Si Bangau Merah 21
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
"Omitohud! Pinceng sebagai wakil pimpinan Hek I Lama, berterima kasih sekali kalau Toa-nio yang datang sebagai utusan dan wakil Pek-lian-kauw memberi petunjuk kepada kami."
Tentu saja perhatian Sian Li dan Sian Lun menjadi semakin besar ketika mendengar ucapan Lulung Lama itu. Kiranya tiga orang wanita cantik itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw!
Mereka berdua sudah banyak mendengar tentang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yaitu segolongan orang dengan agama yang aneh dan yang memiliki banyak tokoh lihai, dan mereka terkenal sebagai pemberontak-pemberontak yang gigih. Namun sayang, biarpun mereka memberontak terhadap pemerintah penjajah, namun nama Pek-lian-kauw bukan nama yang bersih dan disuka rakyat, karena banyak di antara tokoh mereka suka melakukan segala macam kejahatan berkedok perjuangan juga agama mereka merupakan agama yang aneh, yang menyimpang dari induknya, yaitu Agama Buddha, dan banyak melakukan perbuatan sesat. Inilah sebabnya mengapa Pek-lian-kauw selalu bergerak sendiri, tidak memperoleh dukungan para pendekar patriot, lebih dekat dengan tokoh-tokoh sesat di dunia kang-ouw.
"Kami Pek-lian Sam-li (Tiga Wanita Teratai Putih) telah menyerahkan surat kuasa sebagai wakil Pek-lian-kauw kepada pimpinan Hek I Lama. Kami diberi wewenang untuk menghadiri pertemuan ini, menyelidiki dan memutuskan apakah Pek-lian-kauw menganggap patut untuk bekerja sama dengan kalian, Pek-lian-kauw sejak dahulu menentang pemerintah penjajah dan kami adalah pejuang-pejuang yang pantang mundur. Maka, kami ingin mengetahui lebih dulu apakah kalian ini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu, sebelum kami menyatakan suka bekerja sama."
Kembali Ji Kui, wanita itu yang merupakan saudara paling tua dari mereka bertiga, mengerling ke arah Gulam Sing yang juga memandang kepada tiga orang wanita itu sambil tersenyum-senyum. Gulam Sing ini terkenal sebagai seorang laki-laki yang selalu haus wanita, maka tentu saja kehadiran tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu sejak tadi sudah amat menarik perhatiannya.
"Ucapan Pek-lian Sam-li wakil Pek-lian-kauw itu benar!"
Tiba-tiba terdengar suara lantang dan ternyata yang bicara adalah seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih yang pakaiannya penuh tambalan. Dia adalah seorang tokoh dari dunia pengemis, bertubuh tinggi kurus dan bongkok, dan ketika dia bangkit berdiri, tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam.
"Kami harus tahu benar apakah yang hadir di sini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu. Sebelum tiba di sini, kami banyak mendengar dan kami merasa heran ketika ada berita bahwa pemerintah Tibet tidak menentang Kerajaan Ceng, bahkan kabarnya Dalai Lama sendiri mengakui pemerintahan penjajah Mancu. Juga kami mendengar bahwa pemerintah Nepal yang resmi tidak menentang penjajah Mancu. Maka, apa artinya gerakan yang diadakan oleh Hek I Lama dan Pangeran Gulam Sing? Sebelum kami menyatakan diri bergabung, kami harus mengetahui dulu dengan jelas seperti yang diucapkan wakil Pek-lian-kauw tadi."
Sehabis bicara, kakek pengemis itu duduk kembali dan suasana menjadi riuh karena orang-orang Han yang berkumpul di situ, banyak di antara mereka yang menyetujui pendapat kakek pengemis itu. Sian Li memandang ke arah kakek itu dengan hati berdebar. Ia mengenal kakek itu! Nampaknya masih sama saja seperti dulu, kurang lebih lima tahun yang lalu.
Tentu saja ia tidak dapat melupakan kakek pengemis itu yang pernah merampasnya dari tangan Hek-bin-houw, bahkan kakek itu membunuh Hek-bin-houw. Kakek itu adalah Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam) dan setelah membebaskan ia dari tangan Hek-bin-houw, kakek pengemis itu hendak mengajak-nya pergi untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, muncul Nenek Bu Ci Sian yang merampasnya. Nenek sakti itu mengalahkan Hek-pang Sin-kai, bahkan melukai paha pengemisitu. Ia ingat benar semua peristiwa itu dan kini ia memandang ke arah pengemis itu penuh perhatian. Mendengar ucapan kakek pengemis itu, Dobhin Lama, Ketua Hek I Lama yang sejak tadi duduk melenggut saja, kini menegakkan tubuhnya dan membuka matanya. Kemudian terdengar suaranya dan dia bicara tanpa bangkit berdiri,
"Siapa yang bicara itu tadi?"
"Kami adalah Hek-pang Sin-kai, Ketua Perkumpuian Pengemis Tongkat Hitam di selatan!"
Kata kakek itu dengan berani, akan tetapi begitu pendeta Lama yang kelihatan lemah itu mengangkat muka memandang kepadanya, begitu dua pasang pandang mata bertemu, kakek pengemis itu terkejut bukan main karena pandang matanya bertemu dengan dua sinar mencorong yang seperti menembus sampai ke jantungnya. Dia tidak tahan memandang lebih lama dan cepat menundukkan mukanya.
"Omitohud, Ketua Hek-pang Kai-pang meragukan kami? Ketahuilah Sin-kai, biarpun Dalai Lama sendiri mengakui kekuasaan Kerajaan Mancu, akan tetapi kami golongan Hek I Lama tidak! Biar pemerintah Tibet tidak bergerak, akan tetapi kami akan bergerak dan kami yakin bahwa rakyat Tibet akan mendukung kami!"
Terdengar suara ketawa dan Pangeran Gulam Sing juga berkata dalam bahasa Nepal, diikuti kalimat demi kalimat oleh penterjemahnya.
"Ha-ha-ha-ha, agaknya Hek-pang Sin-kai ingin mengetahui keadaan orang lain dan menaruh kecurigaan. Terus terang saja, kami memang tidak sejalan dengan pemerintah kami yang berkuasa sekarang di Nepal. Raja terlalu lemah dan tidak berani menentang orang Mancu. Karena itu, kami bergerak sendiri tanpa persetujuan raja. Apa hubungannya urusan pribadi kami ini dengan perjuanganmu membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah Mancu, Sin-kai?"
"Maaf, Pangeran. Tidak ada hubungannya apa-apa, hanya kami merasa heran melihat betapa negara Bhutan yang demikian kecil, tidak bergerak seperti Nepal, untuk menentang Mancu,"
Kata pengemis tua itu pula.
"Omitohud.... agaknya engkau tidak mengetahui keadaan Bhutan, Sin-kai!"
Terdengat Lulung Lama berkata.
"Tentu saja Bhutan tidak menentang Mancu, karena keluarga Kerajaan Bhutan masih ada hubungan darah dengan Mancu! Bahkan yang menjadi sesepuh sekarang di sana, Puteri Gangga Dewi, sekarang menikah dengan seorang keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang masih berdarah Mancu pula."
"Keluarga Pendekar Pulau Es bukan hanya berdarah Mancu, juga musuh-musuh yang selalu mengganggu kita!"
Terdengar teriakan beberapa orang tokoh kang-ouw yang hadir di situ.
"Tentu saja,"
Kata Lulung Ma pula.
"Keturunan Pendekar Super Sakti semua beribu Mancu, bahkan keluarga itu lalu berbesan dengan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Kedua keluarga itu adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa, antek-antek bangsa Mancu yang harus kita basmi!"
Sian Lun sudah bangkit berdiri dengan kedua tangan dikepal,
Akan tetapi Sian Li segera menyentuh lengannya dan menarik pemuda itu duduk kembali sambil memberi isarat dengan gelengankepala. Ia sendiri tentu saja juga marah mendengar betapa keluarga Pendekar Pulau Es dan Pendekar Gurun Pasir dijelek-jelekkan oleh mereka yang hadir. Ia sendiri memiliki darah kedua keluarga itu! Dari ibunya ia mewarisi darah kedua keluarga Kao keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan neneknya adalah keluarga Suma, keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es! Sian Lun sendiri hanya marah karena keluarga gurunya, Suma Ceng Liong, dimusuhi mereka. Dengan menahan kemarahan Sian Lun terpaksa berdiam diri menenuhi permintaan sumoinya. Dia duduk cemberut dan kadang-kadang pandang matanya ke arah pihak tuan rumah bersinar penuh kemarahan.
"Sekarang kami tidak meragukan lagi kesungguhan hati para saudara untuk bekerja sama dengan kami untuk menghadapi Kerajaan Mancu di timur. Kami hanya menghendaki kesungguhan hati, jangan sampai kami dikecewakan lagi seperti yang telah terjadi dengan Thian-li-pang,"
Kata Ji Kui, orang pertama dari Pek-lian Sam-li. Semua orang memandang kepada wanita itu. Mereka yang hadir tahu belaka perkumpulan apakah Thian-li-pang itu. Di samping Pek-lian-kauw, perkumpulan Thian-li-pang merupakan perkumpulan yang terkenal gigih menentang pemerintah Kerajaan Mancu, sejak pemerintah itu menguasai daratan Cina. Bahkan kedua perkumpulan itu diketahui telah bekerja sama dengan baik sekali sehingga sering kali terjadi kekacauan di kota raja bahkan di istana, ditimbulkan oleh mereka berdua. Kenapa sekarang tokoh Pek-lian-kauw itu menjelekkan Thian-li-pang yang dikatakan telah mengecewakan Peklian-kauw?
"Nanti dulu, Toanio,"
Kata Lulung Lama.
"Kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Bukankah Thian-li-pang selalu berjuang menentang Mancu? Bukan-kah selama bertahun-tahun ini Thian-li-pang dikenal sebagai kawan seperjuangan Pek-lian-kauw?"
"Itu memang benar, dahulu. Akan tetapi sekarang, keadaan sudah lain sama sekali. Selama beberapa tahun ini, Thian-li-pang sudah berubah, sudah menyeleweng!"
"Benarkah itu, Nona?"
Tanya Hek-pang Sin-kai heran.
"Aku masih mendengar bahwa Thian-li-pang tetap berjuang melawan pemerintah penjajah Mancu, bahkan akhir-akhir ini gerakan mereka bertambah kuat."
"Huh, mereka itu orang-orang yang tidak mengenal budi, orang-orang yang tidak mempunyai perasaan setia kawan. Dahulu, kami dari Pek-lian-kauw yang membantu mereka, kami bekerja sama dengan baik. Akan tetapi sekarang, setelah Lauw Kang Hui yang menjadi ketua, mereka itu menjadi sombong, mereka memisahkan diri dan tidak mau mengakui lagi Pek-lian-kauw sebagai teman seperjuangan. Mereka berlagak pendekar dan suka menghina orang. Tidakkah itu amat mengecewakan? Kami tidak mau lagi kalau sampai kerja sama dengan kalian ini akhirnya kelak hanya akan merugikan dan mengecewakan kami seperti Thian-li-pang."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona!"
Kata Pangeran Gulam Sing, dalam bahasa Han bercampur Nepal karena baru beberapa tahun dia mempelajari bahasa Han, sehingga ia selalu dikawal seorang penterjemah.
"Kami berjanji akan membantu Nona kelak memberi hajaran kepada Thian-li-pang yang sombong dan tidak mengenal setia kawan itu, ha-ha!"
Pangeran Nepal yang ganteng itu mengelus kumisnya yang melintang gagah dan matanya bersinar-sinar ditujukan kepada tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw itu. Tiga orang wanita muda itu tersenyum. Ji Hwa, orang ke dua yang kulitnya putih mulus dan wajahnya cantik, tersenyum dan suaranya terdengar basah ketika bicara dengan suara mendesah.
"Pangeran, harap jangan pandang rendah Thian-li-pang. Disana banyak terdapat tokoh yang amat lihai!"
"Benar sekali kata Enci ke dua itu, Pangeran,"
Kata Ji Kim, wanita ke tiga yang selain jelita, juga lincah jenaka dan cerdik sekali.
"Ketuanya yang bernama Lauw Kang Hui itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sungguh tidak boleh dipandang ringan!"
Pangeran Gulam Sing tertawa dan nampaklah giginya yang putih dan kuat.
"Ha-ha-ha, kami tidak memandang rendah Nona-nona yang baik. Kami hanya menyatakan ingin membantu kalian menghadapi Thian-li-pang. Dan tentang kelihaian mereka, kita tidak perlu takut karena kita pun bukan orang-orang lemah. Aku sendiri pun, biar bodoh, mempunyai juga sedikit tenaga untuk disumbangkan membantu kalian dalam segala hal, ha ha!"
Setelah berkata demikian, pangeran yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat itu, meng-hampiri sebuah arca singa besi yang berada di sudut ruangan itu. Singa besi itu jelas amat berat dan sedikitnya membutuhkan tenaga sepuluh orang untuk mengangkatnya!
Akan tetapi, Pangeran Gulam Sing membungkuk, memegang benda itu dengan kedua tangannya dan sekali dia mengeluarkan suara bentakan nyaring, benda itu diangkatnya di atas kepala! Tentu saja semua orang memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, kekagetan dan kekaguman. Setelah pangeran itu menurunkan singa batu di tempatnya kembali dan hanya mukanya menjadi kemerahan dan napasnya agak memburu, semua orang bertepuk tangan memuji. Memang jarang ada orang memiliki tenaga gajah seperti pangeran itu, Sian Li dan Sian Lun diam-diam terkejut juga tahulah mereka bahwa pangeran itu akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya. Tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu pun menyambut dengan tepuk tangan dan mereka tersenyum-senyum gembira.
"Aihh kiranya Pangeran memiliki tenaga yang amat kuat, lebih kuat daripada kuda!"
Ji Kui memuji. Pangeran itu tertawa.
"Ha-ha-ha, untuk Nona bertiga, setiap saat kami siap untuk menggunakan tenaga kuda kami!"
Kini Lulung Lama bangkit berdiri dan memberi isarat agar semua orang tenang, kemudian dia berkata,
"Terima kasih, kami gembira sekali melihat bahwa saudara sekalian agaknya sudah siap untuk bekerja sama dengan kami. Masih adakah di antara para tamu yang ingin mengemukakan pendapatnya? Silakan!"
Lulung Lama sengaja memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi kembali Sian Li menyentuh lengan Sian Lun yang sudah gatal mulut untuk bicara itu. Pada saat itu, seorang laki-laki Han berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, bangkit dan bicara dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.
"Bersatu untuk bekerja sama dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu memang mudah dibicarakan, akan tetapi pelaksanaannya menentang pemerintah Mancu amatlah berbahaya dan sukar. Kaisar Kian Liong yang sekarang menjadi Kaisar telah berusaha mendekati dan menggandeng para tokoh pendekar di dunia persilatan sehingga mereka itu tidak mau menentang Kaisar, apalagi membantu usaha perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan Mancu. Masih banyak sekarang ini para pendekar yang berubah menjadi penjilat penjajah Mancu. Dan selama para pendekar penjilat itu tidak dibasmi terlebih dahulu, tentu mereka akan menjadi penghalang perjuangan kita."
"Pendapat itu tepat dan benar sekali!"
Tiba-tiba Ji Kui berseru dengan lantang dan penuh semangat.
"Kalau tidak karena ulah para pendekar penjilat, terutama keturunan pendekar Pulau Es dan pendekar Gurun Pasir, tentu telah lama keluarga Kaisar dapat kami basmi! Beberapa tahun yang lalu. ketika Thian-li-pang masih bekerja sama dengan kami, kami telah berhasil mendekati Siang Hong-houw, bahkan putera Ketua Thian-li-pang dan Ang I Moli, seorang tokoh murid Pek-lian-kauw telah berhasil diselun-dupkan ke istana dan nyaris berhasil membunuh para pangeran kalau saja tidak digagalkan oleh Gangga Dewi dan suaminya, yaitu Suma Ciang Bun, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Jelaslah bahwa orang-orang dari keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir merupakan penghalang besar bagi perjuangan kita!"
Lulung Lama tertawa dan dia bersama muridnya, Cu Ki Bok kini memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.
"Ha-ha, belum tentu, Toanio,"
Katanya.
"Belum tentu kalau semua keturunan kedua pendekar itu sudi menjadi antek dan penjilat penjajah Mancu. Di sini hadir pula dua orang muda gagah perkasa yang berhubungan dekat dengan Gangga Dewi. Kami tidak yakin bahwa mereka berdua ini sudi menjadi antek penjilat orang Mancu. Liem-sicu dan Tan-lihiap, bagaimana pendapat kalian?"
Tentu saja semua orang menoleh dan memandang kepada Sian Li dan Sian Lun yang diperkenalkan sebagai orang yang dekat dengan Gangga Dewi dan ada hubungan dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu. Sian Lun yang sejak tadi sudah hampir tidak kuat menahan kemarahannya mendengar keluarga gurunya dimaki-maki, dan hanya menahan kemarahannya karena dilarang sumoinya, kini mendapat kesempatan dan dia pun meloncat berdiri dan mengepal tinju.
"Kami bukan penjilat pemerintah Mancu, juga kami bukan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Akan tetapi, aku sebagai murid keluarga Pulau Es, siap untuk menandingi siapa saja yang berani menghina keluarga Pulau Es!"
Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan sumoinya, dia sudah melompat ke tengah ruangan itu, di depan meja tuan rumah. Melihat kenekatan suhengnya, tentu saja Sian Li merasa khawatir karena gadis ini maklum sepenuhnya bahwa di tempat itu berkumpul banyak lawan yang pandai sekali. Maka, ia pun harus melindungi dan membela suhengnya dan ia pun sudah melompat ke dekat Sian Lun.
"Suheng berkata benar!"
Katanya.
"Kalian telah terlalu banyak memandang rendah dan menghina keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Nah, ini aku keturunan kedua keluarga itu, siap untuk membela kehormatan dan nama kedua keluargaku itu, menandingi siapa saja yang berani menghina!"
Melihat munculnya pemuda dan gadis yang mengaku sebegai keluarga Pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir, bahkan yang berani menantang, para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang sebagian besar mendendam kepada dua keluarga besar itu, segera menjadi gaduh.
"Bunuh pengkhianat!" "Basmi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir"
"Tangkap mereka, tentu telah memata-matai kita!"
Teriakan-teriakan terdengar dan agaknya mereka semua sudah siap untuk mengeroyok Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi, terdengar seruan Gulam Sing.
"Lulung Lama, bagaimana kalau aku saja yang menghadapi nona cantik dan gagah ini? Bukankah ia yang pernah kau ceritakan kepadaku tempo hari?"
Lulung Lama menoleh kepada pangeran itu dan mengangguk.
"Baiklah, Pangeran. Memang sebaiknya seorang di antara kita yang maju. Memalukan kalau harus maju keroyokan,"
Katanya.
"Dan pemuda itu serahkan kepada kami untuk menangkapnya!"
Kata Pek-lian Sam-li dan ketiga orang wanita muda itu sudah berloncatan menghadapi Sian Lun dengan kerling yang memikat dan
(Lanjut ke Jilid 20)
Si Bangau Merah (Seri ke 15 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 20
senyum yang manis. Melihat ini, Gulam Sing tertawa.
"Ha-ha-ha, tiga orang nona yang jelita! Pemuda itu hanya seorang, bagaimana kalian dapat membaginya? Bukankah sudah ada aku? Ha-ha!"
Pangeran yang mata keranjang ini tanpa malu-malu di depan banyak orang mengeluarkan ucapan yang mengandung arti tak senonoh itu.
"Pangeran, mari kita berlumba, siapa di antara kita yang dapat lebih dulu menangkap lawan, kami bertiga atau engkau, tanpa melukai!"
Tantang Ji Kui.
"Taruhannya, siapa kalah cepat harus menurut kehendak yang menang. Setuju?"
Melihat pandang mata penuh tantangan dan senyuman penuh ajakan itu, Pangeran Gulam Sing mengangguk,
"Setuju!"
Sian Li dan Sian Lun yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh apalagi mereka berada di sarang musuh dan setiap saat mereka dapat menghadapi pengeroyokan, sudah mencabut pedang mereka.
"Pangeran sombong, majulah kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!"
Sian Li membentak. Pangeran itu tertawa dan mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung seperti bulan sabit. Melihat lawan sudah siap siaga dengan golok di tangan, Sian Li sudah meloncat ke depan dan melakukan serangan yang dahsyat sakali.
"Tranggg....!"
Pangeran itu menangkis dengan babatan goloknya, dan biarpun Sian Li sudah maklum akan kuatnya tenaga lawan, ia tetap saja terkejut ketika pedang itu hampir terlepas dari pegangan tangannya. Pedang itu terpental dan telapak tangannya yang berhasil menahan gagang pedang terasa panas. Melihat ini, terdengar suara tawa di sana sini dan pangeran itu pun tertawa bergelak. Sian Lun yang dihadapi Pek-lian Sam-li, biarpun mendongkol sekali karena lawan bersikap curang dan belum apa-apa sudah hendak mengeroyoknya, tidak mau banyak cakap lagi. Tidak ada gunanya mencela dan memprotes orang-orang macam itu, apalagi tiga orang wanita ini adalah orang-orang Pek-lian-kauw. Sambil membentak nyaring pedangnya sudah berkelebat menjadi gulungan sinar yang menyambar ke arah tiga orang wanita itu.
Pek-lian Sam-li juga telah mencabut pedang mereka dan mereka pun mengepung dengan bentuk barisan Segi Tiga, den ternyata gerakan mereka lincah sekali dan bagaikan tiga ekor kupu-kupu mengepung setangkai bunga, mereka berloncaten ke sana sini, membuat Sian Lun sukar sekali untuk dapat mengarahkan serangannya. Sian Li juga segera terdesak karena ia tidak berani mengadu senjata. Hal ini tentu saja membuat pangeran itu menang angin dan dia pun mendesak sambil tertawa-tawa karena dia ingin lebih dulu menangkap lawannya untuk mendahului Pek-lian Sam-li. Dengan demikian, dia tidak hanya akan menguasai gadis cantik berpakaian merah ini, akan tetapi juga dia akan membuat tiga orang wanita genit itu membayar kekalahan mereka dengan mentaatinya! Betapa akan senangnya dilayani empat orang wanita itu, pikirnya.
Akan tetapi, sementara itu Sian Lun juga sudah terdesak hebat oleh tiga pedang yang mengepungnya. Tingkat kepandaian pemuda ini tidak jauh selisihnya dengan setiap orang dari Pek-lian Sam-li, maka kini dikeroyok tiga tentu saja dia menjadi kewalahan dan repot sekali melindungi tubuhnya dari sambaran tiga gulungan sinar pedang lawan. Pada saat yang amat kritis bagi Sian Lun dan Sian Li, setiap saat mereka akan dapat tertangkap, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan bagaikan seekor rajawali saja bayangan itu menyambar-nyambar, mula-mula ke arah Sian Li dan Gulam Sing yang sedang bertanding. Baik Gulam Sing maupun Sian Li mengeluarkan seruan kaget ketika bayangan itu menggerakkan tangan dan mereka berdua terdorong ke belakang sampai tiga langkah!
Bayangan itu berkelebat ke arah Sian Lun yang dikeroyok tiga dan di sana bayangan itu berputaran dan juga Sian Lun dan tiga orang wanita pengeroyoknya terdorong ke belakang seperti diterjang angin badai. Otomatis, mereka semua menghentikan serangan dan memandang kepada orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Sian Li hampir berteriak saking girangnya melihat seorang laki-laki yang tubuhnya sedang saja namun tegap, rambutnya panjang dibiarkan riap-riapan ke belakang dan sebagian menutupi muka, membantu tirai hitam yang bergantungan dari atas topi capingnya yang lebar. Sukar melihat wajah orang itu, yang nampak hanya kilatan sepasang mata dari balik tirai dan rambut. Pakaiannya sederhana saja seperti pakaian petani namun ringkas, dan dia tidak membawa senjata apa pun.
"Sin-ciang Tai-hiap....!"
Terdengar teriakan beberapa orang dan demikian pula teriakan hati Sian Li yang memandang penuh kagum, juga kini mendadak saja ia merasa aman begitu orang ini berada di situ. Lenyap semua kekhawatirannya akan dikeroyok dan ditangkap oleh para pemberontak ini. Lulung Lama mewakili suhengnya, Dobhin Lama yang sejak tadi hanya menonton saja. Dengan langkah lebar dia menghampiri laki-laki bercaping lebar yang menyembunyikan mukanya itu dan dia mencoba untuk menembus tirai hitam dan rambut itu untuk mengamati wajahnya, lalu dia mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi hormat.
"Omitohud....! Kiranya engkau adalah Sin-ciang Tai-hiap yang selama beberapa tahun ini membuat nama besar di daerah perbatasan Tibet ini? Selamat datang, Taihiap! Apakah engkau datang hendak menghadiri rapat pertemuan yang kami adakan ini?"
Pendekar bercaping itu membalas penghormatan tuan rumah dengan sikap sopan, lalu terdengar suaranya, lembut dan singkat.
"Lulung Lama, terserah dengan nama apa orang akan menyebutku. Aku datang bukan untuk menjadi tamu dalam pertemuan ini."
Lulung Lama mengerutkan alisnya.
"Sin-ciang Tai-hiap, pinceng (saya) yakin bahwa sebagai sama-sama tokoh dunia persilatan yang tahu akan peraturan dunia kang-ouw, engkau tentu maklum bahwa jalan kita bersimpang. Aku tidak pernah mencampuri urusanmu, dan demikian pula kami harap engkau tidak akan mencampuri dan mengacaukan urusan kami. Kalau engkau tidak datang untuk menghadiri pertemuan, lalu mengapa engkau menghentikan pertandingan tadi dan apa pula maksudmu datang berkunjung tanpa diundang ini?"
Lulung Lama bicara dengan nada tinggi hati, hal ini adalah karena dia sebagai tokoh besar Hek I Lama tentu saja tidak takut kepada pendekar rahasia ini walaupun sudah banyak dia mendengar tentang kelihaian Sin-ciang Tai-hiap, dan ke dua karena pada saat itu, dia berada di tempat sendiri, mempunyai banyak anak buah, ada pula suhengnya yang sakti dan banyak tamu yang dapat diandalkan. Semua orang menaruh perhatian besar kepada pendatang aneh itu dan suasana menjadi sunyi senyap karena semua orang ingin mendengarkan bagaimana jawaban pendekar yang selama akhir-akhir ini amat terkenal namanya. Pendekar aneh itu menggerakkan tubuhnya, memandang ke sekeliling, kemudian dia pun menjawab, suaranya masih lembut seperti tadi.
"Lulung Lama, aku tidak mencampuri urusan siapa pun. Kalau tadi aku melerai pertandingan adalah karena aku selain tidak suka melihat orang menyelesaikan persoalan melalui senjata, saling melukai dan saling membunuh. Kedatanganku ini untuk bertemu dan bicara dengan saudara Thong Nam, kepada suku Miao yang aku tahu berada di sini sebagai tamu. Biarkan aku bicara dengan dia, setelah selesai urusanku dengan dia, aku akan pergi dari sini."
Lulung Lama mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, Thong Nam adalah kepala suku Miao, seorang di antara sekutunya dan saat itu menjadi tamunya, maka sebagai tuan rumah dia harus dapat melindungi tamunya. Akan tetapi, sebelum dia dapat berkata atau berbuat sesuatu, seorang di antara para tamu sudah bangkit berdiri dan berkata lantang dengan suara keras dan logatnya asing.
"Akulah Thong Nam kepala suku Miao. Biarpun telah mendengar nama Sin-ciang Tai-hiap, namun kami belum pernah berurusan dengannya. Sekarang engkau datang mencariku di sini, katakan apa perlunya engkau mencari aku, Sin-ciang Tai-hiap!"
Pendekar bercaping itu memutar tubuh ke kanan untuk memandang ke arah Si Pembicara.
Ternyata orang bernama Thong Nam itu bertubuh pendek dengan perut gendut, akan tetapi tubuhnya nampak kokoh kuat dan wajahnya yang bulat itu membayangkan ketinggian hati. Tidak mengherankan kalau kepala suku Miao ini dengan lan-tang memperkenalkan diri, karena dia pun terkenal sebagai seorang jagoan di antara suku bangsanya. Dia terkenal memiliki tenaga kuat ilmu gulat yang tak pernah terkalahkan, juga dia memiliki ilmu tendangan maut. Selain itu, dia pun tahu bahwa di tempat itu, dia memiliki banyak kawan tangguh yang pasti akan membantunya kalau dia terancam bahaya. Sejenak pendekar bercaping itu mengamati Si Pendek Gendut dan karena dia diam saja, semua orang menjadi semakin tegang.
"Thong Nam,"
Akhirnya terdengar dia berkata,
"Aku mencarimu untuk meminta kembali sebutir mutiara hitam darimu. Engkau tidak berhak memilikinya dan benda itu harus dikembalikan kepada pemiliknya."
Semua orang tidak mengerti tentang mutiara hitam, akan tetapi wajah Si Pendek Gendut itu berubah merah dan alisnya berkerut, nampak bahwa dia marah mendengar itu. Otomatis tangan kirinya meraba ke arah dadanya, lalu dia berkata lantang,
"Sin-ciang, Tai-hiap! Mutiara Hitam itu adalah milikku, kuterima dari mendiang ayahku. Aku tidak mengambilnya dari orang lain!"
"Kalau begitu, saudara Thong Nam, ayahmu itulah yang telah mengambilnya. Mutiara Hitam itu milik orang lain, harap engkau suka berbesar hati untuk mengembalikannya kepadaku agar dapat kupenuhi pesan pemiliknya."
"Sin-ciang Tai-hiap, engkau sungguh terlalu mendesak. Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak! Dan menurut peraturan dunia kang-ouw, untuk memiliki sesuatu dari orang lain haruslah lebih dahulu mengalahkannya."
Kepala suku Miao itu lalu mengambil sesuatu dari balik bajunya, lalu menyerahkan sebuah mutiara hitam yang tadi dia pakai sebagai kalung kepada Lulung Lama.
"Losuhu, tolong simpan dulu benda ini, aku akan menandingi pendekar yang sombong ini!"
Setelah menyerahkan benda itu kepada Lulung Lama, Thong Nam lalu melompat ke depan pendekar bercaping lebar dengan sikap menantang. Lulung Lama menerima benda itu, nampak tertarik dan segera dia mendekati suhengnya. Dobhin Lama menerima benda itu dan mereka berdua mengamati benda itu sambil berbisik-bisik, pandang mata mereka bersinar-sinar.
Sementara itu, Thong Nam yang merasa diremehkan di depan banyak orang, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang pendekar bercaping itu dengan tubrukan ganas, seperti seekor biruang menubruk mangsanya. Agaknya dia hendak mengandal-kan ilmu gulatnya untuk menangkap lawan, karena dia berkeyakinan bahwa sekali dia dapat menangkap lengan lawan, dia akan dapat membuatnya tidak berdaya dengan ringkusan atau bantingan. Sin-ciang Tai-hiap agaknya tidak tahu akan keistimewaan Thong Nam, maka dia seperti acuh saja dan bahkan menangkis dengan pemutaran lengan kanan dari kiri ke kanan dan membiarkan lengannya itu tertang-kap lawan! Tentu saja girang hati Thong Nam. Begitu dia berhasil menangkap lengan kanan lawan, dia mempergunakan kedua tangannya,
Menangkap dengan pengerahan tenaga yang tiba-tiba disentakkan dan dia hendak menekuk lengan itu ke belakang. Sekali dia berhasil menekuk lengan itu ke belakang tubuh, dia akan dapat membuat lawan tidak berdaya dengan mendorong lengan yang tertekuk ke belakang itu ke atas! Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia sama sekali tidak mampu menekuk lengan lawan itu, jangankan memuntir ke belakang, bahkan menekuk sikunya saja tidak mampu. Lengan itu terasa olehnya seperti sebatang baja yang amat kuat. Padahal, sebatang tongkat atau tombak baja pun akan dapat ditekuknya dengan mudah! Tiba-tiba pendekar bercaping itu menggerakkan lengannya yang ditangkap dan sedang hendak ditekuk ke belakang dan.... Thong Nam tak mampu bertahan lagi. Pegangan kedua tangannya terlepas dan dia pun terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.
Thong Nam tidak terluka, hanya terkejut. Dia bangkit kembali dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi semakin penasaran dan marah, dan tanpa bicara lagi dia menerjang lawannya, sekali ini tidak ingin menangkap melainkan mengandalkan ilmu tendangannya yang memang hebat dan berbahaya. Selain kedua kaki itu dapat bergerak cepat sekali, juga setiap tendangan mengandung tenaga yang amat kuat, apalagi kedua kaki itu memakai sepatu yang dilapis baja, bagian bawahnya memiliki tepi yang tajam dan ujungnya juga runcing. Dengan gerakan yang tenang sekali, Sin-ciang Tai-hiap dapat menghindarkan sambaran dua buah kaki yang melakukan serangkaian tendangan bertubi-tubi. Tubuh-nya hanya bergerak sedikit saja, namun cukup membuat tendangan itu hanya lewat di dekat tubuhnya.
"Hemm, sepatumu itu terlalu keji, Thong Nam,"
Kata pendekar itu lembut dan tiba-tiba saja, tubuh Thong Nam kembali terlempar dan terjengkang ke belakang, akan tetapi sekali ini kedua kakinya sudah telanjang karena sepasang sepatu itu tertinggal di kedua tangan pendekar bercaping itu! Pendekar itu memeriksa sepasang sepatu yang istimewa itu,
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian jari-jari tangannya bergerak dan"
Lapisan besi di bawah sepatu itu sudah terlepas semua dan yang tinggal hanya sepasang sepatu kulit biasa. Dia melemparkan sepasang sepatu itu kepada Thong Nam. Kini wajah Thong Nam berubah pucat. Dia mengenakan sepatunya yang menjadi sepatu biasa itu dan lenyaplah semua ketinggian hatinya. Dia tahu benar bahwa pendekar itu sama sekali bukan lawannya dan kalau pendekar itu menghendaki, mungkin dia sekarang telah tewas, atau setidaknya terluka berat. Sementara itu, Sian Lun yang tadi dihentikan pertandingannya, menjadi penasaran. Juga diam-diam, seperti juga Sian Li, hatinya menjadi besar setelah muncul Sin-ciang Tai-hiap. Dilihatnya betapa tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi pun masih berdiri dengan pedang di tangan, maka dia segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah mereka dan pihak tuan rumah.
"Kalian semua mengaku sebagai pejuang-pejuang patriot, akan tetapi sesungguhnya hanyalah penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir memang selalu menentang dan membasmi penjahat-penjahat seperti kalian!"
Melihat suhengnya sudah nekat seperti itu, Sian Li juga meloncat di dekatnya untuk membantu. Melihat ini, Lulung Lama manjadi marah dan dia memberi perintah kepada anak buahnya.
"Tangkap dua orang muda kurang ajar ini!"
"Tahan!"
Sin-ciang Tai-hiap berseru ketika melihat banyak orang sudah bangkit dan siap menyerbu.
"Lulung Lama, urusanku dengan Thong Nam belum selesai. Mutiara Hitam belum diserahkan kembali kepadaku, dan tentang kedua orang muda ini, seyogianya kalau kalian membiarkan mereka pergi. Mereka adalah pendekar-pendekar gagah yang tidak ada hubungannya dengan segala macam pemberontakan."
Kini Dobhin Lama yang masih memegang mutiara hitam itu bangkit berdiri. Tubuhnya nampak semakin kurus dan tinggi ketika dia berdiri dan dan memandang kepada Sin-ciang Tai-hiap.
"Hemm, Sin-ciang Tai-hiap. Biarpun engkau menyembunyikan wajahmu, akan tetapi kami tahu bahwa engkau adalah seorang yang masih muda. Mengagumkan sekali seorang yeng demikian muda telah memiliki ilmu kepandaian sepertimu. Alangkah sayangnya kalau kepandaian seperti itu tidak kau pergunakan untuk mencapai kemuliaan selagi engkau masih muda. Sin-ciang Tai-hiap, sebagai seorang Han, apakah engkau tidak prihatin melihat bangsa Mancu menjajah negara dan bangsamu? Marilah engkau bergabung dengan kami. Kami akan memberi kedudukan tinggi padamu, bahkan mungkin sekali kami akan mengangkatmu sebagai panglima besar."
Dengan sikap yang sopan, pendekar itu memberi hormat kepada Dobhin Lama kemudian suaranya terdengar lembut namun lantang dan tegas.
"Terima kasih atas uluran tanganmu, Dobhin Lama. Tentu saja aku merasa prihatin dengan adanya penjajahan bangsa Mancu, dan aku mengagumi usaha para patriot yang berjuang demi membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu. Akan tetapi, Losuhu, perjuangan bukan perjuangan murni lagi kalau didasari pamrih untuk kepentingan pribadi, pamrih untuk mendapat imbalan jasa bagi diri sendiri. Perjuangan yang benar adalah suatu ke-baktian terhadap tanah air dan bangsa, tanpa pamrih untuk pribadi. Kalau ada pamrih, maka perjuangan itu hanya menjadi suatu alat, suatu cara untuk mencapai keuntungan pribadi seperti kedudukan, kemu-liaan, harta dan segala kesenangan lain sebagai hasil dari kemenangan. Saudara sekalian yang berada di sini tentu dapat meneliti diri sendiri apakah perjuangan kalian itu murni ataukah hanya menjadi suatu cara saja untuk mengejar hasil kemenangan yang akan menyenangkan diri sendiri atau golongan sendiri?"
"Sin-ciang Tai-hiap, perlukah bicara dengan mereka ini?"
Tiba-tiba Sian Li berseru.
"Lihat saja siapa adanya mereka ini dan kita akan tahu macam, apa perjuangan mereka itu! Perkumpulan Lama Jubah Hitam adalah pemberontak terhadap pemerintah yang sah dari Tibet. Juga orang-orang Nepal yang bersekutu dengan mereka ini adalah orang-orang Nepal yang memberontak terhadap Kerajaan Nepal sendiri sehingga mereka itu menjadi buronan dan buruan dari kedua kerajaan itu! Dan lihat pula siapa lagi sekutu mereka! Pek-lian-kauw! Tak perlu berpanjang cerita lagi, mereka bukanlah pejuang-pejuang aseli, perjuangan itu hanya menjadi kedok untuk menutupi kejahatan mereka!"
"Tangkap mereka!"
Lulung Lama berteriak lagi dan dia menghadapi Sin-ciang Tai-hiap.
"Sin-ciang Tai-hiap, harap jangan mencampuri urusan kami! Atau terpaksa kami akan menentangmu!"
Pek-lian Sam-li berloncatan mengepung Sian Lun dan Ji Kui berkata kepada anak buah tuan rumah,
"Biarkan kami bertiga yang menangkap pemuda ini!"
Dan mereka pun sudah mengepung dan menyerang Sian Lun dengan pedang mereka.
"Gadis ini untukku, ha-ha-ha!"
Pangeran Gulam Sing juga membentak dan dia sudah menghadapi Sian Li dengan goloknya yang melengkung. Kembali mereka bertempur, melanjutkan pertandingan tadi yang tertunda oleh kemunculan Sin-ciang Tai-hiap. Sebelum Sin-ciang Tai-hiap dapat mencegah terjadinya pengeroyokan itu, dia sendiri sudah diserang oleh dua orang yang amat lihai, yaitu Cu Ki Bok dan gurunya, Lulung Lama! Begitu pemuda peranakan Han Tibet itu meyerang dengan sabuk baja yang kedua ujungnya dipasangi pisau, tahulah pendekar bercaping lebar itu bahwa dia menghadapi seorang lawan yang tangguh.
Apalagi ketika Lulung Lama juga menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang gelang roda besar yang warnanya keemasan dan tepinya bersirip tajam. Dan pendekar itu pun memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet saja, beterbangan di antara gulungan sinar senjata kedua orang pengeroyoknya! Akan tetapi, tepat seperti yang dikabarkan orang. Sin-ciang Tai-hiap agaknya tidak mau melukai lawan, apalagi membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa sukar baginya untuk menundukkan dua orang pengeroyoknya yang memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau saja dia mau melukai, tentu tidak akan lama pertandingan itu, karena dia tentu dapat merobohkan Cu Ki Bok maupun Lulung Lama!
Keadaan Sian Lun maupun Sian Li payah walaupun kedua orang muda ini melawan dengan gigih. Sian Lun menghadapi tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki tingkat tinggi. Tiga orang wanita itu merasa kagum bukan main. Baru sekarang mereka berhadapan dengan seorang lawan muda yang mampu menahan pengeroyokan mereka bertiga! Memang Sian Lun bukan merupakan, lawan yang lunak. Dia telah digembleng oleh kedua orang gurunya, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Biarpun tidak seluruh ilmu kesaktian dari keluarga para pendekar Pulau Es dikuasainya, namun dia telah menguasai Hwi-yang Sin-kang den Soat-Im Sin-kang, kedua ilmu menggunakan tenaga sakti yang panas dan dingin, dan tentang ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang diajarkan oleh Kam Bi Eng.
Pemuda ini memang belum mempunyai banyak pengalaman bertanding, akan tetapi karena dia menguasai ilmu pedang yang dahsyat dan memiliki gabungan tenaga sin-kang yang amat kuat, maka tiga orang wanita Pek-liankauw yang bermaksud menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya itu mengalami kesulitan. Sian Li juga menghadapi lawan yang tangguh. Seperti juga Sian Lun, gadis remaja ini telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan ia masih lebih tangguh dibandingkan suhengnya itu karena gadis ini menguasai pula ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dari ayahnya. Andaikata ia sudah memiliki banyak pengalaman bertanding, tentu ia akan mampu mengalahkan pangeran Nepal itu. Akan tetapi karena ia kurang pengalaman menghadapi ilmu golok melengkung dari pangeran asing itu yang gerakan-gerakan-nya aneh sekali, ia menjadi agak bingung.
Biarpun demikian, karena pangeran Nepal itu pun tidak ingin melukainya dan ingin menangkapnya hidup-hidup, maka pangeran itu tidak mudah dapat menundukkan gadis itu. Sian Lun yang memang sudah terdesak, dengan nekat memutar pedangnya dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu bagaikan benteng baja yang amat kuat, membuat tiga orang tokah Pek-lian-kauw kagum dan juga penasaran. Mereka saling memberi isarat dan masing-masing mengaluarkan sehelai saputangan merah. Tanpa diduga-duga oleh Sian Lun, mereka mengebutkan saputangan merah ke arah pemuda itu. Sian Lun memang kurang pengalaman, melihat uap tipis kemerahan itu dia tidak menyangka buruk. Baru setelah dia mencium bau harum yang aneh dan matanya berkunang, kepalanya pening, setelah terlambat, dia tahu bahwa tiga orang pengeroyoknya itu menggunakan bubuk beracun.
"Iblis-iblis betina yang curang....!"
Dia berteriak dan memaksa diri untuk menyerang dengan nekat, akan tetapi kepalanya semakin pening dan dia pun terhuyung-huyung. Ji Kui mengeluarkan suara ketawa mengejek dan sekali menggerakkan tangan menotok, Sian Lun terkulai dalam rangkulannya dan pemuda itu lemas tak mampu bergerak lagi. Sian Li mendengar teriakan suhengnya dan cepat menengok. Melihat suhengnya tertawan, ia menjadi marah dan tubuhnya bergerak cepat, bagaikan seekor burung bangau ia telah mengirim tujuh kali tusukan beruntun dengan pedangnya kepada Pangeran Gulam Sing.
Pangeran ini terkejut, merasa seperti menghadapi seekor burung besar. Dia memutar golok dan melangkah mundur. Akan tetapi kesempatan seperti itu dipergunakan oleh Sian Li untuk meloncat ke arah Sian Lun. Melihat ini, tiga orang wanita Pek-lian-kauw terkejut dan marah, tangan kiri mereka bergerak ke arah Sian Li dan belasan batang jarum halus menyambar ke arah tubuh gadis yang sedang melayang ke arah mereka itu! Sukar bagi Sian Li untuk dapat menghindarkan diri dari sambaran jarum karena pada saat itu ia sedang meloncat ke arah Sian Lun yang tertawan. Dan Pangeran Gulam Sing juga mengejar dengan lompatan seperti seekor harimau yang menubruk, bukan sekedar melompat, melainkan juga mengge-rakkan kaki menendang! Kedaan Sian Li sungguh berbahaya sekali. Pada saat itu, Sin-ciang Tai-hiap yang melihat keadaan itu,
Secepat kilat mengirim tendangan beruntun kepada dua orang pengeroyoknya. Tendangan itu mendatangkan angin yang bersiutan sehingga Lulung Lama dan Cu Ki Bok terpaksa berloncatan ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk meloncat mendahului Sian Li untuk melindungi gadis itu dari sambaran Jarum-Jarum halus! Sian Li yang mendengar gerakan kaki Pangeran Gulam Sing dari belakang, biarpun tubuhnya sedang di udara, dapat berjungkir balik dan pedangnya menyambar ke belakang. Kalau kaki pangeran itu dilanjutkan menendang, tentu akan bertemu dengan pedangnya! Akan tetapi pangeran itu juga berjungkir balik dan turun kembali. Sedangkan Sin-ciang Tai-hiap dengan ujung lengan bajunya mengebut jarum-jarum halus itu sehingga runtuh dan dia pun sudah menyambar lengan kiri Sian Li dan berseru,
"Mari kita pergi!"
"Tidak, Suheng-ku....!"
Sian Li hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya dibawa meloncat jauh oleh Sin-ciang Tai-hiap dan terpaksa ia pun ikut menggerakkan kaki berlari karena ia tidak mau terseret.
Cepat bukan main gerakan Sin-ciang Tai-hiap sehingga biarpun ia ingin meronta, tetap saja ia kalah kuat dan tidak berhasil melepaskan lengan kirinya yang terpegang. Sian Li merasa penasaran sekali, akan tetapi karena ia tahu bahwa pendekar aneh ini sudah berulang kali menolongnya, ia pun tidak mau menyerang dengan pedangnya, hanya terpaksa ikut berlari dengan alis berkerut dan bersungut-sungut. Kenapa pendekar ini mengajaknya berlari? Suhengnya telah tertawan, dan sekarang ia disuruh melarikan diri! Ia bukan seorang pengecut seperti itu! Agaknya, orang-orang yang sedang mengadakan pertemuan itu merasa jerih juga kepada Sin-ciang Tai-hiap dan mereka tidak berani melakukan pengejaran. Apalagi, mereka telah berhasil menawan seorang dan tawanan ini dapat menjamin mereka agar Sin-ciang Tai-hiap dan Tan Sian Li tidak akan berani meng-ganggu mereka lagi.
"Harap Sam-li jangan sampai melukai atau membunuh pemuda itu,"
Kata Lulung Lama.
"Dia masih berguna bagi kita, selain untuk jaminan, juga kalau kita dapat membujuk sandera ini sehingga dia takluk dan dapat membantu, hal itu amat menguntungkan."
Ji Kui yang merangkul Sian Lun yang tak sadarkan diri, mengelus dagu pemuda itu dan tersenyum sambil saling pandang dengan dua orang adiknya.
"Jangan khawatir, Losuhu. Kami pun tidak bermaksud mencelakai pemuda tampan ini. Bahkan kami akan membantu agar dia tunduk dan takluk kepada kita."
Ji Hwa, orang ke dua dari mereka, memandang kepada Pangeran Gulam Sing dan sambil tersenyum manis ia berkata,
"Pangeran, engkau telah kalah oleh kami. Mengakulah!"
Gulam Sing juga tersenyum.
"Ah, kalian memang cerdik, menggunakan bubuk racun itu. Sungguh aku kalah cerdik dan aku mengaku kalah. Perintahkan saja apa yang kalian kehendaki, aku tentu akan mentaati untuk membayar kekalahanku."
"Hi-hik, nanti saja kita bicarakan hal itu di kamar kami, Pangeran!"
Kata Ji Kim, wanita Pek-lian-kauw termuda. Mereka bertiga tertawa dan pangeran Nepal itu pun tertawa bergelak. Sudah diduganya. Kalah atau menang, sama saja baginya, tetap akan menyenangkan.
"Pangeran, kenapa tadi tidak mempergunakan sihir untuk mengalahkan Tan Sian Li?"
Lulung Lama berkata kepada pangeran itu.
"Hemm, apa kau kira aku begitu bodoh?"
Pangeran itu balas bertanya.
"Sudah kucoba, akan tetapi gagal, tidak ada pengaruhnya sama sekali! Dan kenapa engkau pun tidak menggunakan sihir untuk menundukkan Sin-ciang Tai-hiap tadi?"
"Omitohud, kalau begitu sama saja. Pinceng juga sudah mencobanya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali,"
Kata Lulung Lama.
"Sungguh mengherankan. Kami pun sudah mencoba dengan sihir tadi sebelum menggunakan bubuk racun merah, akan tetapi kekuatan sihir kami seperti tenggelam ke dalam air saja!"
Kata pula Ji Kui. Kalau semua orang merasa heran, Dobhin Lama tertawa,
"Ha-ha-ha, kalian seperti anak-anak saja. Sudah jelas bahwa pengaruh sihir manjadi punah karena adanya Sin-ciang Tai-hiap di sini. Orang itu berbahaya sekali, maka kita harus berhati-hati. Kulihat tadi ketika dia melindungi gadis itu, ada jarum Pek-lian Sam-li yang mengenai pundak kirinya. Dia telah terluka jarum Pek-lian-tok-ciam!"
"Ah, benarkah itu, Losuhu?"
Ji Kui dan dua orang adiknya berseru girang.
"Kalau begitu, dia tentu tidak akan dapat lolos! Jarum kami mengandung racun yang sukar dilawan."
Jangan gembira dulu, Sam-li,"
Kata Dobhin Lama.
"Pinceng sudah mengenal baik jarum baracun Pek-tian-tok-ciam. Bukankah siapa yang terkena jarum itu tentu akan lumpuh seketika? Dan melihat betapa Sin-ciang Tai-hiap masih dapat melarikan diri, hal itu menunjukkan bahwa dia memang lihai bukan main. Belum tentu jarummu akan dapat membuat dia tak berdaya. Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati dan suruh anak buah melakukan penjagaan ketat."
Mereka melanjutkan pertemuan itu untuk membicarakan gerakan mereka dan mengatur rencana dan membagi tugas kerja. Sian Lun yang sudah tak berdaya itu diserahkan kepada Pek-lian Sam-Li untuk menjaga dan menundukkannya. Tiga orang wanita itu dengan wajah berseri lalu mengajak Pangeran Gulam Sing dan memondong tubuh Sian Lun, pergi mengundurkan diri.
"Cukup, berhenti!"
Sian Li merenggutkan tangannya dan sekali ini ia berhasil. Mereka berada di kaki bukit yang sunyi, dikelilingi hutan-hutan kecil dan rawa-rawa. Orang yang bercaping lebar itu sekali ini tidak mempertahankan pegangannya dan melepaskan lengan kiri Sian Li. Sian Li menghentikan langkahnya. Matahari sudah condong ke barat, senja menjelang tiba. Ia menghadapi laki-laki itu dengan alis berkerut.
"Kenapa engkau memaksaku berlari-lari, melarikan diri seperti pengecut-pengecut yang ketakutan?"
Dua kali Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan muka merah.
"Kenapa?"
Orang itu menghela napas panjang beberapa kali, kemudian terdengar suaranya yang lembut,
"Karena aku tidak ingin melihat engkau tewas di sana."
"Akan tetapi, aku tidak takut mati!"
Sian Li berkata dan membanting kakinya dengan marah.
Pendekar itu tidak menjawab, lalu melangkah pergi meninggalkan Sian Li. Gadis itu hendak marah-marah, akan tetapi ia melihat betapa pendekar itu langkahnya gontai dan agak terhuyung. Tentu saja ia menjadi heran dan mengikuti dari belakang. Orang bercaping lebar itu menuju ke sebuah guha besar yang tertutup rumpun semak-semak berduri, dan agaknya sudah biasa dia berada di situ. Ketika dia memasuki guha, Sian Li mengikuti dan ternyata guha itu terpelihara dan bersih, merupakan ruangan yang terlindung. Begitu memasuki guha, pendekar aneh itu lalu duduk bersila, seolah tidak mempedulikan lagi kepada Sian Li. Gadis ini tentu saja menjadi semakin marah. Orang ini biarpun pernah beberapa kali menolongnya, akan tetapi sekali ini telah bertindak keterlaluan. Sudah memaksa ia melarikan diri, sekarang malah mengacuhkannya sama sekali.
"Heiiii! Engkau ini ternyata hanyalah seorang pendekar yang mempunyai pikiran tidak senonoh!"
Bentaknya semakin marah. Pendekar itu menggerakkan kepalanya yang tadi bertunduk, akan tetapi tidak langsung menghadapkan mukanya yang tertutup rambut dan tirai.
"Kenapa engkau menuduh demikian?"
Tanyanya, masih lembut dan penuh kesabaran.
"Buktinya, engkau hanya melarikan aku. Kalau memang hendak menolong, kenapa hanya aku yang kau tolong, dan meninggalkan Suheng di sana?"
"Dia sudah tertawan, kalau kubiarkan engkau akan tertawan pula."
"Aku tidak takut! Suheng telah ditawan, aku pun harus menolongnya, tidak peduli aku akan tertawan pula atau mati sekalipun!"
Sejenak orang itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar suaranya lirih,
"Engkau tentu.... amat sayang kepada suhengmu itu."
"Tentu saja! Dia Suhengku, kalau bukan aku yang menolongnya, lalu siapa lagi?"
"Kalau engkau tadi tewas atau tertawan, lalu bagaimana engkau akan dapat menolong suhengmu?"
Ucapan itu menyadarkan Sian Li dan ia pun termangu. Sin-ciang Tai-hiap berkata lagi,
"Mereka terlalu banyak dan juga banyak orang lihai. Karena terpaksa aku mengajakmu melarikan diri dari sana agar kita dapat mengatur siasat untuk dapat menolong suhengmu...."
Ucapan itu tidak dilanjutkan, berhenti tiba-tiba dan pendekar itu menundukkan mukanya. Sian Li masih curiga, apalagi melihat orang itu menghentikan ucapannya dengan tiba-tiba dan sikapnya seperti orang yang menyembunyikan sesuatu. Ia tidak mengenal siapa orang ini, tidak tahu pula bagaimana wataknya. Siapa tahu semua itu hanya siasat saja dan orang yang selalu menyembunyikan mukanya itu memang mempunyai niat yang tidak baik.
"Sudahlah, aku harus kembali ke sana sekarang juga untuk membebaskan Suheng!"
Katanya dan ia pun hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, pendekar bercaping itu sudah mendahuluinya bergerak dan menghadang di depannya.
"Jangan! Sekarang belum boleh...."
Benar saja dugaannya. Orang ini mempunyai niat yang tidak baik, pikir Sian Li kecewa. Sebelum ini, ia selalu mengenang Sin-ciang Tai-hiap yang pernah menolong ia dan suhengnya, membuat ia kagum dan ingin sekali bertemu. Setelah jumpa, kekagumannya menghilang karena ulah pendekar itu yang amat mencurigakan, dan kini ia malah menjadi marah sekali.
"Siapa pun tidak boleh melarang aku menolong Suhengku!"
Bentaknya dan ia pun maju terus dan mendorong pendekar yang menghadang itu dengan tangan kirinya.
Tangan kirinya mengenai dada orang itu dan.... pendekar itu terdorong ke belakang, terhuyung lalu roboh! Tentu saja Sian Li merasa heran dan terkejut bukan main. Mengapa orang itu menjadi demikian lemah? Ia cepat menghampiri dan keheranannya bertambah ketika melihat bahwa orang itu telah pingsan! Wajahnya masih tertutup rambut dan tirai, akan tetapi napasnya terengah ketika ia menyentuh lengannya, terasa amat panas! Sian Li menjadi khawatir sekali. Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang sudah mempelajari ilmu pengobatan dari Dewa Obat itu, sekali pegang nadi orang itu tahulah ia bahwa tubuh orang itu telah keracunan secara hebat! Racun yang berhawa panas, pikirnya dengan lega. Kalau racun yang mengandung hawa panas, masih lebih mudah untuk diobati, dibandingkan racun berhawa dingin.
Jelas bahwa pendekar ini keracunan dan teringatlah ia ketika Sin-ciang Tai-hiap tadi membantunya. Ia diserang jarum-jarum oleh Pek-lian Sam-li dan pendekar ini yang melompat dan meruntuhkan jarum-jarum itu dengan lengan bajunya, gerakan yang membuat ia kagum bukan main. Jangan-jangan ada jarum yang mengenai tubuh pendekar ini. Tangannya meraba-raba dan akhirnya ia tahu bahwa memang benar racun itu berpusat di pundak kirinya. Tanpa ragu lagi Sian Li merobek baju di pundak kiri dan benar saja. Ada bintik kehijauan di situ, kecil sekali dan ia pun tahu bahwa tentu jarum itu memasuki bagian tubuh itu dan meracuni darah. Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang pandai, Sian Li tahu apa yang harus dilakukannya. Lebih dahulu ia menotok jalan darah di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun,
Kemudian dengan ujung pedangnya yang tajam ia menoreh bintik hijau itu sehingga kulit dan dagingnya terbuka dan ia mencokel keluar sebatang jarum hitam kehijauan. Kemudian, ia menyedot luka itu dengan mulutnya, menghisap keluar darah yang keracunan, lalu menaruh obat bubuk pada luka di pundak. Setelah itu, ia mengeluarkan jarum emas dan perak yang ia dapatkan dari Yok-sian Lo-kai dan melakukan pengobatan dengan tusuk jarum di beberapa bagian tubuh untuk memunahkan sisa hawa beracun yang mengeram di tubuh Sin-ciang Tai-hiap. Kurang lebih setengah jam ia memberi pengobatan sampai ia merasa yakin benar bahwa pendekar itu telah terbebas dari racun. Ia memulihkan jalan darah pendekar itu. Pernapasannya mulai normal kembali dan tubuhnya tidak panas seperti tadi.
Melihat pendekar itu masih rebah telentang dalam keadaan tak sadar timbul keinginan hati Sian Li untuk melihat wajahnya. Dia masih pingsan, apa salahnya kalau ia melihat wajahnya sebentar saja? Orang ini selalu menyembunyikan muka. Kenapa? Cacatkah dia? Atau ada rahasia lain? Sekarang ia tahu bahwa tadi kecurigaannya tidak beralasan sama sekali. Pendekar ini jauh daripada apa yang ia curigakan. Sama sekali tidak mempunyai niat buruk, apalagi tak senonoh. Pendekar tadi menderita luka beracun yang parah ketika tadi menolongnya. Karena itulah maka pendekar itu memaksanya melarikan diri, karena kalau tidak, tentu mereka berdua sudah tertawan pula, atau terbunuh. Dan memang benar. Kelau pendekar itu tidak memaksanya melarikan diri, tentu mereka bertiga sudah tertawan dan tidak ada kesempatan sama sekali untuk menolong suhengnya.
Suling Naga Eps 39 Kisah Si Bangau Putih Eps 7 Suling Naga Eps 36