Raja Petir 02 Empat Setan Goa Mayat Bagian 2
yang sukar diukur, Barrot masih mampu menggagalkan serangan itu.
"Kurang ajar!" maki Barrot.
Si Topeng Hitam itu mengururigkan niatnya untuk menghabisi nyawa Ketua Perguruan
Cermin Sakti. Seketika, tubuhnya digenjot kuat, lalu meluruk ke arah murid Ki
Sobarang yang telah menggagalkan maksudnya.
"Hiyaaa...!"
Tiga orang murid utama Perguruan Cermin Sakti memang tak menyangka kalau Barrot
langsung menyerang. Maka pada saat Barrot mengebutkan
pedangnya, mereka hanya mampu
terbeliak. Bret! Bret! Bret!
"Aaakh...!"
Tiga murid utama Perguruan Cermin Sakti seketika bertumbangan. Masing-masing
mendapat luka yang menganga lebar di bagian perut dan dada. Mereka kini
berkelojotan sebentar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Mati!
Belum puas si Topeng Hitam
melampiaskan kemarahannya, kembali pedang kebanggaannya diayun-ayunkan.
Wukkk...! Bret! Bret! "Aaa...!"
Dua orang murid Perguruan Cermin Sakti kembali tumbang dengan masing-masing
wajah tergurat sayatan pedang berkeluk lima. Dari wajah yang sobek itu kontan
memancar darah segar.
Barrot berbalik
arah. Matanya yang jalang menatap Ketua Perguruan Cermin Sakti yang terkulai sambil mendekap
erat perutnya yang menganga lebar. Darah tampak masih terus
mengalir dari lukanya. Dengan napas memburu, si Topeng Hitam kembali melesat
dengan senjata yang teracung
di atas kepala.
"Mampuslah kau, Sobarang!
Hiyaaa...!"
Tiba-tiba, angin bergulung-gulung datang dari arah tubuh Ki Sobarang.
Angin bergulung yang layaknya pusaran angin itu datang begitu cepat ke arah
Barrot yang sedang melayang melakukan serangan.
Maka seketika itu juga, si Topeng Hitam menarik tubuhnya ke belakang.
Kemudian, dia berjumpalitan ke kanan untuk menghindari angin bergulung-gulung
yang entah siapa penciptanya.
Beberapa saat tubuh Barrot bergulingan di tanah berumput halus, namun
sebentar kemudian telah melentingkan tubuhnya. Kini dia mendarat manis sekali di
tanah. "Kurang ajar!" maki Barrot setelah mampu menguasai diri.
Mata jalang si Topeng Hitam itu
menatap geram ke arah Ki Sobarang yang kini tidak sendiri. Sebab di sebalah
kanannya telah berdiri seorang pemuda berpakaian kuning keemasan. Dia tak lain
adalah Jaka Sembada yang betjuluk Raja Petir.
Sementara di sebelah kiri Ketua
Perguruan Cermin Sakti itu berdiri seorang gadis cantik berpakaian hijau daun.
Dia tengah berusaha memapah tubuh Ki Sobarang. Dan di lain pihak, pertarungan
antara Gumai Gumarang
melawan Jatianom seketika berhenti.
"Jaka"!" desis Gumai Gumarang.
Hati Gumai-Gumarang sedikit lega akan kehadiran pendekar muda yang telah
dikenalnya. "Awas, Paman!"
Gumai Gumarang menoleh cepat.
Kemudian dengan kepekaannya, tubuhnya dilempar ke kiri. Ternyata, Jarianom
berniat membokongnya.
Ctar! Sambaran cambuk yang dikerahkan
Jatianom sekuat tenaga menghantam tanah berumput halus. Tanah halaman Perguruan
Cermin Sakti seketika
terbongkar. Rumput-rumputnya yang halus juga ikut terangkat ke atas.
Gumai Gumarang kembali melenting.
Dua kali dia berputaran di udara, dan sekejap kemudian mendarat manis di dekat
Jaka. "Siapa kau, Anak Muda Lancang!"
bentak Barrot Pedang berkeluk limanya ditudingkan ke arah pemuda berpakaian
kuning keemasan itu.
"Aku bukannya lancang, Kisanak!"
sahut Jaka, tak kalah keras. Memang suaranya disertai pengerahan tenaga dalam.
"Aku merasa hal ini merupakan suatu kewajiban!"
"Cari mampus kau, Anak Muda!"
hardik Jatianom.
"Ajal tak bisa kalian buru. Tapi sesungguhnya, ajallah yang memburu
kalian, Kisanak! Kalian orang tua bau tanah seharusnya segera insaf!
Bukannya cari dosa!"
"Anak muda usilan! Mulutmu
terlalu lancang dan terlalu berani.
Siapa kau"! Apa kau sudah punya nyawa rangkap"!"
"Kalian ingin tahu siapa aku, heh?"
Jaka bertolak pinggang. Raut
wajahnya yang sejak tadi memerah karena menahan kemarahan, kini sudah kembali
seperti keadaan semula.
"Akulah musuh besar kalian!" kata Jaka. Kata-kata Jaka yang disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi membuat orang-orang yang berada di sekitamya merasakan
adanya getaran hebat Seperti ada halilintar yang ingin mengguncang bumi!
Dua lelaki berpakaian hitam yang merupakan dua dari Empat Setan Goa Mayat
terkejut menyaksikan pameran tenaga dalam yang dimiliki anak muda di hadapan
mereka. Maka kedua tokoh sesat itu saling berpandangan beberapa saat
"Akulah anak Sempani, Kisanak!
Kalian ingat Sempani, bukan"!"
Jatianom dan Barrot kembali
saling berpandangan.
"Dua puluh tahun silam kalian telah membuat kecurangan yang tak akan pernah
kumaafkan. Bersama dengan
Gandewa si Setan Botak itu, kalian telah merusak suasana keluargaku.
Kalian dengan keji membunuh Sempani, ayah kandungku. Bahkan juga melarikan
Purwakanti, ibu kandungku! Kalian masih ingat itu?"
Mata Barrot dan Jatianom tak
berkedip menatapi sosok pemuda
berpakaian kuning keemasan. Sosok pemuda yang begitu tinggi kewibawaannya.
"Bacot baumu itu jangan diumbar sembarangan, Anak Muda! Kau tahu, anak Sempani
sudah bersatu dengan abu rumahnya sendiri!"
"Kisanak! Sudah kukatakan
barusan, ajal bukan di tangan kalian.
Buktinya, Yang Kuasa tak mengizinkan ajal menjemputku. Kau saksikan sendiri
sekarang. Sosokku masih utuh, tanpa kekurangan satu anggota badarrpun.
Yang Maha Besar telah mengutus
seseorang untuk menyelamatkanku dari amukan api ciptaan manusia-manusia bejat
macam kalian?" tegas Jaka.
Setelah berkata demikian, Jaka
menggemeretakkan giginya, kegeraman seketika kembali mencuat ke kepalanya.
"Manusia licik! Kalian akan menanggung dosanya sekarang. Anak Sempani akan
menuntaskan pehitungan sekarang!" ancam Jaka. "Maaf, Paman Gumai. Minggirlah
sesaat. Aku akan menagih hutang-hutang mereka."
Seiring ucapannya, si Raja Petir maju dua langkah. Kini dia berdiri beriarak
beberapa tombak saja di depan dua anggota Empat Setan Goa Mayat itu.
"Kalian sudah siap melunasi hutang itu, Kisanak!?" tegas si Raja Petir.
Si Cambuk Setan dan Topeng Hitam merasa geram dengan tantangan Raja Petir itu.
Seketika raut muka masing-masing kedua tokoh itu terasa dijalari hawa panas.
"Bocah sombong! Kemampuan apa yang kau andalkan hingga berani
berkata seperti itu"!" keras suara yang diciptakan Jarianom.
"Hei, Bocah Edan! Tak tahukah kau dengan siapa berhadapan sekarang"!"
timpal Barrot sambil menudingnudingkan pedang berkeluk limanya.
Jaka Sembada mencibir mendengar pertanyaan lelaki bertopeng hitam itu.
"Aku tahu, dengan siapa sekarang aku berhadapan. Bukankah kalian yang berjuluk
Dua Setan Kudisan"!"
Merah padam wajah Barrot dan
Jarianom mendengar penghinaan yang terlalu berani itu. Bahkan tubuh keduanya
seketika mengejang.
Menyaksikan kemarahan kedua
lawannya yang sudah mencapai ubun-ubun, tanpa tanggung-tanggung lagi Raja Petir
meloloskan sabuk kuning andalannya. Sinar yang menyilaukan
mata seketika berpendar-pendar dari sabuk kuning yang lolos dari pinggang Jaka.
Jelas, perbawa sabuk kuning itu begitu menggiriskan.
Menyaksikan perbawa senjata
lawannya, Barrot dan Jatianom nampak berpikir keras. Sepertinya, mereka pemah
kenal dengan sabuk di tangan pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
Dan di pergelangan tangan anak muda itu..., Jatianom sepertinya juga
mengenalnya. "Mirip senjata Raja Petir, Adi Barrot," kata Jatianom pelan.
"Hm.... Apakah anak muda itu jelmaan Raja Petir" Ah! Tak mungkin,"
gumam Barrot, dalam hati.
"Hei! Kenapa kalian terbengong seperti macan ompong! Apa kalian takut
menghadapiku"!" sentak Jaka.
"Kadal buduk!" maki Jatianom.
"Heaaa...!"
Barrot langsung menggenjot
tubuhnya kuat-kuat.
Pedang berkeluk limanya yang
terhunus ditujukan tepat ke dada Jaka yang disertai pengerahan tenaga dalam
penuh. Angin berkesiutan mengiringi tibanya serangan berbahaya itu.
Sementara si Raja Petir yang
melihat keganasan serangan lelaki bertopeng hitarri itu, tidak memandang enteng.
Namun, hatinya tidak gentar sedikit pun.
"Uts!"
Jaka memiringkan tubuhnya ke
kanan. Gerakannya yang cukup cepat, membuat serangan pedang berkeluk lima milik
lelaki bertopeng hitam itu
membentur tempat kosong.
Namun, rupanya Barrot mampu
mencium gerakan yang dilakukan Raja Petir. Tusukan pedangnya yang bergerak lurus
seketika berganti haluan dengan kece patan luar biasa.
"Mampus kau, Bocah!"
Wut...! Jaka merundukkan kepalanya
menghindari tebas an pedang berkeluk lima. Seiring gerakannya yang manis itu,
dikirimkannya pukulan yang tak terduga sama sekali dengan sedikit pengerahan
tenaga dalam. Dug! "Hegkh...!"
Tubuh si Topeng Hitam terhuyung
beberapa langkah. Seketika, perutnya terasa mual dan nyeri.
"Kurang ajar!" maki Barrot setelah menguasai keadaan.
Lelaki bertopeng hitam itu cepat-cepat merubah letak kakinya. Kaki belakang yang
menjadi tumpuan seketika dimajukan sejajar kaki kirinya. Lalu dengan sedikit
menurunkan tubuhnya dan disertai renggangan kedua kakinya, si Topeng Hitam
membentangkan tangannya di depan muka. Kemudian perlahan
tangan kirinya yang terbuka, turun ke bawah dan berhenti tepat di atas pusar.
Maka sesaat kemudian....
Dua gulungan sinar hitam kini
telah tercipta dari telapak tangan Barrot. Sinar hitam yang menebarkan hawa
panas itu bergulung-gulung, meluruk cepat ke arah leher dan
pergelangan kaki Jaka.
Namun belum sempat kedua gulungan sinar hitam mencapai sasaran, Jaka telah lebih
dulu mengeluarkan jurus
'Pukulan Pengacau Arah' yang didapat dari Nini Selasih. Jurus itu
diturunkan untuk menandingi aji
'Lingkar Hitam Pengusung Raga' yang diciptakan Barrot, salah satu anggota Empat
Setan Goa Mayat.
Dari telapak tangan Jaka yang
terbuka seketika tercipta angin keras bergulung-gulung, seperti pusaran angin
puyuh. Pengerahan jurusnya dilakukan sepenuh tenaga, hingga di daerah sekitar
pertarungan itu seperti terlanda angin topan.
Werrr...! Glarrr...! Seketika dua kekuatan yang
beriainan jenis bertemu dalam satu titik. Maka suara menggelegar tercipta dari
benturan yang teramat dahsyat.
Tubuh Jaka terjajar satu langkah.
Sedangkan Barrot mengalami nasib naas.
Tubuhnya yang gempal terpental sejauh
tiga batang tombak, dan hampir saja melanda sebatang pohon besar. Untung saja si
Cambuk Setan melesat cepat, menahan tubuh Barrot yang terpental keras.
"Bedebah keparat!" geram Barrot.
Dari jarak lima batang tombak,
Jaka tersenyum simpul.
"Majulah kalian bersama! Biar urusanku cepat selesai."
Secara berbarengan, si Topeng
Hitam dan Cambuk Setan melejit
menerjang Raja Petir dengan senjata masing-masing. Akan tetapi....
Glar! Glar...! Raja Petir seketika mengebutkan
sabuk kuning yang digenggamnya. Maka, seketika seberkas sinar petir melesat
cepat dari sabuk kuning yang diayunkan Jaka. Sinar keperakan yang ditimbulkan
sangat mengejutkan kedua tokoh sesat anggota Empat Setan Goa Mayat.
Secepatnya kedua tokoh sesat itu melempar tubuhnya ke lain arah,
sehingga selarik sinar keperakan yang layaknya petir itu membentur sebatang
pohon besar. Glarrr! Krakkk! Brakkk...! Pohon sebesar tiga pelukan orang dewasa seketika ambruk mencium bumi.
Bagian pohon yang terhantam selarik sinar keperakan itu nampak menghitam.
Hangus! "Raja Petir"!"
Jatianom dan Barrot benar-benar
terkejut menyaksikan kenyataan di depan matanya. Sosok anak muda yang nampak
berdiri angkuh, betul-betul seperti sosok yang pernah disak-sikannya pada
puluhan tahun silam.
"Dia pasti pewaris Raja Petir,"
kata si Cambuk Setan, mulai yakin.
"Kalau betul-betul dia anak Sempani, pasti tak membiarkan kita hidup," timpal si
Topeng Hitam. K-gentaran nampak menguasai hatinya.
Tiba-tiba.... "Hiaaa!"
"Hiya...!"
Berbarengan Jatianom dan Barrot
meluruk maju, menerjang Jaka yang berdiri tenang. Namun siapa sangka kalau tibatiba saja kedua lelaki berpakaian hitam itu menghentikan gerakannya di tengah
jalan. Jaka terperangah seketika. Namun kepekaannya yang sudah terlatih matang segera
dapat membaca kelicikan dua penyerangnya. Karena dari gerakan tipuan dua orang
dari Empat Setan Goa Mayat itu, mata si Raja Petir dapat menangkap sekelebatan
benda kehitaman yang meluruk beriring.
Raja Petir 02 Empat Setan Goa Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wusss...! Wusss...!
Benda tipis kehitaman yang
melesat begitu cepat juga dapat
tertangkap mata Gumai Gumarang.
"Awas, Jaka!" Gumai Gumarang berteriak keras.
"Hiya..., hiyaaa...!"
Jaka secepat kilat menggenjot
tubuhnya. Lentingan manis dengan tubuh yang berputaran tiga kali di udara,
dipertontonkan si Raja Petir.
"Hup!"
Tubuh Raja Petir sekejap kemudian sudah mendarat manis di tanah berumput halus.
Sementara sebaris benda tipis kehitaman yang ternyata jarum-jarum beracun ganas
hanya mengenai beberapa pohon yang seketika itu juga
mengepulkan asap hitam! Pohon itu kemudian bertumbangan. Sungguh racun yang
sangat ganas! Hal ini membuat Jaka dan Gumai Gumarang terkesiap.
Namun ketersimaan Jaka dan Gumai Gumarang tak beriangsung lama. Sebab, mereka
kini dikejutkan oleh
menghilangnya Barrot dan Jatianom yang nyata-nyatanya turut melenyapkan Sempani
dan menghancurkan Perguruan Soka Merah.
Jaka segera mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kini dia yakin kalau kedua
tokoh sesat itu bersembunyi.
"Dia pasti kabur. Dasar
pengecut!" umpat Jaka sambil melepaskan pukulan kasarnya ke udara.
*** Di dalam sebuah ruangan Perguruan Cermin Sakti yang seluruh dindingnya berwarna
putih, nampak Ki Sobarang tergeletak lemah di atas pembaringan yang beralaskan
kain putih. Di sampingnya, dua orang lelaki dan seorang gadis jelita berpakaian hijau daun
nampak sedang berbincang-bincang.
"Untung kau cepat datang, Jaka.
Kalau tidak...," kata Gumai Gumarang.
"Sebelum Paman Gumai datang, sebetulnya aku dan Seruni sudah tiba lebih dahulu.
Kami bersembunyi ketika menyaksikan kedatangan dua lelaki berpakaian hitam yang
membawa gelagat tak baik," tutur Jaka.
"Kami tak berani mencampuri urusan orang lain yang tidak diketahui jelas ujung
pangkalnya, Paman," tambah Seruni.
"Meskipun, pada akhirnya kami melihat pertarungan antara murid-murid Perguruan
Cermin Sakti. Demikian pula ketika Ketua Perguruan Cermin Sakti ikut turun
tangan." "Benar apa yang diucapkan Seruni, Paman. Namun ketika menyaksikan
kehadiran Paman yang tiba-tiba dan mendengar pengakuan kalau kedua lelaki
berpakaian hitam itu adalah dua dari Empat Setan Goa Mayat, barulah hatiku
tergerak. Karena, aku juga punya persoalan dengan mereka. Merekalah yang telah
membunuh ayahku, Paman,"
jelas Jaka sambil mengepalkan
tinjunya. "Maaf, Paman. Sebetulnya ada urusan apa Paman Gumai datang ke
Perguruan Cermin Sakti?"
Gumai Gumarang seketika mengembangkan senyumnya.
"Kakang Sobarang adalah teman sepermainanku dulu, Jaka. Puluhan tahun kami
berpisah, dan baru dua tahun belakangan ini bertemu kembali,"
jelas Gumai Gumarang.
Si Raja Petir mengangguk-anggukkan kepala mendengar penuturan Gumai Gumarang.
"Sebenarnya, ada urusan apa Ki Sobarang dengan kedua tokoh sesat itu, Paman?"
timpal Seruni, juga kepingin tahu.
"Persoalan lama, Seruni."
"Persoalan lama?"
"Warisan kadang bisa membuat para ahli warisnya berbahagia, akan tetapi tak
jarang terjadi perpecahan. Bahkan mengadu nyawa. Seperti halnya, yang dialami
Kakang Sobarang."
"Jadi sebetulnya Ki Sobarang bersaudara dengan kedua tokoh Empat Setan Goa Mayat
itu, Paman?" tanya Jaka.
"Dengan lelaki bertopeng hitam itu," jelas Gumai Gumarang. 'Tapi sebenarnya si
Topeng Hitam itu tak berhak atas warisan yang diturunkan orangtua Kakang
Sobarang. Karena, dia
hanya anak tiri."
"Lalu?" desak Seruni.
"Orangtua Kakang Sobarang adalah seorang lelaki arif dan bijaksana.
Walaupun si Topeng Hitam tak berhak atas warisan, tapi tetap diberi harta juga.
Namun rupanya ketamakan terlalu menguasai hati si Topeng Hitam. Dia menginginkan
benda pusaka peninggalan leluhur orangtua Kakang Sobarang, yang sebenarnya hanya
bisa jatuh ke tangan anak kandungnya.
Yakni Kakang Sobarang."
"Kalau boleh kutahu, benda pusaka apakah itu, Paman Gumai?" selidik Jaka.
"Cermin Ajaib."
"Cermin Ajaib?" tukas Jaka.
"Begitu besarkah
keistimewaan Cermin Ajaib itu, Paman?" rasa keingintahuan Seruni ternyata lebih besar
daripada Jaka. "Cermin itu dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan dapat memperkuat daya
tahan tubuh seseorang dari serangan penyakit yang sehebat apa pun. Dan dapat
menyembuhkan luka yang separah apa pun, seperti yang dialami Kakang Sobarang
itu. Kalian lihatiah, luka di perut Kakang
Sobarang telah rapat dengan sendirinya," tunjuk Gumai Gumarang ke arah tubuh Ki Sobarang yang tengah terbaring.
"Tapi, aku tak melihat Cermin Ajaib itu berada pada Ki Sobarang, Paman?" tanya
Seruni penasaran.
"Itulah salah satu keajaiban cermin itu, Seruni," tukas Gumai Gumarang.
"Seseorang yang memiliki benda itu, kesulitannya dengan
sendirinya akan dapat teratasi.
Karena, cahaya dari cermin itu secara tidak langsung akan menyatu pada
pemiliknya. Apalagi, Kakang Sobarang telah memiliki benda pusaka itu lebih dari
setengah abad."
Kembali Seruni tercengang
mendengar kelebihan benda yang bernama Cermin Ajaib itu.
"Pantas benda itu tak boleh diwarisi orang yang bukan ahli
warisnya," gumam Seruni dalam hati.
*** 6 Sekelebat bayangan hitam berlari cepat beriringan menuju arah Selatan.
Hingga yang tampak hanya sebaris garis yang sekejapan sudah meninggalkan tempat
kemunculannya semula.
Bayangan hitam itu kini berdiri
di depan kerimbunan semak belukar berduri. Secepat mereka berlari, secepat itu
pula dua orang lelaki berpakaian hitam yang ternyata
Jatianom dan Barrot menyibak semak belukar dan pepohonan berduri.
Sebentar mereka menghadap ke dinding tanah liat setinggi lima belas batang
tombak. Sekejapan kemudian, kedua sosok
itu bersamaan melentingkan tubuhnya ke atas. Mereka berputaran dua kali, dan
mendarat manis di depan mulut goa.
Ringan sekali gerakan mereka, sehingga sedikit pun tak terdengar suara.
Jatianom dan Barrot segera masuk ke dalam goa di hadapan mereka. Namun, mereka
sedikit heran, karena tak ada seorang penghuni pun terlihat di tempat yang
dinamai Goa Mayat itu.
Sebuah tempat yang di setiap sudutnya terdapat kerangka-kerangka manusia yang
sudah diawetkan! Pemandangan di dalamnya begitu mengerikan. Beberapa tengkorak
kepala orang-orang berilmu tinggi yang pernah mereka taklukkan menghiasi setiap
sudut dinding. "Ke mana perginya Kakang Angkara dan Nyi Regita?" gumam Barrot, lalu duduk di
sebuah bangku yang juga terbuat dari tulang-belulang manusia yang telah
diawetkan. "Mungkin pergi ke tempat tinggal Gandewa," duga Jatianom yang berjuluk si Cambuk
Setan. Barrot tak memberi tanggapan
dugaan Jatianom. Di benaknya masih terbayang sosok pemuda yang mengaku
anak Sempani dan memiliki ilmu silat dan kesaktian begitu tinggi. Rasanya
mustahil kalau orang semuda itu sudah mampu mencapai tingkat kesaktian yang
begitu mengagumkan. Atau mungkin....
"Mungkin anak muda itu jelmaan Raja Petir, Kakang Jatianom," ucapan Barrot yang
keluar seperti tanpa gairah.
"Mana mungkin hal itu terjadi, Barrot," bantah Jatianom.
"Atau mungkin dia titisan Raja Petir?" tebak Barrot lagi.
"Entahlah! Sukar sekali
memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Yang jelas, Empat Setan Goa Mayat dan si
Ludah Setan harus mampu
mengenyahkan anak muda yang mengaku putra tunggal Sempani. Dialah duri bagi
sepak terjang kita."
"Ya. Aku setuju!"
Begitu Barrot selesai berujar
seperti itu, dua sosok berpakaian merah dan biru langit menjejakkan kaki di
mulut goa. "Dari mana kalian?" tanya Jatianom ketika Nyai Regita dan Ki Angkara muncul.
"Menjenguk Gandewa," jawab Ki Angkara.
"Ada apa dengan Gandewa?" selak Barrot penuh curiga.
Nyi Regita menarik napas dalamdalam. "Dia kalah bertarung melawan anak Sempani," sedikit berat suara Nyi Regita.
Jatianom dan Barrot terlonjak
dari duduknya mendengar ucapan Nyi Regita.
"Kau jangan main-main, Nyi
Regita!" sedikit keras suara Jatianom yang keluar.
'Tangan kanan si botak itu putus terbabat sabuk kuning yang memiliki pamor
menggiriskan," tambah Ki Angkara.
"Raja Petir...," suara Barrot terdengar mendesah berat
"Dari mana kau bisa memastikan kalau orang yang mengalahkan Gandewa adalah Raja
Petir?" selidik Ki Angkara.
"Baru saja aku dan Kakang
Jatianom bertarung dengannya."
"Apa"!"
Gantian Nyi Regita dan Ki Angkara terkejut mendengar penuturan si Topeng Hitam.
"Lalu, urusan kalian dengan Ketua Perguruan Cermin Sakti bagaimana?"
tanya Ki Angkara ingin tahu.
"Anak Sempani itulah yang
menggagalkannya," jawab Barrot, penuh penyesalan.
"Keparat!" Nyi Regita menga-cungkan kepalannya ke udara.
"Kita harus segera mengenyahkan
bocah edan itu!"
Suasana di dalam goa yang dihiasi tulang-belulang manusia itu hening seketika.
Masing-masing anggota Empat Setan Goa Mayat memikirkan cara
terbaik untuk dapat melenyapkan Raja Petir dari muka bumi secepatnya.
"Aku yakin kita mampu
menyingkirkan anak Sempani itu!" tukas Ki Angkara memecah keheningan.
"Namun aku tak habis pikir kalau bocah itu masih hidup sampai
sekarang," kali ini Jatianom yang bersuara.
"Seseorang mungkin telah
menolongnya dari amukan api," tebak Nyi Regita.
"Kalau anak Sempani tidak dibantu si Pedang Sinar Biru, aku yakin
sedikit banyaknya kita bisa
mengimbanginya," kata Barrot.
"Gumai Gumarang!" tukas Ki Angkara sedikit keras.
"Siapa lagi yang berdiri di
belakang anak Sempani itu?" tanya Nyi Regita.
"Sudah pasti si Cermin Sakti,"
serobot Jatianom.
"Kemungkinan juga Terala, Ketua Perguruan Hijau Kemuning. Dua tahun belakangan
ini, dia kelihatannya tengah menjalin hubungan baik dengan Gumai Gumarang,"
jelas Barrot. Tokoh Empat Setan Goa Mayat
berpikir keras. Tak biasanya mereka harus meiakukan itu, meskipun
berhadapan dengan sepuluh tokoh persilatan berkepandaian tinggi sekali-pun. Tapi
kali ini.... Mereka merasa ngeri juga menghadapi keberadaan Raja Petir. Terlebih Jatianom dan Barrot yang sudah
mengetahui jelas, betapa setiap
serangan yang dilakukan Raja Petir mengandung hawa kematian.
"Kita harus menghabisi tokoh itu satu persatu,"
tukas Nyi Regita
beberapa saat kemudian.
"Aku setuju," timpal Barrot
"Sobaranglah sasaran
kita yang pertama." "Gumai Gumarang, Terala, dan yang terakhir anak Sempani," usul Jatianom.
"Bagaimana dengan Gandewa?" tanya Ki Angkara.
"Dia akan kita hubungi
secepatnya. Kita semua harus
bekerjasama agar pekerjaan ini menjadi lebih mudah dan lebih cepat," kata Nyi
Regita. *** Angin malam berhembus cukup
kencang Dingin yang menebar, seakan mampu menembus sampai ke tulang
sumsum. Namun, kiranya tidak dihi-raukan empat orang yang tengah
berbincang di pendopo Perguruan Hijau Kemuning.
Raja Petir, Terala, Gumai
Gumarang, dan Seruni nampak membiarkan angin dingin yang mengusik. Mereka sibuk
dengan pikiran masing-masing.
"Maaf, Paman," ujar Jaka.
"Menurutku, Empat Setan Goa Mayat dan Gandewa masih berpikir dua kali untuk
menghadapi kita secara bersama-sama.
Paman Gumai, Paman Terala, dan juga Ki Sobarang pasti diperhitungkan mereka.
Karena, Paman berdua dan Ki Sobarang adalah tokoh-tokoh yang tidak bisa dianggap
enteng. Jadi, perhitunganku Empat Setan Goa Mayat dan Gandewa akan menyatroni
kita satu persatu. Itu semata dilakukan untuk mempermudah pekerjaannya dalam
menghadapiku. Maaf paman, aku tidak bermaksud menyom-bongkan diri. Tapi,
firasatkulah yang mengatakan akan adanya tindakan
seperti itu."
Terala dan Gumai Gumarang
menganggukkan kepala masing-masing.
"Perhitunganmu bisa kuterima, Jaka," kata Terala.
"Ya! Aku pun demikian," tambah Gumai Gumarang.
"Lalu, apa tindakan kita
selanjutnya, Paman?" Seruni menatap wajah Terala, Gumai Gumarang, dan Jaka
bergantian. "Sasaran pertama pasti Kakang
Sobarang," duga Gumai Gumarang.
"Alasannya, sudah tentu merebut Cermin Ajaib milik kakang Sobarang. Dan bila
Cermin Ajaib itu berhasil direbut, itu akan menambah keyakinan mereka untuk
meruntuhkan kita," jelas Gumai Gumarang.
"Aku sependapat denganmu, Paman Gumai. Bukan begitu, Paman Terala?"
Jaka balik bertanya pada Terala.
Terala tidak segera menjawab
pertanyaan Jaka. Mata tuanya yang masih terap tajam memandang jauh kedepan,
mencoba menembus kegelapan malam.
"Menurutku, perhitungan dan kemungkinan yang telah kalian cetuskan bisa masuk
akal. Aku yakin, tokoh-tokoh golongan hitam yang licik itu akan melaksanakan apa
Raja Petir 02 Empat Setan Goa Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kalian perhitungkan barusan," kata Terala, akhirnya.
"Sekarang, apa tindakan kita?"
Seruni kembali, meminta ketegasan.
Gadis cantik putri Terala itu
memang selalu ingin ikut setiap ada urusan penting. Dan Terala tidak pernah
melarang keinginan anaknya.
"Bagaimana kalau kita sekarang juga berangkat ke Perguruan Cermin Sakti.
Perhitunganku, menjelang fajar nanti Gandewa dan Empat Setan Goa Mayat! akan
menyatroni kediaman Ki Sobarang," usul Terala.
"Aku seruju, Adi Terala," sambut Gumai Gumarang.
"Bagaimana dengan kau, Jaka"
Seruni?" "Aku menurut apa kata Paman berdua," jawab Jaka tegas.
"Aku juga," ucap
Seruni tak keringgalan. "Jarpatula!" panggil Terala keras.
Sosok tinggi besar berkumis
melintang dan berpakaian putih begitu cepat menghadap Terala.
"Ada apa, Guru?" lelaki yang dipanggil Jarpatula menjura memberi hormat.
"Kau pimpin rekan-rekanmu untuk berjaga-jaga malam ini. Jangan lengah sampai
matahari terbit esok. Kami semua akan pergi sekarang juga," ujar Terala tegas.
"Baik, Guru," Jarpatula kembali menjura memberi hormat.
"Ingat! Jika ada sesuatu yang kira-kira mampu diatasi, atasilah.
Jangan tanggung-tanggung. Namun
sekiranya kalian merasa tak mampu menghadapi, kalian kumintan
menyelamatkan diri masing-masing.
Jangan pikirkan perguruan ini. Kita dapat membangunnya kembali, jika kalian
semua mampu menyelamatkan diri," bijak ucapan yang keluar dari bibir Ketua
Perguruan Hijau Kemuning.
"Baik, Guru."
"Ayo kita berangkat sekarang,"
tukas Terala sambil melesat diikuti Seruni, Gumai Gumarang, dan Jaka.
Sementara, malam kembali
merangkak perlahan. Dingin yang begitu kuat menggigit kulit tak dipedulikan
empat sosok bayangan yang tengah berlari cepat Masing-masing
mengerahkan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi dan ilmu lari cepat yang
mencapai taraf kesempurnaan.
Hingga, yang nampak hanya empat
bayangan yang bagai tersapu angin.
*** Ki Sobarang terkejut menerima
kedatangan Gumai Gumarang, Terala, Seruni, dan Jaka. Ketua Perguruan Cermin
Sakti itu tidak berkata apa-apa ketika
Gumai Gumarang mengemukakan
alasannya kemba ke perguruannya. Dan hal ini tentu saja membuat Sobarang
berpikir keras.
"Lalu, bagaimana seandainya perhitungan kalian jauh dari sasaran"
Bahkan justru Barrot dan kawankawannya menyatroni Perguruan Hijau Kemunin Karena, bisa saja mereka beranggapan
kalau kaliansemuanya berkumpul di sana?" tanya Ki Sobarang kemudian
"Aku rasa tidak mungkin, Ki. Yang menjadi masalah, mereka tidak mau
mengambil akibat dari kebersamaan kami. Mereka pasli berpikir, lebih mudah
melenyapkan kita satu persatu daripada sekaligus. Dan kami semua memperhitungkan
kalau yang menjadi sasaran pertama adalah kau, Ki
Sobarang," sahut Raja Petir.
Ki Sobarang jadi terpekur
mendengar penjelasan Jaka yang begitu meyakinkan.
"Lalu menurut kalian, kapan waktu yang tepat bagi mereka untuk
menyatroni kediamanku?" Ki Sobarang meminta pendapat
"Kita bersiap-siap saja, Kakang.
Namun menurut hemat kami, mereka akan menyatroni tempat ini sebelum fajar
menyingsing. Di saat-saat orang tengah nyenyak tidur," jawab Gumai Gumarang.
"Lalu, tindakan apa yang akan kita ambil seka-rang?" Ki Sobarang seperti
kehilangan akal.
"Kita kosongkan rumah ini
sekarang juga," usul Gumai Gumarang.
"Maaf, Paman Gumai. Kali ini aku tidak sependapat denganmu," selak Jaka.
"Lalu, apa usulmu?" tanya Gumai Gumarang.
"Biarkan semua penghuni bangunan ini seperti biasa. Jangan pancing kecurigaan
Empat Setan Goa Mayat dan Gandewa hingga mereka mengurungkan niat Ki Sobarang
serta penghuni yang
lain biar saja tetap pada tempatnya.
Paman Terala dan Seruni bersembunyi di bagian Utara bangunan ini. Sedangkan,
Paman Gumai bersembunyi di sebelah Barat Seme-tara, aku mengambil tempat di
bagian Timur," saran Jaka.
Semua yang berada di ruangan
tengah bangunan Perguruan Cermin Sakti setuju atas gagasan si Raja Petir.
*** Malam yang tanpa ditemani
sepotong bulan pun, merangkak seakan begitu lama. Sosok-sosok yang
tersembunyi di kerimbunan dan kegelapan malam, masing-masing meragukan apa yang
telah diperhitungkan matang-matang. Buktinya, sudah sejauh ini orang yang
dinanti-nantikan belum muncul juga.
"Jangan-jangan, tokoh-tokoh sesat itu menyatroni kediaman kita, Ayah,"
tukas Seruni dengan bibir hampir menempel di telinga Terala.
"Ayah juga mengkhawatirkan hal itu terjadi, Seruni," balas lelaki di sebelahnya.
Di punggungnya tampak tersampir sebatang
pedang berwarna
keemasan. Di lain tempat, dari arah sebelah Timur bagian Perguruan Cermin Sakti, sosok
tubuh yang tengah bersembunyi di balik
kelebatan pohon tampak
menajamkan pendengaran dan penglihatannya. Sosok tubuh yang ternyata Jaka dan
berjuluk Raja Petir nampak gelisah. Benaknya mengira-ngira kalau Empat Setan Goa
Mayat akan menyatroni Perguruan Cermin Sakti malam ini Namun Raja Petir tak
sampai berpikir kalau mereka malah menyatroni Perguruan Hijau Kemuning.
Sementara itu, Gumai Gumarang
yang bersembunyi di daerah Barat
bangunan Perguruan Cermin Sakti juga mengalami perasaan yang sama. Perasaan
khawatir akan perhitungan yang
meleset. Krosak...! Jaka, Seruni, Terala, dan Gumai
Gumarang menajamkan pendengarannya.
Harapan mereka akan kehadiran sosok Empat Setan Goa Mayat dan si Ludah Setan
ternyata kembali hadir.
Satu, dua, tiga.... Lima bayangan seketika melenting ke udara, dan mendarat
tanpa menimbulkan suara.
Gerakan mereka begitu ringan, hingga Jaka yang menajamkan segenap pendengarannya
hanya mampu mendengar angin lembut berkesiutan saja.
Lima sosok bayangan yang ternyata Empat Setan Goa Mayat dan Gandewa berjalan
mengendap-endap, mendekati pintu utama bagian bangunan Perguruan Cermin Sakti.
Namun tiba-tiba....
"Berhenti!"
Lima sosok bayangan yang hampir
mendekati pintu utama Perguruan Cermin Sakti tersentak seketika, dan langsung
berhenti. Bentakan yang dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam penuh, sempat membuat telinga mereka mendengung. Dan itu
menandakan kalau orang yang
membentak barusan memiliki tenaga dalam tinggi. Dan belum lagi gema bentakan itu
hilang, tiba-tiba di h-dapan mereka telah berdiri sosok pemuda yang tak lain
orang yang berjuluk Raja Petir. Bahkan kini mereka kembali terkejut dengan
melentingnya empat sosok tubuh dari arah yang berlawanan.
"Kalian salah perhitungan,
Kisanak!" sindir Jaka lantang. "Dan kau, Botak Keparat! Berani beraninya
menghadapiku kembali. Kau benar-benar tak patut diampuni!"
"Raja Petir! Kau jangan sombong!
Apa dikira kalian mampu menghadapi kami berlima?" balas Gandewa sengit
"Orang lain boleh takut pada kalian. Tapi anak Sempani pantang takut pada setan
kudisan macam kalian!" "Bedebah!" geram Nyi Regita mendengar kelancangan Jaka.
"Gandewa, dan juga kalian Empat Setan Goa Mayat Sebelum kalian
dijemput ajal, dengarlah ucapanku ini.
Berdoalah agar semua dosa kalian terampuni. Cepat! Aku tak bisa menanti lama!"
Mendengar perintah dan bentakan
itu, Ki Angkara yang memang lebih mudah terbawa amarah segera menyiapkan
jurusnya. Sebentar
kemudian, teriakannya yang melengking nyaring terdengar.
"Hiyaaa...!"
"Akulah lawanmu, Angkara!
Hiyaaat...!" Gumai Gumarang tak mau kalah. Dia segera melenting, memapak
serangan Ki Angkara.
Trang! Trang..!
"Uts!"
Ki Angkara memiringkan tubuhnya
kerika ujung pedang Gumai Gumarang yang menimbulkan hawa dingin hampir membabat
rusuknya. "Bedebah! Hiyaaa...!"
Pertarungan yang dibuka Ki
Angkara dan Gumai Gumarang yang
berjuluk si Pedang Sinar Biru, diikuti rekan-rekan mereka.
Pada tempat lain, Jaka terpaksa
memecah pikirannya menjadi dua bagian.
Sebentar dia menerjang Nyi Regita yang berjuluk si Telapak Setan, namun
sekejapan kemudian telah melejitkan tubuhnya. Langsung dihalaunya serangan
Gandewa yang terus mendesak Seruni.
Sebenarnya dengan kehadiran
Seruni di kancah pertempuran ini,
sedikit banyak akan menguntungkan lawan. Mereka yang rata-rata berakal licik
akan menggunakan kesempatan baik sekecil apa pun. Dan ketika Jaka harus
menghadapi Nyi Regita kembali,
kekhawatiran itu muncul juga. Maka....
"Hiya...!"
Bugk! "Akh!"
Tubuh Seruni terpental deras ke
belakang terkena sodokan tangan
Gandewa yang disertai tenaga dalam penuh.
"Seruni!"
Terala memekik keras menyaksikan tubuh putri tunggalnya terhempas jauh, hingga
membentur sebatang pohon yang langsung tumbang! Melihat hal ini, pikiran Terala
jadi terpecah dua. Maka kesempatan itu tidak disia-siakan Jatianom. Seketika,
cambuknya dilecutkan ke tubuh Terala.
Ctar! Ctar! "Akh...!"
Terala memekik tertahan. Dua
guratan memanjang tampak mengoyak tubuhnya hingga pakaiannya haneur.
Namun Ketua Perguruan Hijau Kemuning itu tak mempedulikannya. Dia terus berlari
cepat mengejar tubuh putri tunggalnya yang ambruk.
Melihat kesempatan baik ini,
rupanya Ki Angkara juga tidak ingin menyia-nyiakannya. Maka segera dikejarnya Ketua Perguruan Hijau Kemuning itu. Namun....
Ctar! Glarrr...! Jaka segera mengebutkan sabuk
keemasannya kerika menyaksikan keadaan Terala yang terancam bahaya.
"Hup!"
Ki Angkara segera melenting ke
belakang, menghindari terjangan sabuk yang dikebutkan Raja Petir.
Maka, mendapat kesempatan yang
menguntungkan, Jaka segera menghambur ke arah Terala yang tengah memeluk putri
tunggalnya. "Sebaiknya, Paman membawa Seruni jauh-jauh dari tempat ini," ujar Jaka.
"Biar aku yang menghalangi setan-setan laknat itu. Cepat, Paman!"
Dengan mengandalkan sisa tenaga
yang ada, sambil membopong tubuh putri tunggalnya, Terala melesat pergi dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Melihat Terala melarikan diri,
Gandewa segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya.
Wusss...! Akan tetapi, dari arah yang
berlawanan, si Raja Petir segera menghalangi maksud buruk Gandewa.
"Licik kau! Hiyaaa...!"
Werrr...! Angin deras bergulung-gulung
seketika tercipta dari tangan Raja Petir yang terbuka lebar. Angin itu bergerak
cepat luar biasa, laksana pusaran angin yang siap menghempaskan benda-benda yang
ada di depannya.
Glarrr...! Pukulan jarak jauh bertenaga
dalam tinggi yang dilancarkan Gandewa seketika bertabrakan dengan jurus
'Pukulan Pengacau Arah' ciptaan Raja Petir. Seketika bunyi menggelegar
tejjdengar memekakkan telinga.
"Keparat!" maki Gandewa sambil meloloskan
senjata, berupa palu
bergerigi yang dihubungkan dengan rantai baja.
Wukkk.... Wukkk.... Wukkk...!
*** 7 Gandewa terus memutar-mutar senjata andalannya. Putaran senjata itu semakin lama semakin keras, sehingga
sanggup menerbangkan kerikil-kerikil yang ada di sekitar tempat
pertarungan. Wukkk.... Wukkk...!
Sementara, si Raja Petir hanya
membiarkan saja angin yang keluar dari putaran senjata Gandewa yang mengibarngibarkan pakaiannya. Hawa dingin memang mencoba menggigit tulang
sumsumnya. Namun dengan pengerahan hawa murninya, hawa dingin itu tidak berarti
apa-apa bagi Jaka.
"Gandewa! Kuperingatkan sekali lagi! Kali ini aku tidak hanya
membuntungi tanganmu yang tinggal
sebelah itu. Tapi juga kedua kakimu, sekaligus kepalamu!" bentak Jaka, disertai
pengerahan tenaga dalam penuh.
Wukkk.... Wukkk...!
Gandewa tambah mempercepat
putaran palu bergeriginya.
"Hiyaaa...!"
Wukkk...! Glarrr...! Sebatang pohon besar langsung
tumbang terkena hantaman palu
bergerigi yang dilepas Gandewa yang berjuluk si Ludah Setan itu.
Raja Petir 02 Empat Setan Goa Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara, Raja Petir nampak sudah kembali berdiri tegak, setelah tadi melempar
tubuhnya ke samping kanan dan berguling-an beberapa kali.
"Kau harus latihan tiga tahun lagi untuk bisa menggunakan senjata yang tak
berguna itu, Gandewa!" ledek Jaka, memanasi.
Seketika merah padam wajah
Gandewa mendengar ledekan itu.
Seketika itu juga, putaran senjatanya dihentikan, kemudian diletakkan di
pinggangnya. "Kau rasakan ini, Bocah Sombong!"
Gandewa menaikkan tangan kirinya sampai melewati kepala. Kemudian tangannya yang
tinggal sebelah itu kembali ditarik ke bawah dengan
dialiri tenaga dalam tingkat tinggi.
Wajah Gandewa seketika berubah merah kerika melakukan gerakan itu.
Dari arah yang berlawanan,
sekitar lima tombak, si Raja Petir nampak sudah siap menghadapi aji 'Dewa Api'
yang akan dilancarkan Gandewa.
"Aji Bayang-bayang"
Seiring teriakan si Raja
Petir.... Trap! Trap! Trap...!
Sosok tubuh berpakaian kuning
keemasan tiba-tiba berubah menjadi banyak! Satu, dua, tiga..., enam sosok
berpakaian kuning keemasan tampak tengah berdiri bertolak pinggang!
Gandewa yang hendak menggelar aji
'Dewa Api' nampak terhenyak sesaat, namun tak lama kemudian....
"Heaaa...!"
Gumpalan-gumpalan api yang mampu menerangi sekitar tempat pertarungan seketika
keluar dari telapak tangan kiri Gandewa, dan terus melesat cepat mencecar tubuh
Jaka yang tetap berdiri tenang.
Dan begitu gumpalan api ciptaan
Gandewa hampir mendekati tubuh Raja Petir, tiba-tiba....
Glar! Glarrr...!
Gandewa terhenyak menyaksikan
serangannya hanya membentur pohon-pohon di sekitar tempat pertarungan.
Sedangkan Raja Petir yang berdiri dengan bayangan-bayangan tubuhnya masih tetap
tegak, tak bergeming sedikit pun.
Dan kini.... "Hiaaat..!"
Tubuh Raja Petir dan kelima
bayangannya meluruk cepat, sukar diikuti mata biasa. Tapi lain halnya dengan si
Ludah Setan itu. Matanya memang mampu mengikuti kecepatan gerakan yang dilakukan
Raja Petir, namun tidak mampu memilih mana Raja Petir yang sesungguhnya.
Kebingungan sesaat menyergap hati Gandewa.
Maka sebisanya Gandewa membuang
dirinya ke kanan. Namun kenyataannya"
Des! "Ugkh!"
Bug! Tubuh Gandewa terjengkang sejauh tiga batang tombak terlanda terjangan kaki
kanan Raja Petir. Seketika, si Ludah Setan merasakan isi perutnya hendak keluar.
"Hoeeek...!"
Darah kental kehitaman
dimuntahkan Gandewa. Matanya kini berkunang-kunang, dan napasnya terasa sesak
seketika. Menyaksikan musuhnya berada dalam
keadaan yang tak berdaya, Raja Petir segera meraih bambu kuning yang tanpa
lubang di tengahnya. Bambu kuning itu dapat membuat kulit terkelupas dengan
sendirinya, jika sinar kuning yang dikeluarkannya menyentuh tubuh. Dan kini,
Jaka segera menempelkan ujung bambu kuning pada bibirnya. Sekejap kemudian....
Pusss...! Sinar kuning menyilaukan mata
kini keluar, begitu Raja Petir meniup lubang bambu kuning itu. Sementara Gandewa
sudah pasrah menanti maut, saat melihat sinar kuning terus
meluruk cepat ke arahnya.
Slap! Brusss...! Betapa terkejutnya Raja Petir
menyaksikan serangannya hanya
membentur rumput halus yang seketika mengeluarkan asap tebal kekuningan.
Namun, matanya yang tajam memang menangkap sekelebat bayangan yang berhasil
menyelamatkan musuh besarnya.
Ternyata bayangan yang menyelamatkan Gandewa adalah Nyi Regita.
Kembali Raja Petir meniup bambu
kuningnya. Maka secercah sinar kuning
keemasan melesat cepat.
Pusss...! Nyi Regita yang berjuluk Telapak Setan kembali melenting menghindari
terjangan sinar kuning yang keluar dari bambu yang menempel di sela bibir Raja
Petir. Sambil membopong tubuh Gandewa,
Nyi Regita terus berlompatan ke sana kemari, untuk menghindari terjangan sinar
kuning yang begitu berbahaya.
"Hiyaaa...!
Hup!" Si Telapak Setan kembali
melenting, dan sebentar kemudian hinggap manis di tanah. Dan kini, perempuan
berpakaian merah itu
langsung mengebutkan tangannya.
Wuttt! Wesss...! "Jarum beracun!?" sentak Jaka dalam hati.
Raja Petir membuang tubuhnya ke
kiri menghindari hujan benda hitam yang dilempar si Telapak Setan.
Tubuhnya terus bergulingan, sementara Nyi Regita terus melempar jarum-jarum
beracunnya. Hingga suatu ketika....
Bettt! Bettt! Bettt!
Wusss...! Angin bergulung-gulung yang
keluar dari telapak tangan Raja Petir begitu cepat membuyarkan barisan jarum
beracun yang meluruk ke arahnya. Malah sebagian terpental balik ke arah
pemiliknya. "Setan! Hiyaaa...!"
Nyi Regita cepat-cepat melenting
dan melakukan putaran beberapa kali.
Dan kini tubuhnya mendarat ringan di tanah.
Entah berapa puluh jurus sudah
berlalu. Namun orang-orang yang
menjuluki diri sebagai Empat Setan Goa Mayat dan Ludah Setan terus mencoba
melumpuhkan lawan-lawannya yang memang rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan
tingkat tinggi. Mereka semua tak sadar kalau sang waktu pun terus berputar.
Malam sudah berganti pagi. Fajar juga sudah menjelang, menerangi pelosok
perkampungan yang tengah terjadi sebuah pertarungan besar.
"Terimalah ini, Bocah!"
Tiba-tiba Jatianom meluruk cepat ke arah Jaka. Dia sadar kalau Nyi Regita perlu
mendapat bantuan.
Maka.... *** Ctar! Ctar! Bunyi memekakkan telinga kembali terdengar ketika Jatianom melecutkan cambuk
berdurinya ke sana kemari.
Dicari titik-titik kematian pada tubuh Raja Petir.
Pada suatu kesempatan, Jaka
membiarkan Jatianom mengarahkan
lecutan cambuk ke lehernya. Mendapat kesempatan ini, si Cambuk Setan ridak
menyia-nyiakan.
"Hiyaaa...!"
Dengan perhitungan yang matang,
Raja Petir mengegoskan tubuhnya, dan langsung menangkap ujung
cambuk berduri yang hampir membabat batang lehernya.
Jaka langsung menggulung cambuk
itu sekuat tenaga. Namun, rupanya Jatianom si pemilik cambuk itu tak membiarkan
cambuknya terkuasai. Dia berusaha menahan sekuat tenaga gerakan perputaran
dahsyat yang dilakukan Raja Petir.
Keringat sebesar biji jagung
tampak mengalir dari dahi Jatianom yang berusaha menahan cambuknya dari betotan
Raja Petir. Seluruh tenaga dalam yang dimiiiki dikerahkan, namun tenaganya kalah
jauh dibanding Raja Petir.
Sedikit demi sediki, letak
berdiri si Cambuk Setan bergeser ke depan. Nampaknya, dia mengalami kesu-aran
menahan tarikan yang dilakukan Raja Petir. Namun....
"Hiyaaa...!"
Nyi Regita yang melihat Jatianom terdesak, segera melejitkan tubuhnya.
Tubuhnya yang berada di udara dengan letak kaki kanan di depan, melesat bagai
anak panah terlepas dari busur.
Raja Petir yang menyaksikan
tindakan perempuan tua berpakaian merah itu, segera melempar tubuhnya ke
kanan tanpa melepas cekalannya pada cambuk berduri milik si Cambuk Setan.
Mendapat kenyataan ini, Jatianom tentu saja terkejut Maka secepatnya dia
mengikuti arah gerakan Raja Petir yang melemparkan tubuh. Dan bahkan Jatianom
pun ikut bersalto beberapa kali, ketika Raja Petir bersalto.
Kiranya, Jaka telah menduga apa yang akan dilakukan si Cambuk Setan.
Maka kerika tubuhnya mendarat, Raja Petir secepatnya melepas pegangannya pada
cambuk berduri. Dan dengan
kecepatan yang sukar diukur, dia melompat menerjang si Cambuk Setan yang tengah
kehilangan keseimbangan.
"Hiyaaa...!"
Digkh! "Aaakh...!"
Suara lengkingan Jatianom
sedemikian keras. Tubuhnya terpental begitu jauh, tanpa dapat dicegah lagi.
Sementara Raja Petir tak membiarkan tubuh itu kembali tegak berdiri. Maka sambil
mengayunkan sabuk kuningnya, dia kembali menerjang.
Seberkas sinar keperakan seketika melesat bagai kilat dari ujung sabuk yang
digerakkan Raja Petir.
Clarrr...! "Aaakh...!"
Tubuh Jarianom terhempas beberapa batang tombak kerika sinar keperakan
menerjangnya. Asap, tampak mengepul
dari pakaian Jatianom yang bagai habis terbakar. Bau sangit daging terbakar
menebar, terhe-bus angin.
Jatianom tampak menggeliatkan
tubuhnya beberapa saat Suara erangan kesakitan sedikit-sedikit masih
terdengar. Namun sebentar kemudian, tubuh si Cambuk Setan diam tak
bergerak-gerak lagi. Mati!
*** Di lain tempat, tampak Gandewa
sudah kembali bangkit. Rupanya, dia hendak menerjang Raja Petir yang telah
menewaskan Jatianom.
"Tahan, Gandewa!" sentak Nyi Regita yang berjuluk Telapak Setan.
Gandewa seketika membatalkan
langkahnya. Matanya sekilas menatap mata jalang milik nenek berbaju merah itu.
"Kau tak bakal mampu menghadapi anak Sempani seorang diri. Kita coba
menyerangnya dengan ajian andalan kita secara bersama," ujar Nyi Regita yang
langsung saja menarik ke belakang tubuhnya.
Gandewa pun melakukan hal yang
sama. Seiring gerakan si Telapak Setan yang menyilangkan tangan di atas kepala,
Gandewa juga membuat gerakan menyilang pada tangan kirinya. Dan kemudian dia
menariknya sampai batas
ulu hati. Sementara itu, suara yang
mendesis keluar dari sela-sela gigi perempuan berpakaian merah. Asap mengepul
dari tangannya yang ditarik menurun ke bawah muka. Sampai di situ Nyi Regita
menahan gerakannya.
Seketika, mulutnya terbuka seperti akan berbicara.
"Kau sudah siap melancarkannya, Gandewa?" berat suara yang keluar dari mulut si
Telapak Setan. Raja Petir yang mengetahui
lawannya tengah mengerahkan ajian segera saja mempersiapkan diri.
Kemudian, tubuhnya ditarik ke belakang satu langkah.
Dengan mengangkat kedua
tangannya, Raja Petirnmenyertakan tarikan napas yang begitu sempuma Kemudian,
tangannya yang terangkat sebatas kepala
direntangkan dengan
jari-jari masih tetap mengepal.
Seiring selesainya gerakangerakan bertenaga yang dilakukan, seiring itu pula cahaya kuning keemasan
berpendar-pendaran membungkus kepala hingga dada, dan sebagian lainnya
membungkus lutut hingga kaki Jaka. Rupanya, Raja Petir tengah menyajikan aji
'Kukuh Karang' untuk menandingi aji 'Pembeku Darah' milik si Ludah Setan dan aji
'Pemutus Nadi' milik si Telapak Setan.
"Hiyaaa!"
"Hiyaaa!"
Secara berbarengan, Nyi Regita
dan Gandewa mendorong telapak tangan masing-masing Seketika sinar merah dan
hitam melesat cepat dari telapak tangan mereka.
Sinar merah dan hitam itu terus
meluruk maju, hingga ketika menyentuh tubuh Raja Petir.
Prepp...! Ternyata tak terdengar ledakan
dahsyat ketika tiga ajian bertemu pada satu titik.
Beberapa saat Nyi Regita dan
Gandewa menunggu akibat dari serangan ajiannya. Namun setelah beberapa saat
berlalu, ternyata Raja Petir masih tetap tegak berdiri. Maka, terce-nganglah Nyi
Regita dan Gandewa.
"Ulangi lagi, Gandewa!" perintah Nyi Regita. Gandewa segera menggelar aji
'Pembeku Darah'nya. Demikian halnya Nyi Regita. Aji 'Pemutus Nadi'nya yang
mengeluarkan sinar merah kembali melesat beriring warna hitam hasil ciptaan
Gandewa. Prepp...! Kejadian seperti pertama terulang lagi. Ajian 'Pembuku Darah' milik Gandewa dan
aji 'Pemutus Nadi' ciptaan si Telapak Setan tak mampu menggoyah keberadaan si
Raja Petir! Malah sebaliknya, setelah Nyi
Regita dan Gandewa melepas masing-masing ajian yang bersarang di tubuh Raja
Petir, seketika dirasakan ada sesuatu yang menarik-narik tubuh mereka.
Tarikan yang semula tak dirasakan, kini begitu kuat berpengaruh.
Nyi Regita dan Gandewa menahan dirinya agar tak terbawa tarikan aneh yang diduga
keluar dari sinar kuning yang memendar-mendar di tubuh Raja Petir.
Namun semakin menahan sekuat tenaga, semakin keras daya
tarik yang ditimbulkan. Nyi Regita berpikir keras untuk
dapat terlepas dari tarikan aneh yang melanda dirinya.
"Kendurkan otot-ototmu, Gandewa!"
ujar Nyi Regita.
Raja Petir 02 Empat Setan Goa Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua tokoh sesat itu kemudian
mengendurkan otot-otot yang semula menegang. Apa yang dilakukan memang seketika
dapat dirasakan manfaatnya.
Buktinya tarikan aneh itu sedikit demi sedikit mengendur, untuk
selanjutnya....
"Hiyaaa...!"
Nyi Regita dan Gandewa melenting ke udara, lalu melakukan putaran dua kali ke
belakang. "Hup!"
"Hup!"
"Kita sudah terlepas, Nyi
Regita," ucap Gandewa.
Namun belum selesai ucapannya,
sosok kuning begitu cepat berkelebat memberikan tendangan menggeledek ke arah
Gandewa yang dalam keadaan tidak menguntungkan.
Angin berkesiutan mengiringi
tendangan yang dilakukan Raja Petir.
Maka melihat serangan itu Nyi Regita dan Gandewa segera melempar tubuhnya ke
lain arah. Mereka berjumpalitan di atas rumput halus yang sudah tidak bagus
lagi. "Hup!"
"Hup!"
Tubuh Nyi Regita dan Gandewa
melenting rendah, kemudian kembali menjejak tanah dengan manis.
Sementara itu pada pertarungan
lain, nampak Gumai Gumarang tengah bertarung atas gempuran yang
dilancarkan Ki Angkara. Entah sudah berapa jurus telah dikeluarkan oleh masingmasing. Kelelahan sudah nampak jelas
terlihat pada diri Gumai Gumarang dan pada diri Ki Angkara. Keringat sebesar
biji-biji jagung dan napas mereka yang memburu, menandakan kalau masing-masing
telah mengeluarkan tenaga berlebihan.
Matahari yang sudah penuh
menyinari bumi tak dipedulikan lagi.
Juga, para penduduk di sekitarnya yang secara tersembunyi menyaksikan pertarungan hidup dan mati, seperti
enggan enyah dari tempat itu. Mereka seakan-akan tak ingin melepaskan begitu
saja tontonan menarik itu.
"Hiyaaa!"
Gumai Gumarang kembali mengibasngibaskan pedangnya yang mengeluarkan sinar kebiruan Beberapa bagian peka pada
tubuh si Seruling Setan, tak luput dari incaran pedang Gumai
Gumarang yang berkelebat cepat
"Uts!"
"Heaaa!"
"Ups!"
Si Seruling Setan meliuk-Iiukkan tubuhnya untuk menghindari tusukan-tusukan dan
tebasan pedang Gumai Gumarang. Gerakan-gerakan Ki Angkara tampak cukup memukau
para penduduk yang menyaksikan pertarungan secara tersembunyi.
"Heaaa!"
Bettt! Bettt! Trang! "Akh!"
Tubuh Gumai Gumarang dan Ki
Angkara sama-sama terjajar ke belakang beberapa langkah. Masing-masing tangan
bergetar hebat. Rasa nyeri yang amat sangat juga mendera setelah sama-sama
menebaskan senjata masing-masing berbenturan di udara. Bunga api
memercik akibat benturan kedua logam keras itu.
Belum lagi rasa nyeri mereka
hilang, sebuah jeritan melengking terdengar seketika.
"Aaakh...!
Berpasang-pasang mata yang tengah bertarung, seketika berbalik menatap ke arah
datangnya pekikan keras tadi.
Raja Petir terkesiap melihat
keadaan Ki Sobarang yang baru saja terkena tendangan geledek dari Barrot yang
berjuluk si Topeng Hitam. Tubuh Ketua Perguruan Cermin Sakti tampak terpental
keras. "Hip!"
Raja Petir segera menggenjot
langkahnya. Lesatannya yang begitu cepat, sebentar saja sudah berhasil menahan
laju tubuh Ki Sobarang yang terpental keras.
Namun belum lagi Raja Petir
sempurna menguasai keadaan, si Topeng Setan sudah melompat cepat sambil
mengibaskan pedang berkeluk lima disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Raja Petir terkejut sesaat
menyaksikan gerakan cepat yang
dilakukan lelaki bertopeng buruk.
"Kurang ajar!" sentak Raja Petir sambil melepas cekalannya pada tubuh Ketua
Perguruan Cermin Sakti.
Sekejapan kemudian....
Ctar! Tangan kanan Raja Petir secepat
kilat mengebutkan sabuk kuningnya.
Maka selarik sinar keperakan
berkelebatan dari ujung sabuk yang digerakkan pemiliknya, dan terus meluruk
cepat, layak seperti petir menyambar. Akibatnya, Barrot yang berjuluk si Topeng
Hitam terperangah sesaat. la ingin melempar tubuhnya ke lain tempat, namun
gerakan Raja Petir terlampau cepat Sehingga....
Glarrr...! Selarik sinar keperakan yang
meluncur cepat langsung menghantam tubuh Barrot yang tengah berada di udara.
"Aaakh...!"
Lengkingan keras itu bukan saja
mengejutkan Nyi Regita dan Gandewa, tetap juga beberapa penduduk yang
menyaksikan pertarungan. Mereka rata-rata memejamkan mata ketika
menyaksikan tubuh yang terpental deras tiba-tiba menghitam hangus.
Namun sosok lain yang juga
menyaksikan pertarungan secara tersembunyi, tak sedikit diianda keterkejutan.
Air muka perempuan setengah baya itu nampak biasa saja. Malah kalau diperhatikan
secara jelas, perempuan setengah baya nampak sedikit menyunggingkan senyum.
"Raja Petir...?" perempuan setengah baya berpakaian merah itu
seketika bergumam perlahan.
*** 8 "Paman Gumai! Bawa keluar Ki Sobarang, cepat! Biar ketiga manusia laknat ini
kutangani!"
Suara menggelegar Raja Petir tak dibantah Gumai Gumarang. Buktinya, lelaki
berpakaian warna kuning gading yang berjuluk si Pedang Sinar Biru berkelebat
cepat Gerakannya yang tak tertangkap mata biasa, seketika sudah membopong tubuh
Sobarang. Lagi-lagi Nyi Regita tak senang
melihat lawannya satu persatu
mengundurkan diri. Maka segera
dikirimkannya jarum-jarum beracun ke arah Gumai Gumarang yang tengah
berlari cepat. Namun sayang, apa yang dilakukan Nyi Regita kalah cepat dibanding
gerakan. Gumai Gumarang.
Jarum-jarum beracun yang dilepas si Telapak Setan itu ternyata meluncur deras ke
arah lain. "Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Jeritan keras seketika terdengar beriringan. Tiga sosok tubuh yang ternyata para
penduduk desa itu kontan terjungkal tak bemyawa, dengan seluruh tubuh membiru
kaku. Gigi Jaka bergemeletuk menyaksikan pembantaian tak berperikemanusiaan itu. Maka secepat kilat ia melompat, menerjang si Telapak Setan yang
barusan telah menghilangkan tiga nyawa penduduk tak berdosa.
"Keparat! Hiyaaa...!"
Nyi Regita memiringkan tubuhnya
menghindari terjangan Raja Petir yang dilanda marah luar biasa. Terjangan itu
memang mampu dielakkan perempuan yang berjuluk si Telapak Setan.
Namun siapa yang menyangka kalau gerakan yang dilakukan Raja Petir tadi hanya
tipuan belaka. Nyi Regita pun tak menyangka kalau serangan kaki Raja Petir yang
begitu cepat, tiba-tiba berganti dengan sabetan tangan
menyilang yang seketika menghantam bahunya.
Begkh! "Akh!"
Nyi Regita memekik tertahan.
Tubuhnya langsung terhuyung tiga langkah ke belakang. Dan belum lagi
keseimbangan badannya sempat dibetul-kan tubuh Jaka sudah kembali
berkelebat. "Awaaas, Regita!" teriak Ki Angkara khawatir.
Nyi Regita segera membanting
tubuhnya ke kanan, seraya bergulingan.
Namun Raja Petir tak membiarkan
musuhnya lolos begitu saja. Kembali dikejarnya tubuh si Telapak Setan yang
tengah bergulungan.
"Hiyaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Wukkk...!"
Gandewa memutar senjata berupa
sepasang palu bergerigi yang dihubungkan dengan rantai baja. Maksudnya adalah
untuk menggagalkan maksud Raja Petir terhadap si Telapak Setan. Akan tetapi,
jaraknya dengan Raja Petir agak jauh. Maka tanpa pikir panjang lagi, senjata
yang berputar-putar di atas kepalanya dilepaskan.
Sing...! Suara berdesing mengiringi
lesatan palu ke arah Raja Petir yang tengah memburu si Telapak Setan.
Mendengar suara berdesing yang
menuju ke arahnya, Raja Petir segera merubah arah gerakannya. Kemudian
gerakannya ditahan sebentar seraya bersalto ke belakang dua kali.
"Hip!"
Raja Petir berhasil menghindari
palu bergerigi yang terus melesat itu.
Dan karena Raja Petir sudah menghindari, maka kini justru sasaran palu bergerigi
adalah Nyi Regita yang sebelumnya tengah dikejar Raja Petir.
Maka tanpa dapat dicegah lagi,...
Crottt! "Aaakh...!"
Nyi Regita memekik keras ketika
sepasang palu bergerigi yang dilepas Gandewa justru menghantam dada dan
kepalanya. Tubuh wanita tua itu
langsung roboh. Sebentar Nyi Regita menggeliat kesakitan, namun sekejap kemudian
telah terbujur kaku tanpa nyawa. Darah tampak mengucur deras dari kepala dan
dadanya, sehinga menggenang sekitamya.
Mata Gandewa terbeliak menyaksikan akibat yang telah dilakukannya.
Maksud hatinya yang hendak menyelamatkan nyawa Nyi Regita, justru malah menjadi
sebaliknya. Kenyataan yang dialami Gandewa,
sama juga dialami Ki Angkara. Lelaki yang berjuluk Seruling Setan itu geram
bukan main. Darahnya mendidih, dan nafsunya untuk membunuh si Raja Petir
bergelora tak terkendali. Dan dengan tatapan mata membara, Ki Angkara memainkan
Seruling Setannya.
Suara aneh seketika terdengar
dari seruling wama perak yang ditiup Ki Angkara. Suara yang semula
terdengar keras, kini malah melengking nyaring.
Triuuuttt...! Bunyi aneh yang keluar melalui
tiupan Seruling Setan semakin
melengking nyaring. Beberapa penduduk yang tengah menyaksikan pertandingan
secara tersembunyi, seketika terjungkal. Darah segar nampak keluar dari kuping
dan hidung mereka.
Di tempat lain, Gandewa dan Raja
Petir mencoba melawan pengaruh suara aneh itu. Namun sekejap kemudian....
Glegarrr...! Suara aneh yang keluar dari
seruling yang ditiup Ki Angkara lenyap seketika, setting melesatnya sinar
keperakan yang dilecutkan Raja Petir ke atas.
"Keparat!" maki si Seruling Setan murka.
Dengan kemarahan yang sudah
mencapai ubun-ubun, si Seruling Setan merangsek maju. Gerakannya yang begitu
cepat nampak dilakukan tidak setengah-setengah, tertuju ke arah Raja Petir.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Raja Petir memiringkan sedikit
badannya, ke kanan menghindari
hantaman seruling perak Ki Angkara yang mencecar dada. Dan tanpa diduga sama
sekali, Raja Petir membuat
serangan melingkar dengan kaki kiri.
Namun, Ki Angkara cukup waspada.
Dengan cepat, tubuhnya yang habis melancarkan serangan dirundukkan. Maka
serangan kaki kiri Raja Petir luput dari sasaran. Tapi sebenarnya,
tendangan tadi hanya sebagai pancingan saja bagi Raja Petir. Dan ketika tubuh si
Seruling Setan merunduk, dengan cepat kaki kanan Raja Petir melepaskan tendangan
rendah dua kali ke arah kepala dan langsung memegang seruling
Dug! "Akh!"
Tubuh Ki Angkara terjajar ke
belakang tiga langkah, sementara seruling peraknya melayang di udara.
Maka dengan kecepatan yang luar biasa, Raja Petir melesat dan langsung
menangkap senjata lawan. Ringan sekali kaki Raja Petir saat mendarat kembali.
"Hm.... Tanpa senjatamu, kau mungkin bukan apa-apa, Angkara!" kata Raja Petir
sambil mengacung-acungkan senjata yang berupa seruling warna perak.
Ki Angkara hanya bisa menatap
geram pada Raja Petir yang telah menguasai senjata andalannya.
"Angkara! Senjatamu yang tak berguna ini akan terpisah darimu untuk selamanya!"
menggelegar ucapan Raja Petir. Dan sebentar kemudian....
Trak! Trak! Seruling warna perak yang kini di tangan Raja Petir seketika terbelah menjadi
tiga bagian. Melihat hal ini Ki Angkara terkejut bukan main.
Gigi-giginya seketika
bergemeretakan. Mukanya pun berubah merah padam. Dia tidak mempeduKkan lagi
dengan keadaan dirinya. Rasa pusing yang begitu menyiksa tak
dipedulikannya. Dan kini, tubuhnya berkelebat cepat
"Kurang ajar! Hiyaaa...!"
Raja Petir nampak tenang saja
melihat kenekatan si Sending Setan.
Serangannya yang dilakukan secara sembarangan, membuatnya tak sadar kalau
pertahanannya kosong.
"Heaaa...!"
Raja Petir memiringkan tubuhnya
ke kanan. Serangan yang dilancarkan si Seruling Setan tentu saja membentur
tempat kosong. Dan pertahanan Seruling Setan yang kosong melompong itu, tentu
saja segera dimanfaatkan si Raja Petir.
Degkh!" "Aaakh!' Si Seruling Setan kembali
terjajar tiga langkah ke belakang.
Raja Petir 02 Empat Setan Goa Mayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari sela-sela bibirnya yang nampak merem-bes cairan warna merah.
"Hoeeekh!"
Ki Angkara merasa kepalanya
berputar-putar hebat Namun begitu, dia masih berusaha bangkit Dan belum lagi
mantap berdirinya, Raja Petir seketika berkelebat cepat. Namun bersamaan dengan
itu, Gandewa si Ludah Setan segera memuntahkan ludah mautnya.
Cuh! Cuh! Raja Petir merubah arah
lesatannya. Tubuhnya langsung ke kanan, lalu bergulingan di atas rumput halus.
"Cuh! Cuh...!"
Gandewa terus mencecar Raja Petir
dengan ludah mautnya. Namun setiap kali si Ludah Setan memuntahkan
ludahnya yang berwarna merah, ternyata serangannya hanya membentur tempat
kosong. Karena Raja Petir dapat
menghindari dengan lompatan kecil, maupun lemparan tubuhnya.
Malahan gerakan si Raja Petir
yang tak diduganya sama sekali,
membuat serangan gencar yang semula dilakuannya malah jadi terbalik.
Karena Raja Petir dengan serangan pukulan jarak jauhnya, membuat si Ludah Setan
hanya harus berjumpalitan menghindari pukulan dahsyatnya.
Dan pada saat Gandewa sibuk
menghindari terjangan pukulan jarak jauh, dengan kecepatan luar biasa Raja Petir
berkelebat menerjang. Tapi kini, yang jadi sasarannya adalah Ki Angkara yang
baru tegak berdiri.
"Mampus kau, Setan!"
"Heaaa!"
"Uts!"
Di luar dugaan Raja Petir, Ki
Angkara mampu menghindari serangannya.
Tubuhnya nampak bergulingan di tanah berumput halus.
Melihat Ki Angkara dalam keadaan bergulingan seperti itu, Raja Petir segera
mencabut bambu kuning yang tanpa lubang di tengahnya. Secepat bambu kuning itu
tercabut dari pergelangan tangannya, secepat itu
pula si Raja Petir menempelkan bambu kuning itu ke bibimya dan
menghembuskannya kuat-kuat.
Wusss...! Sinar kuning seketika meluruk
cepat ke arah Ki Angkara yang
bergulingan. Slap! "Aaakh...!"
Ki Angkara memekik berbarengan
begitu sinar kuning yang melesak menerjang tubuhnya. Beberapa saat Ki Angkara
mampu bangkit lagi, seperti tidak merasakan akibat dari sinar kuning yang
menerpanya berusan.
Akan tetapi, sebentar
kemudian.... Ki Angkara limbung tak tentu
arah. Tubuhnya dilempar ke kanan dan ke kiri. Kemudian, dia bangkit
berdiri, lalu jatuh lagi. Ki Angkara merasakan kulitnya seperti terpanggang bara
api, dan seperti ingin mengelupas dengan sendirinya.
Gandewa merasa ciut nyalinya
menyaksikan apa yang tengah dialami Ki Angkara yang berjuluk si Seruling Setan.
Dia merasakan dirinya akan mengalami nasib yang sama.
Belum lengkap kegirisan di hati
Gandewa, tiba-tiba tiga benda berwarna perak meluruk dengan kecepatan tinggi ke
arah Ki Angkara.
Sing! Sing...! Crab! Crab...! "Aaakh!"
Ki Angkara kontan berteriak
nyaring. Tiga buah benda yang menancap di tubuh dan kepala, akhirnya
memisahkan nyawa dari raganya. Tiga buah benda yang justru merupakan patahan
senjata andalannya sendiri!
Raja Petir yang menyaksikan tubuh lawannya sudah mengejang kaku, segera menatap
ke arah Gandewa.
"Heh Gundul biadab! Kau juga akan merasakan hal yang lebih mengerikan daripada
temanmu yang sesama setan itu!" ancam Raja Petir, lantang.
Gandewa seketika mersakan
wajahnya memanas.
"Lakukanlah kalau kau mampu, Raja Petir!" balas Gandewa tidak kalah sengit. "Aku
akan meladenimu sampai nyawaku terpisah dari raga!"
Mendengar kesombongan Gandewa,
Jaka tak mau membuang-buang waktu lagi. Tubuhnya segera melesat cepat menyambar
Gandewa yang memang sudah bersiap-siap.
"Hiaaa...!"
Plak! Plak! "Aaakh!"
Gandewa terhuyung ke belakang
ketika tangannya mencoba menangkis sodokan keras yang dilancarkan Raja Petir.
Bahkan tangannya terasa seperti tersengat ribuan lebah berbisa.
Rupanya, Jaka betul-betul berniat menghabisi Gandewa. Dengan kecepatan luar
biasa, Raja Petir melesat
melepaskan tendangan keras ke arah dada Gandewa diserti pengerahan tenaga dalam
tinggi. "Hiaaa...!"
Dagkh! "Aaa...!"
Tubuh Gandewa terpental sejauh
dua batang tombak. Dari sela bibirnya tampak merembes cairan merah. Dan itu
menandakan kalau si Ludah Setan
mengalami luka dalam yang cukup parah.
Namun, Gandewa adalah seorang lelaki yang kuat hati. Maka dengan keadaan tubuh
yang terluka seperti itu, dia tetap berusaha bangkit.
"Gandewa!" bentak Raja Petir murka. "Kali ini, tidak lagi tanganmu yang berpisah
dengan badan. Sabuk petirku ini lebih memilih kepala agar terpisah dari
badanmu!" Jaka si Raja Petir segera
memajukan sabuk yang tercekal di tangan kanan. Dan sebentar kemudian pergelangan
tangannya telah diputar-putar.
"Hiyaaa...!"
Tahaaan...!"
*** Sosok tubuh berpakaian merah
seketika melompat kearena pertarungan.
Dari gerakannya yang cepat dan ringan, menandakan kalau sosok yang ternyata
seorang perempuan setengah baya itu memiliki ilmu olah kanuragan yang patut
diperhitungkan.
"Purwakanti...?" Gandewa menggu-mam lemah, menyaksikan kehadiran sosok yang
memang begitu dikenalinya.
Namun, tidak bagi si Raja Petir.
Tatapan matanya yang tajam, menghunjam ke bola mata perempuan setengah baya
berpakaian merah itu.
"Maaf. Aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu, Raja Petir," ucap perempuan
setengah baya itu lembut.
Jaka yang sejak tadi dikuasai
amarah menggelora, seketika itu tak mampu berkata-kata. Ucapan perempuan
berpakaian merah barusan seakan-akan mampu meredakan amarahnya. Ucapan itu
sedemikian lembutnya, hingga terasa bagai hembusan angin menyejukkan.
"Jangan halangi dia untuk mem-bunuhku, Purwakanti," ujar si Ludah Setan di sela
sesak napasnya.
Purwakanti menatap si Ludah Setan yang tengah terkulai, menahan rasa nyeri yang
teramat sangat Sementara Jaka si Raja Petir pun melakukan hal yang sama.
"Aku tidak menginginkan kematianmu, Kakang Gandewa. Aku menginginkan agar kau
kembali kejalan yang benar
dan meninggalkan segala bentuk
kesesatan," tukas perempuan berpakaian merah yang dipanggil Purwakanti.
Jaka sedikit heran mendengar
percakapan Gandewa dengan perempuan yang barusan menahan maksudnya.
"Purwakanti...?" gumam Jaka dalam hati. "Apakah perempuan setengah baya ini ibu
kandungku" Ahhh...."
"Maaf. Apakah nama aslimu betul Jaka, Raja Petir?"
Jaka terharu mendengar pertanyaan yang seakan-akan menelusup masuk ke kalbunya.
Ada perasaan tenteram kerika perempuan setengah baya yang tadi dipanggil
Purwakanti menyebut namanya.
Si Raja Petir menganggukkan
kepala perlahan.
Perempuan setengah baya berpakaian merah mengembangkan senyumnya.
"Dua puluh tahun silam, aku pernah melahirkan seorang anak lelaki yang sehat
Anak itu kuberi nama Jaka Sembada, seperti namamu Raja Petir,"
Purwakanti. Si Raja Petir menatap wajah
perempuan setengah baya di hadapannya.
Dia seakan-akan meminta perempuan itu untuk melanjutkan ceritanya.
"Anak yang pernah kulahirkan dua puluh tahun silam itu mempunya tanda berupa dua
titik hitam sebesar kacang hijau. Dan tanda itu terdapat di telapak tangan
kanan," lanjut Purwakanti. Jaka segera membalik telapak
tangan kanannya. Tampak dua titik hitam memang berada di tangan kanannya. Akan
tetapi.... "Apakah ada tanda-tanda yang lainnya. Nisanak?" tanya Raja Petir.
Perempuan setengah baya berpakaian merah menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada, Raja Petir. Aku hanya menyimpan sapu tangan ini yang kubuat sepuluh
hari setelah kelahiran anakku"
Terhenyak Jaka ketika melihat
sebuah sapu tangan warna merah
bersulam benang warna keemasan.
Sehelai sapu tangan yang tertulis namanya, yang juga dimilikinya.
Memang, sapu tangan itu terbawa
dipakaian Jaka saat dia masih bayi.
Kemudian, Eyang Legar menyimpannya dengan harapan kalau-kalau sapu tangan itu
bermanfaat bagi Jaka. Makanya, ketika Jaka telah cukup dewasa, sapu tangan itu
diserahkan kembali Dan nyatanya kini benar-benar ada gunanya!
"Ibuuu...!"
Jaka seketika menghambur dan
langsung berlutut di hadapan perempuan berpakaian merah yang memang ibu
kandungnya. Seketika Jaka merasa dirinya menjadi cengeng! Pemuda itu seperti
haus kasih sayang. Makanya dia tak segan-segan lagi untuk menangis.
"Bangkitlah anakku," pinta
Purwakanti penuh kearifan.
"Raja Petir! Kenapa kau jadi pengecut seperti itu" Bunuhlah aku, cepat! Aku rela
mati ditangan orang yang mempunyai kesaktian lebih tinggi dariku. Bunuh aku,
Raja Petir!" ucap Gandewa yang menggelegar mengejutkan Jaka. Pemuda itu bergegas
berdiri. "Jangan turuti permintaannya, Anakku," bisik Purwakanti.
Raja Petir yang matanya masih
basah menatap Gandewa lekat-lekat.
"Tunggu apa lagi, Raja Petir"
Bukankah sudah lama kau ingin
melenyapkanku?"
"Gandewa! Putraku tidak
menginginkan kematianmu sekarang.
Seperti aku, dia sekarang menginginkan agar kau sadar dan meninggalkan semua
kebiasaan burukmu," Purwakanti yang menyahuti dilepaskannya cekalan
tangannya pada bahu Raja Petir.
Purwakanti bermaksud menghampiri Gandewa, tetapi....
Gandewa bergerak cepat meraih
sebatang pedang berkeluk lima milik Barrot yang tergeletak tak jauh
darinya. Purwakanti tentu saja terkejut
melihat tindakan Gandewa. Maka
secepatnya Purwakanti melompat mundur.
Namun.... Tubuh Jaka ternyata lebih dulu
melesat cepat, menghadang gerakan
Gandewa. Dengan tangan mencekal sabuk kuning keemasan, Raja Petir memutar-mutar
pergelangan tangannya dengan kecepatan luar biasa.
Glarrr...! Seberkas sinar keperakan melesat cepat dari ujung sabuk yang dilepaskan Jaka.
Sinar keperakan yang bagai petir itu melesat, langsung menerjang tubuh Gandewa.
Maka seketika itu juga tokoh sesat itu rebah ke tanah dengan tubuh bagai hangus
terbakar. Nyawa si Ludah Setan kini telah pergi meninggalkan jasadnya.
Dengan mata merembang, Purwakanti menatap jasad Gandewa yang begitu mengerikan.
"Ahhh.... Kasihan Soraya," desah Purwakanti, parau.
"Siapa Soraya, Ibu...?"
Purwakanti menatap Jaka penuh haru.
"Adikmu, Jaka. Anak kandungku bersama Gandewa."
"Hhh...," desah Jaka.
*** Matahari bersinar tepat di atas
kepala kerika jasad Gandewa selesai dikuburkan. Jaka segera mengambil tangan
ibunya. Kedua anak beranak itu pun pergi meninggalkan segundukan tanah merah
yang masih baru, diiringi hembusan angin panas.
Bagaimana petualangan Raja Petir selanjutnya" Dan bagaimana mengenai Soraya yang
adik tiri Jaka itu" Lalu, bagaimana pula dengan
petualangan Seruni, gadis cantik yang diam-diam menaruh hati pada Raja Petir"
Silakan ikuti serial Raja Petir pada episode-episode berikutnya.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pedang Asmara 13 Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Ratu Maksiat 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama