, Gobi Sanjin, Wuyi Lojin dan Siangkiang Lojin. Guru Ci Kang, Gobi Sanjin menjadi guru Cia Sun. Seperti telah kita ketahui, Ciu-sian Lokai adalah Wuyi Lojin menjadi guru Sui Cin sedangkan Siangkiang Lojin menjadi guru Hui Song. Dan mereka berempat ini bukanlah asing satu sama lain. Puluhan tahun yang lalu mereka merupakan empat di antara tokoh penting di dunia persilatan yang telah dikalahkan dan ditaklukkan oleh Raja Iblis dan mereka mengundurkan diri dari dunia ramai untuk bertapa dan memperdalam ilmu. Dua orang di antara mereka sudah meninggal dunia dalam pertapaan mereka dan empat orang kakek inipun tadinya sudah mengambil keputusan untuk mengasingkan diri dan tidak mencampuri urusan duniawi sampai mati.
Akan tetapi, kini mereka semua terpaksa bangkit dan turun tangan ketika mendengar betapa Raja Iblis telah muncul kembali ke dunia ramai, bahkan merencanakan pemberontakan setelah berhasil menguasai para datuk golongan hitam. Dan sepertli kita ketahui, mereka telah mengambil murid pilihan masing-masing yang memang sengaja mereka gembleng dan mereka wariskan ilmu-ilmu mereka kepada murid-murid itu untuk kelak dapat dipergunakan menghadapi Raja Iblis. Pernah terjadi kelucuan di antara Ciu-sian Lokai dan Wuyi Lojin, puluhan tahun yang lalu. Karena keduanya tukang minum arak, dan keduanya selalu membawa guci arak, ketika saling bertemu terjadi keributan di antara mereka, yaitu saling memperebutkan julukan Ciu-sian (Dewa Arak).
Untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai julukan Dewa Arak, keduanya bertanding, bukan bertanding silat, melainkan bertanding minum arak dengan sewajarnya tanpa mempergunakan akal dan ilmu sinkang. Dalam pertandingan ini, akhirnya Wuyi Lojin menyerah kalah setelah mereka berdua menghabiskan belasan guci besar arak yang kiranya cukup untuk menjamu dua ratus orang! Dan mulai saat itu kakek berpakaian gembel berhak memakai julukan Ciu-sian Lokai, sedangkan kakek yang selalu berpakaian mewah memakai julukan Wuyi Lojin, biarpun julukan Ciu-sian atau Dewa Arak masih menempel secara tidak resmi pada dirinya. Pertemuan antara empat orang kakek itu menggembirakan mereka dan mereka merasa muda kembali dan penuh semangat perjuangan.
Mereka berempat ini dan beberapa orang kakek tokoh partai-partai persilatan yang besar berada di dalam lingkaran itu, dekat api unggun, dikelilingi oleh para pendekar berbagai aliran. Tanpa pemilihan dan tanpa diumumkan, empat orang ini dipandang sebagai pimpinan, apalagi karena mereka berempat itulah yang sudah mengenal Raja Iblis dan kesaktiannya yang amat tersohor dan menggemparkan dunia persilatan. Wuyi Lojin yang usianya sudah amat lanjut, delapan puluh tahun lebih, masih nampak sehat dan gembira. Kepalanya gundul botak, alis, kumis, jenggot dan sedikit rambut yang tersisa di belakang kepalanya sudah putih semua. Jenggotnya putih panjang sampai ke perut. Pakaiannya berkembang-kembang, dari kain yang baru dan indah. Beberapa kali dia minum arak dari gucinya yang besar tanpa menawarkan kepada orang lain. Kini nampak dia menggerakkan tangan kiri ke atas dan berkata,
"Matipun aku tidak akan dapat memejamkan mataku kalau Raja Iblis itu belum terbasmi habis sampai ke akar-akarnya!"
"Bicara memang enak dan mudah, akan tetapi pelaksanaannya yang sukar!"
Ciu-sian Lokai yang selalu mempunyai perasaan bersaing dengan Dewa Arak yang lain itu mencela.
"Aku kira menentang Raja Iblis sekarang ini sama artinya dengan menentang puluhan ribu orang perajurit. Dia sudah menguasai Sanhaikoan dan sudah bergabung dengan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Panglima Ji Sun Ki. Mana mungkin kita mengandalkan kaki tangan biasa saja untuk menempuh dan melawan pasukan yang terdiri dari laksaan orang? Kita harus mencari cara yang lebih tepat."
"Benar, memang sekarang ini, dengan jumlah kita yang hanya seratus orang lebih, kiranya tidak
(Lanjut ke Jilid 31)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 31
mungkin melawan laksaan orang perajurit. Tadinya kita bermaksud untuk menentang Raja Iblis dengan antek-anteknya yang tentu jumlahnya tidaklah terlalu besar bagi kita. Hui Song, muridku, telah kusuruh melakukan penyelidikan di antara para kepala suku karena di sanapun teriadi pergerakanpergerakan. Hui Song, coba kau ceritakan semua yang kau ketahui,"
Kata Siangkiang Lojin atau Si Dewa Kipas kepada pemuda itu.
Dewa Kipas ini masih tetap gendut sekali perutnya, kepalanya botak, dengan rambut sedikit saja di belakang kepala. Jubahnya, seperti biasa, tidak dapat tertutup saking besar perutnya dan juga karena memang tidak suka hawa panas. Kipasnya yang lebar itu kini berkembang dan digerak-gerakkan ke arah perutnya. Kakek berusia tujuh puluh tahun lebih inipun masih nampak sehat. Hui Song lalu bangkit berdiri di antara mereka yang duduk membentuk lingkaran dan semua mata ditujukan kepadanya. Dia lalu menceritakan tentang segala yang dialaminya, mulai dari jatuhnya kota Sanhaikoan sampai kepada para kepala suku yang mengadakan pertemuan dan pemilihan pimpinan.
"Para kepala suku liar itu sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan kesempatan dengan adanya pemberontakan yang terjadi di Sanhaikoan untuk membonceng keadaan dan mulai gerakan mereka ke selatan untuk menghidupkan kembali kekuasaan bangsa utara. Pertama-tama mereka akan menyerang para pemberontak dan mengambil alih kota-kota yang sudah diduduki oleh para pemberontak, menyusun kekuatan dan bergerak terus ke selatan."
Demikian dia mengakhiri ceritanya. Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ah, kalau begitu, sama dengan kita melibatkan diri ke dalam urusan pemerintah dan pemberontakan. Padahal, bukan demikian maksud kita semula. Kita hanya bergerak untuk menentang Raja Iblis,"
Kata Gobi Sanjin, kakek berjubah pendeta, jubahnya bersih dan baru, mukanya hitam dan matanya lebar menambah kegagahan kakek berusia tujuh puluh tahun yang tubuhnya tinggi besar ini.
"Kalau saja kita bisa menyerbu Raja Iblis dan antek-anteknya selagi mereka itu berada di tempat persembunyian Raja Iblis, tentu kita tidak perlu berurusan dengan pasukan pemerintah maupun pasukan pemberontak. Muridku telah berhasil menemukan tempat persembunyian Raja Iblis itu. Cia Sun, ceritakan pengalamanmu."
Cia Sun bangkit berdiri dan dia bercerita tentang gedung kuno di lereng bukit yang merupakan tempat persembunyian dan pertapaan Raja dan Ratu Iblis.
"Akan tetapi, kiranya akan sukar menemukan mereka di tempat itu,"
Katanya sebagai penutup penuturannya.
"Setelah kota Sanhaikoan mereka rampas, tentu Raja Iblis dan para kaum sesat itu ikut memasuki kota untuk mempertahankan kota itu."
"Biarpun demikian,"
Bantah Gobi Sanjin.
"kalau sampai pasukan pemberontak itu dipukul hancur, tentu tempat itu menjadi tempat pelarian Raja Iblis dan Cap-sha-kui. Nah, kalau mereka sudah lari ke sana, barulah kita dapat menyergap dan menyerang mereka tanpa adanya campur tangan pasukan."
"Semua itu tidak penting,"
Wuyi Lojin berkata.
"yang penting sekarang adalah bagaimana kita akan bertindak selanjutnya. Sayang bahwa muridku belum datang memberi laporan."
Tiba-tiba Hui Song bangkit berdiri dan berkata,
"Locianpwe, saya telah bertemu dengan nona Ceng Sui Cin. Ia kini membantu nenek Yelu Kim yang telah diangkat menjadi pemimpin para kepala suku. Ia berpendapat bahwa untuk menentang Raja Iblis yang sudah bergabung dengan pasukan pemberontak, harus dilakukan dengan menggunakan pasukan pula. Karena itu, ia akan membantu para suku liar kalau mereka menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutu Raja Iblis."
"Bagus sekali!"
Wuyi Lojin berkata girang.
"Ah, muridku memang cerdik. Melihat keadaannya sekarang, tidak ada lain jalan bagi kita untuk menentang Raja Iblis kecuali dengan jalan membantu pasukan-pasukan yang menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutunya itu. Kita harus berpencar, dan masing-masing mengambil jalan dan cara sendiri, baik secara perseorangan maupun bergabung dan membantu pasukan pemerintah atau pasukan mana saja yang menentang Raja Iblis dan sekutunya."
Semua orang merasa setuju dengan usul ini. Memang kebanyakan para pendekar lebih suka bekerja sendiri-sendiri secara bebas, tidak ditentukan oleh siasat suatu pimpinan, walaupun tujuan dari gerakan mereka mempunyai arah yang sama dan tertentu, yakni menentang kekuasaan Raja Iblis.
Maka, mendengar ucapan para tokoh tua itu, mereka menerimanya dengan gembira. Hanya Ciu-sian Lokai seorang yang tidak kelihatan gembira. Kemuraman tipis menyelubungi wajahnya yang biasanya gembira itu. Dia merasa kecewa karena muridnya, Siangkoan Ci Kang, tidak muncul dalam pertemuan itu. Akan tetapi, dia tidak mau memperlihatkan kekecewaannya ini dan dia hanya menggunakan pandang matanya untuk melihat-lihat ke sekeliling tempat itu dengan harapan kemunculan Ci Kang yang amat dlharapkannya. Tiba-tiba sepasang matanya mengeluarkan sinar, bukan karena melihat Ci Kang, melainkan karena dia melihat gerakan orang-orang di luar tembok bekas benteng itu dan sebagai seorang pendekar yang banyak pengalaman, gerakan orang-orang ini dapat ia duga apa artinya. Kakek ini tiba-tiba meloncat ke depan dan menginjak-injak api unggun sambil berseru,
"Semua berpencar! Kita dikepung!"
Mendengar ini dan melihat sepak terjang Ciu-sian Lokai, semua orang terkejut. Para tokoh tua yang melihat betapa orang seperti Ciu-sian Lokai nampak gugup dan tegang, mengerti bahwa tentu keadaannya gawat, maka merekapun cepat turun tangan membantu memadamkan api unggun.
"Berpencar dan bersembunyi!"
Teriak Gobi Sanjin.
"Lihat dulu siapa mereka! Kalau pasukan sekutu Raja Iblis, kita lawan mati-matian!"
Kata pula Wuyi Lojin.
"Buka jalan darah dan usaha menyelamatkan diri masing-masing!"
Teriak Siangkiang Lojin yang maklum bahwa kalau pasukan yang datang dalam jumlah yang amat banyak, melawanpun tidak akan menguntungkan. Tiba-tiba terdengar bunyi terompet disusul derap kaki banyak orang dan benar saja, tempat itu telah dikepung oleh sedikitnya seribu orang perajurit yang kini menyerbu ke dalam benteng kuno itu sambil bersorak-sorak. Dengan senjata golok atau pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri, pasukan itu menyerbu ke dalam benteng, dipimpin oleh beberapa orang yang amat lihai gerakannya.
Tentu saja para pendekar yang sudah siap itu lalu menyambut dengan perlawanan mati-matian dan terjadilah pertempuran yang amat seru dan hebat di dalam pekarangan luas itu, dalam cuaca yang remang-remang karena hanya disinari bulan purnama. Pasukan yang menyerbu itu dipimpin oleh Gui Siang Hwa, lalu nampak orang-orang yang aneh pakaiannya dan perawakannya, namun mereka ini memiliki gerakan yang amat lihai. Mereka ini adalah orang-orang Cap-sha-kui dan para datuk sesat lain. Kiranya Raja Iblis telah mengetahui adanya pertemuan para pendekar itu sebagai hasil penyelidikan Siang Hwa dan pembantunya. Gadis murid Raja Iblis yang amat cerdik ini memang amat lincah dan pandai menyebar orang-orangnya. Mendengar adanya pertemuan para pendekar di daerah utara, Raja Iblis lalu mengirim pasukan dari Sanhaikoan berjumlah seribu orang lebih yang dibantu dan dipimpin oleh Siang Hwa dan para datuk Cap-sha-kui.
Raja Iblis menghendaki agar semua pendekar yang berada di benteng tua Jeng-hwa-pang itu ditumpas habis. Di sebelah Siang Hwa nampak seorang pemuda tampan yang juga amat gagah gerakannya. Pemuda ini adalah Sim Thian Bu! Seperti kita ketahui, Sim Thian Bu adalah murid mendiang Siangkoan Lojin atau Iblis Buta. Bagaimanakah murid itu malah membantu pasukan Raja Iblis, padahal gurunya tewas di tangan Ratu Iblis? Agaknya Sim Thian Bu tidak menaruh dendam atas kematian gurunya. Beberapa hari yang lalu, pada suatu pagi, dia yang melakukan perjalanan seorang diri tiba di lereng sebuah bukit yang amat sunyi, di sebuah padang rumput. Tiba-tiba Thian Bu berpapasan dengan Siang Hwa yang menunggang kuda.
Biarpun dia sedang berjalan kaki dan penunggang kuda itu membalapkan kuda dengan cepat, namun Thian Bu yang mata keranjang itu dapat melihat bahwa penunggang kuda itu adalah seorang wanita muda yang cantik sekali. Sebaliknya, biarpun ia sedang sibuk dengan segala urusan pemberontakan yang dibantunya, namun melihat seorang pemuda gagah dan ganteng berada seorang diri di tempat sunyi itu, Siang Hwa segera merasa tertarik sekali. Ia menghentikan kudanya dan memutar kudanya, menjalankan kuda itu menghampiri Thian Bu. Pemuda inipun sudah merasa amat tertarik dan gembira sekali, maka setelah Siang Hwa menghentikan kudanya di depannya, dia memandang sembil tersenyum. Mereka saling pandang, saling memperhatikan dan keduanya tersenyum, terpesona oleh keanggunan masing-masing.
"Selamat pagi, nona!"
Thian Bu yang memang jagoan dalam menghadapi dan mengambil hati wanita itu berkata dan memberi hormat dengan sikap sopan, wajahnya berseri penuh keramahan.
"Sungguh mengejutkan sekali bertemu dengan seorang wanita cantik jelita seperti nona di tempat seperti ini. Suatu kejutan yang amat menggembirakan hati. Dari mana hendak ke manakah nona yang sendirian saja di tempat liar ini?"
Siang Hwa tersenyum, senyum manis yang penuh daya pikat. Ia senang sekali melihat sikap pemuda tampan itu.
"Pertanyaan yang sama benar dengan yang berada dalam hatiku. Siapakah engkau yang berada seorang diri di tempat sunyi ini?"
Thian Bu tertawa gembira. Seorang wanita yang selain cantik dan menggairahkan, juga tidak pemalu. Dan melihat pedang yang tergantung di punggung itu, dia dapat menduga bahwa wanita ini bukan orang lemah, apalagi kenyataan bahwa seorang diri wanita ini berani berkeliaran di tempat liar penuh bahaya itu.
"Nona, aku bernama Sim Thian Bu. Senang sekali berkenalan denganmu. Siapakah namamu, nona dan bagaimana seorang gadis cantik jelita seperti nona dapat berada di tempat liar seperti ini?"
Siang Hwa tersenyum. Pemuda ini sungguh menarik hatinya.
"Engkau sungguh tabah, berani berada seorang diri di tempat ini. Tidak takutkah kau bertemu dengan suku-suku liar? Ataukah engkau termasuk seorang pendekar yang akan menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang?"
"Ha-ha, seorang gadis muda cantik seperti nona tidak takut bersendirian di sini, apalagi seorang laki-laki seperti aku."
"Akan tetapi aku dapat membela diri dengan baik, kaki tanganku dan pedangku akan mampu menghalau semua bahaya yang mengancam diriku."
"Akupun tidak takut akan bahaya, nona, dan selama ini kaki tangankupun mampu melindungi diriku dari ancaman bahaya. Eh, nona belum memperkenalkan diri. Siapakah nama nona yang cantik dan gagah?"
Siang Hwa makin tertarik dan iapun meloncat turun dari atas kudanya, membiarkan kudanya makan rumput yang hijau subur dengan membuka kendali kudanya.
"Aih, benarkah engkau ahli membela diri? Tentu ilmu silatmu tinggi sekali. Nah, mari kita bermain silat sebentar, kalau engkau mampu menandingi aku, barulah aku akan memperkenalkan namaku. Kalau engkau ternyata hanya seorang pemuda biasa saja, tidak perlu aku memperkenalkan nama."
Melihat pemuda yang tampan, nampak gagah dan bersikap menarik dan pandai merayu itu timbul gairah dan kegembiraan dalam hati Siang Hwa. Ia sudah terlalu lama sibuk mengurus Hal-hal yang serius, dan ia membutuhkan hiburan sebagui selingan dan pemuda ini, baik wajahnya, bentuk tubuhnya maupun sikapnya menjanjiken hiburan manis yang menyenangkan. Sebaliknya, Thian Bu adalah seorang mata keranjang yang selalu tertarik apabila melihat wanita cantik, maka sikap Siang Hwa sungguh menggembirakan hatinya. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada bermain cinta dengan seorang wanita cantik, dan bermain silat dengan wanita cantikpun tidak kalah menggembirakannya. Maka diapun lalu meloncat ke belakang mencari tempat yang lebih enak agak menjauhi kuda.
"Mari nona, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, tidak biasa aku bertanding tanpa taruhan. Oleh karena itu, mari kita bertaruh dalam pertandingan silat ini,"
Ajaknya sambil bertolak pinggang dengan sikap gagah. Siang Hwa tersenyum gembira dan menggulung lengan bajunya. Nampaklah sepasang lengan yang berkulit putih bersih dan berbentuk bulat indah. Iapun bertolak pinggang dengan sikap menantang, akan tetapi wajahnya berseri gembira.
"Baik, apa taruhannya?"
"Kalau aku sampai kalah olehmu, maka aku akan menurut segala permintaanmu,"
Jawab Thian Bu.
"Akur! Apapun yang kuperintahkan harus kau taati. Dan kalau aku kalah?"
"Tentu sama juga, semua permintaanku harus kau penuhi."
Keduanya saling pandang dan tersenyum karena mereka sudah sama-sama tahu apa maksud yang tersembunyi di balik teruhan itu.
"Nah, mari kita mulai. Lihat seranganku!"
Siang Hwa membentak dan iapun menyerang dengan cepat, mengayun tangannya menyambar ke arah dada Thian Bu. Pemuda itu melihat datangnya serangan yang amat cepat dan didahului angin pukulan kuat, diam-diam terkejut karena dia tidak menyangka bahwa wanita itu ternyata demikian cepat dan kuatnya. Diapun menggerakkan tangannya menangkis.
"Dukkk..."
Keduanya terpental akan tetapi Sim Thian Bu sampai terhuyung.
"Aihh..."
Kini dia benar-benar kaget dan Siang Hwa tertawa mengejek lalu menyerang lagi. Karena maklum bahwa gadis itu ternyata jauh lebih lihai dari pada yang diduganya, diapun cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menyerang.
Terjadilah pertandingan yang seru dan ramai. Keduanya memang sudah saling tertarik dan tentu saja tidak suka saling melukai, akan tetapi bagaimanapun juga, keduanya ingin keluar sebagai pemenang karena tentu akan lebih senang memerintah dari pada mentaati perintah. Setelah perkelahian berlangsung selama lima puluh jurus, diam-diam Siang Hwa girang sekali. Pemuda ini bukan hanya ganteng, akan tetapi juga cukup lihai sehingga cukup berharga untuk dijadikan kekasih merangkap pembantunya! Sebaliknya, Thian Bu mulai merasa khawatir ketika memperoleh kenyataan pahit bahwa dia tidak mampu mengatasi lawannya. Dia khawatir bahwa kalau sampai dia kalah, wanita ini mengajukan permintaan yang akan memberatkan dirinya dan tidak seperti yang diharapkannya.
Kalau dia menang, tentu dia tidak hanya akan minta wanita itu mengakui namanya, akan tetapi juga akan minta agar wanita itu suka melayaninya dan menjadi kekasihnya untuk beberapa hari lamanya! Maka, diapun mengeluarkan seluruh tenaganya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa dia kalah setingkat. Dia mulai terdesak dan tiba-tiba dalam keadaan terdesak dan menghadapi serangan bertubi-tubi itu, lututnya disentuh ujung sepatu Siang Hwa Thian Bu merasa betapa kaki kanannya kesemutan dan seperti lumpuh, maka ketika tangan Siang Hwa mendorong dadanya, diapun terjengkang dan terjatuh ke atas tanah yang bertilam rumput tebal. Sebelum dia dapat meloncat bangun, Siang Hwa sudah menubruknya, menekan pundaknya dengan jari tangan mengancam ubun-ubun kepalanya dan wanita itu tersenyum menghardik,
"Engkau sudah kalah!"
Melihat sikap dan senyum itu, Thian Bu tersenyum pula.
"Ya, aku sudah kalah. Aku sudah takluk dan akan mentaati permintaanmu."
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus! Nah, kau peluklah aku, kau cintailah aku!"
Thian Bu terbelalak girang, lalu merangkul dan menarik wanita itu ke atas tubuhnya.
"Ha-ha, itulah yang akan kuminta kalau aku menang!"
"Kau kira aku tidak tahu?"
Siang Hwa juga berkata dan balas merangkul. Mereka berciuman dan bergumul di atas rumput tebal di tempat yang sunyi itu. Memang kedua orang ini seperti lalat dengan sampah, cocok satu sama lain sehingga setelah saling bertemu, mereka seperti merasa memperoleh tandingan yang amat cocok dan menyenangkan. Sampai matahari naik tinggi mereka lupa diri dan tenggelam dalam lautan kenikmatan mengumbar nafsu mereka sepuasnya. Setelah puas bermesraan dengan kekasih barunya itu, Siang Hwa mengajak Thian Bu duduk berteduh di bawah pohon. Sambil memegang tangan pemuda itu dan memandangnya dengan sinar mata mesra, ia berkata,
"Sim Thian Bu, engkau adalah murid mendiang Siangkoan Lojin, bukan?"
Bagi Thian Bu, ucapan ini tidak mengejutkan. Nama gurunya memang amat terkenal di dunia dan diapun sejak tadi dapat menduga bahwa wanita yang amat menyenangkan hatinya ini tentu dari golongan sesat. Yang membuat dia merasa tidak enak adalah karena dia sendiri belum mengenal siapa adanya wanita ini, walaupun telah menjadi kekasihnya. Sejak tadi dia menduga-duga siapa gerangan wanita muda yang selain cantik, juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi ini.
"Benar, sayang. Dan engkau sendiri? Ilmu silatmu begitu hebat..."
"Nanti dulu. Aku mendengar bahwa gurumu itu tewas di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya. Benarkah?"
Thian Bu mengangguk, tidak mengerti apa maksud wanita ini bertanya tentang hal itu.
"Apakah engkau tidak menaruh dendam atas kematian gurumu itu?"
Sepasang mata yang jeli namun genit itu memandang penuh selidik. Thian Bu cukup cerdik untuk bersikap hati-hati. Kini dia mulai dapat menduga bahwa tentu wanita ini mempunyai hubungan dekat dengan Raja Iblis, maka diapun menggeleng kepala.
"Mendiang suhu tewas karena dia menentang Toan Ongya, dan itu merupakan kesalahannya sendiri. Dia tidak tahu diri dan tidak mau menerima kehadiran orang yang jauh lebih kuat. Aku sendiri bahkan ingin membantu Toan Ongya, akan tetapi aku takut untuk menghadap karena tentu aku akan dicurigai sebagai murid mendiang suhu yang tewas di tangan beliau."
Giranglah hati Siang Hwa mendengar ini. Ia lalu merangkul dan mencium orang muda itu.
"Kekasihku, jangan khawatir. Ada aku di sini yang akan menanggungmu bahwa engkau pasti akan diterima dengan hati girang oleh Toan Ongya."
"Engkau? Mengapa bisa begitu?"
"Karena aku adalah satu di antara muridnya yang paling dipercaya dan dikasihi."
"Ahh..."
Thian Bu benar-benar terkejut akan tetapi juga girang bahwa dia telah berhasil memikat hati murid terkasih Raja Iblis! "Pantas saja ilmu silatmu begitu hebat. Aku akan senang sekali kalau dapat membantu gurumu, yang berarti akan membantumu dan akan selalu berada di sampingmu."
"Jangan khawatir, mari kita pergi dan mulai saat ini, engkau tidak akan terpisah dariku."
Demikianiah, sejak saat itu, Sim Thian Bu menjadi pembantu Siang Hwa yang paling boleh diandalkan, di samping juga menjadi kekasihnya yang melayaninya setiap saat ia menghendaki. Bahkan ketika dihadapkan kepada Raja dan Ratu Iblis, suhu dan subonya itupun menerima Thian Bu dengan girang. Dan dalam penyerbuan terhadap para pendekar di dalam benteng Jeng-hwa-pang itu Thian Bu juga berada di samping Siang Hwa, membantu dan ikut menyerbu.
Kita kembali ke dalam bekas benteng Jeng-hwa-pang. Penyerbuan yang terjadi secara mendadak itu tentu saja amat mengejutkan dan membuat panik para pendekar. Namun, mereka adalah pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak mau menyerah begitu saja. Begitu pasukan itu menyerbu masuk, mereka melakukan perlawanan dengan gigih. Dan karena rata-rata para pendekar memiliki ilmu silat tinggi, sebentar saja tempat itu penuh dengan tubuh anak buah pasukan yang berserakan dan tumpang tindih. Akan tetapi, jumlah pasukan itu jauh lebih besar dan di antara mereka terdapat pula orang-orang pandai Cap-sha-kui, juga Siang Hwa dan Thian Bu. Oleh karena itu, para pendekar terdesak dan banyak pula di antara mereka yang roboh setelah terlebih dahulu merobohkan beberapa orang perajurit.
Para pendekar terhimpit dan cerai berai, dan terpaksa mencari jalan keluar berdarah untuk menyelamatkan diri. Akhirnya, hanya tokoh-tokoh besar yang memiliki kepandaian tinggi saja di antara para pendekar yang mampu meloloskan diri. Sedikitnya lima puluh orang pendekar tewas di dalam pertempuran itu dan selebihnya lolos. Akan tetapi, mayat-mayat anak buah pasukan pemberontak yang berserakan tewas di situ tidak kurang dari dua ratus orang jumlahnya! Biarpun demikian, Siang Hwa merasa girang sekali dan membawa pulang pasukan ke Sanhaikoan dengan gembira dan merasa telah memperoleh hasil baik membasmi sebagian para pendekar yang menjadi musuh besar gurunya dan golongannya.
Dan di Sanhaikoan mereka disambut dengan girang dan pujian. Dalam kesempatan ini, Siang Hwa menonjolkan jasa Thian Bu sehingga Raja Iblis makin percaya kepada pemuda ini. Bahkan panglima pemberontak Ji Sun Ki juga mempercayakan seribu orang perajurit untuk dipimpin oleh Sim Thian Bu untuk menyerbu dan menduduki dusun-dusun di sekitar Sanhaikoan untuk memperluas dan memperkuat kedudukan mereka di samping merampok bahan-bahan makanan dan ternak untuk ransum. Sanhaikoan telah menjadi kota benteng pemberontak. Pintu gerbangnya dijaga oleh pengawalpengawal pasukan pemberontak dan setiap orang yang memasuki kota itu tentu akan digeledah dan diperiksa. Penjagaan amat ketat. Selain Sanhaikoan, juga dusun-dusun di sekitar daerah itu telah diduduki pasukan pemberontak.
Pada suatu pagi, Sanhaikoan didatangi tiga orang tamu yang disambut dengan amat hormat. Bahkan begitu tiba tiga orang itu diterima di dalam markas. Panglima Ji Sun Ki lalu mengadakan perjamuan kehormatan dan dalam kesempatan ini Raja dan Ratu Iblis sendiri ikut hadir! Siapakah tamu-tamu yang amat dihormati itu? Mereka bertiga kini sudah berada di dalam sebuah ruangan yang luas, menghadapi meja besar panjang, berhadapan dengan Ji Sun Ki sendiri yang berpskaian panglima gemerlapan. Pangeran Toan Jit Ong berpakaian agak pantas, berwarna kuning gading, akan tetapi rambutnya yang putih itu tetap saja riap-riapan, mukanya yang kehijauan nampak serius dan hanya jenggot kumis yang pendek terpelihara rapi itu yang membuat dia nampak agak pantas. Isterinya juga hadir, pakaiannya juga putih dan kuning kainnya baru dan bersih, akan tetapi rambutnya juga masih riap-riapan.
Suami isteri ini duduk dengan sikapnya yang angkuh di sebelah kanan Panglima Ji yang amat menghormati mereka. Di sebelah kiri panglima itu duduk lima orang panglima pembantu dan di deretan lain duduklah orang-orang aneh yang sikapnya menyeramkan. Mereka adalah orang-orang Cap-sha-kui yang kini sudah berkumpul dan menjadi pembantu-pembantu Raja Iblis. Nampak Koai-pian Hek-mo, kakek berusia enam puluh lima tahun yang tinggi besar dan bermuka hitam, mata bulat dan hidungnya besar, mulutnya lebar tertutup kumis dan jenggot yang brewok. Di punggungnya nampak sebatang cambuk baja yang panjang dan ujungnya dipasangi paku. Di sebelahnya duduk Hwa Hwa Kuibo, nenek berusia lima puluh empat tahun yang mukanya memakai kedok hitam dan yang nampak hanya mata, hidung dan bibir saja. Mulutnya besar dan buruk, tubuhnya ramping dan di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kuibo ini adalah tokoh-tokoh muara Huangho dan merupakan tokoh Cap-sha-kui yang terkenal. Kemudian nampak pula Tho-tekwi (Setan Malaikat Bumi), kakek raksasa yang usianya sudah enam puluh tahun lebih. Kakek ini amat menyeramkan, tingginya satu setengah orang biasa, perawakannya serba besar. Pakaiannya hijau agak utuh, tidak compang camping seperti biasanya, kaki tangannya memakai gelang emas yang besar dan berat. Kakek peranakan Nepal bekas pendeta Lama ini duduk melenggut, sikapnya tidak perduli. Masih nampak lagi empat orang laki-laki berusia antara lima puluhan tahun yang pakaiannya seragam seperti orang-orang dari satu pasukan. Semua berjumlah tujuh orang dan memang, Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan) kini tinggal tujuh orang lagi, karena yang enam orang telah tewas.
Tiga orang tamu itu terdiri dari seorang kakek yang sudah amat tua, usianya tentu sudah delapan puluh tahun lebih, akan tetapi dia masih nampak segar dan penuh semangat. Tubuhnya pendek tegap dan kepalanya botak hampir gundul sama sekali, sikapnya dan bicaranya gagah. Sebatang pedang panjang model samurai Jepang tergantung di punggungnya. Kakek ini bukan orang sembarangan. Pernah namanya terkenal di dunia persilatan karena dia pernah menjadi seorang datuk sesat yang amat ditakuti di bagian timur dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur). Dia seorang berbangsa Jepang yang sejak muda sudah tinggal di pantai timur. Nama aselinya Minamoto telah berubah menjadi Bin Mo To. Orang kedua adalah Cia Kong Liang, ketua Cin-Ling-Pai yang menjadi mantu Bin Mo To.
Ketua Cin-Ling-Pai ini sudah berusia lima puluh empat tahun, namun masih nampak tampan dan gagah. Sebagai seorang ketua perkumpulan Cin-Ling-Pai yang terkenal, dia nampak berwibawa dan angkuh, Seperti tidak memandang mata kepada orang-orang aneh di depannya walaupun dia tahu bahwa Raja Iblis dan teman-temannya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Isterinya, yang bernama Bin Biauw, peranakan Jepang Korea itu, duduk di sebelahnya. Wanita yang berusia hampir lima puluh tahun ini berpakaian sederhana, namun nampak gagah dengan pedang yang tergantung di punggungnya. Seperti telah kita ketahui, atas bujukan ayah mertuanya dan isterinya, akhirnya ketua Cin-Ling-Pai ini menyetujui untuk membantu para pemberontak yang hendak menggulingkan Kaisar Ceng Tek yang dianggapnya tidak cakap itu.
Sebagai seorang pendekar, Cia Kong Liang membenci pemerintahan yang penuh dengan koruptor, penuh dengan pembesar-pembesar penindas rakyat dan semua ini adalah kesalahan kaisarnya, Oleh karena itu, dia mau membantu mereka yang berusaha menggulingkan kaisar, agar kerajaan dipimpin oleh kaisar lain yang lebih baik. Tentu saja tidak demikian pendapat ayah mertuanya. Ketua Cin-Ling-Pai ini keras hati dan tindakannya hanya didasari pendapatnya sendiri yang memang tidak menyeleweng dari pada jalan benar. Cia Kong Liang tidak mempunyai pamrih pribadi ketika dia mengunjungi Sanhaikoan. Satu-satunya tujuan yang ada dalam batinnya hanyalah menggulingkan kaisar yang dianggapnya tidak becus agar diganti oleh kaisar lain sehingga kehidupan rakyat akan menjadi lebih baik. Sebaliknya, Bin Mo To dan anak perempuannya mempunyai ambisi besar, yaitu agar ketua Cin-Ling-Pai itu memperoleh kedudukan tinggi apabila gerakan itu berhasil!
Kedatangan tiga orang tamu ini tentu saja menggirangkan hati Panglima Ji dan juga Raja Iblis. Bantuan tiga orang ini amat penting, karena di belakang ketua Cin-Ling-Pai ini terdapat para anggota Cin-Ling-Pai dan sekali Cin-Ling-Pai bergerak besar harapannya akan diikuti pula oleh perkumpulan pendekar yang lain. Dan yang hadir dalam ruangan itu, selain tujuh orang Cap-sha-kui sebagai pembantu-pembantu Raja Iblis masih terdapat beberapa orang pula tokoh-tokoh sesat dan di deretan belakang, sebagai kaum muda, nampak Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa! Setelah berkenalan secara singkat, Cia Kong Liang menyatakan maksud kedatangannya, yaitu hendak membantu gerakan para pemberontak untuk menentang dan menggulingkan kekuasaan kaisar yang dianggap tidak mampu menjadi pemimpin rakyat itu. Ji Sun Ki mendengarkan dengan wajah berseri gembira dan setelah tamunya selesai bicara, dia mengangguk-angguk.
"Alangkah bahagianya hati kami menerima kunjungan Cia Pangcu (Ketua Cia), apalagi mendengar pernyataan pangcu. Memang sesungguhnyalah, kaisar yang sekarang berkuasa adalah kaisar lalim yang dikelilingi oleh menteri-menteri korup dan jahat. Kalau kekuasaan mereka yang duduk di tampuk pemerintahan yang sekarang tidak digulingkan, maka kehidupan rakyat akan menjadi semakin sengsara. Sebaiknya kini kami mohon pendapat Toan Ongya untuk menyambut uluran bantuan Cia Pangcu itu,"
Kata panglima itu sambil menoleh dengan sikap hormat kepada Raja Iblis yang duduk di sebelah kanannya. Pangeran Toan Jit Ong itu mengangguk, kemudian menoleh ke sebelah kanannya memberi isyarat kepada isterinya. Seperti biasa, Raja Iblis ini tidak pernah atau jarang sekali bicara sendiri dan isterinya menjadi wakil pembicara. Ratu Iblis mengangguk dan memandang kepada semua yang hadir dan menghentikan pandang matanya kepada tiga orang tamu itu.
"Perlu cuwi ketahui bahwa selama puluhan tahun Toan Ongya bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan duniawi. Akan tetapi setelah beliau mendengar akan kelaliman kaisar yang masih terhitung cucu beliau sendiri, beliau merasa penasaran dan bertanggung jawab untuk turun tangan. Sungguh kebetulan sekali bahwa beliau dapat bekerja sama dengan Ji-ciangkun sehingga bantuan orang-orang gagah, dapat diharapkan kita bersama akan dapat menyerbu ke selatan dan menggulingkan pemerintahan yang lalim dan lemah itu. Bantuan Cia Pangcu untuk bekerja sama dengan kami sungguh merupakan hal yang amat baik dan mudah-mudahan akan ditiru oleh semua orang gagah di dunia. Dengan persatuan antara kita sambil melupakan urusan pribadi, maka perjuangan ini akan dapat berhasil lebih cepat lagi. Kemudian, mengenai rencana siasat pergerakan kita, harap Ji-ciangkun yang menjelaskan sesuai dengan rencana kita bersama yang telah diambil."
Ratu Iblis lalu mengangguk dengan anggun dan berwibawa. Cia Kong Liang yang semula merasa ragu-ragu melihat keadaan dan sikap pangeran itu dan anak buahnya yang kelihatan kasar-kasar, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan hitam, setelah mendengar ucapan Ratu Iblis merasa tertarik. Dari kata-katanya jelas dapat diketahui bahwa nenek itu adalah seorang terpelajar dan berpengetahuan luas dan sikap Toan Jit Ong juga begitu penuh wibawa, seperti seorang raja besar layaknya. Panglima Ji segera menjelaskan.
"Kita sudah beruntung dapat menduduki Sanhaikoan ini yang dapat kita pergunakan sebagai benteng pusat, juga kita sudah berhasil menduduki dusun-dusun di sekitar daerah Sanhaikoan. Kedudukan kita sudah cukup kuat untuk melanjutkan penyerbuan ke selatan. Akan tetapi sungguh menggemaskan, di utara terdapat pergerakan para suku bangsa Nomad yang agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan bangsa Mongol yang sudah hancur. Oleh karena itu, kita diancam bahaya dari utara. Dan untuk memperkokoh kedudukan, kita harus cepat merampas kota benteng Cengtek. Dengan demikian kita mempunyai dua benteng, Sanhaikoan dapat kita pergunakan untuk menahan serbuan para suku bangsa dari utara, sedangkan benteng Cengtek dapat kita pergunakan sebagai benteng pertahanan untuk bergerak ke selatan."
Mereka lalu mengadakan perundingan, mencari siasat bagaimana akan dapat merampas benteng Cengtek yang dijaga ketat oleh pasukan pemerintah itu. Dalam perundingan itu, ketua Cin-Ling-Pai bersama isteri dan ayah mertuanya juga diikutsertakan, yang menjadi tanda bukti bahwa mereka bertiga itu telah diterima sebagai sekutu!
"Untuk gerakan ini, Toan Ongya telah lama membuat gambaran rencana penyerbuan dan siasat memancing mereka keluar dari sarang,"
Kata Ratu Iblis yang menyampaikan segulung kertas. Ji-ciangkun menerima gulungan kertas itu lalu membukanya dan menggantung kertas yang sudah dibuka itu agar semua yang hadir dapat melihat dengan jelas.
Melihat gambar siasat penyerbuan itu, Cia Kong Liang merasa kagum. Di situ digambarkan siasat yang diatur oleh Pangeran Toan Jit Ong. Dengan gambar dan tulisan dijelaskan siasat itu. Pertama-tama pasukan yang tidak besar jumlahnya harus dapat diselundupkan ke kota Cengtek untuk mengatur siasat dan bergerilya membantu pasukan mereka kalau saatnya penyerbuan tiba. Kemudian, pasukan besar dari Sanhaikoan akan meninggalkan benteng Sanhaikoan dengan berpencarpencar dan membuat gerakan seolah-olah hendak meluaskan wilayah dan menyerangi dusun-dusun di empat penjuru. Yang ditinggalkan di benteng hanya seperempat saja dari jumlah pasukan mereka,
Karena benteng Sanhaikoan sudah dibuat sedemikian kokohnya sehingga musuh yang jumlahnya jauh lebih besar sekalipun tidak akan mudah menjatuhkan benteng itu. Sementara itu, tiga perempat dari pasukan itu yang tadinya meninggalkan benteng dan dipencar, diam-diam bersatu kembali dan menanti kesempatan baik. Kalau diketahui oleh para pemimpin pasukan pemerintah di Cengtek bahwa benteng Sanhaikoan ditinggalkan oleh sebagian besar pasukan pemberontak, tentu Cengtek akan mengirim pasukan untuk menggempur dan merampas kembali benteng itu. Nah, dalam kesempatan inllah pasukan yang tiga perempat jumlahnya dan sudah bersatu itu lalu mengadakan penyerbuan kilat ke Cengtek, dibantu oleh mata-mata yang sudah menyelundup ke dalam kota Cengtek.
"Rencana siasat yang bagus sekali!"
Ji-ciangkun berkata gembira.
"Dan untuk tugas penyelundupan ke Cengtek, kami mohon bantuan Cia-pangcu dan para pendekar Cin-Ling-Pai. Dapatkah pangcu membantu?"
"Tentu saja Cia-pangcu dapat membantu!"
Bin Mo To yang mendahului mantunya.
"Memang para anggota Cin-Ling-Pai sudah siap di luar."
Memang, ketua Cin-Ling-Pai itu sudah mempersiapkan lima puluh orang anggota Cin-Ling-Pai untuk membantu gerakan pemberontakan itu dan mereka telah siap menanti di luar kota benteng Sanhaikoan. Segera mereka dihubungi dan malam hari itu juga pasukan istimewa Cin-Ling-Pai ini dijamu dengan penuh penghormatan. Dan beberapa hari kemudian, siasat itu dijalankan dengan baiknya. Pasukan di Cengtek yang dipimpin oleh Bhe-ciangkun terpancing,
Ketika para penyelidik melaporkan adanya gerakan besar-besaran dari pasukan pemberontak yang meninggalkan benteng sehingga benteng di Sanhaikoan hampir kosong. Panglima Bhe yang masih menanti keputusan dari kota raja atas laporannya bahwa Ji-ciangkun dari Sanhaikoan memberontak dan menguasai Sanhaikoan, melihat kesempatan baik untuk merebut kembali kota benteng itu. Maka diapun mengerahkan pasukannya untuk menyerang Sanhaikoan. Akan tetapi benteng ini ternyata amat kuat walaupun hanya dijaga oleh pasukan pemberontak yang tidak begitu banyak jumlahnya. Dan selagi pasukan pemerintah sibuk berusaha merampas kembali Sanhaikoan, diterima berita bahwa benteng Cengtek diserbu oleh pasukan pemberontak yang kuat sekali! Dan dalam waktu semalam saja benteng itu jebol dan diduduki oleh pasukan pemberontak!
Tentu saja pasukan pemerintah menjadi kacau, apalagi ketika sebagian dari pasukan yang merampas Cengtek itu lalu dipergunakan oleh Ji-ciangkun untuk menyerang pasukan pemerintah dari belakang. Terpaksa Bhe-ciangkun menarik mundur pasukannya dan melarikan diri ke selatan sampai di Tembok Besar dan cepat mengirim berita ke kota raja untuk minta bantuan. Cin-Ling-Pai mempunyai jasa besar dalam penyerbuan kota Cengtek karena perkumpulan orang gagah inilah yang dipimpin sendiri oleh Cia Kong Liang, isteri dan mertuanya, yang menyelundup ke dalam kota Cengtek. Ketika terjadi penyerbuan, mereka telah membantu dari dalam, membakari tempat-tempat penting, menyerang pembesar-pembesar sehingga kekacauan ini menyebabkan pertahanan kota Cengtek menjadi lemah dan mudah ditundukkan dan dirampas.
Untuk menyenangkan hati para pendekar Cin-Ling-Pai, atas petunjuk Raja Iblis, Ji-ciangkun lalu mengangkat Cia Kong Liang sebagai pimpinan pasukan keamanan di kota itu, sedangkan para anggota Cin-Ling-Pai diangkat menjadi perwira-perwira pasukan keamanan kota Cengtek. Mereka itu, dari para murid sampai kctuanya, bertugas dengan penuh disiplin dan semangat tinggi, merasa bahwa mereka telah menjadi pejuang-pejuang yang menegakkan keadilan dan menentang pemerintah lalim demi kebaikan rakyat dan negara. Hanya Bin Mo To dan puterinya yang diam-diam merasa gembira dengan pengangkatan itu. Ini merupakan permulaan yang baik bagi Cia Kong Liang untuk menuju ke tangga kedudukan yang kelak tentu akan jauh lebih tinggi kalau pemberontakan itu berhasil.
Bin Mo To yang diam-diam telah mengadakan kontak dengan Raja Iblis dapat menyimpan rahasianya dan ketika berjumpa di Sanhaikoan, dia berpura-pura tidak mengenal pangeran itu. Kakek ini memang sejak puterinya menikah dengan Cia Kong Liang, tidak lagi terjun ke dalam dunia kejahatan, akan tetapi bagaimanapun juga dia tidak mampu melawan dorongan ambisinya untuk melihat anak mantunya menjadi seorang yang berkedudukan tinggi sehingga dia sendiri otomatis akan terangkat martabatnya. Setelah Cengtek terjatuh ke tangan para pemberontak, kekuasaan para pemberontak menjadi semakin besar dan mereka semakin rajin menyerbu ke dusun-dusun. Yang paling rajin di antara para pembantu Ji-ciangkun adalah Sim Thian Bu. Orang ini selain menjadi kekasih Siang Hwa, juga menjadi kepercayaan Raja Iblis dan Ji-ciangkun karena memang sudah banyak jasanya.
Sim Thian Bu selama ini memperlihatkan kesetiaannya dan kesungguan hatinya dalam membantu pasukan pemberontak menaklukkan dusun-dusun dan melakukan perampokanperampokan. Oleh karena itu dia dipercaya memimpin pasukan besar sebanyak seribu orang, bahkan dia boleh menentukan sendiri gerakan-gerakan aksinya ke dusun-dusun. Thian Bu tidak mau sembarangan menyerang dusun-dusun yang miskin. Dia selalu menyelidiki lebih dabulu apakah terdapat Hal-hal yang menguntungkan bagi penyerbuan pasukannya. Kalau di dusun itu terdapat harta kekayaan, atau setidaknya ternak atau bahan makanan, terutama sekali kalau terdapat wanita-wanitanya yang muda, tentu dia akan mengerahkan anak buahnya menyerbu. Pada suatu pagi, Sim Thian Bu menunggang kuda seorang diri.
Dia mendengar dari seorang penyelidiknya bahwa ada serombongan orang suku bangsa Mancu memasuki sebuah dusun yang sudah kosong karena semua penghuninya telah pergi, yaitu sisa dari mereka yang terbunuh oleh pasukannya. Yang tinggal hanya sisa-sisa rumah mereka yang sudah rusak dan sebagian terbakar. Mendengar berita bahwa rombongan itu terdiri dari kurang lebih seratus orang dan dalam rombongan terdapat banyak wanita cantik, hati Sim Thian Bu tergerak. Maka, pada pagi hari itu dengan menunggang kuda dia pergi sendiri melakukan penyelidikan. Dusun itu berada di sebuah lereng bukit, tidak begitu jauh dari Cengtek. Sebuah dusun yang keadaannya amat menyedihkhn karena hanya tinggal belasan orang pondok yang masih utuh, selebihnya sudah menjadi puing bekas dibakar.
Ketika memasuki dusun itu, Thian Bu memandang dengan senyum bangga karena keadaan dusun itu merupakan hasil atau bekas tangan pasukannya. Lumayan juga hasil yang diperolehnya dari dusun ini ketika dirampoknya dua pekan yang lalu karena di situ terdapat serombongan pengungsi dari utara yang membawa harta benda cukup banyak. Puluhan ekor kuda yang ditambatkan di lapangan rumput dekat dusun membuat Thian Bu memandang dengan gembira. Baru puluhan ekor kuda itu saja sudah akan menjadi hasil serbuan yang lumayan. Kemudian ada pemandangan lain yang menggirangkan hatinya, yaitu jemuran pakaian-pakaian wanita yang indah-indah! Dia meloncat turun, menambatkan kudanya pada sebatang pohon dan memasuki dusun itu sambil berindap dan menyelinap di antara pohon-pohon.
Kemudian dia mulai melihat beberapa orang laki-laki berjalan keluar dari dalam pondok. Mereka adalah orang-orang Mancu dan melihat pakaian mereka yang serba bagus, dia dapat menduga bahwa rombongan itu merupakan makanan yang berdaging. Tiba-tiba perhatian Thian Bu tertarik kepada lima orang wanita yang baru muncul dari dalam pondok sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau. Sepasang mata Thian Bu terbelalak. Wanita-wanita itu muda-muda, antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, dan semua cantik-cantik. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa di tempat seperti itu dia akan dapat melihat demikian banyaknya wanita muda cantik. Wanita-wanita muda bangsa Mancu yang cantik dan berpakaian indah-indah, memakai perhiasan badan dari emas permata!
Pendekar Sadis Eps 9 Pendekar Sadis Eps 8 Pendekar Sadis Eps 42