Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 11


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




   Sementara itu, orang tinggi besar itu menjadi marah sekali. Dia adalah orang ketiga dari Sam-ok, yaitu tiga Raja penjahat. Dia adalah Sanhek-houw atau Si Harimau Gunung yang sebelum munculnya Raja Kelelawar telah merajai semua penjahat didaratan, Rajanya para perampok, maling dan copet. Kini dia telah menjadi pembantu utama dari Raja Kelelawar disamping dua orang rekannya yang terkenal dengan julukan Sam-ok atau Si Tiga Jahat. Melihat betapa dalam gebrakan pertama dia tidak mampu menghadang pemuda baju putih itu dan sebaliknya malah memberi kesempatan kepada pemuda itu mendemonstrasikan kepandaiannya sehingga memperoleh pujian, Sam-hek-houw menjadi marah sekali.

   Cepat dia membalikkan tubuhnya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang kedepan dan menyerang Kiong Lee yang baru saja turun keatas tanah. Serangan Sanhek-houw ini ganas dan dahsyat sekali, tiada bedanya dengan ulah seekor harimau yang sedang kelaparan. Dua ekor harimau hitam yang menjadi binatang peliharaannya itu mengaum-ngaum melihat majikan mereka berkelahi, seolah-olah memberi semangat. Tentu saja para tamu restoran menjadi panik ketakutan. Berdiam direstoran merasa ngeri, mau lari keluar terhadang oleh perkelahian diluar pintu, juga mereka takut kepada dua ekor harimau itu yang rantainya dipegang oleh empat orang penjahat yang kini tertawa-tawa karena mereka merasa yakin bahwa muculnya Raja mereka ini akan dapat membalaskan kekalahan mereka tadi.

   Akan tetapi sekali ini mereka kecelik. Baru sekarang mereka memperoleh kenyataan bahwa Raja mereka itu bukanlah jaminan untuk selalu menang. Biarpun Si Harimau Gunung menyerang dengan ganas dan dahsyat, namun pemuda baju putih itu dengan sikap tenang sekali dapat menandinginya dan sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya. Mereka ternyata seimbang, baik kecepatan maupun tenaga mereka. Perkelahian itu amat seru dan menegangkan, terutama sekali bagi mereka yang mempunyai keahlian dalam ilmu silat sehingga dapat mengikutinya. Yang merasa marah dan penasaran adalah Sanhek-houw sendiri. Biasanya, selama ini setiap kali dia turun tangan, dan hal ini jarang terjadi karena dia cukup mewakilkan kepada anak-buahnya saja, sudah dapat dipastikan bahwa dia akan berhasil baik.

   Akan tetapi ternyata pemuda baju putih ini sedemikian lihainya sehingga semua serangannya gagal dan dia malah harus menjaga diri karena pemuda itu membalas dengan serangan yang amat berbahaya pula. Karena penasaran, maka Raja penjahat ini lalu mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu rantai yang kedua ujungnya bermata tombak. Begitu diputar, rantai itu lenyap berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Melihat ini, Yap Kiong Lee cepat mencabut sepasang pedangnya yang tergantung dipunggung. Nampak dua sinar putih berkelebatan menghadapi senjata rantai dan kembali terjadi perkelahian yang lebih seru dan juga ternyata dalam adu kepandaian senjata, mereka memiliki tingkat yang seimbang.
(Lanjut ke Jilid 08)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 08
Lima puluh jurus telah lewat dan keduanya sudah saling desak samibil mengerahkan tenaga sekuatnya.

   "Tring-trang... trakkk...!" Tanpa dapat dicegah lagi, rantai itu melibat kedua pedang dan senjata-senjata itu saling berbelit dengan amat kuatnya. Karena tidak ada jalan lain untuk melepaskan senjata yang terlibat itu, keduanya lalu mengerahkan tenaga sinkang. Mereka membentak nyaring dan saling tarik. Akibatnya, kedua pedang Kiong Lee terlepas dari pegangan, akan tetapi juga tangan kanan Harimau Gunung itu terpaksa melepaskan senjata rantainya yang kini hanya dipegang oleh tangan kiri. Inipun tidak lama karena secepat kilat kaki Kiong Lee menendang kearah pergelangan tangan kiri lawan.

   Kakek tinggi besar itu berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja ujung sepatu menyerempet perge-langan tangan kirinya sehingga tangan inipun terpaksa melepaskan rantainya. Kini senjata-senjata itu terlepas diatas tanah dan keduanya melanjutkan lagi dengan tangan kosong! Sanhek-houw mengeluarkan suara auman seperti harimau yang disambut oleh dua ekor harimau peliharaannya, kemudian diapun mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu silat tangan kosong Houw-jiauw-kang. (Ilmu Cakar Harimau). Kedua tangannya membentuk cakar harimau dan gerakannya juga seperti gerakan kaki depan hari-mau kalau mencakar-cakar dengan dahsyatnya. Hanya cakar harimau yang dibentuk oleh jari-jari tangan manusia ini bahkan jauh lebih berbahaya dari pada cakar harimau aseli karena setiap gerakan mengeluarkan desiran angin tajam.

   Kedua kakinya berloncatan persis seperti gerakan harimau kumbang dan selama belasan jurus Kiong Lee nampak terkurung dan terdesak oleh ilmu silat yang berbeda dengan Ilmu Silat Houw-kun (Silat harimau) biasanya ini. Ilmu Silat Houw-jiauwkang milik Si Harimau Gunung ini benar-benar luar biasa sekali. Agaknya telah dipelajari dengan sempurna sehingga biarpun jari-jari tangan yang membentuk cakar harimau itu tidak sampai menyentuh lawan, namun sambaran angin pukulannya saja telah mampu mencabik-cabik benda. Baju pemuda yang putih itu, terutama dibagian lengan baju, robek-robek terlanggar angin pukulan itu, seperti dicakari oleh kuku-kuku tajam. Tentu saja semua orang terkejut dan memandang khawatir karena pemuda itu nampak terdesak, terutama sekali tiga orang gadis yang selalu berpihak kepada pemuda itu. Ilmu silat Raja perampok itu sungguh lihai bukan main.

   Tiba-tiba Kiong Lee mengeluarkan teriakan yang mengejutkan semua orang dan pemuda ini sudah merobah gerakan silatnya. Dia menggerak-gerakkan kaki tangannya perlahan-lahan namun mengandung penuh tenaga sehingga setiap kali kakinya dihentakkan, bumi seperti tergetar rasanya. Telapak tangannya terbuka dan otot-otot lengannya tersembul keluar. Buku-buku tulangnya seperti saling bergeser mengeluarkan bunyi berkerotokan dan uap putih nampak membayang tipis disetiap permukaan lengannya. Dan ketika lengan yang bergerak perlahan itu menangkis cakaran Si Harimau Gunung, semua orang menjadi terkejut. Gerakan itu, yang dilakukan perlahan, tahu-tahu meluncur cepat bukan main seperti kepala ular yang mematuk mangsa yang sudah lama diintainya.

   Suara mencicit bagaikan bunyi burung malam terdengar ketika lengan bergerak dan cepatnya membuat semua serangan cakaran Si Harimau gunung itu terhenti setengah jalan karena setiap kali tangan yang berbentuk cakar itu bergerak, baru setengah jalan sudah terpukul kesamping dan sebelum cakar dapat ditarik kembali, tangan pemuda baju putih yang bergerak seperti ular mematuk itu telah menyerang bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Si Harimau Gunung terkejut bukan main dan dalam beberapa gebrakan saja nyaris kepalanya kena dipatuk oleh tangan kiri Yap Kiong Lee. Cepat dia membuat gerakan seperti harimau mendekam untuk menghindarkan kepalanya. Akibatnya, sebuah arca singa yang berada tepat dibelakangnya kena hantaman tangan Kiong Lee.

   Nampak cap lima jari tangan ditubuh arca batu itu dan kemudian arca itu menjadi retak-retak dan akhirnya hancur berantakan menjadi kepingan-kepingan kecil berserakan. Tentu saja semua orang melongo dan ada yang menjulurkan lidah saking kagum dan ngerinya, bahkan Si harimau Gunung sendiri terbelalak dan air mukanya berobah. Hatinya mulai menjadi ragu dan gentar dan timbul pertanyaan dalam hatinya siapa gerangan pemuda yang amat lihai ini sebenarnya? Cakaran tangannya itu biasanya mampu menghancurkan batu karang yang keras sekalipun, akan tetapi sekarang ternyata hanya dapat membuat kulit lengan pemuda itu lecet-lecet sedikit saja, sementara dia sendiri tidak berani menangkis pukulan pukulan pemuda yang demikian kuat dan ampuhnya. Ilmu apakah itu? Nenek Siang Houw Nio-nio juga menggeleng-geleng kepala saking kagumnya.

   "Hemm, tua bangka itu kiranya telah menurunkan ilmu rahasia keturunannya kepada murid kesayangannya ini," gumamnya. Pek In dan Ang In tentu saja menjadi kagum bukan main. Mereka memang sudah lama mengetahui bahwa suheng mereka itu amat lihai, akan tetapi mereka tidak menyangka sehebat ini. Diam-diam mereka, dan juga Pek Lian, merasa gembira sekali karena sekarang Harimau Gunung itu mulai terdesak. Pek In tadi telah mengambil dan menyimpan sepasang pedang milik Kiong Lee yang terlepas, seperti juga seorang diantara penjahat-penjahat itu telah (menyimpan senjata rantai dari Si Harimau Gunung. Selagi Kiong Lee mendesak Si Harimau gunung, tiba-tiba dia terkejut bukan main mendengar teriakan seorang diantara para sutenya,

   "Su-heng! Kim-sute lenyap dan Ngo-suheng yang menjaga kereta tertotok pingsan!"

   Mendengar teriakan ini, wajah Yap Kiong Lee menjadi pucat seketika dan diapun meloncat meninggalkan lawannya yang sudah terdesak untuk berlari menghampiri kereta yang ditinggalkan ditepi jalan tak jauh dari rumah makan itu. Dengan wajah pucat dia memeriksa dan memang benar, sutenya yang luka parah dan tidak mampu bergerak itu lenyap. Ngo-sutenya pingsan dengan leher berwarna kehijauan, mukanyapun mengandung warna kehijauan. Maka mengertilah dia bahwa sutenya ini tentu terkena totokan cengyakang, Si Kelabang Hijau tokoh Ban-kwi-to itu. Yap Kiong Lee menjadi bengong, wajahnya pucat sekali dan hatinya dicekam rasa khawatir yang hebat akan keselamatan sutenya yang tersayang. Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali dari tahu-tahu nenek Siang Houw Nio-nio telah berada didekat kereta dan suaranya terdengar keren ketika ia menghardik,

   "Apa katamu? Ada apa dengan Kim-ji (anak Kim)? Hayo jawab!" Yap Kiong Lee menjawab dengan suara penuh duka dan kepala ditundukkan,

   "Subo, adik Kim telah dilukai orang karena dia bergaul dengan orang jahat. Hari ini sebenarnya teecu hendak membawanya kepada suhu, tidak teecu sangka bahwa orang yang menjadi sahabatnya itu telah menculiknya, selagi teecu berkelahi direstoran tadi." Nenek itu menjadi semakin marah, sepasang matanya memancarkan sinar berapi.

   "Kenapa engkau dan suhumu membiarkan anak itu berkeliaran? Sungguh orang tua yang tidak tahu mengurusi anak! Berteman dengan segala macam manusia jahat dibiarkan saja. Hemm, aku akan minta pertanggungan jawab kepada suhumu. Akan kulabrak dia kalau tidak bisa mendapatkan anakku dalam keadaan sehat selamat!" Wajah nenek itu menjadi merah padam dan hampir saja ia menangis. Ia lalu cepat memasuki keretanya dan berkata dengan suara berteriak kepada murid-muridnya,

   "Kita tidak jadi bermalam disini! Bayar semuanya lalu susul aku. Malam ini juga aku harus melabrak si tua bangka itu atas keteledorannya mengasuh Kim-ji!" Setelah berkata demikian, kereta dilarikan dengan kencang menuju ke barat, kearah Kotaraja. Para murid itu tertegun dan bengong saja. Yap Kiong Lee menjadi serba salah. Sejak suhu dan subonya hidup berpisah, hatinya merasa bingung dan prihatin sekali, bahkan dia sampai tidak mau menikah sampai sekarang. Dia sangat takut dan hormat kepada subonya karena diwaktu dia masih kecil, subonya itulah yang mengasuhnya dan dia tahu bahwa subonya itu sebenarnya amat sayang padanya. Kemudian suhu dan subonya saling berpisah, subonya meninggalkan suhunya yang sudah tua itu dan mengabdi kepada Kaisar di Istana yang masih keponakannya sendiri.

   Suhunya tidak mau ikut dan dia sendiri kasihan dan tidak tega untuk meninggalkan suhunya yang sudah tua dan sendirian itu. Karena dia tidak mau ikut subonya dan memilih untuk tinggal disitu merawat suhunya, maka subonya tidak mau lagi menggubrisnya. Kini subonya marah-marah, tentu akan terjadi keributan dan dia merasa prihatin sekali. Yap Kiong Lee lalu memerintahkan para sutenya untuk berpencar dan menyelidiki kemana Yap Kim dilarikan orang. Pada saat itu, Si Harimau Gunung bersama empat orang penjahat kasar tadi telah lenyap dari situ, agaknya jerih dan tidak bernapsu lagi untuk melanjutkan perkelahian. Pek In dan Ang In membayar sewa kamar yang belum dipakai itu dan membayar harga makanan, kemudian mereka yang juga nampak tegang dan khawatir itu menghampiri Kiong Lee.

   "Bagaimana baiknya sekarang, Yap-suheng?" tanya Pek In.

   "Tidak ada jalan lain, kalian harus mentaati perintah subo, menyusulnya ketempat suhu. Dan nona ini... siapakah nona ini dan bagaimana bisa bersama kalian?"

   "Nona Sie Pek Lian ini adalah seorang yang dicurigai subo sebagai teman ketua Lembah Yang-ce, maka subo memerintahkan kami untuk menawannya dan mengajaknya pulang."

   "Hemm, kalau begitu, mari kita susul subo. Pasti akan menjadi ramai disana." Merekapun berangkat, mempergunakan kereta Kiong Lee untuk mengikuti jejak kereta nenek Siang Houw Nio-nio yang marah itu. Kiong Lee benar-benar merasa prihatin sekali.

   "Adik Pek dan Ang, aku khawatir akan terjadi salah paham antara subo dan suhu. Padahal, saat ini suhu sedang mengasingkan diri ditempat samadhinya, sudah belasan hari suhu tidak keluar dari situ." Dua orang gadis itupun merasa khawatir sekali. Sebaliknya, Pek Lian menjadi ingin tahu sekali dan merasa amat tertarik. Makin lama, makin banyak ia mengalami hal yang aneh-aneh, bertemu dengan orang-orang yang aneh dan berilmu tinggi Betapa didunia ini penuh dengan orang-orang pandai, pikirnya,

   Akan tetapi herannya, semakin pandai orang, semakin banyak masalah yang mereka hadapi, keruwetan-keruwetan hidup yang membuat kehidupan mereka itu menjadi tidak tenang, bahkan menderita. Biarpun ia belum tahu benar, akan tetapi iapun dapat menduga bahwa tentu ada rahasia besar antara nenek Siang Houw Nio-nio dan ketua Thian-kiam-pang itu, rahasia yang membuat mereka terpisah dan agaknya menderita dan saling bermusuhan. Benar juga kata-kata yang pernah didengarnya dahulu bahwa kelandaian itu, seperti juga harta dan kedudukan, lebih banyak mendatangkan malapetaka dari pada bahagia. Tadinya ia sendiri tidak begitu mengerti akan arti kata-kata ini yang dianggapnya tak masuk akal karena bukankah semua itu bahkan merupakan sarana untuk dapat merasakan kebahagiaan?

   Akan tetapi, sekarang ia mulai melihat betapa orang-orang yang berkepandaian tinggi, justeru menjadi sengsara hidupnya karena kepandaian itu sendiri. Persaingan, permusuhan, perkelahian terjadi dimana-mana dan saling bunuh terjadi diantara orang-orang yang pandai ilmu silat. Apakah hal buruk ini akan terjadi pada orang-orang yang tidak tahu ilmu silat? Agaknya kemungkinannya jauh karena mereka tentu tidak condong mempergunakan kekerasan. Dan kedudukan? Ayahnya sendiri sekeluarga tertimpa malapetaka karena kedudukan. Andaikata ayahnya bukan seorang Menteri, melainkan seorang petani miskin, apakah Kaisar akan melihatnya? Tentu keluarga ayahnya kini masih aman sentausa, walaupun sebagai keluarga petani miskin! Untung bagi mereka bahwa malam itu terang bulan sehingga dengan mudah mereka dapat mengikuti jalan yang berlika-liku mengikuti arus sungai itu.

   Belasan li sebelum memasuki daerah Kotaraja Tiang-an, mereka membelok kekanan, meninggalkan jalan besar memasuki jalan kecil, akan tetapi tetap mengikuti aliran sungai. Mereka memasuki sebuah hutan kecil yang banyak menyembunyikan cahaya bulan. Akan tetapi karena Yap Kiong Lee sudah hapal akan jalan ditempat itu, dia dapat menjalankan keretanya dengan lancar. Kemudian nampak sebuah telaga kecil ditengah hutan dan dipinggir telaga itu terdapat sebuah bangunan megah yang dilingkari tembok merah yang kokoh kuat seperti benteng. Hari telah larut malam dan tempat itu nampak sunyi sekali. Akan tetapi mereka tahu bahwa tempat itu tentu terjaga ketat oleh para murid perkumpulan Thian-kiam-pang. Kiong Lee, Pek In dan Ang In longak-longok dan merasa heran karena tidak melihat adanya kereta subo mereka yang tadi dilarikan kencang lebih dahulu.

   "Berhenti! Siapa disana?" Bentakan nyaring ini segera dikenal oleh Kiong Lee sebagai suara ji-sutenya, yaitu orang kedua setelah dia diantara murid-murid Thian-kiam-pang. Tentu ji-sutenya itu sedang bergilir meronda. Pek Lian yang mendengar bentakan itu, merasa jantungnya tergetar karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan khikang yang cukup kuat untuk membuat orang yang datang dengan niat buruk menjadi gentar.

   Akan tetapi Kiong Lee tidak jadi menjawab karena dia mendengar suara kaki berlari-lari disusul suara beradunya senjata! Agaknya yang ditegur oleh ji-sutenya tadi bukanlah rombongannya, melainkan orang lain. Yap Kiong Lee mengerahkan ilmu ginkangnya dan sekali tubuhnya meluncur kedepan, dia telah meninggalkan tiga orang wanita muda itu. Tubuhnya lalu mencelat keatas, berputaran dan tahu-tahu dia telah hinggap diatas pagar tembok yang kokoh kuat dan tinggi itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak pagar tembok, dari sebelah dalam menyambar sebatang piauw kearah lehernya. Dia cepat mengelak, akan tetapi penyerangnya itu sudah berada didekatnya dan menyerangnya dengan tusukan pedang. Kembali Kiong Lee mengelak dan biarpun cuaca remang-remang, agaknya penyerangnya itu mengenal gerakan mengelak ini, sedangkan Kiong Lee juga mengenal gerakan serangan pedang.

   "Toa-suheng...!" penyerang itu berseru.

   "Sam-sute! Ada apakah ini?"

   "Entahlah, suheng. Aku baru saja keluar karena mendengar teriakan ji-suheng tadi. Agaknya tempat ini kedatangan orang-orang jahat. Lihat, disana ji-suheng sedang melayani seorang musuh agaknya!"

   "Benar! Cepat kau pergi kebelakang, disana terdengar banyak orang bertempur. Aku akan membangunkan semua saudara kita!" Sute ketiga dari Kiong Lee itu meloncat lenyap dan Kiong Lee lalu mengerahkan ilmunya yang hebat, membungkuk dan mencengkeram kearah tembok pagar itu sehingga tembok itu hancur didalam genggaman tangannya, kemudian dia menggunakan tenaganya untuk menyambit kearah genta besar diatas menara yang berada tinggi dan agak jauh disudut pekarangan. Biarpun jaraknya jauh dan yang dipakai menyambit hanyalah hancuran tembok, akan tetapi segera terdengar suara genta nyaring berbunyi berkali-kali seperti ditabuh bertalu-talu oleh tangan yang kuat.

   Tentu saja suara itu mengejutkan semua penghuni rumah perkumpulan atau perguruan Thian-kiam-pang itu dan semua terbangun dari tidur dan bergegas keluar. Keadaan menjadi gempar akan tetapi kini semua murid telah berlarian keluar dengan pedang ditangan. Akan tetapi mereka itu hanyalah murid-murid tingkat rendahan yang juga menjadi anak-buah Thian-kiam-pang, sedangkan diantara tujuh orang murid utamanya, kini yang berada disitu hanya Yap Kiong Lee, ji-sutenya dan sam-sutenya saja, sedangkan yang lain-lain masih ketinggalan karena sedang berpencar dan mencari-cari kemana perginya orang yang menculik Yap Kim. Kiong Lee sudah cepat meloncat kearah samping bangunan dimana dia melihat ji-sutenya sedang bertanding melawan seorang wanita cantik.

   Melihat betapa Kwan Tek, yaitu adik seperguruannya yang kedua itu tidak bersepatu, tahulah Kiong Lee bahwa Kwan Tek tentu terbangun dari tidur dan tidak sempat mengenakan sepatu. Kiong Lee berdiri memperhatikan perkelahian itu. Dengan sepasang pedangnya, Kwan Tek sebetulnya dapat mendesak lawannya, karena selain serangannya lebih mantap, juga ia memiliki tenaga yang lebih besar sehingga lawannya kewalahan menghadapi serangan-serangan sepasang pedangnya. Akan tetapi wanita baju hitam itu memiliki kegesitan yang luar biasa dan jelaslah bahwa ginkangnya memang hebat sehingga sebegitu jauh ji-sutenya itu belum juga dapat mengalahkannya. Kiong Lee segera mengenal wanita cantik itu yang bukan lain adalah Pekpi Siauw-kwi (Iblis Cantik Tangan Seratus) atau juga terkenal dengan sebutan Si Maling Cantik yang amat terkenal namanya sebagai maling tunggal didaerah selatan.

   Maling Cantik itu juga memegang sepasang senjata, yang kiri sebatang pedang pendek dan yang kanan sehelai sabuk sutera. Kiong Lee maklum bahwa sutenya itu tidak perlu dibantu, maka diapun cepat meloncat kebelakang dan terkejutlah dia melihat betapa tempat itu telah didatangi oleh banyak penjahat yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. bangunan sebelah kiri sudah terbakar dan dia melihat adik seperguruannya yang ketiga sibuk menghadapi serbuan para penjahat, dibantu oleh para anggauta Thian-kiam-pang. Dia teringat akan suhunya yang masih berada didalam tempat pertapaannya, yaitu disebuah bangunan yang berada diatas pulau kecil ditengah telaga kecil. Cepat dia berlari ketempat itu dan didepan bangunan itupun terdapat orang bertempur.

   Ketika Kiong Lee melihat bahwa yang berkelahi itu adalah nenek Siang Houw Nio-nio, dia terkejut bukan main. Lawan subonya itu adalah seorang laki-laki tinggi bermantel hitam, memiliki gerakan yang luar biasa sekali, cepat dan aneh sehingga subonya sendiri nampak terdesak! Sejenak Kiong Lee berdiri tertegun. Subonya bukanlah tokoh silat sembarangan. Ia merupakan pengawal pribadi Kaisar yang berilmu tinggi. Dia tahu betul betapa saktinya subonya itu, mungkin tidak banyak selisihnya dengan kesaktian gurunya. Akan tetapi sekarang, menghadapi lawan berjubah hitam ini, subonya jelas terdesak. Orang berpakaian hitam itu bergerak luar biasa cepatnya, seperti setan saja. Jantungnya berdebar tegang. Dia sudah mendengar laporan tentang Raja Kelelawar. Inikah orangnya? Kiong Lee mengamati gerakan orang itu dengan penuh perhatian. Memang luar biasa sekali gerakan orang itu.

   Kiranya mantel hitam itulah yang menjadi semacam perisai, atau tempat berlindung, juga tempat dimana dia bersembunyi dan dari situ melakukan serangan-serangan dahsyat. Mantel hitam itu kadang-kadang kaku kadang-kadang lemas dan dapat menyembunyikan gerakan-gerakannya dari mata lawan karena pihak lawan hanya dapat melihat ujung kepala, kaki dan tangan saja. Semua serangan lawan banyak digagalkan oleh adanya mantel yang menjadi perisai itu dan setiap kali ada lowongan, tentu iblis itu menyerang dari balik mantel dengan dahsyat. Beberapa kali dilihatnya betapa subonya kewalahan dan nyaris terpukul. Melihat ilmu silat aneh ini, Kiong Lee teringat akan cerita gurunya tentang ilmu andalan Si Raja Kelelawar yang amat hebat, yaitu yang disebut Ilmu Silat Gerhana Bulan. Mantel itu seolah-olah menjadi awan tebal yang menyelimuti atau menyembunyikan bulan.

   Inikah Ilmu aneh itu? Kiong Lee tidak tega melihat subo nya terdesak dan terancam bahaya, maka diapun cepat terjun kedalam medan perkelahian dan membantu, subonya. Begitu terjun, Kiong Lee menyerangnya dari belakang. Dia berpendapat bahwa kalau orang itu dikeroyok dari depan dan belakang, tentu tidak akan mampu berlindung dibalik mantelnya lagi. Akan tetapi ternyata pendapatnya ini tidak benar. Secara aneh sekali, mantel yang hitam lebar itu dapat bergerak aneh dan cepat, menggulung dan berkibaran mengelilingi tubuh Si Raja Kelelawar sehingga menyembunyikannya dari semua jurusan, juga dari belakang! Seperti juga subonya, Kiong Lee tidak dapat melihat tubuh lawan dengan jelas dan tidak melihat pula gerakan lawan dibalik mantel hitam itu. Dan semua hantamannya selalu bertemu dengan mantel yang seperti perisai.

   Kalau dia mempergunakan tenaga sinkang, maka pukulannya tiba dipermukaan mantel yang lunak dan yang menyerap semua tenaga pukulannya, dan kadang-kadang mantel itupun menjadi keras seperti perisai baja yang kuat. Sungguh merupakan ilmu yang aneh dan, berbahaya. Mantel itu bisa saja tiba-tiba terbuka untuk memberi jalan keluar serangan dahsyat dari Raja Kelelawar itu! Dan gerakan orang itu cepat bukan main, berkelebatan seolah-olah dia mempergunakan ilmu terbang saja. Kiong Lee sudah mencabut sepasang pedangnya dan menyerang dengan sungguh-sungguh, namun semua serangannya gagal dan dia sendiripun kini terdesak. Mengeroyok dua bersama subonya yang sakti masih terdesak, padahal tingkat kepandaiannya disaat itu sudah maju pesat, tidak berselisih banyak dengan tingkat subonya. Sungguh membuat mereka berdua merasa penasaran sekali.

   Tiba-tiba subonya mengeluh karena paha kirinya kena tendangan iblis itu yang mencuat dari balik mantel hitamnya. Tendangan itu datangnya sama sekali tidak tersangka-sangka dan sedemikian cepatnya karena gerakan iblis itu memang luar biasa cepatnya, dilakukan ketika tubuh iblis itu baru saja meloncat dan mengelak dari sambaran pedang Kiong Lee sehingga datangnya tidak tersangka-sangka dan tendangan itu luar biasa kerasnya sampai tubuh Siang Houw Nio-nio terlempar dan menabrak pintu bangunan sampai jebol! Tentu saja Kiong Lee terkejut sekali dan cepat menolong subonya yang bangkit lagi. Sepasang pedangnya diputar dengan pengerahan sinkang sekuatnya sehingga membentuk gulungan sinar yang lebar dan tidak memungkinkan Raja Kelelawar untuk mendesak nenek yang sudah terkena tendangannya itu dan terpaksa harus menghadapi pemuda perkasa itu.

   Akan tetapi setelah kini dia harus menghadapi iblis itu sendirian saja sedangkan subonya agaknya belum pulih kembali dan belum terjun membantunya, Kiong Lee merasakan betapa hebatnya kepandaian iblis itu. Setelah kini dia harus menghadapinya sendirian, baru terasa olehnya kehebatannya. Terutama sekali kecepatan gerakan itulah yang membuatnya benar-benar bingung dan kewalahan karena dia merasa seperti menghadapi banyak lawan. Iblis itu bergerak sedemikian cepatnya sehingga sukar untuk dapat diikutinya dengan pandang mata, sebentar didepan, tahu-tahu sudah menyerang dari kanan, dari kiri, bahkan tahu-tahu menerjang dari belakangnya!

   Dia sudah mengerahkan kepandaiannya, memainkan langkah-langkah ajaib, akan tetapi semua itu sia-sia saja karena kecepatan gerak Si Raja Kelelawar itu sungguh tak dapat dipecahkan oleh langkah-langkah ajaib. Iblis itu seolah-olah dapat terbang atau menghilang, dan juga dalam hal tenaga sinkang, Kiong Lee harus mengakui keunggulan lawan. Dia memang kalah segala-galanya, pendeknya tingkatnya masih kalah jauh. Maka, setelah terdesak hebat, akhirnya pundak kirinya terkena sambaran jari tangan lawan. Kelihatan perlahan saja, akan tetapi cukup membuat lengannya terasa ngilu dan seperti setengah lumpuh, lengan kirinya tergantung lemas dan terpaksa dia melompat mundur. Pada saat itu nampak bayangan diluar pintu. Nenek Siang Houw Nio-nio yang maklum bahwa pemuda itu terluka pula, khawatir melihat bayangan ini. Kalau ada musuh lagi datang, tentu mereka berdua takkan berdaya lagi.

   "Lee-ji, cepat buka pintu rahasia bawah tanah! Cepat!" Kiong Lee tercengang dan meragu.

   "Tapi... tapi suhu sedang bertapa didalam... teecu takut mengganggu, tanpa ijin beliau tak seorangpun boleh membukanya... aughh...!" Sebuah tendangan iblis itu mengenai punggungnya dan Kiong Lee terlempar, muntah darah!

   "Persetan dengan tua bangka itu! Cepat sebelum kita mati penasaran! Lihat, lawan kita bertambah!" Sambil berkata demikian, nenek itu menyebar jarum-jarum halus kearah iblis itu, bagaimanapun juga, nenek itu adalah seorang yang berilmu tinggi dan hal ini diketahui oleh si iblis yang tidak berani sembarangan dan cepat melindungi tubuhnya dari jarum-jarum halus itu dengan mantelnya. Juga dia maklum bahwa pemuda itupun amat lihai, maka biarpun keduanya telah terluka, dia tidak berani sembarangan mendekat dan menanti kesempatan baik untuk menurunkan tangan mautnya.

   Dan kini, khawatir kalau mereka lolos, iblis itu bergerak cepat mengelilingi mereka, tidak membiarkan mereka melarikan diri melalui pintu rahasia yang belum diketahuinya dimana letaknya. Siang Houw Nio-nio dan Kiong Lee berdiri beradu punggung melindungi diri yang sudah terluka. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang memasuki ruangan bangunan kecil itu. Semua orang melirik dan kiranya yang masuk adalah Ho Pek Lian, nona tawanan itu. Dibelakangnya nampak Pek Lian dan Ang In. Ketika Pek Lian melihat Raja Kelelawar yang pernah menawannya, dan melihat betapa pemuda perkasa itu luka, ia menjadi marah sekali dan langsung saja, dengan nekat iapun menerjang maju dan menyerangnya dengan pukulan tangan kanan. Akan tetapi, Raja Kelelawar itu menangkis dan akibatnya, tubuh Pek Lian terlempar menabrak sebuah pot bunga yang berada disudut ruangan.

   Pot bunga kuningan itu tidak roboh terlanggar tubuh Pek Lian, melainkan tergeser kesamping. Terdengar bunyi berkerotokan dan tiba-tiba saja separuh lantai ruangan itu terbuka dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh nenek Siang Houw Nio-nio dan Kiong Lee, juga tubuh Pek Lian terjerumus kedalam lubang. Melihat ini, Pek In dan Ang In berteriak khawatir, akan tetapi merekapun meloncat menyusul kedalam lubang itu karena mereka maklum bahwa lubang itu tentulah merupakan rahasia yang baru dibuat oleh Thian-kiam-pang. Melihat ini, Raja Kelelawar menjadi marah, hendak mengejar, akan tetapi dia meragu, takut kalau-kalau dia akan terjebak. Kembali terdengar suara berkerotokan dan tahu-tahu lantai telah menutup kembali.

   Barulah Raja Kelelawar sadar bahwa mereka itu telah meloloskan diri melalui pintu rahasia, yaitu lubang tadi. Dia menjadi geram. Dihampirinya pot bunga kuningan itu dan digeser-gesernya kekanan kiri untuk membuka lantai. Namun dia tidak berhasil. Agaknya lubang itu telah tertutup dan dikunci dari bawah. Dia memukul-mukul pot bunga sampai hancur dan memukul-mukul lantai, menendang-nendang. Akhirnya dia mengerahkan anak-buahnya untuk membakar bangunan ditengah pulau kecil itu, lalu diapun keluar dan bersama anak-buahnya dia melakukan pembantaian besar-besaran digedung induk Perguruan Pedang Langit (Thian-kiam-pang). Semua anggauta dan murid dibunuhnya dengan kejam, dan seluruh bangunannya dibakar sampai habis. Agaknya, Raja Kelelawar ini amat membenci Thian-kiam-pang, seperti orang melampiaskan dendam yang hebat!

   ***

   Mereka yang terjeblos kedalam lubang itu terjatuh kedalam ruangan bawah tanah dan biarpun lantai diatas telah menutup kembali, namun keadaan disitu cukup terang dengan adanya lampu-lampu yang menempel didinding batu. Nenek Siang Houw Nio-nio yang terluka pahanya itu, terpincang-pincang menuruni lorong kecil. Dibelakangnya, Pek In dan Ang In memapah Kiong Lee yang terluka parah dipundak dan punggung. paling belakang adalah Ho Pek Lian. Lorong itu panjang sekali, berbelak-belok naik turun dan akhirnya mereka tiba didepan sebuah pintu tertutup yang bertuliskan RUANGAN SAMADHI. Agaknya langkah kaki mereka sudah diketahui orang karena dari balik pintu terdengar suara teguran halus,

   "Siapa diluar itu? Lee-jikah itu?" Sebelum Kiong Lee dapat menjawab, nenek itu mendahuluinya menjawab lantang,

   "Akulah yang datang!" Terdengar seruan tertahan dari dalam dan tiba-tiba daun pintu terbuka. Dibalik pintu itu berdiri seorang kakek berambut panjang. Kiong Lee, Pek In dan Ang In cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

   "Suhu!" Untuk beberapa lamanya, nenek dan kakek itu berdiri saling pandang penuh selidik dan ada keharuan menyelinap dalam pandang mata mereka. Mereka adalah suami-isteri yang telah saling berpisah selama lima belas tahun walaupun keduanya sama-sama tinggal didaerah Kotaraja.

   "Sumoi...!" Kakek itu akhirnya menegur dengan suara lirih. Semenjak berpisah, nenek itu tidak mau lagi diakui sebagai isteri, maka terpaksa kakek itupun menyebutnya dengan sebutan semula sebelum mereka menjadi suami-isteri, yaitu sumoi karena memang isterinya ini adalah sumoinya sendiri. Akan tetapi, panggilan yang mengandung keha-ruan dan kelembutan ini tidak diacuhkan oleh si nenek yang marah. Ia bahkan tidak memperdu-likan pahanya yang amat nyeri rasanya, akan tetapi langsung saja ia menyerang kakek itu dengan kata-kata ketus.

   "Dimana anakku, Kim-ji? Hayo katakan dimana dia? Engkau membiarkan dia dihina orang, ya? Engkau membiarkan dia bergaul dengan segala macam manusia sesat, ya? Hayo kau kembalikan anakku kepadaku, kalau tidak...!" Nenek itu terengah-engah dan kedua matanya tiba-tiba menjadi basah! Kakek itu menjadi bengong. Matanya memandang berganti-ganti kepada isterinya dan murid-murid itu, karena dia sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh isterinya yang marah-marah. Juga dia merasa heran melihat mereka masuk seperti itu, bahkan isterinya dan juga murid utamanya menderita luka yang cukup parah. Melihat keadaan suhunya, Kiong Lee merasa kasihan dan diapun berkata,

   "Suhu... adik Kim... Dia telah dilukai orang... lalu diculik..." Sejenak kakek itu terbelalak, akan tetapi sebentar saja dia sudah mampu menguasai hatinya lagi dan dengan sikap tenang diapun berkata,

   "Marilah kita semua masuk kedalam, jangan ribut-ribut disini. Aku mempunyai seorang tamu disebelah dalam. Mari, sumoi, silahkan masuk dan kalian samua, anak-anak, masuklah." Biarpun masih cemberut, nenek Siang Houw Nio-nio melangkah masuk terpincang-pincang, diikuti semua murid dan juga Pek Lian tidak ketinggalan memasuki ruangan itu dengan hati tegang dan heran. Ternyata ruangan itu sangat luas dan nyaman sejuk.

   Pada dinding-dindingnya bergantungan lukisan-lukisan orang dalam posisi bersilat. Didalam kamar itu telah berdiri seorang kakek tua yang nampaknya masih sehat dan bersemangat, menyambut sambil tersenyum membungkuk terhadap Siang Houw Nio-nio. Melihat pakaian kakek itu, diam-diam Pek Lian menjadi terkejut bukan main. Kakek tamu ini berjubah hitam yang ada lukisannya seekor naga dibagian dadanya, menutupi tabuhnya yang tinggi besar. Pek Lian teringat akan orang-orang dari Liong-i-pang, yaitu Perkumpulan Jubah Naga yang berambut riap-riapan dan yang pernah menyerang keluarga Bu itu. Inikah ketua dari Liong-i-pang yang mempunyai anak-buah yang kasar dan kejam itu? Akan tetapi karena maklum bahwa ia berada diantara orang-orang sakti, maka Pek Lian berlagak tidak tahu dan bersikap tenang saja walaupun hatinya terguncang hebat.

   "Isteriku, inilah dia saudara Ouwyang Kwan Ek" Kakek itu memperkenalkan. Nenek itu memandang dan nampaknya tertarik.

   "Ah, murid kedua dari mendiang Sin-yok-ong?" tanyanya. Kakek tinggi besar berkulit hitam itu tersenyum dan menjura.

   "Sudah lama mendengar nama besar Siang Houw Nio-nio, sungguh beruntung hari ini dapat bertemu. Toanio, kakimu terluka dan mengandung racun, kalau boleh saya berlancang, silahkan toanio menelan obat ini, tentu segera sembuh kembali," kata si tinggi besar sambil menyerahkan sebutir pel merah. Nenek itu maklum bahwa ia berhadapan dengan murid seorang tokoh besar Raja obat, maka iapun tidak mau sungkan lagi, menerima pel itu dan menelannya. Rasa panas menjalar dari perutnya dan dengan sinkangnya ia menekan hawa panas itu kearah pahanya yang terluka dan sungguh ajaib, ia merasa betapa rasa nyeri dipahanya perlahan-lahan lenyap. Cepat ia menghaturkan terimakasih.

   "Ouwyang-toyu, jangan pelit, sekalian berilah obat kepada muridku yang terluka," kata kakek itu.

   "Lee-ji, majulah agar diobati oleh Ouwyang-Lo-cianpwe." Kiong Lee maju dan berlutut didepan kakek itu. Ouwyang Kwan Ek adalah murid kedua dari Si Raja Tabib dan sebenarnya dia tidak mewarisi ilmu pengobatan karena yang mewarisi adalah mendiang Bu Cian murid pertama Si Raja Tabib. Akan tetapi sebagai murid Raja Tabib, tentu saja dia tidak buta dengan ilmu pengobatan dan kalau tidak terlalu hebat saja, dia mempunyai obat-obat untuk bermacam luka parah. Setelah meraba punggung dan pundak Kiong Lee, kakek itu menarik napas panjang.

   "Siancai...! Luka-luka ini diakibatkan pukulan-pukulan sakti yang hebat. Untung muridmu ini telah memiliki sinkang yang amat kuat, kalau tidak, tentu aku akan sukar mengobatinya, Yap-lojin!" katanya kepada tuan rumah. Kakek ketua Thian-kiam-pang itu bernama Yap Cu Kiat atau diantara kenalan-kenalannya lebih terkenal disebut Yap-lojin (orang tua Yap). Setelah menotok pundak dan punggung Kiong Lee, kakek itu lalu memberi obat bubuk berwarna kuning untuk diminum dengan air. Dan memang obat itu mustajab sekali karena Kiong Lee merasa betapa luka-luka didalam tubuhnya tidak terasa nyeri lagi dan hanya membutuhkan pengobatan dengan pengerahan sinkang sendiri. Diapun cepat menghaturkan terimakasih.

   "Kiong Lee, apakah yang terjadi? Kenapa engkau sampai terluka dan juga subomu..."

   "Hemm, enak-enak saja bersenang sendiri disini, tidak tahu diluar dibanjiri musuh yang dipimpin oleh Raja Kelelawar. Anak sendiri dilarikan orangpun tidak tahu!" Nenek itu masih marah. Mendengar ini, terkejutlah Yap-lojin.

   "Raja Kelelawar menyerbu kesini? Ah, aku harus keluar melihatnya!"

   "Aku akan menemanimu, lojin!" kata Ouwyang Kwan Ek yang segera mengikuti tuan rumah.

   Mereka cepat keluar dari terowongan itu dan mencari keluar. Akan tetapi, setelah mereka tiba diluar, pertempuran telah berhenti dan pihak musuh telah tidak nampak lagi bayangannya. Yang ada hanya mayat-mayat para anggauta Thian-kiam-pang, termasuk murid-muridnya yang kedua, yaitu Kwan Tek, dan murid ketiga, diantara bangunan yang terbakar habis! Tentu saja Ouwyang Kwan Ek merasa terkejut dan kasihan kepada sahabatnya yang berdiri bengong dengan muka pucat. Dia lalu membantu tuan ramah untuk mengangkut mayat-mayat itu melalui terowongan. Melihat kedua adik seperguruannya tewas, Kiong Lee memekikinya sambil menangis. Juga Pek In dan Ang In ikut menangis sedih. Bahkan nenek Siang Houw Nio-nio sendiri tak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya dan nenek ini mengepal tinju.

   "Raja Kelelawar, aku akan menghadapimu kelak untuk membuat perhitungan!" Pek Lian yang melihat semua ini menjadi ikut terharu dan ikut menangis. Tak disangkanya bahwa keluarga yang sakti ini tertimpa malapetaka demikian hebat dan kembali matanya seperti dibuka oleh kenyataan bahwa semakin tinggi kepandaian orang, semakin besar pula bahayanya karena tentu orang itu mempunyai musuh-musuh yang lihai pula.

   Dengan penuh duka cita mereda semua lalu mengubur mayat-mayat dengan upacara sederhana saja. Mayat-mayat itu dikubur dibelakang bangunan yang sudah menjadi abu dan malam hari itu terpaksa mereka kembali memasuki terowongan karena semua tempat telah terbakar sehingga sisa tempat yang ada hanyalah ruangan dibawah tanah. Mereka duduk berkumpul dalam suasana duka dan masing-masing merasakan suatu keakraban. Bahkan Pek Lian sendiri yang tadinya adalah seorang tawanan, pada saat itu merasa seolah-olah ia menjadi anggauta keluarga itu. Juga Ouwyang Kwan Ek memperlihatkan simpatinya. Suami-isteri yang tadinya seperti mengambil sikap bertentangan itupun kini seperti melupakan perselisihan mereka yang sudah berlangsung belasan tahun itu.

   "Ilmu silat Raja Kelelawar dengan jubahnya itu memang hebat luar biasa. Semua setanganku kandas, bahkan jarum-jarumku tidak ada gunanya. Mengeroyoknya bersama Kiong Leepun masih terdesak dan terluka." Suaminya menarik napas panjang.

   "Itu baru Ilmu Gerhana Bulan, belum yang lain-lain. Ah, sungguh tidak kusangka setelah berpuluh tahun tidak ada jago silat yang menonjol dan berbakat, kini muncul keturunan Raja kaum hitam yang penuh bakat dan menyamai kesaktian leluhurnya, Si Raja Kelelawar yang sakti."

   "Memang kenyataan yang pahit sekali!" kata Ouwyang Kwan Ek, kakek tinggi besar hitam berjubah naga itu.

   "Padahal, dipihak kaum bersih, sampai kini tidak ada seorangpun jago berbakat yang muncul. Dari perguruan kamipun tidak ada seorang yang berbakat seperti mendiang suhu Raja Tabib Sakti. Aku sendiri cuma mewarisi sebagian saja dari ilmu-ilmunya, seperti halnya saudara seperguruanku yang lain."

   "Demikian pula pada perguruan kami," Yap-lojin berkata penuh sesal.

   "Sebenarnya Kiong Lee ini sangat berbakat, akan tetapi akulah yang bodoh tak mampu membimbingnya. Sayang, guruku, Sin-kun butek, telah tiada. Kalau masih ada, tentu beliau akan dapat membimbing Lee-ji ini dan akan ada seorang penggantinya yang boleh diandalkan!" Mendengar percakapan mereka, diam-diam Pek Lian mengalami kejutan lain. Tahulah ia sekarang bahwa ketua Perguruan Pedang Langit ini adalah keturunan dari Sin-kun butek, datuk dari utara, pendekar sakti terbesar seabad yang lalu, yang pernah didengarnya ketika ia masih bersama dua orang gurunya.

   Sin-kun butek yang sejajar namanya dengan si datuk selatan, yaitu Raja Tabib Sakti. Keduanya merupakan datuk-datuk kaum bersih yang merupakan saingan terbesar dari datuk-datuk kaum sesat seperti pendiri Tai-bong-pai, pendiri Soa-hu-pai, dan juga tentu saja menjadi musuh yang ditakuti dari Bit-bo-ong Si Raja Kelelawar. Mengertilah ia kini mengapa Raja Kelelawar memusuhi Thian-kiam-pang. Kiranya iblis itu ingin membalas dendam leluhurnya yang kabarnya tewas ditangan Sin-kun butek. pantas saja sarang Thian-kiam-pang itu dibasminya, semua penghuninya yang ada ditewaskan dan bangunan-bangunannya dibakar habis. Nenek Siang Houw Nio-nio juga hanyut dalam percakapan itu dan ia menarik napas panjang lalu berkata,

   "Yahh... padahal asal salah seorang dari murid-murid kita bisa mendalami pelajaran perguruan masing-masing secara sempurna seperti halnya iblis itu mempelajari ilmu leluhurnya yaitu Raja Kelelawar, aku berani bertaruh bahwa iblis itu pasti akan bisa ditaklukkan. Seperti juga dijaman dahulu Si Raja Kelelawar tidak berkutik ketika melawan guru-guru kita, baik melawan guru kami Raja Tabib Sakti maupun melawan Sin-kun butek." Ouwyang Kwan Ek mengangguk-angguk membenarkan ucapan ini. Memang patut disayangkan bahwa tidak ada murid dari para datuk itu yang dapat mewarisi seluruh ilmu gurunya sampai mencapai tingkat setinggi mereka. Akan tetapi dia tiba-tiba teringat akan sesuatu, lalu diapun berkata,

   "Kim-mo Sai-ong pendiri Soa-hu-pai yang bersama dengan iblis pendiri Tai-bong-pai merupakan juga datuk-datuk persilatan yang setingkat dengan guru-guru kita seabad yang lalu? Nah, aku mendengar bahwa ada cucu murid dari Kim-mou Sai-ong ini yang sangat berbakat, dan kabarnya kini telah mencapai tingkat ketiga belas ilmu-ilmu Soa-hu-pai, yaitu tingkat terakhir dari Soa-hu-pai yang hebat itu. Dan kabarnya orang itu kini mengabdi kepada Kaisar." Berkata demiki-an, Ouwyang Kwan Ek memandang kepada nenek Siang Houw Nio-nio yang juga mengabdikan dirinya kepada Kaisar karena masih terhitung keluarga dekat Kaisar. Nenek itu mengangguk-angguk.

   "Memang benar, akan tetapi orang itu menjadi komandan pengawal Istana dan kurasa diapun masih belum setinggi Raja Kelelawar tingkatnya. Dan seperti juga dahulu, alirannya tidak mau berurusan dengan iblis itu. Seperti, juga guru-gurunya tidak pernah acuh terhadap Raja Kelelawar."

   "Selama ini aku tidak pernah mendengar tentang orang-orang Tai-bong-pai. Setelah keturunan Raja Kelelawar keluar, apakah keturunannya juga tidak memperlihatkan diri? Ataukah Tai-bong-pai sudah mati dan tidak mempunyai keturunan?"

   Yap-lojin bertanya karena percakapan itu membongkar hal-hal lama, mengingatkan mereka akan golongan-golongan jaman dahulu yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Pek Lian membuka mulut menjawab. Ia teringat akan orang-orang yang membawa gadis cantik dalam keranjang yang terluka parah dan lumpuh itu. Untung bahwa ia masih dapat menahan hatinya, karena kalau ia membuka mulut, akhirnya tentu ia akan terpaksa membuka rahasianya bahwa ia adalah puteri Menteri Ho dan hal ini dapat berbahaya bagi dirinya. Maka iapun diam saja dan menundukkan muka, hanya memasang telinga mendengarkan percakapan yang amat menarik hatinya itu.

   "Entahlah, tidak ada berita tentang mereka..." kata kakek berjubah naga. Tiba-tiba Yap-lojin berseru,

   "Ahh...!" Pek Lian terkejut dan mengangkat muka memandang kepada kakek itu yang agaknya teringat akan sesuatu.

   "Lupakah kalian akan sasterawan itu? Dia yang yang mengalahkan keempat datuk sakti dahulu, leluhur kita itu?" Kakek berjubah naga terkejut.

   "Maksudmu?"

   "Mari kita memasuki ruang samadhiku." Kakek itu mendahului mereka semua memasuki pintu rahasia dan berkumpul diruangan bawah tanah yang luas. Yap-lojin membawa mereka semua kepada beberapa buah gambar. Gambar-gambar yang melukiskan bermacam gerakan menyerang, gambar searang sasterawan terhadap lawan-lawannya. Dalam tiap gambar, sasterawan tua itu menghadapi seorang lawan berbeda.

   "Lihat gambar-gambar ini dilukis untuk mengabadikan pengalaman yang amat langka itu, yaitu kalahnya para datuk sakti terhadap si sasterawan tua dan lukisan-lukisan ini adalah jurus-jurus terampuh yang dipergunakan para datuk, akan tetapi selalu si sasterawan yang menang," kata Yap-lojin.

   "Ah, betapa hebat dan menariknya. Harap suhu sudi menceritakan karena teecu amat tertarik mendengarnya." Kakek itu menarik napas panjang.

   "Hal ini sebenarnya merupakan rahasia para datuk yang dianggap amat memalukan, bahkan subomu sendiripun tidak tahu akan cerita ini. Akan tetapi setelah kini Raja Kelelawar seperti menjelma lagi dan mengacaukan dunia, kita memang boleh mengharapkan munculnya tokoh keturunan sasterawan ini yang akan menundukkannya. Nah, kalian dengarlah ceritaku." Kakek itupun lalu menceriterakan peristiwa hebat yang terjadi puluhan tahun yang lalu.

   Seabad yang lalu, dunia persilatan mengenal nama empat orang datuk yang dianggap sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian silat paling tinggi didunia persilatan. Mereka itu adalah dua orang tokoh golongan putih, yaitu Bu-Eng Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan) yang merupakan datuk putih daerah selatan, dan Sin-kun butek (Kepalan Sakti Tanpa Tanding) yang menjadi datuk putih diutara. Kemudian dua orang datuk golongan hitam, yaitu Cui-beng Kui-ong (Raja Iblis Pengejar Arwah) pendiri dari Tai-bong-pai dan Kim-mo Sai-ong (Raja Singa Berbulu E-mas) pendiri dari Soa-hu-pai. Empat orang tokoh inilah yang dianggap amat sakti dan paling tinggi ilmunya sehingga seorang seperti Bit-bo-ong (Raja Kelelawar) yang dianggap Rajanya kaum penjahat sekalipun tidak pernah berani bertingkah terhadap mereka dan dianggap masih lebih rendah dari pada mereka berempat.

   Biarpun diantara dua golongan itu ada golongan putih dan golongan hitam, akan tetapi mereka itu dapat mengikat persahabatan dan tidak pernah saling bermusuhan. Memang aneh, akan tetapi memang kehidupan para datuk ini tidak lumrah manusia biasa. Biarpun Cui-beng Kui-ong dan Kim-mo Sai-ong itu merupakan dua orang datuk hitam, akan tetapi mereka sendiri tidak pernah melakukan kejahatan, hanya dianggap datuk dan didewa-dewakan oleh kaum sesat. Mereka itu balikan memiliki kegagahan yang mengagumkan, walaupun pandangan mereka kadang-kadang sesat dan tidak mengenal arti kesopanan atau hukum-hukum yang ada.

   Mungkin karena saling segan oleh ilmu masing-masing yang amat tinggi, dan saling menyayang kepandaian masing-masing kawan, maka mereka itu dapat bersahabat. Anehnya, setiap empat tahun sekali, empat orang datuk itu selalu mengadakan pertemuan untuk membicarakan ilmu silat, bahkan mereka itu masing-masing memperlihatkan kemajuan-kemajuan yang mereka peroleh selama empat tahun terakhir, untuk dikagumi oleh yang lain, juga diakui! Akan tetapi baiknya, belum pernah diantara mereka itu terjadi persaingan atau cekcok, apa lagi lalu saling serang sampai bunuh-membunuh. Mereka agaknya maklum bahwa sekali bentrok, berarti mereka akan membiarkan dirinya terancam maut, karena sekali berkelahi, tentu kematian mengancam mereka.

   Bukan tidak mungkin, mengingat bahwa tingkat mereka seimbang, mereka akan sampyuh dan mati semua. Kadang-kadang mereka mengadakan pertemuan ditepi pantai, kadang-kadang di puncak gunung atau ditempat-tempat yang sunyi dan yang tak pernah didatangi orang lain. Pada suatu hari, kembali mereka mengadakan pertemuan setelah selama empat tahun mereka tidak pernah saling bertemu. Sekali ini, mereka memilih tempat di lembah Gunung Hoa-san yang indah dan amat sunyi. Dan di lembah itu terdapat sebuah telaga yang indah sekali, dengan airnya yang dalam dan kehijauan, bening seperti kaca. Sunyi sekali disitu sehingga ketika empat orang datuk itu datang secara beruntun, mereka merasa suka sekali dan memuji tempat itu sebagai tempat pertemuan yang amat menyenangkan.

   "Ha-ha-ha, kamu tukang obat memang pandai memilih tempat yang bagus!" Cui-beng Kui-ong pendiri Tai-bong-pai memuji karena memang tempat itu adalah pilihan Bu-Eng Sin-yok-ong. Mereka lalu duduk mengelilingi sebuah perapian sambil bercakap-cakap, membicarakan tentang ilmu silat dan tentang hasil-hasil mereka selama empat tahun ini. Bu-Eng Sin-yok-ong mengatakan bahwa diapun hanya mendengar saja tentang keindahan telaga ini dan baru sekarang dia datang ketempat itu.

   "Yok-ong, selama empat tahun ini ilmu apa sajakah yang berhasil kau ciptakan?" Kita-mo Sai-ong bertanya. Diantara mereka berempat, memang boleh dibilang tingkat Bu-Eng Sin-yok-ong yang paling tinggi sehingga tiga orang yang lain menganggap dia seperti saudara tua. Menurut tingkat mereka, walaupun mereka tidak pernah saling gempur, orang pertama adalah Bu-Eng Sin-yok-ong, kedua adalah Sin-kun butek dan Cui-beng Kui-ong yang memiliki tingkat seimbang, dan yang sedikit lebih rendah adalah Kim-mo Sai-ong. Akan tetapi, perbedaan tingkat ini tidak pernah mereka, nyatakan dengan mulut, hanya masing-masing mencatatnya didalam hati, mengukur dari kepandaian mereka ketika saling mendemonstrasikan ilrnu masing-masing. Ditanya oleh Kim-mo Sai-ong secara terbuka itu, Bu-Eng Sin-yok-ong tersenyum sambil mengelus jenggotnya.

   "Ah, sudah tua seperti aku ini, perlu apa memperdalam ilmu membunuh orang lain? Tidak, selama ini aku tidak mau menambah ciptaan ilmu membunuh. Sudah terlalu banyak ilmu membunuh diciptakan orang-orang pandai seperti kalian bertiga ini, maka aku lalu tekun didalam guha untuk mencari rahasia ilmu menghidupkan yang menjadi kebalikan dari ilmu membunuh."

   "Lo-heng, engkau adalah seorang Raja Tabib yang merupakan dewa pengobatan didunia ini, apakah engkau maksudkan selama ini engkau memperdalam ilmu pengobatan yang sudah hebat itu? Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat kau sembuhkan dengan ilmumu," tanya Sin-kun butek yang merasa seperti saudara sendiri dengan datuk selatan itu sehingga menyebutnya lo-heng.

   "Bukan hanya ilmu pengobatan, lo-te, melainkan ilmu menghidupkan," jawab yang ditanya.

   "Ha-ha-ha, tukang obat!" Cui-beng Kui-ong yang suka ugal-ugalan dan tidak pernah mau memakai peraturan, juga dalam hal memanggil nama itu, tertawa.

   "Yang dihidupkan itu hanyalah orang mati, apakah kau mau katakan bahwa engkau dapat menghidupkan orang mati?" Pertanyaan ini seperti kelakar, akan tetapi diam-diam yang bertanya merasa tegang dan juga dua orang lainnya memandang wajah Bu-Eng Sin-yok-ong dengan mata terbelalak penuh perhatian. Sin-yok-ong menarik napas panjang.

   "Siancai... aku hanya manusia biasa, mana mungkin dapat membuka rahasia antara mati dan hidup? Akan tetapi, sebagai ahli pengobatan, aku tertarik untuk menyelidiki sebab-sebab mengapa ada kematian dalam hidup ini. Manusia ini hidup karena adanya tenaga yang menggerakkan segala sesuati dalam tubuh kita, baik selagi terjaga maupun sedang tertidur, menggerakkan jantung, pernapasan dan seluruh urat syaraf dalam tubuh, sampai yang terhalus sekalipun. Kematian disebabkan karena tenaga penggerak ini tidak dapat menembus bag;an tubuh yang rusak, baik oleh kuman maurmn oleh kekerasan dari luar. Nah, aku melakukan penyelidikan bagaimana untuk menembus bagian tertutup itu sehingga tenaga penggerak itu mampu menembus kebagian-bagian yang terpenting sehingga semua anggauta tubuh dapat bekerja dengan baik walaupun ada bagian yang cacat dan hidup dapat dipertahankan." Tiga orang datuk lainnya mendengarkan dengan mata terbelalak.

   "Wah, wah, bukan main hebatnya! Kalau benar engkau telah berhasil mengatasi kematian, maka segala ilmu didunia ini tidak ada artinya lagi. Selamat, Yok-ong!" kata Kim-mo Sai-ong akan tetapi Sin-yok-ong mengangkat tangannya.

   "Jangan tergesa-gesa memberi selamat, Sai-ong. Aku baru dalam taraf penyelidikan dan percobaan saja dan ternyata dibalik itu tersembunyi rahasia-rahasia yang amat pelik dan gawat. Sudahlah, lebih baik kalian menceritakan dan memperlihatkan ilmu-ilmu baru yang kalian berhasil ciptakan selama ini."

   Kim-mo Sai-ong lalu mendemonstrasikan ilmunya yang paling hebat, yaitu ilmu tenaga sakti Rawa Pasir. Ketika dia mainkan ilmu ini yang diberi nama Pukulan Pusaran Pasir Maut, disekitar tubuhnya terasa ada tenaga hebat yang berdaya tolak luar biasa kuatnya, mengandung hawa dingin yang menggigilkan, terasa oleh tiga orang datuk lainnya yang dapat mengerti bahwa lawan yang kurang kuat tidak akan dapat bertahan menghadapi datuk ini dalam jarak tiga langkah saja. Dan kaki tangan Kim-mo Sai-ong mainkan ilmu silat yang dinamakannya Soa-hu-lian (Teratai Danau Pasir). Tiga orang datuk itu memuji ilmu-ilmu baru ini. Tiba giliran Cui-beng Kui-ong yang mendemonstrasikan ilmunya yang mutakhir, yaitu Ilmu Pukulan Penghisap Darah! Bukan main hebatnya pukulan ini.

   Terasa oleh tiga orang datuk lainnya betapa dalam angin pukulan itu terkandung hawa beracun yang menyedot kearah lawan dan setiap pertemuan anggauta badan dengan lawan, seperti kalau lawan menangkis dan sebagainya, lawan yang kalah kuat sedikit saja tenaganya tentu akan terkena akibat hawa pukulan ini yang akan menyedot keluar darah dari balik kulit mereka sehingga lawan seolah-olah akan berkeringat darah! Sebelum ilmu yang mengerikan ini, Cui-beng Kui-ong sudah pula memiliki Ilmu Tenaga Sakti Asap Hio yang membuat keringatnya berbau seperti hio (dupa biting) yang harum-harum aneh. Diam-diam Sin-yok-ong dan Sin-kun butek merasa khawatir dan ngeri. Kalau ilmu kedua orang datuk kaum sesat itu dipergunakan oleh murid-murid mereka yang berahlak bobrok, tentu akan mendatangkan malapetaka didunia ini.

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 7 Naga Beracun Eps 16

Cari Blog Ini