Ceritasilat Novel Online

Han Bu Kong 4

Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Bagian 4


"Hm, memangnya siapa kau dan apa maksud kedatanganmu?" jengek
Lamkiong Peng. Pemuda baju kelabu melirik sekejap Bwe Kim-soat yang masih bersandar
pohon itu, mendadak ia tertawa pula daun berkata, "Kau ingin tahu siapa aku
dan apa maksud kedatanganku" .... Hahaha, untuk itu harus kutahu dulu
apakah kau mau mengaku salah atau tidak"!"
"Hm," jengek Lamkiong Peng. "Jika kedatanganmu ini ingin mencari perkara,
ayolah lolos senjatamu dan tidak perlu banyak omong lagi."
Bwe Kim-soat tampak tersenyum, agaknya dia dapat membenarkan sikap
tegas Lamkiong Peng ini.
Suara tertawa pemuda baju kelabu serentak berhenti, dengusnya, "Hm,
memang kedatanganku adalah untuk mencari perkara!"
Sekali ia berputar, waktu berhadapan lagi tangannya sudah memegang
sebatang tombak bertangkai lemas.
Pedang Lamkiong Peng terselip pada tali pinggangnya, sarung pedang sudah
hilang jatuh ke jurang, maka pedang pemberian gurunya ini selalu dijaganya
dengan baik. Ia tersenyum dan menjawab, "Jika engkau memang sengaja mau mencari
perkara, terpaksa kulayani beberapa gebrakan."
Perlahan ia lantas melolos pedangnya, dia tetap bersikap tenang, tapi mantap,
emosinya tidak mudah terpancing, ia angkat pedang sebatas dada dan siap
tempur. "Silakan!" katanya. Agaknya sekarang dapat dilihatnya pemuda baju kelabu itu
sebenarnya tidak bermaksud jahat melainkan cuma terdorong oleh rasa
dongkol dan sengaja merecokinya, maka dalam tutur kata dan tindakan
dilayaninya dengan agak sungkan.
Segera pemuda baju kelabu memutar tombaknya sehingga menimbulkan
sejalur cahaya perak. Diam-diam Lamkiong Peng memuji kecepatan tombak
lawan. Segera pedangnya juga berputar.
Sekonyong-konyong pemuda baju kelabu bersuit terus mengapung ke udara.
Cahaya perak ikut mengambang ke atas.
Cepat Lamkiong Peng menyurut mundur setindak, ujung pedang menyungkit
ke atas. Tubuh si pemuda baju kelabu menikung di udara, tombak perak menusuk ke
bawah secepat kilat serupa bangau kelabu menerkam mangsa di daratan.
Hati Lamkiong Peng tergerak, "Thian-san-jit-kim-sin-hoat!"
Cepat ia menggeser ke samping, berbareng pedang lantas menebas ke atas.
Sinar hijau menahan cahaya perak tombak lawan, tapi ujung tombak pemuda
baju kelabu lantas menutul perlahan pada ujung pedang, "tring", dengan daya
pental itu ia melayang lagi ke udara.
Lamkiong Peng menatap tajam lawannya dan tidak memburunya melainkan
menunggu orang melayang turun ke bawah.
Padahal kalau dia mau melancarkan serangan susulan tentu lebih untung
daripada lawan yang terapung di udara. Namun dia tidak berbuat demikian
melainkan berdiri tegak saja.
Ketika pemuda baju kelabu melayang turun, perawakannya yang kekar berdiri
tegak tanpa bergerak, hanya tombak perak yang dipegangnya tampak
bergetar. Pemuda baju kelabu ini tak lain tak bukan ialah Tik Yang, sesudah mengubur
mayat di rumah gubuk itu, ia lantas memburu ke bawah gunung, ia ingin tahu
tokoh macam apakah "Gote" yang menjadi sanjungan Liong Hui itu.
Dia berwatak lugu dan terbuka, tidak menaruh perhatian atas curiga orang lain
kepadanya. Tapi setiap pemuda umumnya tentu mempunyai sifat keangkuhan
sendiri, maka begitu berhadapan dengan Lamkiong Peng lantas timbul
hasratnya untuk menguji kepandaiannya. Selain itu ia pun rada heran
mengapa orang bisa iseng mendengarkan nyanyian seorang perempuan cantik
di sini. Setelah berhadapan dengan Lamkiong Peng sekarang, timbul juga rasa
sukanya, keduanya berdiri berhadapan dan saling pandang.
Mendadak terdengar Bwe Kim-soat bersuara, "Eh, kenapa kalian berhenti"!"
Tanpa terasa pandangan kedua pemuda itu beralih ke arahnya.
Perlahan Bwe Kim-soat lagi berbangkit dengan gaya yang memikat. Dengan
langkah gemulai ia mendekati Tik Yang, lalu menegur, "Apakah engkau ini
keturunan mendiang Kiu-ih-sin-eng Tik-locianpwe dari Thian-san?"
Baru sekarang Tik Yang memerhatikan kecantikan orang yang luar biasa itu, ia
merasa silau sehingga seketika tidak mampu bersuara melainkan cuma
mengangguk perlahan saja.
Bee Kim-soat tertawa, katanya pula, "Tadi tentu engkau telah bertemu dengan
Suhengnya?"
Kembali Tik Yang melengak dan mengangguk lagi.
Tentu saja Lamkiong Peng sangat heran dari mana orang mengetahui hal ini.
Siapa tahu Bwe Kim-soat lantas berkata pula dengan tersenyum, "Tentu
disebabkan Suhengnya memuji dia di hadapanmu, karena penasaran, maka
kau susul kemari untuk mengujinya, betul tidak?"
Terbelalak mata Tik Yang, dengan heran ia mengangguk lagi.
Berturut ia tanya tiga kali dan setiap kali selalu tepat, hal ini membuat Tik
Yang selain terkesima atas kecantikannya, juga tercengang oleh
kecerdasannya. "Betul," akhirnya ia menjawab juga, "Memang betul tadi aku bertemu dengan
Suhengnya. Saat ini dia masih di atas sana."
"Anda ini ...."
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng, dengan tertawa Tik Yang berseru pula,
"Cayhe Tik Yang, sungguh sangat menyenangkan dapat bertemu denganmu.
Maaf atas tindakanku yang kasar tadi, kumohon diri sekarang, sampai
berjumpa lagi kelak."
Begitu kata terakhir itu terucapkan, serentak ia pun sudah melayang pergi.
"Cepat amat!" gumam Lamkiong Peng memandangi bayangan orang yang
cuma sekejap saja lantas menghilang di luar hutan sana.
Tiba-tiba Bwe Kim-soat tertawa dan berkata, "Apakah kau tahu sebab apa dia
pergi dengan tergesa-gesa?"
Belum lagi Lamkiong Peng menjawab segera ia menyambung lagi, "Sebab dia
tidak berani memandang lagi padaku."
Mendadak Lamkiong Peng membantah, "Engkau selalu memandang buruk sifat
orang lain. Sebaiknya kau ikut bersamaku untuk menemui Suhengku, nanti
baru engkau tahu di dunia ini masih ada lelaki sejati yang tidak mudah
terpengaruh oleh kecantikanmu."
Habis berkata Lamkiong Peng lantas mengangkat peti mati dan mendahului
melangkah ke sana.
Sejenak Bwe Kim-soat tertegun, tanpa terasa ia ikut melangkah ke sana dan
berseru, "Hei ...."
"Ada apa?" tanya Lamkiong Peng tanpa menoleh, juga tanpa berhenti.
"Kan gurumu menyuruhmu mengikut dan membela diriku, kenapa sekarang
kau tinggalkan aku dan pergi sendiri?"
Terpaksa Lamkiong Peng berhenti dan menoleh, "Bukankah kau pun ikut
kemari, kenapa bilang kupergi sendiri?"
"Aku ... aku ...." mendadak Bwe Kim-soat mengentak kaki dan berteriak,
"Tidak, aku tidak mau ikut ke atas lagi."
"Jika engkau tidak mau ikut, harap tunggu sementara di sini, peti ini juga
kutaruh dulu di sini," kata Lamkiong Peng dengan tersenyum.
"Siapa bilang akan kutunggumu di sini?" jengek Kim-soat.
"Wah, jika begitu, lantas ... lantas bagaimana baiknya?"
"Kau yang ikut aku turun ke bawah gunung ...."
"Tentu saja aku akan ikut turun, cuma hendaknya engkau ikut ke atas dulu."
Bwe Kim-soat tampak mendongkol, katanya dengan gusar, "Kau ...."
Tapi Lamkiong Peng lantas memotong, "Sudah sekian ribu hari engkau
tersekap di dalam peti mati ini, sekarang engkau harus menghirup udara
segar. Lihatlah, cuaca cerah, pemandangan indah, betapa menyenangkan bila
dapat pesiar ke puncak Hoa-san yang termasyhur ini?"
Bwe Kim-soat termenung sejenak, mendadak ia melayang lewat ke sana dan
hinggap di depan Lamkiong Peng, serunya, "Baik, ikut padaku!"
Akhirnya ia naik juga ke atas gunung.
Memandangi rambut orang yang panjang terurai dan kelakuannya yang
kekanak-kanakan itu, hampir saja Lamkiong Peng tertawa geli.
Siapa tahu lantas terdengar Bwe Kim-soat mengikik tawa di depan, katanya,
"Sekali tempo menurut perkataan orang terasa menarik juga, cuma ...."
mendadak ia menoleh dan menegaskan, "Cuma satu kali saja."
"Baik cuma satu kali saja," kata Lamkiong Peng sambil menahan rasa gelinya.
Sang surya baru saja terbit, puncak Hoa-san gilang-gemilang oleh sinar
matahari pagi itu, sampai rumah gubuk itu pun kelihatan kemilauan tersorot
oleh sinar sang surya.
Karena ingin lekas mengetahui keadaan di atas, langsung Lamkiong Peng
menuju ke rumah gubuk ini, namun di sini tiada terdapat seorang pun.
"Mereka sudah pergi semua ...." ucapnya dengan kecewa.
"Nah, kan sia-sia kedatanganmu ini," ujar Bwe Kim-soat.
"Juga belum tentu," seru Lamkiong Peng, mendadak ia menyodorkan peti mati
kepada Bwe Kim-soat, tanpa sempat berpikir Kim-soat menerima peti itu,
segera pula Lamkiong Peng melompat ke sana, disingkapnya kasuran tua itu.
Bwe Kim-soat tidak melihat sehelai kertas kuning yang terselip di bawah
kasuran, sambil mengangkat peti ia menjengek, "Hm, memangnya di bawah
kasur itu ada pusakanya?"
"Memang betul," kata Lamkiong Peng sambil membalik tubuh perlahan, di
tangannya tampak memegang sehelai kertas kuning, dengan cermat ia
membacanya, perlahan air mukanya menampilkan rasa lega, tapi juga
mengandung rasa heran. Lalu kertas surat itu disimpan dalam baju.
Dengan sendirinya Bwe Kim-soat tidak dapat melihatnya, ia berseru, "Hai!"
"Ada apa?" Lamkiong Peng berlagak bingung.
Kim-soat mendengus, peti mati disodorkan kembali kepada Lamkiong Peng,
setelah diterima anak muda itu, serentak ia melompat keluar rumah gubuk.
Karena mendongkol, ia tidak menggubris Lamkiong Peng, tapi belum seberapa
jauh tanpa terasa ia menoleh.
Dilihatnya anak muda itu mengikut kemari setelah memandang lukisan yang
terukir di batu karang sana.
Sesudah agak dekat, dengan gemas Bwe Kim-soat berkata, "Kau mau bicara
atau tidak?"
"Bicara apa?" tanya Lamkiong Peng.
"Apa yang tertulis pada kertas kuning itu?" teriak Kim-soat.
"O, kiranya kau pun ingin membaca surat ini, kenapa tidak kau katakan sejak
tadi, tanpa bicara mana kutahu?" ujar Lamkiong Peng dengan tersenyum.
Dengan tangan kanan mengangkat peti, tangan kiri mengeluarkan surat tadi
dan disodorkan padanya.
Segera Bwe Kim-soat mengambil surat itu dan dibaca, ternyata isi surat hanya
terdiri dari delapan huruf yang berbunyi: "Pesan dari Thian-te, Sin-liong sehat
walafiat!"
"Sin-liong sehat walafiat"!" Kim-soat berseru heran, "Masa Put-si-sin-liong
belum mati?"
"Tak mungkin mati," ujar Lamkiong Peng dengan tersenyum.
Bwe Kim-soat memandang anak muda itu sekejap, katanya kemudian setelah
berpikir, "Lantas apa artinya istilah Thian-te ini?"
"Tentu nama seorang Bu-lim-cianpwe (tokoh angkatan tua dunia persilatan),
kecuali ini tidak mungkin ...."
"Memangnya siapa?" Pernah kau dengar ada tokoh Bu-lim yang disebut Thiante"
Bisa jadi ...." mestinya Kim-soat hendak bilang Thian-te (Tuhan Allah)
tentu sinonim dengan "Surgaloka", jadi cuma istilah olok-olok pihak musuh,
atau mungkin juga untuk menipu mereka.
Ia urung meneruskan ketika melihat Lamkiong Peng agak cemas, akhirnya ia
menambahkan, "Thian-te ... kenapa sebelum ini tidak pernah kudengar nama
ini?" Lamkiong Peng diam saja tanpa bicara.
Setelah berjalan lagi sebentar, tiba-tiba Kim-soat berkata, "Marilah kita
menyusuri jalan kecil saja."
"Kenapa?" tanya Lamkiong Peng.
"Begini dandananku kan malu dilihat orang," ujar Kim-soat sambil
membetulkan rambutnya.
Lamkiong Peng meliriknya dua kejap, kelihaian rambutnya yang panjang
indah, mukanya putih bersih dengan baju yang putih mulus, sungguh luar
biasa cantiknya, masa malu dilihat orang, sungguh aneh.
Tapi ia pun tidak membantah dan mengikuti kemauannya, menjelang senja,
sampailah mereka di Limeong, sebuah kota besar ternama di daerah barat
laut. Limeong memang kota yang ramai, dekat magrib, cahaya lampu sudah
menyala di seluruh pelosok kota.
Seorang pemuda gagah cakap membawa sebuah peti mati diiringi seorang
perempuan mahacantik dengan dandanan yang khas berjalan berendeng di
tengah kota yang ramai ini, kecuali orang yang berlalu-lalang ini orang buta
semua, kalau tidak mustahil mereka tidak menarik perhatian khalayak ramai.
Dengan sendirinya Lamkiong Peng serbakikuk, ia menunduk dan
menggerundel, "Coba kalau kita melalui jalan besar, mungkin di tengah jalan
sudah dapat menyewa kereta."
Namun Bwe Kim-soat tetap tenang saja, katanya, "Jika kau takut dipandang
orang, bolehlah kita mencari tempat berhenti ...."
"Betul juga," kata Lamkiong Peng sambil memandang ke kanan dan ke kiri,
dilihatnya di samping sana ada sebuah restoran paling besar, papan mereknya
tertulis lima huruf besar dan berbunyi "Peng-ki-koai-cip-lau", artinya restoran
makan gembira. Restoran ini memang mentereng dan berbeda daripada restoran ini, tapi
langsung ia menuju ke situ.
Namun sebelum tiba di depan pintu, seorang pelayan tinggi kurus keburu
memapak kedatangan mereka, bukan menyatakan selamat datang melainkan
merintangi jalan mereka.
"Ada apa?" tanya Lamkiong Peng dengan melenggong.
"Kau mau apa?" pelayan itu balas bertanya dengan sikap sombong.
"Sudah barang tentu ingin makan minum," jawab Lamkiong Peng.
"Memangnya restoran kalian ini tidak terbuka untuk umum?"
Pelayan jangkung itu mendengus, "Dengan sendirinya terbuka untuk umum,
cuma tamu yang berkunjung kemari dengan membawa peti mati, jelas tidak
kami terima."
Baru sekarang Lamkiong Peng tahu duduknya perkara, ia tertawa dan berkata,
"Tapi, peti ini kosong, kalau tidak percaya biar kubuka ...."
Selagi ia hendak menaruh petinya, siapa tahu pelayan itu lantas
mendorongnya sambil membentak, "Kosong juga tidak kami terima."
Meski kurus badannya, ternyata cukup bertenaga juga, jelas pelayan ini bukan
sembarangan pelayan.
Karena ramai-ramai itu banyak orang lantas berkerumun.
Sedapatnya Lamkiong Peng menahan rasa dongkolnya, ia coba menjelaskan,
"Kukenal kuasa kalian, bolehkah memberi bantuan, biarlah kutaruh peti ini di
luar ...."
"Kenal kuasa kami juga tidak boleh, lekas pergi, lekas ...." seru si pelayan
dengan gusar. Agaknya Bwe Kim soat juga dapat melihat Lamkiong Peng tidak
mau menimbulkan perkara, maka ia menarik lengan bajunya dan berkata, "Di
sini tidak terima, biarlah kita cari yang lain saja."
Tanpa rewel Lamkiong Peng meninggalkan pelayan jangkung itu, didengarnya
pelayan itu masih mengomel, "Huh, tidak tanya-tanya dulu tempat apa ini dan
siapa yang membuka restoran ini" Memangnya kau tahu siapa Kongcuya
kami" Kalau berani bikin onar, mustahil tidak patahkan kakimu ...."
Kim-soat melirik sekejap, dilihatnya Lamkiong Peng tetap tenang saja tanpa
keki sedikit pun, diam-diam ia merasa heran.
Siapa tahu, restoran berikutnya juga menolak tamu yang tidak diterima oleh
Koai-cip-lau, berturut-turut tiga restoran lain bersikap sama.
Tentu saja Lamkiong Peng rada mendongkol, terutama suara ejekan orang
yang membuntutinya untuk melihat keramaian.
Namun dia tetap tenang saja. Sesudah sampai di suatu gang dan
mendapatkan sebuah rumah makan kecil yang mau menerima mereka, pemilik
rumah makan itu sudah tua, tanpa tenaga pembantu, ia menyiapkan mangkuk
piring sendiri bagi tamunya sambil berkata, "Mestinya kami juga tidak berani
menerima tamu yang ditolak Koai-cip-lau, tapi, mengingat tuan tamu masih
muda dan membawa keluarga .... Ai, konon pemilik Koai-cip-lau mempunyai
seorang Kongcuya yang berbudi luhur dan suka menolong sesamanya, di
segala pelosok terdapat sahabatnya. Bisa jadi yang tuan temui tadi ialah Yujiya
yang kabarnya memang lebih galak daripada kuasanya."


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitulah sembari bicara, sebentar saja ia telah menyiapkan santapan
sekadarnya, tanpa banyak omong Lamkiong Peng dan Bwe Kim-soat makan
minum secukupnya.
Kemudian Lamkiong Peng minta pinjam alat tulis, ia tulis sepucuk surat
ringkas dan dilipat dengan baik, lalu menyuruh seorang anak penjual kacang di
tepi jalan, setelah diberi persen dan pesan seperlunya, anak penjual kacang itu
lantas berlalu.
Bwe Kim-soat hanya tersenyum saja dan memandangnya, ia tidak tanya apa
yang dilakukannya itu, seperti sudah menduga apa yang bakal terjadi.
Mereka melanjutkan bersantap dengan tenang. Tidak lama kemudian,
mendadak dari luar berlari masuk seorang berbaju perlente, seorang lelaki
setengah umur dengan muka putih, begitu masuk segera menjura kepada
Lamkiong Peng. Belum lagi orang ini sempat bicara, kembali dari luar berlari masuk seorang
lagi dan langsung berlutut di depan Lamkiong Peng dan menyembahnya tanpa
berhenti. Nyata orang ini "Yu-jiya", si pelayan jangkung Koai-cip-lau.
"Eh, ada apakah kalian ini?" ucap Lamkiong Peng dengan tersenyum.
Keadaan "Yu-jiya" itu sekarang sungguh harus dikasihani, berulang
menyembah dan minta ampun.
Lelaki perlente setengah umur itu pun tampak gugup, katanya, "Ampun, tak
tersangka Kongcuya bisa ... bisa berkunjung ke daerah barat laut sini."
Si kakek pemilik warung makan jadi melongo juga, ia hampir tidak percaya
kepada apa yang terjadi.
Maklumlah, keluarga hartawan Lamkiong turun-temurun terkenal kaya raya, di
mana-mana hampir terdapat perusahaan mereka, pegawainya tidak kurang
dari puluhan ribu orang. Tapi tidak banyak yang kenal majikan muda mereka,
Lamkiong Peng. Sekarang Lamkiong Peng hanya menulis secarik kertas dan dibubuhi tanda
tangan, lalu kuasa Koai-cip-lau dan Yu-jiya tadi telah dibikin kelabakan
setengah mati dan tidak tahu apa yang harus dikemukakan terhadap majikan
muda dan tidak tahu pula cara bagaimana harus minta ampun.
"Wah, tampaknya kita harus ganti tempat untuk makan lebih enak," kata Bwe
Kim-soat dengan tersenyum
Lamkiong Peng juga tersenyum, ucapnya, "Bagaimana Yu-jiya, bolehkah kami
membawa peti ini ke sana."
Dengan sendirinya anak buahnya takkan membiarkan sang majikan muda
mengangkat peti mati sendiri, segera kuasa Koai-cip-lau menyela, "Silakan
Kongcu pindah dulu ke tempat sendiri, sebentar hamba akan menyuruh orang
mengangkat peti ke sana."
Diam-diam ia pun heran untuk apakah majikan muda membawa sebuah peti
mati kian kemari. Dengan sendirinya ia tidak berani bertanya.
Lamkiong Peng tersenyum, ia mengeluarkan sebuah kantung sutera kecil dan
dilemparkan ke atas meja, katanya kepada orang tua pemilik warung, "Inilah
uang makan kami .... Satu-dua hari lagi tentu akan kuatur pekerjaan baik
bagimu, di bawah pimpinanmu, kuyakin Koai-cip-lau akan melayani setiap
pengunjungnya dengan lebih ramah tamah."
Tanpa menunggu terima kasih si orang tua, segera ia melangkah pergi
bersama Bwe Kim-soat. Dengan sendirinya orang yang berkerumun juga
lantas bubar. Orang tua ini berdiri melenggong di dekat pintu, rasanya seperti habis mimpi
saja. Ia duduk di tepi meja dan membuka kantung kecil itu, seketika cahaya
gemerdep serupa sinar matahari menyilaukan matanya. Isi kantung adalah
empat biji mutiara hampir sebesar jari. Rezeki nomplok ini sungguh datangnya
terlalu mendadak, seketika ia terkesima.
Sekonyong-konyong terdengar suara keriat-keriut yang perlahan, waktu ia
menoleh, seketika ia melongo, darah serasa membeku. Tanpa terasa kantung
sutera kecil itu tersampar jatuh ke lantai, keempat biji mutiara pun
menggelinding keluar dan berhenti di samping peti mati yang tertaruh di pojok
sana. Suara keriat-keriut itu rupanya suara terbukanya tutup peti mati, dilihatnya
seorang Tojin berjubah hijau dan berlumuran darah merangkak keluar dari
dalam peti. Di bawah cahaya lampu yang guram muka si Tojin kelihatan beringas
menakutkan. Saking ngerinya si kakek berdiri seperti patung dengan kaki
gemetar. Belum lagi dia sempat menjerit, tahu-tahu Tojin berdarah itu menubruk tiba,
jarinya yang kuat serupa kaitan mencekik leher si kakek.
Hanya sempat terjadi rontakan sedikit, lalu semuanya kembali sunyi lagi. Si
kakek roboh terkulai.
Tojin itu celingukan kian kemari, untung di situ tiada orang lain lagi, semuanya
sudah ikut pergi menyaksikan kegantengan Lamkiong-kongcu yang
termasyhur itu.
Ia menghela napas lega dan buru-buru naik ke atas loteng, ia tukar pakaian
milik si kakek, lalu dengan langkah agak sempoyongan ia menyelinap keluar
warung makan itu meninggalkan si kakek yang rebah di samping peti mati
bersama empat biji mutiara ....
***** "Putra pewaris keluarga Lamkiong datang ke Limeong," berita ini telah
menggemparkan segenap lapisan masyarakat kota ini.
Di Koai-cip-lau diadakan pesta penyambutan yang meriah, banyak tokoh dari
berbagai golongan sama mohon bertemu.
Tapi di tengah keramaian itu, diam-diam pemuda itu mengeluyur keluar dari
Koai-cip-lau dan mendatangi lagi warung makan di gang kecil itu.
Ia menjadi heran juga setiba di gang itu, di situ juga penuh berkerumun orang
banyak. Cepat ia memburu ke situ dan menyelinap di tengah berjubel orang
banyak untuk melongok apa yang terjadi, dengan sendirinya terlihat olehnya
adegan yang mengenaskan itu.
Jika seekor burung mati saja dipendam dengan baik oleh Lamkiong Peng,
apalagi jenazah seorang tua yang kematiannya dapat diduga karena
perbuatannya. Maka esoknya berlangsunglah upacara penguburan yang ramai, iringan pelayat
panjang serupa barisan. Sudah barang tentu semua itu berkat kehormatan
Lamkiong-kongcu belaka, kereta jenazah menuju ke tempat pemakaman di
Se-an, sebuah kota kuno di sebelah barat Limeong.
Tidak jauh iringan kereta jenazah keluar Limeong, tiba-tiba dari depan berlari
datang seorang lelaki kekar dengan pakaian berkabung, sesudah dekat dan
melihat Lamkiong Peng berada di samping kereta jenazah, langsung ia berlutut
dan menyembah. Selagi Lamkiong Peng merasa bingung, lelaki berbaju putih itu sudah bertutur,
"Hamba Gui Sing-in, berkat bimbingan Kongcu, saat ini memimpin perusahaan
di Se-an ...."
"Baiklah, bicara saja nanti, saat ini bukan waktunya untuk bicara urusan
perusahaan," kata Lamkiong Peng.
Dengan gugup Gui Sing-in menyambung lagi, "Tapi ... tapi hamba ingin
melaporkan tentang sesuatu peristiwa yang bersangkutan dengan pemakaman
ini ...." Baru sekarang Lamkiong Peng tertarik, cepat ia tanya, "Memangnya terjadi
peristiwa apa?"
Maka Gui Sing-in melapor lagi, "Ketika hamba kemarin mendapat kabar
maksud Kongcu akan mengadakan pemakaman ini, serentak hamba
menyiapkan sesajian yang diperlukan untuk mengadakan sembahyangan di
tengah jalan. Siapa tahu secara kebetulan di Se-an juga ada peristiwa
pemakaman secara besar-besaran sehingga hampir seluruh barang
sembahyang sebangsa hiosoa, lilin, kertas bakar dan sebagainya terborong
habis, untung dengan harga lipat barulah hamba mendapatkan sedikit untuk
keperluan sekadarnya."
"Sekadarnya pun sudah cukup, bikin susah saja kepada kalian," ujar Lamkiong
Peng. "Terima kasih atas kebijaksanaan Kongcu," kata Gui Sing-in. "Karena khawatir
kereta jenazah akan lewat lebih dulu, maka semalam juga hamba sudah siap
di sini dengan meja sembahyang, menjelang subuh tadi, mendadak debu
mengepul di kejauhan, hamba mengira kereta jenazah telah tiba, siapa tahu
yang muncul adalah beberapa penunggang kuda yang semuanya memakai
seragam hitam, ikat kepala hitam, bahkan segala sesuatu yang mereka bawa
juga serbahitam. Kulihat pada pelana kuda mereka membawa sebuah panji
merah kecil, semuanya kelihatan habis menempuh perjalanan jauh, sikap
mereka tampak gelisah dan tidak sabar lagi."
Lamkiong Peng terkesiap, pikirnya, "Mungkinkah para penunggang kuda itu
adalah anak buah Suma Tiong-thian dari Ang-ki-piaukiok (perusahaan
pengawalan panji merah)?"
Didengarnya Gui Sing-in menyambung lagi penuturannya, "Begitu hamba
melihat dandanan kawanan penunggang kuda itu, segera hamba tahu mereka
bukan orang baik-baik, maka sedapatnya kami menghindarinya."
Diam-diam Lamkiong Peng merasa kurang senang oleh komentar Gui Sing-in
itu, jika benar mereka orang dari Ang-ki-piaukiok, kenapa disangka bukan
orang baik-baik"
"Tak terduga," demikian Gui Sing-in menyambung lagi, "begitu melihat
rombongan hamba, kawanan penunggang kuda itu lantas melompat turun dan
sama berlutut sambil berseru, 'Maaf, Loyacu, kami datang terlambat,' Malahan
ada di antaranya lantas menangis sedih."
Lamkiong Peng melenggong, ia heran apakah dugaannya juga keliru"
Terdengar Gui Sing-in menutur pula, "Selagi hamba terheran-heran dan ingin
tanya mereka datang melayat bagi siapa, tak tahunya kawanan penunggang
kuda itu pun sudah sempat melihat tulisan pada meja sembahyang, mereka
menjadi gusar dan berbangkit, kontan mereka mencaci maki."
"Dengan sendirinya hamba tidak rela, kukatakan kalian yang salah lihat,
kenapa menyalahkan orang lain. Rupanya mereka menjadi kalap, tanpa bicara
lantas menyerang, hamba sekalian tidak mampu melawan mereka, sebagian
saudara terhajar hingga babak belur dan sudah dibawa pulang untuk dirawat.
Kawanan penunggang itu lantas pergi dan beginilah, mohon Kongcu
memaafkan."
Lamkiong Peng memandang sekejap ke meja sembahyang yang berada di tepi
jalan, beberapa lelaki yang berlutut itu tampak benjut dan mata biru, meski
tidak parah, tapi cukup mengenaskan.
Lamkiong Peng tetap tenang saja, ia suruh Gui Sing-in dan kawannya
berbangkit dan sembahyang penyambutan dilakukan dengan sederhana, lalu
iringan kereta jenazah meneruskan perjalanan.
Mendadak timbul pikiran Lamkiong Peng, "Ang-ki-piaukiok itu adalah
perusahaan tua dan cukup terkenal di dunia persilatan, Thi-cian-ang-ki
(tombak baja panji merah) Suma Tiong-thian juga terkenal luhur budi, setiap
anak buahnya tidak mungkin berbuat kasar begitu, mungkin telah terjadi salah
paham. Bukan mustahil pula beberapa pegawaiku ini yang kurang sopan
sehingga membikin marah orang lain."
Dia memang pemuda bijaksana, segala sesuatu selalu ditinjau secara adil,
sebelum mencela orang lain, periksa dulu kesalahan pihak sendiri.
Kota kuno Se-an semakin dekat, tiba-tiba timbul lagi pikirannya, "Kawanan
penunggang kuda berpanji merah itu datang melayat secara terburu-buru,
entah kaum Cianpwe siapa di daerah ini yang wafat. Ai, akhir-akhir ini
berturut-turut beberapa jago tua telah meninggal dunia, dunia persilatan
semakin sedikit tokoh yang bijaksana, bulan mustahil akan timbul lagi
kekacauan di dunia Kangouw."
Perasaannya menjadi tertekan dan masygul.
Selagi melamun, tiba-tiba terdengar suara bentakan orang di depan sana,
hanya sekejap saja beberapa orang muncul dan berdiri sejajar merintangi
jalan kereta. Seorang yang menjadi pemimpinnya berbaju merah, tapi bermuka pucat, mata
bersinar, ia tatap Lamkiong Peng dan menegur, "Hendaknya saudara berhenti
dulu!" Terpaksa iring-iringan kereta berhenti, hanya suara musik yang sendu
memilukan tetap bergema.
Lamkiong Peng memandang orang-orang itu sekejap dan menjawab, "Ada
petunjuk apa?"
Orang berbaju merah itu memandang sekejap iringan kereta jenazah di
belakang Lamkiong Peng, lalu berkata pula, "Agaknya Anda inilah penanggung
jawab pada iringan ini?"
Lamkiong Peng mengiakan.
"Jika begitu, ingin kumohon sesuatu ...."
"Silakan bicara!"
"Yakni mengenai iringan kereta jenazah kalian ini dapatlah memutar ke pintu
gerbang barat saja?"
Lamkiong Peg terdiam sejenak, lalu berkata, "Bukankah gerbang timur sudah
dekat di depan?"
"Betul di depan adalah gerbang timur," jawab orang itu, ujung mulutnya
menampilkan senyuman yang angkuh. "Tapi di gerbang timur sana saat ini
banyak kawan Kangouw sedang mengadakan sembahyangan untuk
menghormati seorang Bu-lim-cianpwe, apabila saudara tidak berputar ke
gerbang barat, tentu tidak leluasa."
Kening Lamkiong Peng bekerenyit, "Jika kuganti arah jalan tentu juga akan
kurang leluasa. Jalan raya cukup lebar dan dapat dilalui siapa pun, hendaknya
maafkan tak dapat kuturut permintaanmu."
Orang berbaju merah itu tampak kurang senang, ia pandang Lamkiong Peng
sekejap, lalu berucap pula, "Aku sih tidak menjadi soal bila saudara tidak mau
berganti arah, tapi para sahabat yang di sana itu rasanya sukar untuk diajak
bicara ...."
Ia merandek sambil menengadah, tanpa menunggu tanggapan Lamkiong
Peng, ia menyambung lagi, "Hendaknya kau pikir sendiri, apabila yang
meninggal itu bukan tokoh Kangouw terkemuka, mustahil sahabat Kangouw
mau mengadakan upacara penghormatan terakhir baginya di sini. Dan upacara
besar-besar ini masa boleh diganggu oleh iringan kereta jenazah lain. Maka,
kuharap sebaiknya saudara mengambil jalan putar saja."
Diam-diam Lamkiong Peng kurang senang, katanya, "Dunia persilatan
mengutamakan keluhuran budi dan setia kawan, apalagi membela yang besar
dan menindas yang kecil, tentu takkan dibenarkan oleh mendiang tokoh besar
yang kalian puja itu. Apalagi, kalau bicara tentang nama dan kedudukan,
melulu peti mati di atas kereta kami ini pun tidak perlu harus mengalah dan
mengambil jalan lain."
Orang berbaju merah itu menatap Lamkiong Peng sejenak, mendadak ia
tersenyum, katanya, "Baiklah, jika Anda tidak mau terima nasihatku, terpaksa
aku tidak ikut campur lagi."
Segera ia membalik tubuh dan melangkah pergi.
Tak terduga seorang lelaki kekar di sampingnya mendadak berteriak, "Yimtoako
tidak mau ikut campur, biarlah aku Sih Po-gi yang ikut campur.
Kubilang, wahai sahabat, putarlah ke arah lain!"
Berbareng itu sebelah tangannya terus mendorong pundak Lamkiong Peng.
Air muka Lamkiong Peng berubah, dengan gesit ia hindarkan tolakan orang,
bentaknya, "Selamanya kita tidak ada permusuhan, mengapa kau main
kekerasan?"
"Hahaha," lelaki itu terbahak. "Kubilang sebaiknya kau putar ke jalan lain,
sahabat cilik, tentu paman Sih takkan membikin susah padamu."
Sembari bicara kembali dia mendesak maju, tangannya meraih pula hendak
memegang bahu Lamkiong Peng.
Namun anak muda itu mendadak mengegos, secepat kilat sebelah tangannya
balas meraih pergelangan tangan lawan, sekali sengkelit kontan Sih Po-gi
terbanting roboh.
Tentu saja beberapa kawannya terkejut, beramai-ramai mereka lantas
menerjang maju.
Syukurlah pada saat itu juga si baju merah yang disebut "Yim-toako" tadi
muncul kembali bersama dua orang tua berbaju hitam dan menyerukan agar
pertarungan dihentikan.
"Hm, main kerubut, apakah tidak kenal peraturan Bu-lim lagi?" jengek
Lamkiong Peng terhadap si baju merah.
"Hebat juga kepandaian saudara cilik ini, rupanya juga orang golongan kita."
kata si baju merah. "Jika begitu urusan menjadi mudah dibicarakan.
Kuperkenalkan lebih dulu kedua tokoh kita ini ...."
Lalu ia tuding kakek baju hitam sebelah kiri yang bertubuh lebih tinggi dan
berkata pula, "Inilah salah seorang dari Bin-san-ji-yu (dua sahabat dari
gunung Bin) yang dulu terkenal sebagai Thi-ciang-kim-kiam (telapak besi
pedang emas sakti) Tiangsun Tan, Tiangsun-toasiansing."
Kakek baju hitam yang disebut itu berdiri diam saja.


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka si baju merah menunjuk lagi kakek yang lain, katanya, "Dan ini dengan
sendirinya ialah Keng-hun-siang-kiam (si pedang penggetar sukma) Tiangsun
Kong, Tiangsun-jisiansing."
Lamkiong Peng memberi hormat dan merasa heran mengapa kedua pendekar
pedang yang terkenal berwatak nyentrik ini juga bisa muncul di sini, untuk apa
pula si baju merah menonjolkan mereka kepadanya"
Didengarnya si baju merah berucap pula dengan tersenyum, "Diriku memang
kaum keroco yang tidak bernama, tapi bila kedua Tiangsun-locianpwe ini pun
jauh-jauh datang melayat ke sini, memangnya berapa orang Kangouw yang
mempunyai kehormatan sebesar ini, masakah saudara cilik ini tidak dapat
menerkanya?"
Pada saat itu juga sebuah kereta kuda putih dengan tabir terurai telah
melampaui iringan pelayat dan berada tidak jauh di belakang Lamkiong Peng,
tapi anak muda itu belum lagi mengetahui, ia sedang berpikir, "Ya, siapakah
tokoh besar yang mati ini, sampai Bin-san-ji-yu juga datang melawat?"
Tanpa terasa ia tersenyum getir, lalu menjawab, "Agaknya pengalamanku
terlalu cetek sehingga tidak dapat menerkanya, mohon Anda sudi memberi
penjelasan."
Mendadak air muka si baju merah berubah serius dan khidmat, ucapnya
dengan menyesal, "Kematian tokoh ini bagi orang Kangouw serupa
meninggalnya orang tua mereka, setiap orang merasa kehilangan sandaran.
Beliau tak lain tak bukan adalah jago yang terkenal dengan pedang Yap-siangjiuloh, Put-si-sin-liong Liong-loyacu .... Nah, sebagai sesama orang dunia
persilatan, sekarang tentu saudara takkan keberatan untuk memutar ke jalan
lain, bukan?"
Seketika Lamkiong Peng berdiri mematung dan tidak sanggup bersuara.
Si baju merah merasa heran juga melihat sikap Lamkiong Peng yang serupa
orang linglung itu, tegurnya, "Eh, apakah saudara juga kenal Liong-loyacu ini
...." Mendadak Lamkiong Peng menjura padanya, habis ini mendadak ia berlari ke
arah Se-an secepat terbang.
Tentu saja Bin-san-ji-yu melengak, serentak mereka pun hendak bergerak.
Tapi si baju merah lantas mencegahnya, "Tidak perlu mengejarnya.
Tampaknya perguruan anak muda ini pasti ada sangkut pautnya dengan Putsisin-Liong, kepergiannya tentu tidak bermaksud jahat, bisa jadi akan ikut
bersembahyang."
Dalam pada itu Lamkiong Peng sedang berlari ke depan, hanya sekejap saja
bayangan benteng kuno sudah tertampak di sana, di kaki tembok benteng
tampak penuh berdiri orang berseragam hitam, semuanya memegang dupa
dan antre memberi penghormatan terakhir pada meja sembahyang.
Seorang kakek tinggi besar tampak berdiri di tengah orang banyak dengan
sikap khidmat, mendadak ia berteriak, "Selama hidup Put-si-sin-liong terkenal
gagah perkasa, untuk keperwiraannya, marilah kita bersorak lagi baginya!"
Dan serentak terdengar orang bersorak gemuruh seperti suara yang didengar
Lamkiong Peng dalam perjalanan tadi.
Dada Lamkiong Peng terasa bergejolak, entah duka atau gembira, tapi ia
masih terus berlari menuju ke depan.
Belasan orang merasa kaget ketika mendadak seorang pemuda menyelinap
lewat di antara mereka, serentak mereka membentak dan ada yang berusaha
merintangi. Namun segesit belut Lamkiong Peng terus menyelinap maju.
"Kurang ajar!" gerutu si kakek tinggi besar tadi demi melihat anak muda ini
berani main terobos begitu saja di tengah suasana khidmat ini.
Selagi dia hendak memerintahkan orang membekuk Lamkiong Peng, tiba-tiba
dua orang di sampingnya memberi kisikan, seketika lenyaplah rasa gusarnya.
Dalam pada itu Lamkiong Peng sudah menerjang sampai di depannya dan
memberi hormat kepada si kakek.
Gemerdep sinar mata si kakek, tanyanya, "Apakah kau ini murid kelima Put-sisinliong, Lamkiong Peng?"
Suaranya lantang berkumandang sehingga dapat didengar orang banyak.
Tentu saja semua orang melengak heran.
Maklumlah, selama Lamkiong Peng masuk ke perguruan Put-si-sin-liong
memang belum pernah berkecimpung di dunia Kangouw, dengan sendirinya
para kesatria tidak mengenalnya. Meski ada di antaranya yang mengetahui dia
adalah murid ahli waris Put-si-sin-liong.
Lamkiong Peng sendiri juga terheran-heran, dari manakah kakek ini dapat
mengenalnya, namun lantas dijawabnya dengan hormat, "Wanpwe memang
Lamkiong Peng adanya!"
Alis si kakek menegak, katanya dengan bengis, "Jika benar kau anak murid
Sin-liong, masakah tidak tahu kami sedang mengadakan upacara sembahyang
bagi arwah gurumu" Mengapa sembarangan bertingkah di sini dan
mengganggu kekhidmatan suasana."
Dengan prihatin Lamkiong Peng memberi hormat lagi, lalu berseru lantang,
"Atas penghormatan para Cianpwe terhadap guruku, sungguh Wanpwe sangat
berterima kasih dan takkan melupakan budi kebaikan ini. Namun ...."
Mendadak ia menyapu pandang para hadirin, lalu berteriak terlebih lantang,
"Ketahuilah bahwa sesungguhnya guruku belum meninggal ...."
Belum habis ucapannya terdengarlah pekik orang banyak.
Dengan melotot si kakek tinggi besar juga melengak, katanya, "Put-si-sin-liong
belum mati katamu?" mendadak ia membalik tubuh dan berteriak, "Li Sing,
Ong Pun, kemari sini!"
Waktu Lamkiong Peng memandang ke sana, tertampaklah dari belakang si
kakek muncul dua orang berbaju hitam dengan perawakan kekar, ternyata
kedua orang ini adalah penggotong peti mati dari Ci-hau-san-ceng itu.
Rupanya sejak Lamkiong Peng meninggalkan mereka untuk mengikuti jejak si
Tojin, Liong Hui, Ciok Tim, Kwe Giok-he dan Koh Ih-hong juga naik lagi ke
puncak Hoa-san untuk mencari sang guru, karena menunggu sekian lama
tidak ada sesuatu kabar berita, kedua orang ini lantas turun sendiri ke bawah
gunung. Karena mengambil jalan besar, ketika sampai di kaki gunung, tertampaklah
berbagai jago silat sama menunggu di situ. Rupanya berita tentang
pertandingan antara Put-si-sin-liong dan Put-lo-tan-hong di puncak Hoa-san
telah tersiar sehingga menarik perhatian kawanan jago silat itu untuk
menyusul kemari dan ingin mengetahui hasil pertandingan itu. Cuma mereka
pun kenal watak Put-si-sin-liong maka tidak ada seorang pun berani
sembarangan naik ke atas.
Karena itulah berita yang dibawa kedua orang penggotong peti mati itu sangat
menggemparkan kawanan jago Bu-lim itu,
Berita itu adalah Tan-hong sudah mati, Put-si-sin-liong juga terjebak oleh tipu
muslihat murid Tan-hong dan meninggalkan surat wasiat. Kini anak murid Sinliong
juga sudah tercerai-berai.
Meski berita tidak benar dan juga agak dilebih-lebihkan, namun dengan cepat
lantas tersiar dan menggemparkan dunia persilatan, terutama beberapa
propinsi di sekitar tempat kejadian.
Di daerah barat laut ini ada seorang gembong persilatan dan juga kaya raya,
namanya Wi Ki berjuluk Hui-goan atau si gelang terbang, karena pengaruhnya
yang besar di wilayah ini, dia juga terkenal sebagai Sai-pak-sin-liong atau si
naga sakti daerah barat laut. Orang Kangouw yang jail ada juga yang
menyindirnya sebagai "naga gadungan", tapi Wi Ki tidak ambil pusing, ia
sendiri sangat kagum dan hormat terhadap Put-si-sin-liong. Maka berita
kemalangan Liong Po-si itu juga sangat mengejutkan dia. Segera ia
mengumpulkan para ago silat untuk mengadakan sembahyang bagi arwah Putsisin-liong di kota kuno Se-an ini.
Setiap jago silat yang mendengar berita itu serentak juga ikut menyusul ke
sini. Yang menambah semarak upacara ini adalah hadirnya tokoh-tokoh yang
biasanya cuma terdengar tapi jarang kelihatan, yaitu Ban-li-liu-hiang Yim
Hong-peng bersama Bin-san-ji-yu, ketiganya juga ikut hadir.
Begitulah demi melihat kedua penggotong peti mati dari Ci-hau-san-ceng
barulah Lamkiong Peng tahu duduk perkara, rupanya memang telah terjadi
salah paham, pikirnya, "Pantas berita kematian Suhu diketahuinya, pantas
juga dia tahu namaku, kiranya atas keterangan kedua orang ini."
Dalam pada itu dengan gusar Wi Ki lagi membentak terhadap Li Sing dan Ong
Pun, "Berita tentang meninggalnya Put-si-sin-liong berasal dari kalian, bukan"
Li Sing dan Ong Pun mengiakan sambil menunduk.
"Tapi mengapa Go-kongcu kalian menyatakan Sin-liong belum lagi
meninggal?" teriak Wi Ki.
Li Sing saling pandang sekejap dengan Ong Pun dan tidak dapat menjawab.
"Apakah kalian menyaksikan sendiri Sin-liong sudah mati?" desak Wi Ki.
Kepala kedua orang itu tertunduk lebih rendah, dengan takut dan gelagapan Li
Sing menjawab, "Hamba ... hamba ... tidak ...."
"Budak kurang ajar!" bentak Wi Ki dengan gusar. "Kalau tidak melihat sendiri,
kenapa berani sembarangan omong sehingga membikin malu padaku seperti
sekarang ini?"
Saking gusarnya, sebelah tangannya menyapu sehingga macam-macam
barang sembahyang tersampar jatuh.
Li Sing dan Ong Pun tetap menunduk dengan muka pucat.
"Locianpwe jangan marah dulu," seru Lamkiong Peng, "hal ini juga tidak dapat
menyalahkan mereka ...."
"Bukan mereka yang disalahkan, memangnya salahku?" kata Wi Ki dengan
gusar. "Bila Put-si-sin-liong datang nanti, bukankah aku yang akan dituduh
sengaja mengutuki dia supaya lekas mati"!"
Meski kakek ini sudah lanjut usia, tapi wataknya masih keras dan pemberang,
baru sekarang Lamkiong Peng tahu kiranya orang tua inilah si gelang terbang
Wi Ki, tampaknya memang rada mirip gurunya, pantas orang Kangouw
memberi julukan sebagai si naga sakti dari barat laut, hanya saja perangainya
tidak sehalus sang guru.
Maka ia berkata pula, "Peristiwa ini agak panjang untuk diceritakan, sama
sekali tidak ada maksud Wanpwe akan menyesali tindakan Locianpwe ini,
sebaliknya Wanpwe merasa berterima kasih atas maksud baik Locianpwe."
Wi Ki mengelus jenggotnya, dipandangnya Lamkiong Peng sejenak, lalu ia
berpaling kepada Ong Pun berdua, serunya sambil memberi tanda, "Baiklah,
boleh kalian pergi!"
Cepat kedua orang itu memberi hormat, lalu mengundurkan diri.
Selagi Lamkiong Peng hendak bicara pula, sekonyong-konyong dari belakang
sana bergema suara orang tertawa, "Haha, kiranya saudara ini adalah murid
kesayangan Sin-liong, sungguh beruntung sekali begitu menginjak daerah
Tionggoan segera dapat bertemu dengan kesatria muda perkasa seperti ini
...." Lamkion Peng terkejut dan berpaling, terlihatlah si baju merah tadi telah
muncul pula dengan memegang sebuah kipas lempit, yang datang bersamanya
bukan lagi Bin-san-ji-yu melainkan dua orang muda-mudi, ternyata Toaso dan
Samsuheng sendiri, yaitu Kwe Giok-he dan Ciok Tim.
Sambil menggoyangkan kipasnya si baju merah berkata pula dengan tertawa,
"Yang lebih menggembirakan orang she Yim ternyata secara tidak sengaja
dapat kutemui pula kedua murid kesayangan Sin-liong yang lain. Nah, inilah,
siapa mereka berdua, ini tentu kalian sudah tahu!"
Munculnya Kwe Giok-he dan Ciok Tim dengan sendirinya menimbulkan
kegemparan pula.
Wi Ki lantas menyapa juga, "Aha, tak tersangka Yim-tayhiap membawa datang
lagi dua orang murid kesayangan Sin-liong .... Ah, kalian tentulah Ci-hausiangkiam yang akhir-akhir ini sangat terkenal di dunia persilatan."
Ciok Tim tampak kikuk, sedangkan Giok-he lantas memberi hormat dan
menjawab, "Terima kasih atas pujian Locianpwe ...."
Dalam pada itu Lamkiong Peng lantas ikut bicara, "Inilah Toaso kami dan yang
itu Samsuheng, Ciok-suheng."
"O, rupanya inilah nyonya si lelaki baja yang termasyhur itu," seru Wi Ki
dengan tertawa. "Nyata setiap anak murid Sin-liong memang lain daripada
yang lain."
"Ah, betapa pun kami tidak dapat membandingi Lamkiong-sute," ujar Giok-he
dengan tersenyum..
Lamkiong Peng lagi heran mengapa hanya Giok-he dan Ciok Tim saja yang
muncul di sini, lalu ke mana perginya Liong Hui dan So-so"
Belum sempat dia mengajukan pertanyaan Wi Ki berkata pula dengan
terbahak, "Baiklah sekarang ingin kutanya kepada kalian, jika Sin-liong belum
meninggal, ke mana perginya beliau sekarang?"
Lamkiong Peng termenung dan berusaha mencari alasan untuk menjawab,
tiba-tiba Kwe Giok-he mendahului bicara, "Suhu memang sangat mungkin
masih hidup dengan baik, cuma di mana jejak beliau sekarang kami pun tidak
tahu." Wi Ki terbelalak heran.
Didengarnya Giok-he berkata pula, "Semalam kami sibuk mencari jejak Suhu
di atas gunung, kami juga mengkhawatirkan keselamatan Gosute ...."
"O, jadi dia tidak berada bersama kalian?" tanya Wi Ki dengan kening
bekerenyit. Giok-he mengiakan dengan menghela napas perlahan.
Wi Ki tampak kurang senang, tegurnya kepada Lamkiong Peng, "Jika jejak
gurumu belum lagi diketahui, bukannya kau cari tahu keselamatannya,
sebaliknya kau sibuk mengurusi orang mati di sini, hm, murid macam apakah
kau ini?" Lamkiong Peng melenggong, seketika memang sukar baginya untuk memberi
penjelasan, terutama hal-hal yang menyangkut nama baik sang guru, mana
dapat diuraikan begitu saja.
Tapi Giok-he lantas berkata, "Usia Gosute masih muda, pula ...." ia menghela
napas seperti merasa dapat memaklumi apa yang dilakukan sang Sute.
Wi Ki mendengus dan tidak memandang Lamkiong Peng lagi, katanya pula, "Si
lelaki baja Liong Hui pun sudah lama kudengar namanya, mengapa tidak
kelihatan juga?"
Han Bu Kong Jilid 7 Karena merasa tidak bersalah, maka dada Lamkiong peng cukup lapang, ia
tidak menghiraukan sikap Wi Ki dan ucapan Kwe Giok-he yang bersifat negatif
itu, ia pikir, "Memang ingin kutanya keadaan Liong-toako. Kebetulan sekarang
orang tua ini telah mendahului bertanya bagiku."
Melihat kecanggungan di antara anak murid Put-si-sin-liong itu, diam-diam
tokoh kosen dari luar perbatasan, Ban-li-liu-hiang (meninggalkan nama harum
beribu li) Yim Hong-peng, menaruh perhatian, ia pikir apakah di antara anak
murid sin-liong ini terjadi pertentangan atau persaingan, mengapa ketiganya
tidak ada kesatuan ucapan dan perbuatan"
Dalam pada itu Giok-he telah menjawab dengan mengehela nafas. "Toako
bersama simoay berjalan di belakang, kukira sebentar dapat menyusul kemari.
Sudah tentu apa yang dikatakan Giok-he hampir tidak pernah terjadi sebelum
ini, dengan sendirinya Lamking-peng merasa heran dan sangsi.
Dengan kening berkernyit Wiki hendak bertanya lagi, pada saat itulah sebuah
kereta kuda kecil bertabir kain putih tampak muncul di tengah kerumunan
orang banyak. Penumpang kereta tidak kelihatan, hanya sebuah tangan putih halus terjulur
keluar dari balik tabir memegangi tali kendali.
Air muka Lamkiong peng agak berubah.
Giok-he memandangnya sekejap, lalu berucap dengan tersenyum, "Eh adik
keluarga manakah penumpang kereta ini, apakah Gote kenal dia?"
Belum habis ucapannya, tabir kereta mendadak tersingkap, tertampaklah
seorang perempuan maha cantik berduduk di dalam kereta, ia menyapu
pandang sekejap semua orang, lalu menatap Lamkiong Peng dan bertanya,
"Hei, sudah selesai belum percakapan kalian?"
Tentu saja semua silau oleh kecantikan perempuan penumpang kereta ini,
seketika beratus pasang mata sama terpusat ke arahnya.
"Ah, tadi kukira Gote pergi kemana, kiranya . . ." Giok-he tersenyum, lalu
menyambung lagi, "Wah, alangkah cantiknya adik ini. Sungguh engkau sangat
hebat, Gote, baru satu hari saja sudah berkenalan dengan seorang nona
secantik bidadari, tampaknya kalian sudah sedemikian mesranya."
Tiba-tiba Wi Ki mendengus,"Yim-taihiap, Giok-siauhiap, hendaknya nanti kalian
sudi mampir ke kediamanku untuk sekedar berbincang-bincang lagi,
sementara itu kumohon diri terlebih dahulu."
Lalu ia pun memberi hormat kepada para hadirin dan berseru lantang, "Atas
kesudian para hadirin berkunjung kemari dari jauh, marilah suka mampir juga
ke dalam kota untuk minum beberapa cawan sekadar pelepas lelah."
Habis bicara ia lantas melangkah pergi di tengah berjubalnya orang banyak.
Para hadirin juga lantas ikut bubardan beramai-ramai masuk ke kota Se-an.
Menghadapi sikap dingin orang, hati Lamkiong Peng rada penasaran, Cuma
sukar untuk memberi penjelasan.


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Giok-he tersenyum senang, setelah Wi Ki pergi jauh, pelahan ia mendekati
kereta, sapanya, "Siapakah nama adik yang terhormat ini" Ada keperluan apa
kiranya engkau mencari Gote kami?"
Bwe kiam soat duduk diam saja ditempatnya dan memandanganya dengan tak
acuh sama sekali tidak menghiraukan pertanyaannya.
Cepat Lamkiong Peng mendekati dan memperkenalkan mereka, "Inilah toaso
kami dan nona Bwe ini....." dengan sendirinya ia tidak dapat menjelaskan asal
usul Bwe kiam soat.
"O kiranya nona Bwe, sungguh kami ikut bergembira Gote dapat berkenalan
dengan nona Bwe," Kata Giok-he dengan tersenyum.
Tiba-tiba Kiam-soat mendengus, "Hm, si kakek pergi begitu saja, tentu kau
sangat senang?"
Giok he jadi melenggak.
Betapapun Lamkiong Peng tetap menghormati sang toaso, ia pun tahu watak
Bwe kiam-soat, maka ia menjadi serba salah melihat di antara keduanya tidak
ada kecocokkan, cepat ia menyela dengan urusan lain, tanyanya, "Toaso,
dimana toako?"
Mendadak Giok-he melengos dan menjawab ketus, "Tanyakan saja kepada
simoay." Lamkiong Peng jadi melenggong, ia heran mengapa orang menjawab dengan
cara begitu. Pada saat itu juga mendadak dua sosok bayangan orang melayang tiba dan
berhenti di depan kereta, kiranya kedua jago pedang Kong-tong-pai, Bin-sanjiyu. Dengan sorot mata tajam mereka mengawasi Bwe kiam-soat, sampai sekian
lama barulah Tiangsun kang berucap, "Sudah belasan tahun, tak tersangka
sekarang dapat melihat lagi seraut wajah ini."
Tiangsun tan lantas bertanya, "Apakah nona she Bwe?"
Terkesiap Lamkiong Peng, ia heran mengapa orang dapat mengenal Bwe kaim
soat. Dan ternyata kiam soat lantas mengangguk.
Airmuka kedua saudara Tiangsun berubah masam, dengan jari agak gemetar
Toinagsun Kang menuding dan membentak, "Bwe....Bwe kiam soat....turun
sini!" Giok he terkejut, ia berpaling memandang Lamkiong Peng adn bertanya," Masa
dia Leng-hiat Huicu Bwe kiam soat?"
Dengan sendirinya Lamkiong Peng menjadi gugup, belum lagi dia bersuara,
dilihatnya Bwe kiam soat telah menjawab dengan santai, Siapa Bwe kiam soat
dan Bwe kiam soat itu siapa?"
Kedua Tiangsun bersaudara saling pandang sekejap, timbul rasa ragu mereka.
Belasan tahun yang lalau mereka berdua pernah di hina dan dipermainkan
Leng-hiat Huicu Bwe kiam soat, dendam itu sampai kini belum lagi lenyap.
Tapi setelah belasan tahun, mustahil wajah Bwe kiam soat sama sekali
berubah?" Tiba-tiba Yim Hongpeng meneyela dengan tersenyum, "Kong-jiok huicu sudah
termashur sejak belasan tahun yang lalu, sedangkan nona ini paling banyak
baru berusia 20-an, apakah kedua Tingsun-heng tidak salah mengenalnya?"
Bekerenyit juga kening kedua tiangsun bersaudara, kata Tiangsun Kang
dengan tergegap, "Ya, kami pun mendengar Bwe kiam soat sudah mati
dibawah pedang Put-si-sin-liong, soalnya orang ini...... orang ini mengaku she
Bwe, wajahnya juga mirip......"
Tiangsun Tang lantas menegas lagi,"Kau pun she Bwe, apakah tidak ada
hubungan dengan Bwe kiam soat?"
"Di dunia ini ada berjuta orang she Bwe, apakah semua orang she Bwe pasti
ada sangkut-pautnya dengan dia?" jawab Kim-soat dengan tak acuh.
Melihat kedua Tiangsun bersaudara dalam keadaan salah, cepat Yim Hongpeng
menimbrung lagi, "Di dunia ini memang banyak orang yang she sama
dan juga bermuka mirip, pantas juga bila kedua Tiangsun-heng salah
mengenal nona, harap nona jangan marah."
"Ah, mana kuberani marah kepada kaum ksatria besar, pendekar pedang
ternama seperti kalian ini?" jawab Kim-soat ketus.
Yim Hong-peng jadi melongo kikuk. Dalam pada itu Bwe Kim-soat telah
menurunkan tabir kereta.
Diam-diam Giok-he merasa sirik melihat kecantikan Bwe Kim-soat dan
ketajaman mulutnya, mendadak ia tanya Lamkiong Peng, "Gote, apakah
sekarang engkau akan pulang ke Ci-hau-san-ceng?"
"Tentu saja bila urusan di sini sudah beres...." tiba-tiba Lamkiong-Peng
teringat pada janji tiga bulan lagi masih harus bertemu dengan Yap Man-jing di
Hoa-san untuk menunaikan tugas yang belum selesai bagi Suhu, juga segera
teringat kepada Bwe Kim-soat yang perlu "perlindungan", seketika ia menjadi
ragu. "Toako belum kelihatan menyusul tiba, akan lebih baik bila kau ikut dalam
perjalanan kita," ujar Giok-he.
"Tapi....tapi tiga bulan lagi...."
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng, tiba-tiba suara Bwe Kim-soat yang ketus
menegurnya, "He, lekas kau selesaikan urusan pemakaman orang tua itu, aku
masih harus pesiar ke Kanglam...."
Giok-he mendengus, "Kau mau pergi ke Kanglam boleh silahkan...."
"Tapi mungkin aku pun perlu pergi ke sana," tukas Lamkiong Peng.
"Apa katamu" Masa tidak kau turut kataku, Toako tidak di sini, akulah
Toasomu," omel Giok-he dengan kurang senang.
Dia sirik terhadap kecantikan dan kecerdasan Bwe Kim-soat, sungguh ia kuatir
Lamkiong Peng didampingi oleh seorang perempuan begini, sebab hal ini tentu
akan mempengaruhi rencananya, bahkan akan ketahuan rahasia pribadinya,
maka secepatnya ia hendak menahan anak muda itu supaya berada
bersamanya. Lamkiong Peng menjadi serba susah, "Kehendak Toaso seharusnya kuturut,
cuma...." Pada saat itulah seorang lelaki berbaju hitam berlari tiba dan minta petunjuk,
"Kongcu, apakah kereta jenazah langsung menuju ke makam?"
Lamkiong Peng mangiakan, kesempatan ini lantas digunakannya sebagai
alasan, katanya kepada Giok-he, "Siaute perlu mengurus pelayatan lebih dulu,
biarlah nanti kita berunding lagi."
Lalu ia memberi hormat dan mohon diri kepada Yim Hong-peng dan segera
berlari pergi bersama si baju hitam.
Yim Hong-peng dan Bin-san-ji-yu juga lantas manuju ke Se-an.
Sedangkan kereta kecil yang ditumpangi Bwe Kim-soat lantas mengikut ke
arah Lamkiong Peng.
"Toaso, marilah kita mencari...mencari Toako dulu," kata Ciok Tim mendadak.
"Hah, barangkali kau rindu kepada Simoay?" jengek Giok-he. "Anak baik,
turutlah padaku, sekarang kita mampir dulu ke tempat Wi-jitya tadi, kaukira
Gote nanti juga akan pergi ke sana."
"Tapi....." Ciok Tim tergegap, tapi akhirnya mereka pun menuju ke Se-an.
Dalam pada itu cuaca telah mendung, hujan gerimis mulai turun.
Sayup-sayup terdengar suara musik yang sendu di kejauhan.......
-****- Se-an, kota kuno yang sekelilingnya Cuma gurun tandus belaka memang
jarang kejatuhan hujan. Tapi di bawah hujan jota kuno ini pun tidak tampak
kesuraman, sebaliknya menimbulkan gairah hidup.
Bekas kota raja memang sudah tinggal bekas-bekasnya saja, terutama
bangunan megahnya sudah banyak yang berubah menjadi tumpukan puing,
hanya kedua menara yang disebut Tai-gan dan Siau-gan ( menara belibis
besar dan kecil) masih berdiri tegak di bagian Barat kota seolah-olah tetap
memamerkan kejayaan masa lampaunya.
Tidak jauh dari menara Tai-gan terdapat perkampungan yang menghijau
permai, itulah tempat kediaman Sai-pak-sin-ltong Wi-jitya Wi Ki. Selewatnya
perkampungan ini, tidak sampai satu li akan sampailah di jalan raya berbatu
yang menembus ke gerbang timur kota.
Di bawah hujan rintik-rintik, tiba-tiba dari luar kota berlari datang sebuah
kereta dan lima penunggang kuda. Tabir kereta tertutup. Penunggang kudanya
adalah kawanan tojin (imam agama To) yang rambut disanggul di atas kepala
dan diberi tusuk kundai hitam, berjubah kelabu dengan lengan jubah yang
longgar. Keempat penunggang kuda yang mengawal di samping kereta adalah
tojin yang setengah umur bermuka pucat meski mata bersinar tajam, pedang
tergandung di pinggang, kawanan tojin ini mungkin jarang bertemu dengan
sinar matahari, di antara mata alisnya menampilkan rasa keprihatinan.
Seorang lagi yang di depan kereta berwajah kurus kering, rambut ubanan,
tidak membawa senjata, baju longgar, tangan yang memegang tali kendali
justru putih bersih serupa tangan seorang perempuan.
Begitu masuk kota, kelima penunggang kuda dan kereta langsung lantas
menuju ke Bo-liong-ceng, perkampungan naga sakti tempat kediaman Wi Ki.
Melihat gelagatnya rombongan orang ini seperti ada keperluan mendesak.
Sementara itu suasana Bo-liong-ceng yang dikelilingi pepohonan itu tampak
sangat ramai. Di halaman depan yang biasanya digunakan sebagai lapangan
latihan penuh berderet ratusan meja, hampir setiap meja sudah siap beberapa
macam santapan lezat sebangsa babi panggang, kambing guling, angsa bakar,
itik dan ayam panggang, sudah barang tentu tidak ketinggalan berpuluh guci
arak tersedia. Di atas meja berserakan ratusan pisau belati yang gemilapan disamping
mangkuk piring. Sedangkan tetamu sama bergerombol di sana sini asyik
mengobol. Sai-pak-sin-liong Wi-jitya muncul dari ruangan tengan, ia berdiri di atas
undak-undakan dan berseru lantang, "Banyak terima kasih atas kesudian para
hadirin mengunjungi tempatku yang bobrok ini, orang she Wi tidak dapat
melayani satu persatu, terpaksa sekedar menghidangkan apa yang terdapat di
sini, hendaknya hadirin makan minum dengan bebas dan santai, tidak perlu
sungkan, anggap saja seperti di rumah saudara sendiri. Ayolah silahkan!"
Di tengan sorak gemuruh orang banyak, Wi Ki mendahului menghampiri meja,
disambarnya sebilah belati mengkilat, segera ia merobek paha kambing guling
dan diiris sepotong dan ditadah dengan sebuah piring.
Serentak tamu yang lain antri menirukan cara bersantap secara bebas dan
santai ini. Di antara tetamu tampak Ban-li-liu-hiang Tim Hong-peng tetap dengan kipas
limpitnya di depannya berdiri Kwe Giok-he dan Giok Tim.
Dengan membawa guci arak Wi Ki mendekati Yim Hong-peng, sapanya dengan
tertawa, "Yim-taihiap, agaknya tamu dari jauh yang langka sebagai dirimu ini
harus minum sampai mabuk denganku."
Yim Hong-peng mengucapakan terima kasih, jawabnya sambil mengernyitkan
dahi, "Nanti dulu! Tamu dari jauh yang langka kukira bukan cuma diriku saja,
agaknya kita harus menunggu sebentar lagi."
"Memangnya....." selagi Wi Ki menyatakan keheranannya, mendadak Yim
Hong-peng menyurut beberapa tindak.
Pada saat itulah dari luar pagar halaman tiba-tiba melayang turun sosok
bayangan kelabu, mucul seorang tojin berambut putih dan berwajah kurus,
berjubah kelabu longgar.
Serentak Wi Ki berseru kaget, "He, Sisuheng (kakak seperguruan keempat),
mengapa engkau datang juga"!"
Dengan sorot matanya yang tajam tojin ubanan itu menatap Yim Hong-peng,
ucapnya, "Lihai benar mata-telinga sahabat ini!"
"Haha, bagus sekali atas kedatangan Sisuheng ini, suasana pasti akan tambah
meriah," kata Wi Ki dengan tertawa. "Agaknya Sisuheng belum kenal pendekar
dari luar perbatasan kita Ban-li-liu-hiang Yim Hong-peng."
"O, kiranya Yim-taihiap," ucap si tojin dengan dingin.
Hati Giok-he tergetar juga, ia tahu tojin ini adalah pejabat ketua Cong-la-pai.
Dengan tertawa Yim Hong-peng lantas menjura, sapanya, "Ah sungguh
beruntung sekali hari ini dapat bertemu dengan Cong-lamkiam-khek Lulocianpwe."
Tojin ini memang betul ketua Cong-lam pai namanya Lu thian-an.
Sejak Cong-lam-sam-gan (ketiga belibis dari cong lam san) gugur dalam
pertandingan di Wi san, murid keempat angkatan ketujuh Cong-lam pai ini
lantas diangkat sebagai pejabat ketua. Wiki ssnediri adalah murid ketujuh,
sebab itulah orang kangouw suka mneyebutnya sebagai Wi-jitya atau tuan
ketujuh. Sudah sekian tahun Thian-an totiang tidak meninggalkan Cong-lam san,
sekarang dapat berjumpa, tentu saja wiki sangat senang, serunya, "Sisuheng,
sungguh sangat kebetulan kedatanganmu ini, disini saat ini hadir sekian
banyak ksatria, inilah dua pendekar muda, nona kwee dan ciok-siauhiap,
keduanya adalah murid kesayangan Put-si-sin-liong."
Giok he dan Ciok Tim memberi hormat, sebaliknya Giok-jiu-sun yang thian an
totiang hanya memberi salam dengan mengangkat sebelah tangannya.
Melihat tangan orang yang putih seperti pualam itu, dia-diam giok membatin,
"Pantas di berjuluk Giok-jiu-sun-yang (si imam sakti bertangagn kemala)."
Sedangkan Ciok Tim juga berpikir tojin ini terlalu angkuh.
Selagi Giok he hendak menyapa pula mendadak Thian-an tojin membalik ke
sana dan menarik tangan Wiki yang hendak melangkah keluar,"He, kau mau
kemana?" "Hendak kupermaklumkan kepada hadirin yang lain bahwa Ciangbun suheng
hadir juga disini."
"Nanti dulu." Ujar thian-an.
"Memangnya ada apa?" tanya wiki heran.
"Apakah kau tahu sebab apa mendadak kutinggalkan Cong-lam san dan buruburu
menuju kesini, tanpa memberitahu pula lantas masuk ke sini dengan
melintas tembok belakang?"
Tergerak hati Wiki oleh ucapan Thian-an ini, "Ya karena bergembira atas
kedatangan suheng sehingga tidak kupkirkan hal-hal ini."
"Ai usiamu makin tambah tua, tapi sifatmu yang ceroboh tampaknya belum
lagi berubah," ujar Thian-san dengan menghela nafas.
Mendadak nada bicaranya berubah prihatin, "Apakah kau tahu bahwa saat ini
diketahui Leng-hiat Huicu masih hidup di dunia ini dan kini mungkin sudah
berada di kota Se-san."
Terkesiap hati Wiki, air mukanya berubah, guci arak yang dipegangnya
terlepas dan pecah berantakan dengan arak munerat mengotori jubahnya.
Hati Ciok Tim dan Giok-he juga terperanjat. Meski Yim hong-peng kelihatan
tenang saja, tidak urung sorot matanya menampilkan rasa kejut juga.
"Dari mana suheng memperoleh berita ini" Apakah kabar ini dapat dipercaya?"
tanya Wiki. Thian-an tojin berpaling dan tanpa bicara ia menuding kesana.
Waktu semua orang ikut memandang ke arah sana, tertampaklah empat tojin
berjubah kelabu memapah seorang lelaki yang berwajah pucat serupa orang
yang habis sakit parah, dibantu oleh dua centeng sedang masuk dengan
pelahan. "Siapa orang ini?" tanya Wiki dengan kening bekerenyit.
Giok-he dan Ciok Tim sama terkejut melihat orang ini, diam-diam keduanya
saling lirik sekejap.
Kiranya orang yang kelihatan sakit parah ini adalah si tojin misterius yang
merampas peti mati kayu cendana di puncak Hoa san itu.
"Siapa orang ini, masa tidak kau kenal lagi?" kata Thian-an yang aslinya she
Lu. Wiki coba mengamati lebih jelas, sesudah dekat, mendadak ia menjerit, "Hei,
Yap...Yap Liu ko!........"
Memang benar tojin berjubah hijau alias kiam-khek kongcu ini asalnya
bernama Yap Liu ko, saudara sepupu Yap man jing. Dengan langkah
terhuyung, ia berlari dan menubruk ke dalam rangkulan Wiki sambil berseru,
"O, jitko, sungguh seperti.......seperti dalam mimpi saja siaute dapat bertemu
pula denganmu."
Baru berucap samapai di sini, langsung ia jatuh pingsan.
Seketika para hadirin sama melenggong.
Dengan mata melotot Wiki berseru, "Se...sesungguhnya apa yang terjadi" Liuko,
kenapa kau berubah begini, hampir tidak kukenal lagi."
Lu thian-an menghela nafas, "Memang sudah ada sepuluh tahun kita tidak
bertemu dengan dia. Samapi lohor kemarin, mendadak ia lari ke atas ginung
dengan berlumuran darah, dari ceritanya baru kutahu Leng-hiat Huicu belum
mati, bahkan dia...."
Ia melirik Ciok Tim dan Giok he sekejap, lalu menyambung, "Dia tertususuk
oleh pedang murid Put-si-sin-liong, untung diberi pertolongan oleh orang
kosen, kalau tidak saat ini mungkin mayatnya sudah membusuk di puncak
Hoasan dan rahasia dunia persilatan ini pun tak diketahui lagi oleh orang."
Wiki tampak bingung, tanyanya sambil memandang tajam ke arah Giokhe,"
Mengapa dia dilukai murid Put-si-sin-liong?"
Giok-he berlagak berpikir dengan heran, sejenak kemudian baru ia bergumam,
"Apakah mungkin perbuatan Gote" Sungguh tak tersangka dia dapat berbuat
seceroboh ini."


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gote siapa, sekarang dia berada dimana?" tanya Lu thian-an.
"Ya pasti dia, Lamkiong peng,"Ucap Wiki dengan gemas, "Ai, tak tersangka
murid kesayangan Put-si-sin-liong bisa bertindak demikian."
"Kami pun tidak tahu seluk beluknya, cuma kami tahu Gote berada bersama
seorang perempuan she Bwee, juga Bi-san-siang-hiap telah........."
Belum juga lanjut ucapan Giok-he, segera Wiki memotong, "Jadi perempuan di
dalam kereta itulah maksudmu" Ah kenapa tidak sempat kulihat jelas dia...."
Menurut pendapatku, mungkin dia memang menguasai ilmu awet muda." Ujar
Giok he. "Wah tentu juga kunfunya telah maju lebih pesat," tergetar juga hati Wiki.
Mendadak ia berseru, "Eh dimana kedua tiangsun bersaudara?" Yim taihiap,
kemana Tiangsun siang hiap?"
Yim hong-peng sedang termenung, ia angkat kepala dan menjawab dengan
bimbang, "Tadi masih di sini, entah ke mana sekarang?"
Tampaknya dia juga menyembunyikan sesuatu perasaan, dengan sendirinya
orang lain sukar mengetahuinya.
Wiki menghela nafas menyesal, ucapnya "Sungguh sayang, baru saja Sinliong
menghilang, dunia kangouw lantas kacau lagi."
"Semoga sin-liong belum mati....." seru Lu thian-an mendadak dengan sinis.
Wiki tidak merasakan nada sinis ucapan sang suheng, ia membangunakan Yap
liu ko dan diajak berdiri di depan hadirin yang sudah berkerumun itu,
diumumkannya tentang muncul kembalinya iblis perempuan Leng-hiat Huicu
serta murid murtad Put-si-sin-liong yang membantu kejahatan iblis perempuan
berdarah dingin itu.
Serentak orang banyak bersorak mendukung usaha penumpasan yang
diprakarsai Wiki itu. Kening Yim hong-peng bekerenyit melihat gerakan yang
dikobarkan Wiki itu.
Diam-diam ia pun merancang tindakan apa yang harus dilakukannya, ia pikir
kesempatan baik ini akan dipergunakannya untuk mencari pengaruh.
******* Saat itu Bin-san-ji-yu diam-diam sedang menguntit jejak Lamkiong peng,
dilihatnya sesudah anak muda itu menyelesaikan pemakaman, lalu bersama
kereta kuda kecil itu masuk ke kota se-an dan langsung masuk ke sebuah toko
hasil bumi yang besar.
Tiangsun Kong berdua berdiri jauh di bawah emper rumah sebrang, dia-diam
mereka saling bertanya, "Jika perempuan ini bukan Bwe kiam soat, untuk apa
dia menyuruh kita berdua menguntitnya?"
Begitulah dengan bimbang mereka menunggu sekian lama dis itu, tiba-tiba
dari seberang datang seorang membawakan secarik surat dan diangsurkan
kepada Tiangsun Tan dengan hormat, lalu tinggal pergi lagi.
Bin-san-ji-yu sama melenggak, mereka membuka surat itu dan dibaca,
ternyata surat dari Lamkiong peng yang minta Bin-san-ji-yu suka mampir
untuk mengobrol.
Rupanya penguntitan mereka telah diketahui dengan baik oleh lamkiong peng.
Mereka saling pandang sekejap, waktu memendang lagi ke seberang,
Lamkiong peng terlihat berdiri ke depan pintu sana dan sedang memberi salam
dari kejauhan. Meski kedua orang ini sudah cukup berpengalaman, bingung juga menghadapi
adegan demikian, dengan kikuk mereka berseru dari jauh, "Terimakasih atas
maksud baikmu, sampai berjumpa lain kali saja!"
"Habis itu cepat mereka melangkah pergi dan tidak berani menoleh lagi.
Lamkiong peng menyaksikan kepergian mereka, senyum yang menghiasi
wajahnya mendadak lenyap, ia menghela nafas dan masuk ke dalam.
Nyata anak muda ini sedang dirundung kemunduran, meski kungfunya tinggi
dan keluarganya kaya raya, tapi ada juga urusan yang menekan perasaaannya
tanpa bisa diselesaikannya.
Saat itu Bwe kiam soat lagi duduk memandangi lampu, di atas meja tersedia
macam-macam buah segar sebangsa anggur, apel, jeruk dan lain-lain, tapi
tiada satu pun yang menarik perhatiannya, dia tetap teremnung memandang
lampu, entah apa yang sedang dipikirnya.
Langkah kaki Lamkiong peng yang berat ternyata tidak menganggu
lamunannya, bahkan dia tidak memandang sekejap pun, wajahnya yang agak
putih mulus kelihatan serupa batu kemala.
Sampai lama sekali, akhirnya Bwe kiam soat menghela nafas pelahan dan
bertanya, "Mereka sudah pergi?"
"Sudah," jawab Lamkiong peng, "Entah untuk apa mereka menguntit kemari"
Memangnya mereka benar telah mengenali dirimu"
"Apakah kaukuatir?" tanya kiam soat.
"Kuatir apa?"
"Mungkin kaupikir bila diriku dikenal orang, tentu akan tidak
menguntungkanmu dan bisa jadi engkau takkan....takkan mengurus diriku
lagi, sebab aku kan seorang iblis yang dikutuk orang persilatan, jika kaubantu
diriku tentu engkau juga akan dituduh sebagai sampah masyarakat persilatan.
Apalagi engkau adalah anak murid guru ternama, murid Put-si-sin-liong mana
boleh membantu iblis perempuan yang jahat ini."
Lamkiong peng diam saja tanpa memberi komentar.
"Padahal moral dunia persilatan hanya hak khusus bagi beberapa orang
tertentu saja, bilamana ada sepuluh orang tokoh Bulim menganggap engkau
orang jahat, maka engkau sudah dipastikan akan menjadi orang maha jahat,
sebab setiap perbuatanmu tetap akan dianggap salah, bahkan anak murid sinliong
yang terhormat pun tidak berani bicara keadailan, sebab orang lain pun
belu tentu mau percaya biarpun kaukatakan apa yang kau ketahui
sebenarnya."
Gemerdep sinar mata Lamkiong Peng, tapi tetap diam saja.
Mendadak Bwe kiam soat tertawa, katanya pula, "Tapi engkau jangan kuatir,
di dunia persilatan sekarang, kecuali kita berdua tiada orang ketiga yang
berani memastikan aku......"
Sampai disini, mendadak ucapannya terputus, sebab di luar telah bergema
gelak tertawa sorang dan berkata, "Sekali ini engkau keliru, Kong-jiok Huicu!".
Air muka Lamkiong Peng berubah, bentaknya, "Siapa?"
Segera ia memburu daun jendela terbuka, dengan enteng melayang masuk
seorang, lebih dulu ia menjura, lalu berkata dengan tersenyum, "Karena
keadaan yang luar biasa, demi menghindarkan mata telinga orang,
terpaksamasuk dengan menoerobos jendela, mohon maaf."
Suaranya lantang, sikapnya gagah, orang ini ternyata pendekar di luar
perbatasan Ban-li-liu-hian, Yim Hong-peng.
Tercengang Lamkiong Peng, muka Bwe kiam soat yang putih pucat
menampilkan semacam perasaan aneh. Dengan gemulai ia berbangkit,
katanya, "Kaubilang apa?"
Tapi Yim Hong-peng lantas mengalihkan pembicaraan terhadap Lamkiong
Peng, "Keluarganya Lamkiong memang kaya raya merajai kolong langit ini, tak
disangka jauh di kota Se-an ini Lamkiong-heng juga mempunyai tempat
tinggal semewah ini."
Lamkiong Peng Cuma tersenyum dan balas menhormat.
"Kau dengar tidak ucapanku?" kembali Bwe kiam soat menegur.
Yim hong-peng tertawa, katanya, "Nama Kong-jiok Huicu mengguncangkan
dunia kangouw, mana berani kulewatkan setiap kata nona...."
"Hm, mungkin agak terlalu banyak apa yang kaudengar......" mendadak Bwe
kiam soat menarik muka sambil meluncur maju, sebelah tangannya segera
terjulur ke depan.
Namun Yim hong-peng tetap diam saja, dengan tersenyum ditatapnya telapak
tangan Bwe kiam soat, padahal sekali tersentuh oleh tangan putih mulus itu
seketika jiwa bisa melayang.
Selagi Lamkiong peng memburu maju dilihatnya tangan Bwe kiam soat sudah
diturunkan. Mendadak Yim hong-peng bergelak tertawa, katanya, "Haha, sungguh hebat,
sungguh kagum, Kong-jiok Huicu memang benar burung Hong di tengah
manusia.....Tapi bilaman pukulan nona Bwe tadi dilanjutkan, predikat ini pun
tidak tepat kauterima lagi."
"Sebelum kaubicara lebih jelas, dengan sendirinya tak dapat kubinasakan
kau....." "O, jadi kalau selesai ku bicara, segera nona akan membunuhku?"
"Orang yang tahu terlalu banyak, setiap saat pasti akan ada kemungkinan
tertimpa maut."
"Ah jadi aku mengetahui terlalu banyak"! Yim hong-peng menegas.
"Betul!" kata Bwe kiam soat, pandangannya tidak pernah meninggalkan wajah
Yim hong-peng. Ia tidak berani lagi meremehkan orang. Bilamana seorang
tidak menghiraukan sebuah tangan yang setiap saat mungkin dapat
merenggut nyawanya, maka orang ini jelas lain daripada yang lain.
Tiba-tiba Yim hong-peng berhenti tertawa dengan serius, "Apabila yang
kuketahui terlalu sedikit, maka orang yang tahu terlalu banyak dikota Se-an
saat ini sedikitnya ada seribu orang."
Kimsoat melenggak, "Apa artinya ucapanmu ini?"
Pelahan Yim hong-peng menggeser ke depan jendela, lalu berkata, "Nona Bwe
memang awet muda dan pandai merawat diri, di dunia ini mestinya tiada lagi
yang tahu nona Bwe yang kelihatan berusia 20-an ini adalah mnediang Kongjiok
Huicu dahulu. Namun...... siapa duga ada arwah gentayangan yang lolos
dari bawah pedang Lamkiong-heng justru muncul di tempat Wiki....."
"Arwah gentayangan lolos dari pedangku"......"gumam lamkiong Peng dengan
bingung. Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba Bwe kiam soat berkata, Jangan-jangan si
Yap....Yap liu ko itu belum mati?"
Yim hong-peng mengangguk, "Ya dia terluka parah, tapi belum mati."
"Ah kiranya dia tidak mati." Tukas Lamkiong peng dengan melenggong, meski
nadanya terekjut, tapi juga membawa rasa bersyukur.
Dengan keheranan Yim hong-peng memandangnya sekejap dan merasa tidak
mengerti akan jalan pkiran anak muda itu.
"Meski Yap liu ko Cuma terluka parah dan belum mati, sekarang Lu thian an
telah meninggalkan Ciong-lam san dan berkumpul di tempat Jitsutenya, yaitu
Wiki. Segenap kekuatan yang berada di Se-an sekarang sedang dikerahkam
untuk mencari kalian berdua." Demikian tutur Yim hong-peng. "Aku merasa
tidak mampu memberi bantuan apa-apa, tapi juga tidak tega duduk berpeluk
tangan tanpa ikut campur, maka sengaja kususul kemari......Lamkiongkongcu,
apapun kalian cuma berdua, dua tangan sukar melawan empat
kepalan. Apalagi suheng dan susomu juga berada disana, tampaknya mereka
pun tidak membenarkan tindakanmu, maka menurut pendapatku....."
Ia merandek, dilihatnya Bwe kiam soat sedang menatapnya dengan tajam.
"Maksudmu agar sementara ini kami menyingkir dulu" Tanya Lamkiong peng.
Belum lagi Yim hong-peng menjawab, mandadak Bwe kiam soat menyela,
"Tidak, salah!".
"Sebenarnya memang begitulah maksudku, kenapa nona salah?" Tanya Yim
hong-peng. "Jika aku menjadi dirimu, tentu akan kubujuk dia agar tidak mencari garagara,
" kata kiam soat. "Sebab mestinya di tahu, barangsiapa memusuhi Bwe
kiam soat, akibatnya dapat dibayangkan sendiri."
Mendadak ia berpaling ke arah Lamkiong peng dan berkata pula, "Dan bila
kujadi dirimu, segera aku akan pergi jauh atau segera kudatangi Wiki dan
memberitahukan padanya bahwa antara dirirmu dan Bwe kiam soat sama
sekali tidak ada sangkut paut apapun...."
Sampai disini, mendadak ia tertawa latah sambil berteriak, "Wahai Bwe kiam
soat.....engkau sungguh orang yang malang dan juga bodoh. Sudah jelas
kautahu orang persilatan takkan melepaskan dirimu, sebab engkau ini bukan
golongan pendekar, bukan orang berbudi luhur, sebab kau jahat.......Tapi,
semua itu pun cukup dibuat bangga olehmu, hanya untuk menghadapi seorang
perempuan seperti dirimu, kawanan manusia yang menamakan dirinya kaum
pendekar itu telah mengerahkan segenap tenaga sekota."
Lamkiong diam saja tanapa memberi komentar.
Yim hong-peng menjadi heran, pikirnya, "kedua muda-mudi ini tidak serupa
kekasih juga tidak mirip sahabat, entah ada hubungan antara mereka berdua?"
Ia memandang Lamkiong-peng sekejap, lalu bertanya, "Urusan cukup gawat,
hendaknya Lamkiong-heng menentukan langkah."
"Terimakasih atas maksud baik Yim tai-hiap, cuma...."
"Jumlah lawan terlalu banyak, menghindar untuk sementara adalah cara yang
paling baik." Kata Yim hong-peng pula.
"Jumlah lawan terlalu banyak.....tapi Ciong-lam-pai terkenal sebagai suatu
aliran terpuji, tentunya takkan menuduh orang secara tidak semena dan tidak
memberi kesempatan bagi orang lain untuk memberi penjelasan."
Diam-diam Yim hong-peng merasa gegetun, ia pikir nama busuk Leng-hiat
huicu diketahui siapapun masa perlu penjelasan apa segala.
Belum lagi dia bicara, tiba-tiba Bwe kiam soat mengejak, "Hm tampaknya kau
ini pemuda pintar, kenyataannya engkau sedemikian bodoh. Bagi orang-orang
yang menamakan dirinya pendekar budiman dan penegak keadilan itu, sudah
lama aku dibenci hingga merasuk tulang, masa aku akan diberi kesempatan
untuk memberi penjelasan segala?"
Yim hong peng pikir perempuan berdarah dingin ini ternyata cukup tahu diri
juga, dilihatnya Lamkiong peng tetap tenang saja, meski diolok-olok, diamKoleksi
Kang Zusi diam ia pun heran mengapa pemuda yang kelihatan halus di luar tapi keras di
dalam ini bisa bersabar terhadapnya.
Pada saat itulah tiba-tiba ada orang berdehem di luar, Gui seng-in tampak
muncul. Agaknya ia merasa heran ketika diketahui di dalam rumah mendadak
bertambah satu orang. Tapi sebagai orang yang sudah cukup makan asam
garam, rasa heran itu sekilas saja lantas lenyap dari wajahnya.
Dengan tersenyum hormat ia berkata, "Mestinya hamba tidak berani
mengganggu kongcu, soalnya......para saudagar di Se-an mendengar
kedatangan kongcu ini, mereka sama ingin bercengkrama dengan kongcu
serta akan mengadakan perjamuan sekadarnya di Thian-tiang-lau untuk
menyambut kedatangan kongcu dan nona ini, entah bagaimana pendapat
kongcu, apakah sudi hadir tidak?"
Lamkiong peng berpikir sejenak, dipandangnya Bwe kiam soat sekejap.
Alis kiam soat tampak bergerak, tapi tidak bicara. Agaknya tanpa bicara pun
sudah jelas maksudnya.
Tak terduga Lamkiong peng lantas berkata, "Apakah sekarang?"
"Jika kongcu ada waktu........."
"Baik berangkat!" kata Lamkiong peng.
Tentu saja Gui seng-in kegirangan, cepat ia mengucapkan terimakasih dan
mendahului melangkah keluar sebagai penunjuk jalan.
Yim hong peng melenggong atas tindakan anak muda itu, saat ini seluruh kota
sedang gempar, para ksatria yang berkumpul di Se-an sibuk mencari mereka
berdua, sungguh sukar dimengerti Lamkiong peng malah menerima undangan
perjamuan itu dan sengaja memperlihatkan diri di depan umum.
Agaknya Lamkiong peng dapat meraba jalan pikiran orang, dengan tersenyum
ia berkata," Apakah Yim taihiap juga akan ikut hadir untuk minum secawan?"
"Terima kasih," Jawab Yim hong peng samabil memberi hormat, "Sungguh aku
tidak mengerti....."
"Soalnya cukup sederhana, "Potong Lamkiong peng, "Urusan sudah terlanjur
begini daripada menghindar akan lebih baik di songsong sekalian. Anak murid
Sin-liong selamanya tidak kenal istilah lari."
Yim hong peng mengangguk, katanya "Murid Sin-liong memang gagah perkasa
dan pantas dipuji."
"Sekali lagi terima kasih atas maksud baik Yim taihiap, bila berjumpa pula
kelak kita harus bicara lagi lebih asyik," ujar Lamkiong peng.
"Sejak kumasuk daerah Tionggoan, hanya Lamkiong-heng saja yang
kupandang sebagai pendekar muda yang akan mengembangkan kejayaan
dunia persilatan umumnya, sayang kita belum sempat berkumpul lebih lama,
sampai berjumpa lagi."
Habis berkata Yim hong peng melayang pergi melalui jendela.
"Lugas juga tampaknya orang ini!" gumam Lamkiong peng memandangi
bayangan orang yang menghilang di luar.
"Hm apa betul!?" jengek Bwe kiam soat. Lalu ia tanya pula, "Eh, apakah benar
kau terima undangan perjamuannya....."
"Bila engkau tidak ingin ikut......."
"Jika kau mau pergi, masa aku takut?" sela Bwe kiam soat, segera ia
berbangkit dan ikut melangkah keluar.
Hujan gerimis baru berhenti.
Pasar malam kota Se-an cukup ramai. Akan tetapi malam ini lebih banyak
orang berkelompok-kelompok, kebanyakan orang itu pun bersenjata,
semuanya orang persilatan dengan wajah prihatin dan sikap tegang.
Ketika mendadak tampak muncul dua muda-mudi yang pemuda gagah dan
cakap, yang perempuan cantik luar biasa, seketika berjangkit suara desasdesis


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sana-sini. "Ssst, itu dia Lamkong peng!"
"Ssst, itu dia Leng hiat Huicu!"
Seketika terjadi kegemparan, tapi segera pula suasana berubah menjadi sunyi.
Semuanya tidak bersuara, sama terpukau oleh kegagahan dan kecantikan
kedua muda-mudi ini.
Sejenak kemudian, ada yang meraba senjata dan bermaksud turun tangan,
tapi ketika terlihat senyuman Bwe kiam soat yang manis dan lirikan
menggiurkan, tanpa terasa tangan yang meraba senjata menjadi lemas.
Dan begitulah berpuluh pasang mata menyaksikan kedua muda-mudi itu
berlalu di depan mereka, sesudah lewat agak jauh baru gerombolan orang itu
mengikuti mereka dari jauh.
Thian-tiang-lau tergolong restoran terbesar di kota ini, dengan sendirinya
segala sesuatunya sudah disiapkan secara semarak, terutama wajah pemilik
restoran ini juga bercahaya semarak, sebab hari ini dia mendapat kehormatan
dapat menerima kunjungan "tuan muda" keluarga Lamkiong yang maha kaya
raya itu. Lamkiong peng dan Bwe kiam soat masuk ke restoran Thian-tiang-lau!
Dengan sendirinya berita ini dengan cepat tersiar dan dalam sekejap saja
laporan sudah diterima Thian-an tojin dan Wiki.
"Kabarnya Lamkiong Peng ini ahli waris keluarga Lamkiong yang kaya raya
dari daerah Kanglam itu?" di tengah jalan Thian-an mencari keterangan
kepada Wiki. "Ya dia masih muda, selain ahli waris keluaraga maha kaya itu, dia juga
terkenal sebagai murid kesayangan Put-si-sin-liong, tak tersangka dia terbujuk
oleh Leng hiat Huicu sehingga tersesat, " ujar Wiki.
"Hm anak muda yang tidak menuju ke jalan yang benar, biarpun saudara
seperguruan sendiri juga malu untuk membelanya," jengek Lu thian-an.
"Tapi apa pun juga tindakan kita ini menjadikan Leng hiat Huicu sebagai
sasaran, mengenai Lamkiong peng, sedikit banyak harus kita ingat akan
kehormatan Put-si-sin-liong".
"Itu bergantung bagaimana hubungannya dengan Bwe kiam-soat," kata Thianan
Hanya sebentar saja rombongan raksasa itu sudah berada di luar Thian-tianglau,
restoran itu segera terkepung dengan rapat. Dengan sendirinya kejadian
ini mengguncangkan segenap penduduk kota, disangkanya terjadi kerusuhan
apa. Tapi setelah mengetahui persoalan bunuh membunuh orang kangouw,
kebanyakan penduduk cepat menutup pintu dan tidak berani keluar.
Menghadapi persoalan orang kangouw seperti ini, biasanya petugas keamanan
pemerintah setempat juga tidak dapat berbuat banyak, yang mereka jaga
hanya urusan tidak sampai menjalar menjadi gangguan umum.
Sungguh tidak ada yang menyangka bahwa keonaran yang timbul ini tak lain
tak bukan hanya gara-gara munculnya seorang perempuan cantik, yaitu Leng
hiat Huicu. Akan tetapi di dalam restoran, di bawah cahaya lampu yang terang benderang,
Bwe kiam-soat tampak duduk tenang dan anggun.
Sudah barang tentu geger di luar restoran juga membikin panik para saudagar
besar yang berkumpul di atas restoran itu. Mereka sama bertanya-tanya ada
kejadian apa dan apa yang akan terjadi" Namun di hadapan Lamkiong-kongcu
yang terhormat, betapapun mereka tidak berani sembarangan bergerak,
sampai sekarang tiada seorang pun berani melongok ke luar jendela.
Sekonyong-konyong di bawah terdengar suar bentakan, suara menyuruh
memberi jalan. Lamkiong peng tahu apa artinya itu, pelahan ia berbangkit, ia menuju ke ujung
tangga, serupa seorang tuan rumah yang siap menyambut kedatangn
tetamunya. Akhirnya berdetaklah suara tangga, terlihat Lu thian-an dan Wiki berturutturut
naik ke atas loteng dengan wajah kelam.
Dengan tersenyum Lamkiong peng menghormat, sapanya, "Terimakasih atas
kunjungan kedua Cianpwee, maaf jika tidak kusambut jauh di bawah."
Lu thian-an hanya mengangguk pelahan saja, langsung ia mendekati Bwe
kiam-soat, ia duduk di depannya, tanpa bicara ia angkat secawan arak dan
dikecupnya seceguk.
Sejak awal ia tetap tidak memandang Bwe kiam-soat, hanya menatap tangan
sendiri yang putih mulus, lalu berucap, "Malam sudah larut, bilamana hadirin
merasa sudah cukup makan minum, sudah saatnya untuk pulang saja
sekarang."
Segera terjadi kesibukan, para saudagar itu dapat melihat gelagat tidak enak,
beramai-ramai mereka berebut meninggalkan restoran ini mereka tidak ingat
lagi akan sopan santun terhadap Lamkiong-kongcu segala.
Ruang restoran yang semula ramai dan agak berjubel sekarang berubah
menjadi lenggang.
Mendadak Wiki melangkah ke samping Lu thian-an, ia pun berduduk di situ,
diraihnya poci arak terbuat dari timbel, langsung ia menuangkan arak dari
corong poci ke mulut dan minum beberapa teguk.
"Sepuluh tahun tidak bertemu, tampaknya kekuatan minum arak telah tambah
maju," ucap Bwe kiam-soat dengan tersenyum.
Mendadak Wiki membanting poci itu ke atas meja.
Dengan muka kelam Lu thian-an berkata, "Nona, sudah hampir 30 tahun
engkau malang melintang di dunia kangouw dan entah berapa banyak orang
telah menjadi korbanmu, kukira saat ini pun sudah lebih dari cukup hidupmu."
"Totiang sendiri sudah ubanan, tentu lebih-lebih cukup hidup, bila hidup lebih
lama lagi, bisa jadi orang akan menyebutmu tua bangka," jawab Kiam-soat
dengan tajam. "Hm tampaknya kedatangn kalian sengaja hendak mencari
perkara padaku."
"Ah masa perlu dijelaskan lagi, kami hanya berharap nona mau membereskan
diri sendiri saja, jengek Thian-an.
"Membereskan diri sendiri" Kausuruh aku membunuh diri" Haha, memangnya
kenapa?" "Kukira tidak perlu banyak omong, supaya aku tidak perlu melanggar
pantangan membunuh."
"Wah, jika begitu, lekas kau turun tangan saja sebelum kubicara lebih banyak
dan mungkin akan membongkar rahasiamu!" kata Kiam-soat dengan
tersenyum. Air muka Thian-an tojin yang kelam itu seketika berubah.
"Kan sudah kukatakan tidak perlu banyak bicara dengan dia, "ujar Wiki,
"creng" segera ia mengeluarkan senjata andalannya, Liong-hong-siang-goan,
sepasang gelang baja.
"Nanti dulu!" mendadak Lamkiong peng melompat maju.
"Apakah kaupun ingin mengiringi kematiannya?" jengek Wiki sambil
mendomplangkan meja. Keruan mangkuk piring berhamburan.
Lamkiong peng mengebaskan lengan bajunya sehingga meja itu tertahan dan
meluncur kesebelahnya dan menumbuk dinding.
"Tanpa alasan kalian datang kemari dan hendak membunuh orang,
berdasarkan apa kalian bertindak demikian?" tanya Lamkiong peng dengan
tidak senang. "Segala urusan harus diselesaikan menurut keadilan, sekarang
kalian menhendaki nyawa kami berdua, sedikitnya kalian harus memberi
keterangan kepada setiap orang persilatan yang hadir di sini, apa dasarnya?"
Kawanan orang persilatan sebagian sudah ikut menerjang ke atas restoran dan
siap bertindak, demi mendengar uraian Lamkiong peng yang tegas dan jujur
ini, diam-diam banyak diantaranya mengangguk dan bersimpati kepadanya.
Lu thian-an memandang sekejap kepada orang banyak, air mukanya tampak
rada berubah. "Hah tentunya sekarang engkau merasa menyesal telah banyak bicara
denganku, mestinya begitu datang segera kalian membunuhku, begitu bukan?"
kata Bwe Kiam-soat dengan tertawa merdu.
Suaranya lantang berkumandang sehingga dapat didengar oleh orang yang
berkerumun di luar.
"Apakah ucapanmu sengaja diperdengarkan kepada kawan Bulim di sekeliling
sini" Jengek Thian-an tojin.
"betul, kecuali dunia persilatan sudah tidak ada keadilan lagi, kalau tidak,
biarpun engkau adalah Bu-li-bengcu "(ketua persekutuan orang persilatan)
juga tidak boleh meremehkan nyawa orang lain."
Gemerdep sinar mata Wiki, mendadak ia tergelak, serunya, "Jika orang lain,
ucapanmu ini tentu akan manimbulkan rasa curiga orang banyak terhadap
tindakan kami ini. Tapi kau perempuan yang berdarah dingin, biarpun kau
omong seribu kali lagi, meski engkau mengoceh panjang lebar, aku Wiki tetap
akan menumpaskan bencana bagi dunia persilatan."
Lalu ia memandang Lamkiong peng dan bertanya, "Jika kau tahu dia ini
Lenghiat Huicu, mengapa kaubela dia" Melulu kesalahanmu ini saja pantas di
hukum mati. Tapi mengingat gurumu, lekas kau pergi saja, lekas!"
"Sedemikian keras kau bela dia, memangnya di antara kalian ada hubungan
sesuatu yang tidak boleh diketahui orang?" ejek Lu thian-an.
Mau tak mau Lamkiong peng menjadi gusar, semula ia percaya ketua Conglam
pai dan Wiki ini adalah kaum pendekar yang berbudi luhur, siapa tahu
tindak dan kata mereka sedemikian kasar, tiba-tiba terpikir olehnya di balik
urusan ini pasti ada sesuatu yang janggal.
Kawanan jago persilatan dapat menerima pendirian Wiki itu, nama Lenghiat
Huicu sudah terkenal busuk sejak belasan tahun yang lalu, sekarang pemuda
ini membelanya mati-matian, tentu anak muda ini juga bukan orang baik-baik.
Padahal tiada seorangpun antara jago persilatan ini yang pernah melihat Bwe
kiam-soat sebelum ini, mereka kebanyakan cuma membeo belaka. Tadi
mereka menaruh simpati kepada Lamkiong peng, sekarang berubah pikiran
lagi. Memang demikianlah sifat manusia pada umumnya.
Diam-diam Lamkiong peng menghela nafas, ia tahu urusan hari ini tidak
mungkin diselesaikan begitu saja, ia coba melirik Bwe kiam-soat, dilihatnya
orang tetap tersenyum dengan tenang.
Dalam pada itu orang banyak lantas berteriak-teriak, "Buat apa banyak bicara,
bekuk dulu keduanya."
"Nah, kau minta keadilan dunia persilatan, sekarang bolehlah kita selesaikan
mendasarkan pendapat umum," jengek Lu thian-an.
Wiki juga tidak sabar lagi, segera ia putar kedua gelang baja sambil
membentak, "Minggir!"
Bwe Kiam-soat tetap tenang saja, ucapnya, "Kau maju sendirian?"
Terkesiap juga Wiki, tiba-tiba teringat olehnya kungfu Lenghiat Huicu yang
menakutkan itu. Seketika ia tertegun dan tidak berani bergerak lagi.
"Haha, kiranya orang kangouw kebanyakan manusia yang suka mengekor
belaka......." belum lanjut ucapan Lamkiong peng serentak terdengar suara
caci maki di sana sini.
Nyata ucapannya telah menimbulkan kegusaran orang banyak.
"Ikut terjang keluar bersamaku!" bisik Bwe kim soat kepada Lamkiong Peng.
Diam-diam ia siap bertindak. Meski pihak lawan berjumlah banyak, tapi ia
yakin pasti mampu menerjang keluar.
Siapa tahu Lamkiong peng tetap diam saja di tempatnya dengan pongahnya,
mendadak ia membentak, "Diam!"
Bentakan yang menggelegar ini memekakkan anak telinga, seketika semua
orang tergetar diam.
Dengan tajam Lamkiong Peng menatap Lu thian-an, teriaknya, "segala urusan
tentu tidak terlepas dari keadilan dan kebenaran, justru kepada seorang
Cianpwee serupa dirimu ingin kuminta keadilan. Sesunguhnya apa dosa Bwe
kiam-soat, apa kesalahannya, bilakah dia berbuat kejahatan sehingga
memerlukan tindakanmu ini."
Lu thian-an jadi melenggak, tak tersangka olehnya anak muda ini dapat
bertanya demikian.
Dengan kereng Lamkiong Peng berteriak pula, "Jika engkau tidak dapat
menjawab, berdasarkan apa pula engkau bertindak atas nama dunia
persilatan" Berdasarkan apa pula bicara tentang keadilan dunia persilatan" Bila
soalnya Cuma mengenai permusuhan pribadimu dengan dia, mengingat
kedudukanmu sebagai seorang pemimpin suatu perguruan terkemuka, tentu
juga harus kaubereskan urusan ini langsung dengan dia sendiri, andaikan
dapat kaucencang dia juga aku takkan ikut campur. Tapi bila engkau
mengatasnamakan umum bagi kepentingan pribadi dan membual tentang
keadilan, betapun aku Lamkiong Peng tidak dapat menerima dan akulah yang
pertama-tama ingin minta pengajaran dulu padamu."
Dia bicara tegas dan berani, mau tak mau semua orang sama melenggong.
Air muka Wiki berubah, Lu thian-an juga tidak tahan, jengeknya, "Rupanya
kau menantang anak muda!"
"Apa boleh buat," ujar Lamkiong Peng lantang.
Seorang pemuda hijau peloneo berani menantang seorang guru besar dari
suatu aliran pedang terkemuka, sungguh hal ini cukup menggemparkan,
keruan semua orang sama heran dan juga terkejut.
"Hm, tampaknya sombong benar kau anak muda, terpaksa aku mesti memberi
hajaran padamu," jengek Lu thian-an.
Lamkiong Peng hanya mendengus dan tetap berdiri tegak.
Pelahan Lu thian-an berbangkit, sedangkan Wiki menyurut mundur ke
samping. "Aha, menarik, rasanya tempat ini kurang luas. Biarlah kusingkirkan lagi meja
kursi yang memenuhi tempat ini," ucap Bwe kiam-soat seperti apa yang akan
terjadi ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia.
Lamkiong Peng tahu wataknya memang begitu, maka tidak heran. Sebaliknya
orang lain sama terkesiap, diam-diam ada yang menggerutu, "Perempuan ini
memang benar berdarah dingin."
Setelah ruangan dikosongkan, kini Lu thian-an berdiri berhadapan dengan
Lamkiong Peng, katanya, "Silakan mulai!"
Nyata ia menjaga gengsi sebagai orang lebih tua dan memberi kesempatan
menyerang lebih dulu.
Namun Lamkiong Peng justru tetap diam saja, "Silahkan Locianpwee dulu!"
Wiki menjadi gusar, "Siko, untuk apa bicara tentang peraturan dengan sampah
masyarakat persilatan seperti ini!"
"Benar!" kata Thian-an berbareng ia melompat maju dan menghantam batok
kepala lawan tanap kenal ampun.
Melihat serangan Lu thian-an itu, ada juga diantara penonton yang merasa
penasaran, sebagai seorang tokoh terkemuka, menyerang lebih dulu, tapi
sekeji ini serangannya.
Namun Lamkiong Peng bukan lawan empuk baginya, sedikit ia menggeser ke
samping, berbareng itu sebelah tangannya balas menyodok ke perut Thian-an.
Terkejut juga Lu thian-an oelh kecepatan lawan, sembari mengelak, tangan
lantas memotong ke bawah, tangannya tamapak putih mulus seperti tangan
orang perempuan, tapi membawa tenaga dalam yang dasyat...
Begitulah serang menyerang terus berlangsung, diam-diam para penonton
sama memuji anak Put-si-sin-liong memang tidak boleh dipandang enteng.
Namun apa pun juga Lu thian-an memang lebih ulet, setelah belasan jurus,
lambat laun ia berada lagi diatas angin. Padahal kelihatannya Lamkiong Peng
agak terdesak, sebenarnya dia belum mengeluarkan segenap tenaganya.
Saat itu kedua tangan Lu thian-an berkerja sekaligus dan menghantam,
mendadak Lamkiong Peng bersuit panjang sambil melompat keatas. Terkejut
Lu thian-an, dirasakan angin keras membura dari atas, kemanapun dia
mengelak rasanya tetap akan terserang. Bila dia tetap diam di tempat,
sedangkan lawan telah menubruk dari atas, ini berarti dia akan tetap berada di
pihak terserang belaka.
Semua orang sama kaget, Wiki juga berseru, "Thian-liong-cap-jit-sik!"
Rupanya inilah Thian-liong-cap-jit-sik atau 17 jurus serangan naga terbang,
kungfu andalan Put-si-sin-liong. Serangan ini dilancarkan pada waktu tubuh
terapung, setiap jurus serangan pasti memaksa lawan harus menyelamatkan
diri lebih dulu, atau membuntu jalan mundur musuh, serangan barantai susul
menyusul, sebab itulah Thian-liong-cap-jit-sik tak dapat dibandingi oleh ilmu
pukulan dari aliran lain.
Sekarang yang dilancarkan Lamkiong Peng adalah jurus pertama yang disebut
"Tit-siang-kiu-siau" atau langsung menjulang ke langit, selagi tubuh
mengapung, tangan dan kaki terus menyerang untuk mengurung segenap
jalan mundur Lu thian-an.
Habis itu sambil meluncur turun, kesepuluh jari berubah menjadi cakar untuk
mencengkram muka lawan.
Dia sudah siap serang sejak tadi, sekali turun tangan harus berhasil. Tentu
saja semua orang menjerit kaget melihat Lu thian-an terancam bahaya.
Siapa tahu sebagai seoarang ketua suatu aliran terkemuka, dengan sendirinya
Giok-jiu-sun-yang juga bukan lawan empuk, dia kelihatan diam saja, tapi
ketika serangan Lamkiong Peng sudah dekat, mendadak kedua tangannya
membalik dan menangkis ke atas.
Terdengar suara "plak" yang keras serupa menghantam kulit kering keempat
tangan beradu, kedua puluh jari saling meremas dengan erat.


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adu pukulan ini membikin para penonton sama melongo. Tertampak Lamkiong
Peng menjungkir di udara dengan tangan berpegangan tangan lawan,
tubuhnya menurun pelahan, namun empat tangan tetap melengket menjadi
satu. Dan begitu kaki Lamkiong Peng menyentuh tanah, segera pula Lu thian-an
menyurut mundur dua langkah, lalu keduanya sama berdiri seperti terpantek
di tanah dan saling melotot.
Nyata telah terjadi adu tenaga dalam antara keduanya, ini berarti pertaruhan
dengan nyawa masing-masing.
Seketika suasana sunyi senyap, semua orang sama ikut tegang, sama menhan
nafas. Bukan Cuma yang berkerumun di atas loteng sama tegang, yang berada
di bawah loteng juga sama tegangnya dan bertanya-tanya apa yang terjadi
karena tidak terdengar sesuatu suara.
Di tengah kesunyian tiba-tiba terdengar suara keriat-keriut papan loteng, dahi
kedua orang tampak berhias butiran keringat. Betapa hebat jurus serangan
Lamkiong Peng tetap tidak dapat membandingi kculetan latihan Lu thian-an
selama berpuluh tahun. Lambat laun anak muda itu kelihatan tidak tahan lagi.
Diam-diam Wiki bergirang, sebaliknya air muka Bwe kiam-soat tampak
prihatin. Selagi suasana semakin mencekam, sekonyong-konyong di bawah loteng
berjangkit jeritan kaget, di tengah malam kelam tiba-tiba timbul gelombang
hawa panas yang menyengat, bukan saja yang bertempur itu berkeringat,
para penonton juga berkeringat kegerahan.
Sejenak kemudian lantas terdengar bunyi benda bertalu-talu, menyusul suara
melengking orang menjerit,
"Api......api.......kebakaran.........kebakaran!"
Keruan suasana menjadi kacau, oarang-orang yang berkerumun di jalan raya
punpanik, lidah api tampak menjilat-jilat dan mendadak menyambar ke atas
loteng restoran.
Para jago silat itu tidak sempat lagi memikirkan pertrungan maut itu, beramairamai
sama mencari selamat sendiri, ada yang melompat turun melalui tangga
dengan desak mendesak, ada yang terjun begitu saja.
Meski ada juga orang berusaha memadamkan api, tapi kobaran api ini
tampaknya sangat aneh, lidah api yang ganas itui dalam sekejap saja sudah
menelan seluruh ciu lan atau restoran itu.
Para penonton sudah kabur mencari selamat, di atas loteng tertinggal
Lamkiong Peng yang tetap beradu tenaga dengan Lu thian-an dan ditunggui
oleh Wiki dan Bwe kiam-soat.
Api berkobar terlebih hebat, tampaknya sebentar lagi mereka pasti akan
terkubur di tengah api.
Nafas mereka sudah sesak oleh asap, keringat memenuhi kepala Wiki,
matanya membara. Mendadak ia angkat gelang bajanya dan segera
bermaksud melompat keluar. Tak terduga mendadak bayangan orang
berkelebat, tahu-tahu Bwe kiam-soat sudah mengadang di depannya.
Saking cemas dan gugupnya, tanpa pikir ia membentak, gelang naga sebelah
kanan segera menghantam Bwe kiam-soat, sedangkan gelang hong sbelah kiri
terus dilemparkan dengan membewa angin tajam mengancam iga Lamkiong
Peng. Saat itu Lamkiong Peng pun dalam keadaan payah, jangankan diserang oleh
gelang baja yang dasyat ini, sekalipun pukulan orang biasa cukup
membuatnya roboh binasa.
Terdengar Bwe kiam-soat mendengus, mendadak ia mendoyongkan kepala ke
belakang, berbareng itu sebelah tangan meraih kedepan, dengan tepat gelang
baja lawan terpegang olehnya, sekali betot terus dilemparkan ke arah Lu
thian-an. Selagi Lamkiong Peng terkejut karena sambaran gelang baja musuh yang
sukar dielakkan itu, mendadak dilihatnya Lu-thian-an juga terkesiap oleh
ancaman yang sama, Lamkiong Peng bergirang, sepenuh sisa tenaga ia
mendesak lebih kuat.
Kiam-soat tersenyum dan berolok, "Hah, ini namanya senjata makan........."
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong gelang yang menyambar
Lamkiong Peng itu memutar balik dan membentur gelang yang mengancam Lu
thian-an, menyusul bahkan terus menghantam belakang punggung Bwee
Kiam-soat. "Bagus, kiranya gelangmu berantai," seru Kiam-sot sambil memutar sebelah
tangannya, kontan gelang berantai itu dipegangnya.
Maklumlah, selama sepuluh tahun dia berbaring di dalm peti mati, kesempatan
itu digunakannya untuk merenungkan intisari ilmu silat yang paling tinggi,
maka ketajaman mata telinganya sekarang hampir tidak ada bandingannya,
sekalipun sebiji pasir menyambar dari belakang pun dapat dirasakannya dan
ditangkapnya. Tentu saja Wiki terkejut, cepat ia mendoyong kebelakang untuk membetot
gelangnya agar tidak sampai dirampas musuh.
Rupanya pada gelang bajanya terikat sutas rantai emas hitam yang Lembut ,
namun cukup ulet dan kuat, golok atau pedang biasa pun sukar
memotongnya. Tak tersangka Bwe kiam-soat menebas dengan telapak tangannya, kontan
rantai emas terpotong putus. Karena kehilangan imbangan badan, kontan Wiki
terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh terjengkang.
Sementara itu api sudah membakar kusen jendela sekeliling loteng dan
menimbulkan suara gemertak yang riuh, hawa panas membuat Lamkiong
Peng, Lu thian-an dan Wiki merasa seperti terpanggang, baju basah kuyup
oleh air keringat, tidak terkecuali pula Bwe kiam-soat.
Mendadak daun jendela sebelah selatan terlepas dan jatuh ke atas meja di
dekatnya, segera meja kursi di situ ikut terjilat api.
Lambat laun atap rumah juga mulai terbakar, tiba-tiba sepotong kayu hangus
jatuh di samping Bwe kiam-soat, saat itu di sedang menggeser menghindari
tendangan Wiki, segera sebelah kakinya mencungkit kayu hangus itu dan
meluncur ke arah Wiki.
Sambil meraung tangan kiri Wiki menyampuk sehingga kayu hangus itu
terpental keluar jendela, tapi ia lupa tangannya masih memegangi rantai
gelang yang putus tadi, karena sampukan itu, rantai membalik menghantam
kuduk sendiri. Biarpun kecil, rantai emas hitam sangat keras, tambah lagi tenaga sampukan
sendiri, keruan ia meringis kesakitan dan kuduknya berdarah.
Dengan meraung murka Wiki membuang sisa rantai itu.
"Haha serangan bagus, itu namanya jurus "Kau-bwe-cu-pian" (ekor anjing
menyabat tubuh sendiri)!" ejek Bwe Kiam-soat dengan tertawa.
Sembari berolok-olok, segera pula ia menggeser kesampaing Lu Thian-an.
Saat itu Lamkiong Peng masih saling tolak bersama Lu thian-an, hatinya
terhibur ketika dilihatnya Bwe kiam-soat masih berada di situ. Tapi ketika
dilihatnya sebelah tangan Kiam-soat menghantam punggung Lu thian-an cepat
ia bersuara mencegah sambil menarik ke samping. Karena tarikan ini, ia dan
Lu thian-an sama jatuh terguling.
Kiam-soat berteriak kuatir dan melompat ke samping Lamkiong Peng, cepat
Wiki juga memburu tiba untuk menjaga Lu thian-an. Waktu diperhatikan,
ternyata nafas kedua orang itu sama terengah, agaknya sama-sama kehabisan
tenaga, namun jelas tidak terluka dalam, keduanya sedang saling pandang
dengan tercengang.
Rupanya setelah saling mengadu tenaga dalam, keadaan mereka sudah payah,
walaupun keempat tangan masih saling genggam, tapi sebenarnya sudah
kehabisan tenaga. Dasar Lamkiong Peng memang berjiwa luhur, ia tidak ingin
lawan disergap Bwe Kiam-soat selagi orang mengadu tenaga dengannya, lekas
ia menarik orang ke samping. Tak diduganya keduanya sebenarnya sama
payahnya, maka begitu terseret segera keduanya jatuh terguling bersama.
Lantaran itulah mereka saling pandang melenggong.
Pada saat itulah tiba-tiba di bawah loteng ada orang berteriak, "Wi-jitya, Lutotiang....."
Ada semprotan air dari sebelah selatan, menyusul sinar pedang berkelebat,
empat sosok bayangan kelabu menerjang masuk. Kiranya keempat tojin anak
buah Lu thian-an.
Bwe Kiam-soat terkesiap melihat pihak lawan kedatangan bala bantuan,
serunya dengan suara tertahan kepada Lamkiong Peng, "Ayo, pergi!"
Semangat Lu thian-an berbangkit karena kedatangan anak buahnya, melihat
Bwe kiam-soat mengajak lari Lamkiong Peng cepat ia membentak, "Lamkiong
Peng, kalah menang belum jelas, bukan lelaki sejati bila lari!"
Tentu saja Lamkiong Peng sangat gusar, ia melompat banguan.
Sementara itu Lu thian-an sudah menubruk tiba, tanpa bicara lagi ia hantam
dada anak muda itu. Cepat Lamkiong Peng mengegos, berbareng telapak
tangan menebas iga lawan.
Tiba-tiba beberpa potong kayu hangus jatuh lagi dari atas.
Terpaksa mereka harus melompat kian kemari untuk menghindari api.
Dalam pada itu keempat tojin berjubah kelabu lantas menerjang maju, mereka
adalah murid utama ketua Cong-lam-pai, dengan sendirinya ilmu pedangnya
tidak lemah, serentak mereka melancarakan serangan kilat.
"Tinggalkan yang lelaki, tangkap dulu yang perempuan," seu Wiki.
Segera sinar pedang berputar dan memburu ke arah Bwe kiam soat.
Bwe kiam soat tetap tenang saja, ia hanya melirik sekejap keempat tojin itu
Keempat tojin ini sejak kecil sudah bertirakat di pegunungan sunyi, mana
mereka pernah melihat perempuan secantik ini, mana pernah melihat
senyuman semanis ini, keruan gerakan mereka menjadi agak lambat.
Namun dengan gemulai Bwe kiam soat juga telah mengangkat tangannya,
terdengar suara gemerantang yang nyaring, dalam sekejap tiga pedang tojin
itu telah dipatahkan oleh gelang baja rampasannya dari Wiki tadi.
Selagi keempat tojin melongo kaget, tahu-tahu pandangannya menjadi silau,
pergelangan tangan pun kesemutan, pedang telah dirampas oleh Bwe kiam
soat. Menyusul Kiam-soat menyambitkan gelang baja ke arah Wiki, yang sedang
menubruk Lamkiong Peng itu, lalu pedang rampasan menabas ke depan, tojin
pertama belum lagi sempat melompat mundur dan tahu-tahu dahi tergores
luka dan mencucurkan darah.
Tojin kedua sempat menyurut mundur, tapi rambut yang tersanggul di atas
kepala juga tertabas oleh pedang.
Tentu saja tojin ketiga ketakutan, selagi melenggong, pedang Bwe kiam-soat
yang menyambar tiba mendadak berhenti dan mengetuk pedang patah yang
masih di pegangnya. "trang", pedang patah jatuh ke lantai, cepat ia melompat
mundur sambil memegangi pergelangan tangan yang kesakitan.
Hanya dalam sekejap saja ketiga suhengnya sudah dibikin keok, tojin keempat
tidak berani lagi bertempur, segera ia hendak lari.
"Eh, jangan terburur-buru!" jengek Bwe kiam-soat, baru saja tojin itu
melangkah dua tindak, iga kanan-kiri sudah terkena pedang.
Saat itu Wiki telah menubruk ke dapan Lamkiong peng, tapi dari belakang
gelang yang dilemparkan Bwe kiam-soat juga menyambar tiba. Dari deru
anginnya nyata terlebih kuat daripada lemparannya tadi.
Ia tidak berani gegabah, cepat ia menggeser ke samping sambil membalik
tubuh, gelang baja yang masih dipegangnya menangkis ke depan dengan daya
melengket, pikirnya bila gelang itu tertahan, segera akan ditangkapnya
kembali. Siapa tahu ketika kedua gelang kebentur, gelang yang dilemparkan Bwe kiamsoat
mendadak dapat berputar, serupa bersayap saja, tahu-tahu terbang lagi
ke belakang Wiki.
Han Bu Kong Jilid 8 Pada saat yang sama sepotong kayu terbakar mendadak jatuh dari atas.
Dalam keadaan tergencet, sebisanya Wiki meloncat ke samping.
"Trang" gelang baja menghantam lantai, kayu hangus tadi juga jatuh
menerbitkan lelatu.
Ketika Wiki dapat menenangkan diri, dilihatnya Bwe kiam-soat telah berdiri
diidepannya dengan tersenyum.
Sementara itu kobaran api tambah besar, bangunan restoran Thian-tiang-lau
yang kukuh itu sampai berguncang dan hampir runtuh.
Lamkiong Peng dan Lu thian-an masih berhadapan dan bertempur dengan
sengit. Padahal keduanya sebenarnya dalam keadaan sama-sama payah, sampai
akhirnya setiap pukulan dan setiap tendangan hampir serupa permainan anak
kecil saja. Namun air muka mereka justru jauh lebih prihatin.
Mendadak Lamkiong peng melancarkan pukulan dengan jurus Thian-liong-iedian
atau naga meluku di sawah, dengan langkah lamban Lu thian-an mundur
mengelak. Pada saat itulah terdengar suara gemuruh, papan loteng telah runtuh
sebagian, lidah api pun menyambar dari bawah ke atas, kebetulan langkah
mundur Lu thian-an itu tepat menginjak papan loteng yang runtuh.
Ia menjerit kaget, syukur jarinya masih sempat meraih tepian papan loteng,
tapi papan loteng itu lambat laun juga ambrol ke bawah. Tampaknya dia akan
ditelan oleh lautan api. Dengan tenaganya sekarang mana dia mampu
melompat lagi ke atas.
Tanpa pikir Lamkiong peng memburu maju dan menarik tangan Lu thian-an.
Padahal ia sendiri pun kehabisan tenaga, dengan sendirinya tidak mampu
menarik naik Lu thian-an.
Kembali terdengar suara "krek" tempat berpijak Lamkiong peng juga akan
ambrol, bilamana dia mau melompat mundur, terpaksa Lu thian-an harus
dilepaskan dan akan terjeblos ke dalam lautan api, tapi kalau dia tidak
melompat mundur, ia sendiri pun akan ikut terkubur di tengah amukan api.
Sekujur badan Lu thian-an tampak gemetar, rambut jenggotnya sudah penuh
lelatu api, tampaknya mulai terbakar.
Memandangi lawan yang telah bergebrak mati-matian dengan dirinya ini,
mendadak timbul rasa kasihannya, pegangannya dipererat dan tak
terlepaskan. Mendadak sepotong kayu hangus jatuh dari atas, untuk menghindar jelas tidak
mungkin, terpaksa Lamkiong peng hanya miringkan kepalanya saja sehingga
kayu hangus menyerempet jidat dan mengenai pundaknya. Hanya selisih
beberapa senti saja mungkin jiwa Lamkiong peng bisa melayang bilamana
tepat mengenai kepalanya.
Sungguh tak terkatakan terharu hati Lu thian-an oleh keluhuran budi anak
muda ini, dengan suara gemetar ia berteriak, "Lari.... lekas lari.....jangan urus
diriku!"......."
Namun Lamkiong peng tetap memegangi sekuatnya, darah dari kening
bercampur dengan air keringat bercucuran menetesi tubuh Lu thian-an.
Di sebelah sana Wiki sedang menubruk ke arah Bwe kiam soat dengan murka,
"Hari ini biarlah kuadu jiwa dengan mu"
Gelang di tangan kanan segera mengepruk kepalan kiri juga menghantam.
"Hm memangnya kejadian sepuluh tahun yang lalu itu salahku?" jengek Bwe
kiam-soat, dengan lincah ia hindarkan serangan Wiki itu, menyusul ia balas
menabas pinggang lawan dengan pedangnya.
Dengan beringas Wiki berteriak, "tidak peduli siapa yang salah, yang jelas
engkau lah pangkal bencananya, tanpa dirimu tentu takkan terjadi hal-hal
begitu." Rada merandek juga daya serangan Bwe kiam-soat, gumamnya, "Tanpa aku
takkan terjadi hal begitu.....Memangnya salahku" Tapi apa kesalahanku?"
Wiki menerjang pula deangan kalap. Teriaknya, "Pokoknya perempuan adalah
air bencana, biarlah hari ini kau mampus di tanganku"
Dalam pada itu keempat tojin berjubah kelabu menubruk maju. Namun sekali
pedang Kiam-soat berputar kontan mereka didesak mundur lagi. Tiba-tiba
Kiam-soat berteriak kuatir dan melompat ke sebelah sana.
Tercengang juga Wiki ketika berpaling dan melihat keadaan bahaya Lamkiong
peng dan Lu thian-an itu. Tiada jalan lain, cepat gelang baja tangan kanan
disambitkan ke sana, gelang baja meluncur dengan cepat, tapi setiba di depan
Lamkiong peng segera berhenti.
Latihan Wiki selama berpuluh tahun memang tidak percuma, gelang baja
berantai itu dapat dilempar dan ditarik sekehendak hatinya.
Ketika mendadak Lamkiong peng melihat gelang baja itu meluncur tiba segera
dipegangnya dengan tangan kiri.
Serentak Wiki membentak dan menarik sekuatnya, segera tubuh Lamkiong
peng terseret mundur, dan dengan sendirinya Lu thian-an ikut tertarik keatas.
Pendekar Kidal 8 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Anak Harimau 20

Cari Blog Ini