Ceritasilat Novel Online

Penculik Mayat Hutan Roban 1

Wiro Sableng 024 Penculik Mayat Hutan Roban Bagian 1


WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Penculik Mayat Hutan Roban
SATU Ketika perempuan tua pengurus jenazah memberitahu bahwa kain kafan
siap untuk ditutupkan, Sri Surti Purwani meraung keras dan menubruk jenazah
puterinya. Dipeluknya kuat-kuat seperti tak akan dilepaskan apapun yang terjadi.
Orang-orang perempuan yang ada di ruangan besar itu tak dapat menahan keharuan
dan ikut mengucurkan air mata. Seorang lelaki bertubuh kurus, mengenakan
blangkon coklat berbunga hitam dan baju lurik hitam bergaris kuning coklat, menyeruak di
antara mereka yang hadir lalu memegang bahu Surti Purwani, berusaha menariknya
seraya mengucapkan kata-kata membujuk.
"Sudah bune. Cukup..... Relakan anak kita pergi. Biar arwahnya tenang di
alam baka..."
Setelah membujuk berulang kali dan menarik tubuh permpuan itu dengan
susah payah, akhirnya lelaki tadi - Sumo Kabelan, suami Surti Purwani berhasil
menjauhkan istrinya dari jenazah. Namun begitu terpisah perempuan ini langsung
pingsan hingga terpaksa digotong ke kamar.
Sumo Kabelan Mengusap mukanya beberapa kali. Namun air mata tak
kunjung terbendung. Sebelum kain kafan ditutup dia masih sempat mencium kedua
pipi jenazah. Lalu dia tegak bersandar ke tiang besar ruangan dengan wajah yang
ditutup dengan kedua tangan, menangis terisak-isak.
"Witri.... Witri... Malang nian nasibmu. Mengapa Gusti Allah datang
menjemputmu dalam usia semuda ini..."
"Dimas Sumo...." Datang suara dari samping. Yang bicara adalah seorang
lelaki pendek gemuk, berkumis tebal. Dia adalah kakak Sumo Kabelan yang hari itu
menerima musibah, kematian puterinya - anak tunggalnya - yang baru saja
menginjak usia delapan belas tahun. "Gusti Allah mengambil Witri tentu karena
Dia saying. Gusti Allah pasti tahu apa yang diperbuatNya. Kita dan yang lain-lainnya
kelak akan berkumpul lagi di akhirat..."
"Kasihan Witri... Kasihan anakku..." kata Sumo Kabelan berulang kali.
Begitu kain kafan ditutup dan diikat pada ujung kepala dan ujung kaki,
beberapa orang masuk membawa usungan. Jenazah dimasukkan ke dalam usungan,
ditutup dengan beberapa lapis kain batik, lalu di atas sekali kain hijau
berumabi- rumbai benang kuning emas.
Seorang pemuda berkulit kuning yang sejak tadi tampak ikut mengucurkan air
mata beberapa kali merapikan kain hijau penutup usungan. Dia adalah Jalatunda,
pemuda yang seyogyanya menjadi calon jodoh atau calon suami Suwitri, gadis yang
meninggal itu. Tak lama kemudian jenazah di bawa ke mesjid besar untuk disembahyangkan.
Selesai disembahyangkan, sebelum diberangkakan menuju pemakaman, lelaki gemuk
berkumis tadi - kakak Sumo Kabelan menyampaikan sambutan pendek, mengharap
aga kedua orang tua dan sanak keluarga yang ditinggalkan bersikap tabah
menghadapi musibah itu, memohon aga almarhumah dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya, lalu
mendoakan agar almarhumah diberi tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah.
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Selesai upacara pendek itu, jenazahpun diusung ke pemakaman yang terletak
cukup jauh. Di depan sekali Jalatunda berjalan membawa paying besar untuk
melindungi usungan dari teriknya sengatan matahari di siang itu.
Selewatnya tengah hari rombongan yang terdiri hampir seratus orang itu
sampai di pintu gerbang pemakaman. Seorang pengemis tua tampak duduk
menjelepok dekat pintu dan menadahkan tangannya minta dikasihani. Namun tak
seorangpun mengacuhkan pengemis ini. Di saat para pengantar semua berada dalam
kesedihan siapa pula yang akan tergerak untuk memberi uang pada tukang mintaminta itu. Ketika rombongan pengantar yang panjang sampai di bagian tengah, pengemis
tadi ulurkan tangan menarik pakaian seorang pengantar.
"Hai...siapakah yang meninggal?" pengemis itu bertanya. Suaranya halus
hampir tak terdengar. Mungkin karena keletihan duduk di bawah terik matahari,
mungkin juga dikarenakan usianya yang sudah lanjut.
"Ah pengemis tua, apa perlumu bertanya. Lepaskan bajuku!" kata lelaki yang
bajunya ditarik lalu menyentakkan tangan si pengemis.
"Bertanya saja tidak boleh..." sang pengemis tampak jengkel.
Seorang pengantar yang mendengar gerutuan pengemis itu walau tak acuh
mau juga menjawab.
"Yang meninggal adalah anak gadis Sumo Kabelan, tuan tanah dari desa
Ambarwangi..."
"Ah kasihan...kasihan. Apakah dia sudah kawin...?" pengemis tadi bertanya.
Yang menjawab adalah pengantar lainnya, yang terpisah tiga orang di
belakang pengantar yang memberi keterangan tadi.
"Pengemis tolol! Namanya saja masih gadis. Masakan kalau sudah kawin
dikatakan gadis!"
"Ah, aku memang tolol! Kasihan gadis itu...."
Pengemis itu geleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan dia berdiri. Sesaat dia
pandangi rombongan pengantar jenazah sambil tepok-tepok pantat pakaiannya yang
kotor penuh debu. Ketika kepala rombongan sampai di liang lahat yang telah
disiapkan untuk jenazah, dengan langkah terserok-serok pengemis tadi mendatangi.
Sambil melangkah mulutnya tiada henti mengucapkan kata-kata kasihan.
Usungan diturunkan, diletakkan di tepi liang lahat. Satu demi satu kain
penutup usungan dibuka. Sambil tiada hentinya mwlafatkan doa-doa, jenazah
kemudian dikeluarkan dari usungan, diangkat oleh empat orang sementara tiga
orang lainnya sudah lebih dulu masuk ke dalam kuburan, menunggu dan menyambut
jenazah. Saat itulah, ketika jenazah hendak diterimakan dari tangan empat orang ke
tangan tiga orang tadi mendadak orang banyak yang berkerumun mengelilingi liang
lahat terkuak, terjerongkang jatuh bahkan ada yang terpental.
"Hai! Apa-apaan ini!" teriak Sumo Kabelan hampir saja jatuh terjerambab ke
dalam liang lahat.
"Pengemis itu! Gila dia rupanya!"
"Usir pengemis itu!" Terdengar teriakan-teriakan.
Orang yang roboh berjatuhan dan terpental semakin banyak. Pengemis yang
tadi duduk dekat pintu makam mendesak masuk. Seorang pengantar menarik
lengannya. Tapi orang ini segera roboh kena sikut. Seorang lain yang jadi marah
menarik leher pakaiannya. Tapi diapun terjerongkang kena tendangan. Setelah itu
orang banyak yang menjadi marah cepat mengurung malah muali mengeroyok
pengemis tersebut. Namun semuanya terpental dan berteriak kesakitan. Sebelum
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sesuatu dapat dilakukan, pengemis itu melompat ke muka langsung merangkul
jenazah Suwitri di bagian pinggang lalu menaikkan ke bahu kirinya.
"Pengemis keparat! Apa yang hendak kau lakukan"!" teriak Sumo Kabelan.
Sementara kakaknya yang gemuk sudah menyambar sebuah pacul dan siap
menghantamkannya. Namun hebat sekali gerakan pengemis itu. Meski bahunya
diberati jenazah kaki kanannya melesat cepat menendang tangan sigemuk hingga
patah dan pacul terlepas mental dari pegangannya. Sumo Kabelan sendiri langsung
jatuh ketika satu pukulan melabrak dadanya. Dengan gerakan aneh pengemis itu
melompat ke atas. Di lain kejap dia sudah ke luar dari kurungan orang ramai.
"Pneculik jenazah"
"Penculik mayat!"
"Hai! Hendak kau larikan ke mana jenazah gadis itu!"
Orang ramai mengejar. Sesaat pengemis itu balikkan diri, tegak menunggu
dengan sikap menanang. Sambil menyeringai dia berkata
"Kalian inginkan mayat ini" Ambillah kalau bisa!"
Jalatunda, pemuda yang tadinya adalah calon suami Suwitri lari mengejar
paling depan. Dia sampai pertama sekali di hadapan pengemis itu. Begitu dekat
pemuda ini langsung melayangkan tinjunya ke muka si pengemis. Ganda tertawa
penemis tua itu tangkap tinju kanan Jalatunda denga telapak tangan kirinya lalu
diputar kuat-kuat. Jalatunda terpekik. Tulang telapak tangannya remuk,
pergelangan tangannya lepas.
"Anak muda! Aku tidak heran kau membela gadis ini walau sudah jadi mayat!
Tapi tidak kau atau siapapun boleh merampasnya dariku...!" berkata pengemis tua
itu dengan tampang galak.
"Keparat penculik! Tinggalkan jenazah itu!"
Si pengemis tertawa.
"Kalau kau memang sangat menginginkannya datanglah satu hari di muka ke
hutan Roban sebelah timur! Kau akan mendapatkan mayat kekasihmu kembali!"
"Jahanam! Lebih baik kubunuh kau saat ini juga!" teriak Jalatunda. Lalu
melompati pengemis itu.
Entah dai mana dapatnya, saat itu tampak pemuda ini telah memegang di
tangan kirinya sebilah parang berkarat. Senjata ini dibacokkannya ke pinggang
pengemis. Tapi dengan mudah dapat dielakkan. Penuh luapan amarah Jalatunda
tusukkan ujung parang ke dada pengemis itu. Yang diserang gerakkan tangan
kirinya, memukul badan parang dari samping. Senjata itu patah dua dan terlepas mental
dari tangan Jalatunda.
Si Pengemis tertawa panjang.
Ketika orang banyak sampai di tempat itu, penculik mayat itu telah lenyap.
Hanya suara tawanya yang masih tertinggal dalam bentuk gema menggidikkan.
BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Satu hari dimuka, ratusan penduduk desa Ambarwangi kelihatan
berkelompok di ujung timur hutan Roban. Penduduk desa-desa sekitarnya, yang
mendengar kejadian dilarikannya mayat Suwitri oleh seorang pengemis aneh, ikut
pula mendatangi tempat itu. Keadaan di situ tidak bedanya seperti orang yang
sedang mengungsi. Banyak yang mendirikan gubuk atau kemah sementara sambil menunggu
apa yang akan terjadi.
Seperti kata pennculik sebelum lenyap bersama jenazah Suwitri, jika jenazah
itu memang diinginkan kembali, maka satu hari dimuka orang-orang itu disuruh
datang ke ujung timur hutan Roban. Jalatunda, calon suami Suwitri beserta Sumo
Kabelan - ayah si gadis - lebih dulu datang ke tempat itu. Sejak Suwitri
dilarikan dan setelah penculik mengeluarkan ucapan begitu keduanya langsung menuju tempat yang
dikatakan. Menunggu dan bermalam di situ dengan hati berdebar, menantikan apa
yang bakal terjadi.
Bersama beberapa orang kawannya Jalatunda coba menyelidik agak jauh ke
dalam hutan sebelah timur. Namun mereka tidak menemukan apa-apa. Hutan Roban
sejak lama terkenal keangkerannya. Bukan saja penduduk sekitar itu menganggap
rimba belantar itu sarang segala macam makhluk halus, mulai dari jin sampai
dedemit, mulai dari setan pelayangan sampai hantu iblis, tetapi deketahui pula bahwa di
dalam hutan itu bercokol beberapa kelompok rampok ganas. Belum lagi binatang buas
termasuk ular berbisa! Karena itu Jalatunda dan kawan-kawannya tidak berani
masuk terlalu jauh ke dalam hutan.
Matahari telah jauh condong ke barat. Saat yang dikatakan si penculik yakni
satu hari dimuka, sudah hampir mendekat. Namun tak ada tanda-tanda akan terjadi
sesuatu.Orang ramai mulai gelisah, tegang dan tampak banyak pula yang merasa
cemas. Jelatunda melangkah mundar mandir. Sebentar-sebentar tangannya meraba
hulu golok besar yang diikatkannya ke pinggang. Dia sudah bertekad bulat. Jika
pengemis penculik itu muncul, pemuda ini akan menyerangnya, membunuhnya
sampai mati. Kalau perlu dia mau mengorbankan diri asal jenazah kekasihnya bisa
didapat kembali.
Di bagian yang lain Sumo Kabelan tegak dengan wajah gelisah, tiada lepaslepas memandang kea rah hutan yang kini mulai kelihatan meredup gelap karena
sang surya tidak lagi memancarkan cahayanya di bagian ujung timur itu.
Di udara sekelompok urung gagak hitam terbang berputar-putar sambil tidak
henti-hentinya menguik.
"Burung-burung nazar itu...." kata Sumo Kabelan dengan paras berubah.
"Pertanda yang tidak baik...." Sambungnya kemudian perlahan.
Burung-burung itu masih terus berputar dan menguik. Tiba-tiba lebih keras
dari kuik binatang-binatang itu dari dalam rimba belantara terdengar suara tawa
melengking, menggetarkan serta membuat setiap mereka yang mendengar jadi
mengkirik ketakutan.
"Orang-orang Ambarwangi!" ketika suara tertawa lenyap berganti terdengar
suara orang berseru.
"Aku tahu kalian sudah lama menunggu! Ambillah kembali jenazah gadis
ini...!" BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sebuah benda putih melayang di udara, melesat ke luar hutan Roban di mana
ratusan orang menunggu. Benda ini sesaat kemudian terayun membalik masuk lagi ke
dalam hutan. Ternyata bedna itu terikat di ujung seutas tali. Dan tali ini
ditambatkan pada cabang sebatang pohon besar. Ketika diperhatikan benda yang terayun-ayun
itu, ternyata adalah sosok tubuh yang terbungkus kain kafan!
"Astaga! Pasti itu jenazah Suwitri!" teriak seseorang.
"Darah!" seorang lain ikut bereriak.
Jalatunda telah lebih dahulu lari ke dalam hutan.
Dengan tangan kiri dia menahan pocong yang teryaun-ayun. Begitu derasnya
ayunan pocong membuat pemuda itu hampir jatuh terseret. Namun cepat dia
mencabut golok dan menebas tali pengikat ujung kain kafan. Jenazah yang jatuh
cepat disambutnya dengan bahu kirinya lalu melarikannya ke luar hutan. Orang ramai
segera menyongsong. Beramai-ramai jenazah diturunkan dari bahu Jalatunda,
dibaringkan hati-hati di tanah.
"Kenapa kain kafan berdarah! Pasti terjadi sesuatu!" kata Sumo Kabelan. Lalu
lelaki ini membungkuk untuk memeriksa.
Jalatunda bergerak lebih dulu. Tali kain pengikat ujung-ujung dan bagian
tengah jenazah dibukanya.
Bau busuk menyebar santar begitu kain kafan tersingkap. Wajah Suwitri
tampak utuh meski pucat dan membiru di beberapa bagian. Tetapi ketika kain kafan
sebelah bawah dibuka lebih lebar, Jalatunda, Sumo Kabelan dan yang lain-lainnya
terperangah mundur. Bagian dada serta perut mayat tampak berlubang besar. Darah
membeku di mana-mana.
"Jantung dan hatinya lenyap!" teriak kakak Sumo Kabelan.
"Ya Tuhan! Apa yang terjadi dengan jenazah anakku!" seru Sumo Kabelan.
Tubuhnya bergetar keras. Lututnya goyah. Dia hampir roboh kalau tidak lekas
ditahan. "Sudah meninggal kenapa jenazahnya masih dirusak..." Anakku.... Suwitri
anakku....!"
Jalatunda duduk pejamkan mata tak tega menyaksikan pemandangan yang
mengerikan serta menusuk hati itu. Namun disaat yang sama kemarahannya juga
menggelegak. Tiba-tiba seperti orang kemasukan setan dia berteriak keras.
Melompat tegak. Kedua matanya mendadak menjadi merah. Wajahnya membesi. Dia cabut
kembali golok yang tadi disarungkannya. Senjata ini ditabaskannya kian kemari.
Dari

Wiro Sableng 024 Penculik Mayat Hutan Roban di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulutnya keluar suara menggerung berkepanjangan disertai ludah membusah di sela
bibir. Orang banyak serta merta mundur menjauh.
"Jalatunda kemasukan setan!" seseorang berteriak.
"Awas! Mungkin dia mau mengamuk!"
"Menjauh!" teriak seorang yang lainnya.
"Jala, tenang.... Kuatkan hatimu!" Sumo Kabelan mendekat sambil
membujuk. "Jala! Sarungkan golokmu kembali!" kata Sumo Kabelan. Kali ini dengan
suara keras. "Keparat! Bangsat!" teriak Jalatunda tiba-tiba.
"Kemanapun akan kucari! Akan kubunuh!"
Lalu pemuda ini balikkan tubuhnya, lari masuk ke dalam hutan Roban.
"Jala! Kembali!" teriak Sumo Kabelan. Yang lain-lain juga berseru
memanggil. Namun pemuda itu lari terus sambil acung-acungkan golok dan
berteriak- teriak. Sesaat kemudian diapun lenyap dalam kerapatan pepohonan.
BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA Nyi Ageng Jeliteng memandang dengan kesal pada puterinya yang sampai
saat ini masih saja menangis sambil menelungkup di atas tempat tidur.
"Rukmi tak ada gunanya kau menangis. Sekalipun sampai keluar air mata
darah itu tidak akan merubah pendirian ibu. Apalagi ayahmu!"
Tejarukmi, gadis enam blas tahun yang menangis di atas ranjang itu membalik
dan menutupi wajahnya dengan bantal besar. Tangisnya kini malah menjadi-jadi.
"Sikap tingkahmu hanya akan memberi malu orang tuamu Rukmi. Percayalah,
kami ayah dan ibumu ingin melihat kau bahagia..."
Tejarukmi campakkan bantal dari mukanya, setengah duduk dia berkata
dengan muka balut "Kalau ibu ingin melihat aku bahagia, mengapa memaksa saya
harus kawin dengan lelaki yang tiga puluh tahun lebih tua dari saya itu!"
Nyi Ageng Jeliteng geleng-gelengkan kepala. "Kau masih belum mengerti
nak..." "Saya cukup mengerti iu. Lebih dari mengerti. Yang ibu dan ayah pikirkan
adalah kepentingan kalian berdua, bukan kepentingan saya!"
"Lho, yang akan kawin itu kau, bukan kami Rukmi. Jadi kau sendiri yang
kelak akan merasakan kebahagiaan itu..."
"Siapa orang tuanya yang bahagia kalau dikawin paksa! Dengan tua bangka
beranak empat pula!"
Tejarukmi bantingkan kedua kakinya ke atas tempat tidur.
"Dengar Rukmi anakku. Kami tidak memasksa kau kawin saat ini juga. Tapi
tahun depan. Di bulan Sura. Ketika usiamu genap mencapai tujuh belas tahun!"
"Saya tidak akan kawin dengan tua bangka itu!"
"Raden Jarot bukan orang sembarangan Rukmi. Dia termasuk kerabat Istana,
keponakan Pangeran Dirjo Samekto...."
"Sekalipun dia raja diraja saya tidak suka! Saya tidak mau kawin dengan dia!"
"Ibu tahu mengapa kau menolak!" Nyi Ageng Jeliteng mulai tampak kesal. Ini
kentara dari nada suaranya.
Dan perempuan itu lebih jengkel lagi ketika puterinya menukas "Kalau ibu
sudah tahu saya menolak, mengapa masih memaksa"!"
"Orang tua mana! Bangsawan mana yang sudi anaknya bercinta dengan
seorang anak petani miskin! Jangan lupa turunan kita! Ayahmu bengsawan kelas
satu. Orang tuaku juga turunan bangsawan terhormat. Dan keu hendak mengotori darah
bangsawanmu dengan darah pemuda miskin yang hanya pandai mencangkul itu....?"
"Hanya kebetulan saja kakak Wiguno seorang anak petani miskin. Tapia pa
bedanya dia dengan kita" Sama-sama manusia....?"
Nyi Ageng Jeliteng tertawa mendengar kata-kata puterinya itu.
"Kau sudah terlalu jatuh larut dalam dunia cinta. Ketahuilah bahwa dunia
cinta itu adalah dunianya orang-orang gila dengan seribu angan-angan muluk. Aku
kawin dengan ayahmu tanpa mengenal cinta. Tapi setelah kawin, apa yang kami
rasakan jauh lebih bahagia dari cinta....."
"Kalau masa muda inbu tidak mengenal cinta, pantas saja ibu bisa berkata
begitu!" Hampir Nyi Ageng Jeliteng menampar mulut anaknya itu.
BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tak ada gunanya menasehatimu. Biar ayahmu yang nanti bicara. Dan kau
tahu. Kalau ayahmu sempat naik pitam, tangan dan kakinya akan melayang ke
tubuhmu. Itu rupanya yang kau kehendaki!"
"Dipukul sampai matipun saya tidak takut." Jawab Tejarukmi.
"Anak durhaka!" kata Nyi Ageng Jeliteng marah lalu berdiri dan tinggalkan
kamar itu. Keesokan harinya gedung besar kediaman bangsawan Mangun Sarabean
heboh ketika seisi gedung mengetahui bahwa den ayu Tejarukmi lenyap. Beberapa
potong pakaiannya berikut sejumlah perhiasan miliknya yang ada dalam lemari ikut
lenyap. "Anak itu pasti meinggat!" kata Raden Mas Mangun Sarabean sambil
menggebrak meja. Dia lalu berteriak memanggil pembantunya. Kepada para
pembantu itu diminta agar menghubungi Raden Jarot, meminta bantuan sejmulah
pasukan untuk mencari anaknya yang lenyap.
"Periksa ke rumah pemuda petani itu!" kata Mangun Sarabean. "Aku yakin
Tejarukmi kabur bersama pemuda keparat itu. Anakku harus kembali. Dan Wiguna
kalau perlu dibikin mampus saja! Dia yang jadi pangkal bahala semua ini!"
Mangun Sarabean lalu masuk ke dalam menemui istrinya yang menangis
menggerung-gerung.
Para pembantu yang disuruh segera berangkat ke tempat kediaman Raden
Jarot, lelaki yang sudah dicalonkan untuk menjadi suami Tejarukmi. Sesuai dengan
permintaan Mangun Sarabean maka Raden Jarot menghubungi pamannya yaitu
pangeran Dirjo Samekto guna mendapatkan sejmulah pasukan untuk mencari
Tejarukmi. Pasukan yang dikerahkan pangeran Dirjo Samketo ternyata adalah dari
kelompok yang berpengalaman dan merupakan andalan kerajaan. Karenanya tidak
mengherankan Tejarukmi dan Wiguna di sebuah pondok tua di dalam lembah
Gilimanuk yang terletak sekitar setengah hari perjalanan dari desa Ambarwangi.
Ketika ditemukan sepasang merpati yang saling mencinta ini berusaha
melarikan diri dari kepungan.
Namun sia-sia. Wiguno, pemuda petani miskin itu berusaha mempertahankan
Tejarukmi, tetapi apa dayanya menghadapi puluhan prjaurit tangkas bersenjata
lengkap sedangkan dia hanya mengandalkan tangan kosong. Dalam keadaan luka
parah, atas perintah Mangun Sarabean, Wiguno akhirnya tewas terbunuh! Mati di
hadapan mata kepala Tejarukmi yang membuat gadis itu langsung menjerit dan jatuh
pingsan. Selama beberapa hari Tejarukmi mengunci diri dalam kamar. Tak mau makan,
minumpun hanya sekedar membasahi bibir. Lambat lau tubuhnya jadi kurus lemas,
parasnya semakin pucat.
Suatu pagi ketika Nyi Ageng Jeliteng bersama seorang pembantu membuka
pintu kamar gadis itu dengan paksa sambil membawa makanan, mereka dapati
Tejarukmi terbujur di lantai. Dekat kepalanya terletak sebuah mangkuk berisi
warangan yang masih tersisa. Mulutnya mengeluarkan busa. Tak ada lagi tandatanda kehidupan. Gadis ini mati bunuh diri dengan jalan minum racun keras.
Dalam suasana heboh kematian Tejarukmi itu, selagi gedung besar penuh
didatangi penduduk sedesa serta kerabat dekat, belum lagi jenazah sempat
dimandikan di tangga depan gedung tampak seorang pengemis tua yang anehnya
muncul dengan menunggang seekor kuda jantan warna coklat. Diikuti pandangan
mata sekian banyak orang yang terheran-heran, pengemis itu turun dari kudanya
lalu berkata "Kedatanganku sebenarnya ingin minta sedekah. Tapi ada kejadian apakah
di BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
rumah besar ini hingga orang begini banyak dan kudengar ada suara orang meratap
di dalam sana...."
"Pengemis berkuda," seseorang menjawab. "Bukan saatnya kau datang
meminta-minta. Orang sedang ditimpa musibah. Pergilah dari sini...."
"Musibah....ah....ah....ah. sungguh kasihan. Rumah besar mentereng seperti
ini seharusnya siisi dengan suasana meriah ceriah. Bukan tangisan. Musibah
apakah yang datang menimpa penghuni gedung ini...."'
Meskipun kesal melihat pengemis yang banyak tanya ini namun orang itu
kembali menjawab "Den Ayu Tejarukmi, puteri Nyi Ageng Jeliteng meninggal
dunia." "Aih sungguh kasihan. Masih mudakah dia" Saktikah dia hingga sempai ajal
secepat itu...."
Seorang tinggi besar yaitu pembantu merangkap penjaga gedung kediaman
Mangun Sarabean memegang bahu pengemis itu dan menyentakknnya ke belakang.
"Pengemis buruk! Bawa kudamu! Pergi dari sini!"
Pembantu itu terkejut ketika sentakannya tidak berhasil membuat pengemis
tadi tertarik ke belakang. Malah dirasakannya tiba-tiba tangannya kesemutan dan
kaku tak bisa digerakkan lagi. Dia berteriak memberitahu kawan-kawannya ketika
pengems itu melangkah menaiki tangga depan gedung. Maka empat orang segera
menghadang si pengemis.
"Kalian mengapa berlaku kasar padaku!" kata si pengemis. "Aku datang
bukan untuk membuat keributan ataupun mengganggu!"
"Pengemis buruk! Tempatmu bukan di sini! Kau sengaja memaksa masuk.
Jika kau inginkan sedekah kami akan memberi. Tapi jika kau memaksa, kami
terpaksa menggebukmu!" salah seorang dari empat lelaki yang menghadang berkata.
"Aku hanya ingin melihat Den Ayu Tejarukmi. Kudengar dia bunuh diri. Tapi
apakah dia benar-benar sudah mati" Tak bernafas lagi" Jika aku diperbolehkan
melihat, siapa tahu aku bisa mwnolong!"
"Menolong menghidupkannya"!" ejek lelaki tadi.
"Kau tentu bergurau. Hanya Gusti Allah yang bisa menghidupkan manusia
dan mematikannya jika memang dikehendakiNya. Yang aku ingin katakana siapa tahu
gadis itu hanya pingsan. Masih belum mati. Mungkin aku bisa menolongnya"
"Pengemis ngaco! Lekas pergi. Jangan membuat ulah yang bukan-bukan di
tempat berkabung ini!" Satu suara membentak. Keras dan garang.
Si pengemis memalingkan kepalanya. Di sebelah kirinya berdiri seorang
bertubuh tinggi ramping, mengenakan pakaian bagus dan mahal, lengkap dengan topi
tinggi berwarna hitam.
Si pengemis manggut-manggut, lalu menjawab "Aku mengerti, aku
mengerti...."katanya. "Kau pantas marah. Bukankah kau Raden Jarot, duda anak
empat calon suami Den Ayu Tejarukmi yang gagal...?"
Orang tinggi ramping itu terkejut. Bagaimana pengemis yang tidak dia
kenalnya tahu siapa dirinya adanya"
"Kalau kau sudah tahu siapa aku, maka lekas pergi dari sini!" kata Raden Jarot
pula. "Tapi aku ingin menolong calon istrimu itu!"
"Aku dan siapapun di sini tidak butuh pertolonganmu!" bentak Raden Jarot.
"Kalau begitu kau tidak cinta pada gais itu. Kau tak ingin melihat dia hidup
kembali. Padahal sebelumnya kau secara halus memaksa kedua orang tuanya agar
gadis itu bisa kau jadikan istrimu....!
BASTIAN TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Merah paras Raden Jarot mendengar kata-kata terakhir pengemis itu. Tentu
saja dia ingin melihat Tejarukmi hidup kembali. Namun mana masuk akal kalau
gadis yang sudah mati itu bisa ditolong. Maka dia memberi isyarat pada empat lelaki
yang mengurung si pengemis agar menyeret orang tua itu. Selesai memberi isyarat maka
diapun masuk ke dalam gedung. Tapi langkahnya tertahan ketika di belakangnya
terdengar suara bak-buk-bak-buk disusul keluh kesakitan. Ketika dia menoleh
kembali, empat lelaki tadi dilihatnya terkapar di tanggga gedung. Ada yang
memegang perut, dada dan ada pula yang menutupi wajah dengan kedua tangan.
Semuanya masih meringis dan mengeluh kesakitan.
"Kurang ajar! Kau berani memukul orang-orangku!" teriak Raden Jarot marah.
Sekali tubuhnya berkelebat, tinju kanannya menderu ke muka pengemis tua itu.
Sebagai orang yang dekat dengan kalangan Istana, Raden Jarot memiliki
kepandaian silat yang cukup tinggi. Bahkan keris yang tersisip di pinggangnya
diketahui adalah pemberian seorang petinggi Istana yang dekat dengan Sri
Baginda. Melihat pukulan yan dihantamkan Raen Jarot, semua orang yang hadir di
tempat itu sama menduga si pengemis tua akan terpental dengan kepala remuk,
paling tidak bengkak berdarah mukanya. Tetapi alangkah herannya mereka ketika dengan
acuh tak acuh pengemis itu angkat tangan kirinya, telapak tangan dikembangkan.
Buk! Tinju Raden Jarot menghantam telapak tangan yang dipakai untuk melindungi
muka dari pukulan.
Lelaki ini merasakan tangannya seperti menghantam tembok. Jika tidak malu
pastilah dia akan menjerit kesakitan. Tangannya tampak merah dan lecet-lecet.
Melihat kenyataan ini Raden Jarot segera maklum, siapapun adanya pengemis
tua itu, dia adalah seorang yang memliki kepandaian tinggi. Dan dengan
memperlakukannya seperti itu jelas dia membawa maksud yang tidak baik. Sambil
menghunus kerisnya Raden Jarot berteriak.
"Semua lelaki yang ada di sini, Bantu aku meringkus pengemis keparat ini!
Dia datang dengan maksud jahat!"
Lebih dari selusin lelaki segera melompat mengurung. Dua di antaranya
adalah anggota pasukan yang sebelumnya ikut melakukan pencarian ketika Tejarukmi
minggat bersama Wiguno.
Melihat dirinya dikurung begitu rupa, pengemis itu berkacak pinggang dan
tertawa aneh. "Usir kudanya! Jangan sampai pengemis tua bangka keparat ini lolos!" teriak
Raden Jarot. Seseorang kemudian dengan cepat menggebrak tubuh kuda coklat yang tadi
ditunggangi di pengemis. Binatang ini meringkik lalu lari kencang dan menghilang
di kejauhan. "Aku hanya memberi nasehat pada kalian!" katanya kemudian pada orangorang yang mengurungnya.
"Menyingkirlah jika ingin selamat!"
"Serbu! Ringkus pengemis keparat ini! Bunuh jika perlu!" teriak Raden Jarot.
Pada saat itu tuan rumah yang sedang berduka yakni Mangun Sarabean ke luar
ruangan dalam. Melihat seorang ttua berpakaian kotor penuh tambalan dikurung
demikian rupa maka diapun menegur.
"Apa yang terjadi di sini"!"
Raden Jarot menerangkan dengan cepat. Mangun Sarabean sesaat
memperhatikan tangan kanan calon mantunya yang lecet akibat tangkisan pengemis
aneh itu. Lalu dengan suara perlahan tapi tegas dia berkata
BASTIAN TITO 9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Berikan pakaian bekas, dua kaleng beras dan sejumlah uang padanya. Lalu
biarkan dia pergi....!"
Habis berkata begitu Mangun Sarabean melangkah masuk ke dalam kembali.
Tapi kata-kata si pengemis membuatnya hentikan gerakan dan berpaling
"Tuan rumah, sampeyan ternyata baik sekali. Pakaianku memang kotor penuh
tambalan. Tubuhku kurus tak terurus. Tapi aku datang ke mari bukan untuk minta
belas kasihan.... Apalagi minta pakaian, uang dan beras.....!"
"Lalu apa maumu....?" Tanya Mangun Sarabean. Ucapan si pengemis yang


Wiro Sableng 024 Penculik Mayat Hutan Roban di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memanggilnya dengan sebutan sampeyan serta nadanya yang kasar membuat Mangun
Sarabean tersinggung. Hatinya kesal. Apalagi dia ditimpa musibah besar kematian
puterinya. "Aku datang untuk melihat jenazah Den Ayu Tejarukmi," menjawab si
pengemis. "He, dia bukan sanak bukan kerabatmu. Mengapa ingi melihat?" tanya
Mangun Sarabean. Sebelum dia membuka mulut membentak, Raden Jarot sudah
mendahului. "Pengemis edan! Jangan kau bicara segala macam aturan. Di sini berlaku
aturan yang dibuat tuan rumah! Tubuhmu yan gbabak belur akan kami lempatkan ke
jalan sana!"
"Kalau memang begitu, biar kau yang kugebuk lebih dulu!"
Tubuh pengemis kurus itu berkelebat.
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT Raden Jarot melihat gerakan pengemis itu begitu cepat hingga sulit
mengetahui dengan apa dan baian mana dari tubuhnya yan gmenjadi sasaran
serangan. Untuk melindungi diri dia babat keris di tangan kanannya lurus rata dari kiri ke
kanan. Demikian derasnya hingga badan keris mengeluarkan suara menderu. Tidak
dapat tidak salah satu bagian tubuh lawan pasti akan tersayat. Namun sesaat
kemudian terdengar pekik Raden Jarot. Keris di tangan kanannya mental ke atas dan
menancap di langit-langit serambi depan. Kemudain tubuhnya tampak terjerongkang ke
belakang, hampir jatuh duduk. Satu pukulan melabrak dadanya di sebelah tengah!
Mangun Sarabean kaget bukan main. Dia tahu betul calon menantunya itu
memiliki kepandaian silat tinggi. Tapi bagaimana pengemis tua bertubuh kecil itu
dapat menghantamnya dalam satu kali gebrakan.
Sambil menahan sakit dan megap-megap karena nafasnya sesak Raden Jarot
mencoba berdiri lalu berteriak pada orang-orang di sekelilingnya.
"Tunggu apa lagi"! Bunuh bangsat pengacau itu!"
Kini lebih dari selusin orang menyerbu. Termasuk Mangun Sarabean yang
tidak dapat lagi menahan amarahnya. ORang ini tanggalkan ikat peinggang besat
yang terbuat dari kulit. Mangun Sarabean diketahui bukanlah seorang yang
memiliki ilmu silat atau kesaktian. Namun ada yang mempercayai bahwa dalam salah satu
kantong ikat pinggang kulit itu tersimpan sebuah jimat yang konon didapat Mangun
Sarabean dari seorang empu di puncak gunung Merapi. Ada jimat ataupun tidak si
pengemis sama sekali tidak memandang sebelah mata pada ikat pinggang itu. Dan
nyatanya =demikian. Dalam beberapa kali gerakan kilat si pengemis itu menggebrak
ke kiri dank e kanan. Terdengar pekik susul menyusul. Empat pengeroyok
tergelimpang di lantai serambi. Dua lainnya terguling sambil pegangi perut. Lalu
ada yang terhempas ke dinding, melorot tak berkutik. Mangun Sarabean sendiri tampak
tagak terhuyung-huyung. Ikat pinggang besarnya tampak telah putus jadi dua. Yang
lain-lain, termasuk Raden Jarot tegak terkesiap. Tak tahu mau berbuat apa. Bukan
saja karena merasa ragu-ragu untuk menyerang kembali tapi lebih banyak jadi merasa
takut. Pengemis itu tegak berkacak pinggang dan tertawa panjang. Lalu tubuhnya
lenyap, berkelebat kea rah pintu dalam. Sesaat kemudian di sebelah dalam
terdengar pekik orang-orang perempuan.
"Tolong! Penculik!"
"Jenazah den ayu diculik!"
"Jenazah anakku dilarikan! Tolong!"
Apakah yang terjadi"
Pengemis aneh itu tadi ternyata masuk ke ruangan pembaringan jenazah.
Mayat Tejarukmi uang terbujur di atas kasur berseperai hijau berbunga emas, yang
masih belum dimandikan atau dikafani, dan hanya ditutup dengan sehelai kain
batik dan sutera, disambar oleh pengemis tadi dan dipanggulnya di bahu kiri. Sesaat
dia memandang berkeliling sambil menyeringai memperhatikan orang-orang perempuan
yang menjerit-jerit.
Nyi Ageng Jeliteng berteriak sambil melompat.
"Penculik busuk! Kembalikan anakku!" perempuan ini lalu mendorong si
pengemis dengan tangan kiri sementara tangan kanannya berusaha memegang
pinggang jenazah puterinya. Tapi sekali balas mendorong pengemis itu membuat Nyi
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ageng Jeliteng terjatuh roboh dan terpekik. Sebelum pengemis itu berkelebat
pergi bersama mayat Tejarukmi, seorang perempuan tua yang akan bertindak sebagai
pemandi dan pengurus jenazh berusaha menghalangi mencakar kedua tangannya ke
tubuh penculik.
Bret! Pakaian kotor bertambal-tambal di bagian punggung pengemis itu robek. Hal
ini membuat di pengemis marah sekali. Dengan tumit kirinya ditendangnya
perempuan tua itu hingga terjengkang pingsan!
"Jangan coba-coba menghalangiku!" si pengemis berteriak memberi
peringatan. "Jika kalian masih butuhkan jenazah ini, silahkan ambil besok sore
di hutan Roban sebelah tenggara!"
Habis berkata begitu si pengemis tertawa panjang. Seperti melaynga, tubuhnya
melesat ke jendela samping. Jenazah Tejatukmi lenyap bersama lenyapnya pengemis
itu. Rumah besar keidaman Mangun Sarabean menjadi gempar. Beberapa orang
coba mengejar. Ada yang manunggang kuda dan membawa senjata. Namun mau
dikejar ke mana" Pengemis itu lenyap laksana ditelan bumi!
"Tak mungkin kita meneruskan pengejaran!" kata Mangun Sarabean di atas
punggung kuda hitam. Tangan kirinya terkepal tanda hatinya geram sekali.
Raden Jarot yang juga berkuda dan berada di sebelahnya mengangguk
perlahan tanda maklum.
"Pengemis itu!" katanya. "Siapa dia sebenarnya!"
"Dan mengapa dia menculik mayat Tejarukmi" Kalau Wiguno masih hidup
mungkin kita bisa menuduhnya yang melakukan penculikan. Tapi pemuda itu sudah
mati...." Sesaat Mangun Sarabean termangu duduk di atas punggung kuda sementara
rombongan pengejar yang berjumlah hampir dua puluh orang itu berada di belakang
menunggu perintah selanjutnya. "Mungkin ini dosa kita karena pemuda itu sampai
terbunuh....?" Ujar Mangun Sarabean kemudian.
Kata-kata itu membuat paras Raden Jarot berubah.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Mangun Sarabean kemudian.
"Saya memutuskan pergi ke hutan Roban sebelah tenggara! Pengemis keparat
itu menyebut tempat tersebut sebelum kabur!" kata Raden Jarot.
"Jangan, terlalu berkhayal!" kata Mangun Sarabean. "Kau pasti tahu hutan itu
bukan saja angker tapi penuh binatang buas dan segala macam rampok!"
"Saya tahu betul hal itu. Karenanya saya akan minta bantuan pasukan dari
paaman Dirjo Samekto...."
"Kalau begitu aku kembali ke Ambarwangi. Kau meneruskan ke tempat
kediaman pamanmu itu..."
Raden Jarot memberi hormat lalu bersama beberapa orang pengiringnya dia
meninggalkan tempat itu sedang Mangun Sarabean kembali ke rumahnya di
Ambarwangi. LEpas lohor hari itu tampak serombongan pasukan berjumlah hampir tiga
puluh orang, bergerak menuju hutan Roban sebelah tenggara. Di sebelah muka
menunggang kuda Raden Jarot didampingi seorang perwira muda bernama Rangga
Pangestu. Di dalam jajaran pengawal Pangeran Dirjo Samekto perwira itu memegang
tampuk pimpinan dan memiliki kepandaian yang sudah dikenal kehebatannya di
mana-mana. Di samping itu pengalamannya juga cukup luas. Atas perintahnya
seluruh anggota pasukan termasuk dia dan Raden Jarot diharuskan membawa perisai.
Dia tahu betul, memasuki hutan Roban berarti menantang maut. Serangan kaum
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
perampok bisa terjadi secara mendadak. Dan itu bisa berupa hujan panah atau
lemparan tombak. Karenanya perisai sangat diperlukan.
Rembang petang rombongan sampai di tepi hutan Roban sebelah tenggara.
Mereka masuk ke dalam hutan sejauh beberapa ratus tomabak, lalu membuat
perkemahan. Di sini Rangga Pangestu mengatur rencana gerakan selanjutnya.
Pertama sekali harus diingat, mereka memasuki rimba belantara itu untuk
mencari jenazah Tejarukmi, menangkap hidup-hidup atau membunuh pengemis yang
telah menculiknya. Berarti sepanjang yang mereka bisa lakukan ialah menghindarai
bentrokan dengan para perampok. Kecuali jika mereka diserang, maka tak ada jalan
lain mereka harus menumpas penjahat itu.
Sore itu mereka akan menyelidik bagian hutan di sebelah tenggara. Sebelum
hari gelap mereka harus sudak kembali ke kemah. Lalu keesokan paginya baru
penyelidikan diteruskan. Rombongan dibagi tiga kelompok. Masing-masing
kelompok berjumlah sekitar sepuluh orang. Namun sampai hari menjadi gelap mereka
tak menemukan apa-apa. Jangankan jenazah Tejarukmi, tanda-tanda sedikitpun tak
berhasil mereka dapatkan. Menduga si penculik asal saja menyebut bagian tenggara
hutan Roban atau sengaja menyiasati, ditambah hari mulai gelap maka ketiga
kelompok penyelidik itu sesuai perjanjian kembali ke perkemahan. Ketika sampai
di perkemahan mereka dikejutkan mendapatkan puluhan orang berpakaian dan berikat
kepala serba hitam menduduki dan mengurung perkemahan. Bahkan sampai di atasatas pohon sekitar kemah tampak sosok-sosok tubuh yang sama.
"Geromblan rampok...." Bisik Raden Jarot.
Rangga Pangestu mengangguk. Dia meneliti keadaa kemah dengan cepat. Tak
ada tanda-tanda kerusakan atau kekerasan. Ini satu tanda baik. Tanpa turun dari
kudanya perwira itu berseru.
"Tamu dari mana yang datang menyambangi perkemahan kami"!"
Seorang lelaki berpakaian hitam, bertubuh kekar maju dua langkah. Dia masih
muda, tetapi wajahnya penuh cambang bawuk dan berkumis tebal.
"Kami anak buah Warok Kunto Rekso! Ingin tahu apa yang dibuat
sekelompok pasukan kerajaan di hutan Roban ini!"
"Aku perwira muda wilayah timur bernama Rangga Pangestu. Di sebelahku
ini adalah Raden Jarot. Keponakan Pangeran Dirjo Samekto. Mana pimpinan kalina .
AKu ingin bicara dengannya!"
Rangga Pangestu sengaja menerangkan dirinya dan siapa pula Raden Jarot
untuk membuat para perompok tidak berlaku sembarangan. Dia kenal betul keganasan
perampok hutan Roban. Nyawa manusia sama saja dengan nyawa seekor nyamuk!
Anggota perampok yang tadi bicara memang tampak sedikit terkesiap begitu
mendengar ucapan Rangga Pangestu itu. Namun hanya seketika karena kemudian
dengan suara lantang dia berkata
"Katakan apa maksud kalian berada di sini!"
"Aku hanya bicara kalau pimpinanmu ada di sini!" balas Rangga Pangestu.
Dia sudah dapat membaca situai kalau para permpok itu tidak akan bertindak
gegabah. "Aku ada di sini perwira muda!" Satu keras tapi serak datang dari arah pohon
besar di samping kanan.
Rangga Pangestu dan semua rombongan mendongak ke atas. Pada sebuah
cabang besar duduk seorang lelaki berpakaian dan berikat kepala hitam sambil
menyedot sebuah pipa berbentuk aneh. Rambutnya panjang sebatas bahu. Mukanya
tertutup kumis dan cambang bawuk lebat. Tampangnya menggetarkan, ditambah
dengan barisan gigi-giginya yan gbesar nyaris membentuk taring pada kedua sudut
depan, maka tampangnya hampir menyerupai seorang raksasa.
BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Sekarang apakah kau ma menerangkan tujuan kalian berada dalam hutan
kekuasaanku?" Warok Kunto Rekso buka suara lalu hembuskan asap pipanya ke
udara. Rangga Pangestu tahu betul di dalam hutan Roban yang membentang dri barat
sampai ke timur itu terdapat beberapa kelompok rampok ganas. Seluruh kelompok
berada di bawah pimpinan Kunto Rekso. Bukan saja karena kepala rampok yang satu
ini memiliki jumlah anggota paling besar, tetapi juga karena mempunyai
kepandaian tinggi setingkat perwira madya.
Sebenarnya baik Rangga Pangestu maupun Raden Jarot merasa tersinggung
dengan sikap kepala rampok yang bicara duduk di atas pohon sambil menghisap pipa
seenaknya. Tapi mereka juga menyadari, bangsa rampok hutan seperti itu mana
mengenal segala macam peradatan. Maka perwira muda itu membuka mulut memberi
keterangan. "Kami tengah mengejar seorang penculik!"
Kunto Rekso cabut pipanya. Menatap sesaat pada Rangga Pangestu lalu
berkata "Mengejar seorang penculik" Adalah aneh! Orang lua mana yang berani
masuk ke hutan Roban"!"
"Kami tidak tahu jelas siapa penculik itu adanya. Dia berpakaian seperti
pengemis!" Yang bicara Raden Jarot.
"Apalagi seorang pengemis!" ujar Kunto Rekso lalu tetawa sember. "Sulit
bagiku mempercayai keteranganmu, perwira muda!"
"Kami tidak berdusta. Seorang pengemis tua menculik jenazah puteri
bangsawan Mangun Sarabean dari Ambarwangi...." Lalu Rangga Pangestu
memberikan keterangan singkat aas apa yang telah terjadi.
Sesaat kepala rampok di atas pohon itu terdiam sambil usap-usap dagunya.
Dia ingat kejadian hampir satu bulan lalu. Ketika seorang pemuda bernama
Jalatunda memasuki hutan Roban dalam keadaan seperti gila sambil mengacung-acungkan
golok. Pemuda itu kini berada di markasnya menjadi pembantu juru masak.Ketika
hampir dibunuh Jalatunda menerangkan apa yang telah terjadi. Jenazah kekasihnya
diculik seorang pengemis tua. Jenazah ini kemudian ditemukan di hutan Roban
sebelah timur tanpa jantung dan hati. Apakah penculik jenazah puteri Mangun
Sarabean itu pengemis yang sama"
Melihat orang terdiam, Rangga Pangestu berkata "Agaknya kau mengetahui
sesuatu Warok....!"
"Jika daerah kekuasaanku dikotori seseorang, aku harus mencari dan
membunuh orang itu. Tapi jika kalian mempunyai maksud terselubung, kalian tak
akan keluar hidup-hidup dari hutan ini!"
"Maksud terselubung apa?" tanya Rangga Pangestu.
"Sebelumnya aku mengetahui telah terjadi satu peristiwa penculikan. Bukan
mustahil kajadian itu kalian pergunakan sebagai topeng untuk melakukan
penyerbuan terhadap kami orang-orang Roban!"
"Jangan berprasangka terlalu jauh. Jika maksud kami hendak membasmi
kalian, sudad tadi-tadi hal itu kami lakukan!" ujar perwira muda itu.
Warok Kunto Rekso tertawa sember.
"Malah kalau kau suka, kami ingin minta bantuan kerja samamu!" Raden Jarot
berkata. "Bantuan maccam mana....?" Tanya si kepala rampok acuh tak acuh.
"Ikut mencari pengemis penculik itu. Dan menemukan kembali jenazah puteri
Mangun Sarabean.
Kembali Warok Kunto Rekso tertawa.
BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Selama ini tak pernah kejadian ada kerja sama antara kami orang-orang hutan
Roban dengan orang-orang kerajaan. Malah kalian selalu mengejar hendak
membasmi kami. Sampai kejadian sebelum bulan Maulud tahun lalu yaitu ketika
hampir lima puluh perajurit kerajaan menemui ajal dan tiga puluh anggota kami


Wiro Sableng 024 Penculik Mayat Hutan Roban di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tewas. Aku tetap menaruh syakwasangka kalian memanfaatkan situasi untuk melakukan
sesuatu terhadap kami!"
"Jika kau berpikir seperti itu adalah salah!" ujar Rangga Pangestu.
"Warok!" kata Raden Jarot. "Jika kau dan orang-orangmu mau membantu kau
boleh ambil cincinku ini!" lalu Raden Jarot loloskan cincin emas bermata jambrut
besar dari jari manis tangan kanannya.
Benda itu dilemparkannya ke atas pohon yang segera ditangkap oleh si kepala
rampok. "Cincin bagus....!" Kata Warok Kunto Rekso sambil memperhatikan cincin
itu dalam kegelapan di atas pohon. Lalu cincin tersebut dimasukkannya ke jari
manis tangan kirinya sambil menyeringai tiada henti. "Kua baik hati Raden Jarot.
Terima kasih atas pemberianmu..."
Dari mulutnya kemudian terdengar suara suitan keras. Serentak dengan itu
puluhan anggota rampok yang berada di sekitar perkemahan bergerak cepat dan
lenyap masuk ke dlaam hutan. Warok Kunto Rekso sendiri sudah lebih dulu melayang
turun. "Kejar kepala rampok itu!" teriak Raden Jarot yang merasa tertipu oleh
kesalahannya sendiri.
Tapi Rangga Pangestu cepat berseru. "Semua tetap di tempat!"
"Cincinku!" ujar Raden Jarot.
Rangga Pangetu hanya mengangkat bahu. Benda apapun yang telah dilarikan
kepala rampok itu dan berapapun nilainya dia tak akan mau memerintahkan orangorangnya melakukan pengejaran. Seperti yang ditandaskannya semula, mereka
memasuki hutan Roban yang penuh bahaya itu bukan untuk membuat bentrokan
dengan para perampok. Tapi untuk mencari jenazah Tejarukmi yang diculik pengemis
misterius! BASTIAN TITO 15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA Keesokan harinya ketika dia bangun pagi-pagi sekali, perwira muda
Rangga Pangestu terkejut sewaktu seorang prajurit datang melapor bahwa Raden
Jarot telah pergi.
"Pergi" Pergi ke mana"!" tanya Rangga Pangestu.
"Masuk ke dalam hutan sebelah sana. Dia membawa serta selusin anggota
pasukan. Katanya hendak mencari Warok Kunto Rekso yang telah melarikan cincin
jambrutnya!"
"Celaka! Manusia tolol!" ujar Rangga Pangestu.
"Dia lebih sayangkan cincin itu dari nyawanya. Bahkan melupakan tugas
semula! Mencari jenazah Den Ayu Tejarukmi!"
Sisa pasukan yang ada disiapkan. Setelah diberi beberapa petunjuk kemah
dibongkar lalu rombongan itu masuk ke dalam hutan Roban. Kini tugas yang
dihadapi bertambah satu yakni mencari Raden Jarot. Mereka bergerak dengan hati-hati tanpa
memecah rombongan. Dalam jumlah yang kini menjadi sedikit itu sebenarnya ke
adaan mereka jadi sangat berbahaya. Sekali diserang gerombolan rampok sulit
untuk bertahan. Jika saja bukan Raden Jarot yang lenyap, mungkin Raden Rangga Pangestu
memilihlebih baik keluar dari hutan Roban dan kembali lagi jika sudah dapat
tambahan pasukan. Mau tidak mau Pangeran Dirjo Samekto pasti akan membebankan
tanggung jawab padanya jika terjadi apa-apa dengan Raden Jarot.
Menjelang tengah hari belum kelihatan jejak pasukan yang dibawa Raden
Jarot. Rombongan terpaksa berhenti karena tak dapat menahan lapar. Selesai makan
mereka istirahat sebentar. Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang anggot
pasukan membuang hajat ke sebuah kali dangkal tak jauh dari tempa itu. Namun
niat mereka untuk buang hajat menjadi batal. Keduanya lari tergopoh-gopoh ke induk
pasukan, langsung menemui Rangga Pangestu.
"Ada apa.... Kalian seperti dikejar setan"!" tanya Rangga Pangestu. Diamdiam dia sudah maklum kalau sesuatu yang hebat telah dialami kedua anggota
pasukan itu. "Raden Jarot," kata salah seorang dari dua prajurit. Dia manrik nafas dalam
dulu baru menyambung "Mayatnya kami temukan dekat kali dangkal sebelah sana.
Bersama anggota pasukan yang dibawanya!"
Rangga Pangestu melompat dari batang kayu yang didudukinya, langsung lari
mendahului dua prajurit itu. Yang lainnya menyusul.
Di tepi kali dangkal berair kebiruan perwira muda itu merasakan kedua
kakinya seperti dipantek. Tubuh Raden Jarot terbujur setengah menelungkup. Ada
luka besar di pelipis kirinya lalu di pangkal leher. Tangan kanannya hampir
[utus. Dan pada jari manis tangan kanan itu tampak cincin emas berbatu jambrut besar
yang malam tadi diberikannya pada Warok Kunto Rekso . Rupanya kelompok pasukan
yang dipimpin Raden Jarot berhasil menemui gerombolan rampok itu dan terjadi
pertempuran. Warok Kunto Rakso mengembalikan cincin yang diambilnya tetapi
sekaligus juga meminta nyawa Raden Jarot sebagai gantinya!
Dua belas orang prajurit juga tampak tergelimpang di sepanjang tapi kali.
Sebelas diantaranya sudah menemui ajal. Satu yang masih hidup berada dalam
keadaan luka berat dan sekarat. Dua anggota rampok tampak terkapar tanpa nyawa
di dekat situ. BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Rangga Pangestu memerintahkan orang-orangnya mengurus mayat Raden
Jarot. Mayat yang lain dikuburkan di tepi kali itu. Selesai penguburan jenazah
Raden Jarot segera diusung menuju Ambarwangi. Perwira muda itu sudah dapat
membayangkan apa yang akan dilakukan Pangeran Dirjo Samekto begitu mengetahui
keponakannya menemui ajal di tangan rampok hutan Roban.
Menjelang sore rombongan yang kembali dengan membawa mayat Raden
Jarot itu sampai di bagian tenggara hutan, di mana sebelumnya mereka berkemah.
Rangga Pangestu yang menunggang kuda di sebelah depan mangangkat
tangan memberi tanda agar rombongan berhenti.
"Aku mencium bau tidak enak...." Katanya sambil memandang berkeliling.
Dia turun dari kudanya, melangkah ke sederetan semak belukar lebat. Entah
mengapa dadanya berdebar. Bukankah daerah itu begian tenggara hutan Raoban, tempat yang
dikatakan oleh pengemis penculik sebagai tempat jenazah Tejarukmi dapat diambil
kembali" Dan bukankah saat itu sudah sore yakni saat yang dijanjikan oleh si
penculik" Semakin dekat ke semak-semak semakin sentar bau tidak enak itu. Rangga
Pangestu menyibakkan ranting-ranting berdaun liar dengan tangan kanannya. Begitu
semak belukar tersibak, tubuhnya lasana tersengat. Di sebelah sana dilihatnya
sosok tubuh Tejarukmi dalam keadaan hampir tidak tertutup. Bagian dada kiri dan
perutnya nampak robek besar. Darah membeku di bagian luka itu. Luka dan darah beku inilah
yang menebar bau busuk!
"Gusti Allah!" sseru Rangga Pangestu. "Manusia biadab macam mana yang
tega melakukan hal ini!" Perwira muda ini tahu sekali kalau luka besar pada
bagian dada dan perut jenazah Tejarukmi bukanlah akibat dikoyak binatang buas. Tapi
diobol oleh tangan manusia, mungkin memakai pisau besar yang tajam dan hatinya
lenyap! "Cari kain!" kata Rangga Pangestu dengan suara bergetar. "Tutup jenazah
itu!" Seorang kemudian menutupi tubuh Tejrukmi dengan kain tenda kemah karena
memang hanya itulah yang ada. Lalu sebuah usungan kayu dibuat dengan cepat.
Dengan demikian kini ada dua jenazah yang diusung menuju Ambarwangi. Jenazah
Raden Jarot dan jenazah Tejarukmi yang malang.
Seperti yang sudah dibayangkan Rangga Pangestu sebelumnya, kematian
Raden Jarot menimbulkan kemarahan besar atas diri Pangeran Dirjo Samekto.
"Tak ada jalan lain! Rampok-rampok hutan Roban itu harus dibasmi,
dimusnahkan. Kalau perlu hutan Roban dibumi hanguskan! Bagaimanapun mahal
tantangannya!" Begitu kata-kata sang pangeran di hadapan para pembantunya.
Namun sebelum keputusan itu dijalankan dia berangakt dulu ke kotapraja guna
mendapat persetujuan Sri Baginda. Ternyata jalan yang hendak ditempuhnya itu
disetujui raja. Maka lebih dari tiga ratus perajurit yang kemudian dibagi dalam
tiga kelompok besar di bawah pimpinan tiga sampai empat perwira muda dan perwira
tingi, beberapa hari kemudian membanjir masuk ke dalam hutan Roban.
Empat perkampungan rampok dihancur leburkan. Seratue anggota rampok
yang mengadakan perlawanan menemui kematian, sisanya yang masih hidup akhirnya
melarikan diri. Namun ketika mereka menyerbu ke perkampungan yan jadi makas
kelompok Warok Kunto Rekso, perkampungan itu ditemui dalam keadaan kosong.
Rupanya sang Warok tidak bodoh dan sudah dapat mencium apa yang bakal terjadi
setelah kematian Raden Jarot. Maka sehari sebelum balatentara datang menyerbu
mereka sudah meninggalakan perkampungan, mengungsi ke satu tempat yang tidak
diketahui. BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Sejak lima bulan terakhir kawasan sekitar hutan Roban, mulai di wilayah
timur maupun di barat, di sebelah selatan ataupun bagian pantai utara dicekam
oleh kegegeran yang menakutkan. Terutama bagi keluarga yang memiliki anak gadis dan
berada dalam keadaan sakit. Jika gadis sakit itu akhirnya meninggal dunia bukan
mustahil dia akan menjadi korban penculikan manusia jahat yang sering muncul
sebagai pengemis.
Kegelisahan rakyat itu terasa juga sampai ke dalam tembok Istana. Setelah
peristiwa penumpasan besar-besaran para perampok hutan Roban maka pihak Istana
telah menurunkan perintah, meneliti setiap pengemis yang ada dipelbagai pelosok
dan menahan mereka yang dicurigai. Namun usaha itu ternyata belum menampakkan hasil.
Malah dua minggu yan gsilam ketika seorang perawan di dukuh Jembar meninggal
dunia mati tenggelam di kali yan gsedang banjir, mayatnya diculik sebelum sempat
dibawa ke kubur. Dua hari kemudian mayat itu ditemukan di hutan Roban sebelah
barat dalam keadaan persisi sama seperti mayat-mayat lainnya. Tanpa jantung dan
tanpa hati! Ini adalah korban yang ke enam. Masih berapa korban lagi yang
menunggu"!
Kita kembali dulu ke hutan Roban pada saat sehari sebelum balatentara
kerajaan menyerbu.
Pagi itu Warok Kunto Rekso memanggil pembantu-pembantu
kepercayaannya. Dia memerintahkan agar pagi itu juga merea segera meninggalkan
perkampungan. Dia tidak mengatakan pengungsian itu. Sebelum berangkat terjadi
cekcok yang membuat kepala rampok naik darah. Jalatunda, pemuda yang danggap
kurang waras karena peristiwa penculikan Sueitri menolak untuk meninggalkan
perkampungan. Jalatunda coba membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi dia tak
mampu mengeluarkan sepotong suarapun. Maka dia hanya balas melambaikan tangan.
"Jala..." kembali terdengar suara gadis itu. "Jika kau ingin bertemu dnganku
teruskan perjalananmu menuju ke barat. Ikuti arah tiga pohon beringin besar
sampai akhirnya kau mencapai sebuah bukit kecil. Di puncak bukit ini ada daerah
berbatu- batu. Pada sebelah bawah akan kau temui sebuah telaga berair hijau biru. Kau
akan malihatku di situ Jala...." Suwitri melambaikan tangannya. Tersenyum untuk
terakhir kali lalu lenyap.
Jalatunda terbangun dari tidurnya.
"Witri...."desis pemuda ini. Dia duduk termenung dan mengingat-ingat apa
yang barusan dimimpikannya. Tiba-tiba pemuda ini berdiri. Dalam tubuhnya yang
letih dan lapar itu seolah-olah ada sau kekuatan baru. Sesuai dengan petunjuk
mimpi, di malam gelap dalam rimba belantara lebat pekat itu dia berjalan menuju ke
barat. Dalam perjalanan memang dia menemukan tiga buah pohon beringin besar seperti
yang dikatakn Suwitri dalam mimpi. Lalu tepat di ujung pohon beringin yan
gterakhir, sekitar seratur tombak di depan sana kelihatan bukit batu, menghitam dalam
kegelapan. Batu-batu besar yang membentuk bukit itu tertutup lumut tebal.
Licinnya luar biasa. Jalatunda berulang kali tergelincir sebelum akhirnya sampai di
puncak bukit. Dia tak berani berdiri di atas batu yang licin itu. Merangkak dengan
kedua lutut dan telapak tangan menjejak batu. Memandang ke bawah si pemuda melihat sebuah
telaga berair hijau kebiruan. Telaga itu tak seberapa besar. Di bagian tengah
terdapat BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sebuah batu rata hampir menyerupai meja besar dan di atas batu ini duduklah
sesosok tubuh tanpa pakaian. Tampaknya seprti tengah berlangir, tengah mandi.
"Gila, Siapa malam buta begini mandi di tempat seperti ini!" pikir Jalatunda.
Meskipun orang itu berambut panjang namun tidak dipastikan oleh Jalatunda
dia seorang perempuan atau seorang lelaki. Pada masa itu banyak kaum lelaki yan
memelihara rambut cukup panjang menyerupai perempuan. Oran gyang duduk di atas
batu rata menggosok badannya dengan segumpal benda. Bagian tubuh dan muka yang
digosok dengan gumpalan itu kelihatan menjadi merah. Sekilas ketika orang
tersebut memalingkan mukanya ke kiri jelas kelihatan bagian mulutnya sangat merah.
Selesai menggosoki badannya, benda tadi dibuangnya ke dalam telaga lalu dia mengambil
lagi sebuah gumpalan merah yang sebelumnya terletak di atas ujung batu.
"Orang yang mandi itu jelas bukan Suwitri...." Kata Jalatunda dalam hati.
"Tapi dia mengatakan aku akan menemuinya di telaga ini..." Si pemuda meragu
apakah dia akan berseru memanggil atau bagaimana. Saat itu tiba-tiba orang yang
sedang mandi melihat sosok tubuh Jalatunda di ats batu yang ketinggian.
"Bangsat keparat! Berani mengintai orang mandi!" kutuknya marah sekali.
Dia terjun ke dalam telaga. Metika muncul di tangan kanannya tergenggam sebuah
batu sebesar kepalan. Batu ini dilemparkannya kea rah Jalatunda, tepat mengenai
kepala si pemuda. Keningnya pecah. Darah menyembur. Tubuh Jalatunda roboh
terguling, jatuh menggelinding ke kaki bukit. Hantaman batu itu sebenarnya tidak
akan membuat mati Jalatunda. Tapi waktu terguling tadi lehenya patah dihantam
batu. Dia megap-megap sesaat lalu diam tak berkutik lai! Mati!
BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Sebuah perahu kayu besar merapat di Tanjung Karangwelang. Meskipun
hanya merupakan sebuah pelabuhan kecil tapi laut di sini tenang hingga banyak
perahu dari pelbagai jurusan lebih suka merapat di sini. Di samping itu sarana
perhubungan berupa jalan dan jembatan terpelihara baik hingga lalu lintas ke
barat, timur dan selatan berjalan lancar.
Kemunculan perahu besar ini menarik perhatian banyak orang di sekitar


Wiro Sableng 024 Penculik Mayat Hutan Roban di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelabuhan. Boleh dikatakan jarang sekali perahu besar berlabuh di Tanjung
Karangwelang. Tersiar kabar yang bersumber dari para awak kapal bahwa perahu
besar itu adalah milik seorang saudagar berlian di Martapura yang datang ke situ
membawa salah seorang puterinya yang sedang sakit keras.
Setelah perahu merapat maka sebuah tandu besar diturunkan, diusung ke darat
langsung dinaikkan ke atas sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Saudagar
berlian itu, seorang Cina she Wong, bersama istri dan anak lelakinya ikut naik
kereta. Beberapa orang lelaki tampaknya bertindak sebagai pengawal mengiringi kereta
tersebut. Tujuan mereka adalah kediaman seorang tabib yang tinggal di Kaliwungu.
Karena jalan yang baik maka sebelum tengah hari rombongan itu telah sampai ke
rumah sang tabib yang juga keturunan Cina she Chou bernama Ap Yang.
Tabib Chou memang sudah terkenal sampai jauh ke luar tanah Jawa akan
keahliannya mengobati berbagai macam penyakit serta kemujaraban obatnya. Setelah
hampir enam bulan mengobati penyakit puterinya keluarga Wong memutuskan untuk
membawa puteri mereka Wong Cui Lan ke tanah Jawa, agar dapat diobati langsung
oleh tabib Chou tadi.
Mengetahui tamu datang dari jauh maka tabib Chou memberikan sambutan
yang sebaik-baiknya. Sementara para pembantunya menyiapkan minuman dan
hidangan kecil maka dia meminta agar si sakit langsung dibawa masuk ke dalam
kamar periksa, dibaringkan di atas sebuah ranjang tinggi.
Wong Cui Lan tampak pucat sekali, kurus dan tertidur pulas. Wong Tam Pie,
ayah si sakit segera menuturkan sakit anaknya yang diderita sejak enam bulan
lalu. Berbagai obat telah diberikan. Bermacam-macam ahli pengobatan telah dimintakan
bantuannya. Namun sakitnya Cui Lan tidak berkurang, malah keadaan gadis anak ketiga
keluarga Wong itu semakin parah. Setelah mendengar kemasyuran tabib Chou maka
mereka memutuskan untuk membawa Cui Lan pada tabib itu.
Setelah menatap sesaat wajah si sakit, tabib Chou bertanya "Saudara Wong,
para ahli pengobatan terdahulu apakah mereka ada mengatakan anakmu mengidap
sakit apa...?"
Wong Tam Pie gelengkan kepala. "Tak ada seorangpun yang tahu. Mereka
hanya menduga-duga. Malah ada yang bilang anakku ini penyakitnya aneh...."
"Ada yang menduga dia diguna-guna orang," nyonya Wong ikut bicara.
Tabib Chou memperhatikan bibir si sakit yang berwarna kebiru-biruan lalu
berkata "Anak kalian tidak sakit karena guna-guna. Dia menderita kelainan
jantung. Hanya saja...."
"Hanya saja bagaimana?" tanya Wong Tam Pei ketika dilihatnya sang tabib
tidak meneruskan ucapannya.
"Hanya saja kalian datang terlambat.... Mohon dimaafkan saudara Wong"
"Apa maksudmu saudara tabib...?"
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Puterimu sudah meninggal. Mungkin sekitar satu jam yang lalu."
Nyonya Wong langsung menjerit dan meraung. Wong Tam Pei dan puteranya
berusaha berlaku tenang.
"Kau... Kau belum lagi memeriksanya, bagaimana bisa bilang puteriku sudah
meninggal?"
"Bibirnya kering dan biru. Itu tanda yang sangat pasti. Tapi agar kau puas
biarlah kuperiksa." Maka tabib Chou lalu memegang pergelangan tangan Cui Lan.
Dia mengambil beberapa peralatan dan melakukan beberapa kali pemeriksaan.
Kemudain dia berpaling kepada ayah, ibu dan anak itu sambil geleng-gelengkan
kepala. Wong Tam Pie terduduk meneteskan air mata. Begitu juga puteranya.
Sementara Nyonya Wong terus menangis keras dan sambil memeluki dan menciumi
wajah anak gadisnya.
"Apa yang kami lakukan sekarang?" tanya anak lelaki Wong.
"Kalian beristirahat saja dulu. Aku akan memberikan obat pengawet agar
jenazah tetap utuh sampai di Martapura. Cuma kalau aku boleh memberi nasehat,
makin cepat kalian membawa jenazah ke perahu dan berlayar akan makin baik."
"Eh, kenapa begitu?" tanya Wong Tam Pie.
Tabib Chou menarik nafas panjang. "Kalian mungkin tak percaya..... Tapi
inilah ceritanya" Lalu tabib Chou menuturkan peristiwa-peristiwa penculikan atas
jenazah enam orang gadis yang menggemparkan dan mengerikan itu.
Tentu saja keluarga Wong cemas bukan main mendengar penuturan itu.
Mereka tak ingin Cui Lan mengalami nasib yang sama.
"Kami mohon petunjukmu saudara tabib. Kurasa kedatangan kami dengan
perahu layar besar telah menarik perhatian orang. Tak mungkin membendung
rahasia. Kalau sang penculik sampai mengetahui kejadian ini celaka kita...."
Tabib Chou merenung sejenak. Sesaat kemudian dia berkata. "Ada baiknya
kita menyimpan dua buah peti mati. Satu besar dan satu lagi kecil dan ringan.
Peti mati yang besar dibawa dengan kereta terbuka hingga semua orang dapat melihat.
Tapi jenazah puterimu tidak dimasukkan dalam peti itu. Melainkan dalam peti mati
yang kecil. Peti ini diangkut dengan gerobak barang, ditutupi dengan sayuran.
Nah, kalau penculik muncul, pasti dia akan melarikan kereta yang membawa peti mati
besar..." Wong Pie segera dapat menangkap jalan pikiran tabib Chou. Maka segera apa
yang dinasehatkan tabib itupun dituruti dan segera dilaksanakan.
Udara di pelabuhan terasa sangat panas. Angin mengandung garam bertiup
gersang. Kecuali para pekerja, kebanyakan orang lebih suka berada dalam
bangunan. Sederetan kedai nasi dan minuman di sepanjang pelabuhan dipenuhi oleh para tamu.
Kebanyakan dari mereka duduk menikmati makanan atau secangkir kopi sambil
ngobrol ngalor ngidul. Namun siang itu pembicaraan semua orang hampir tidak
banyak berbeda di setiap kedai. Mereka membicarakan perahu besar milik saudagar
berlian dari Martapura. Agaknya hampir semua orang mengetahui kalau perahu milik
saudagar Wong itu membawa anak gadis yang sedang saki untuk diobati oleh tabib
Chou. Dalam salah satu kedai, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
nampak menyantap nasi rawonnya dengan lahap. Sesekali kedua matanya malirik
pada seorang perempuan yang juga berada di kedai itu tengah bersantap. Kalau
saja perempuan ini tidak muda dan cantik tidak nanti murid Sinto Gendeng itu melirik
terus menerus. Yang dilirik tampaknya tahu benar kalau dirinya diperhatikan
orang, namun dia seperti tak perduli. Dari pakaian biru ringkas yang dikenakan
perempuan BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
itu Wiro maklum kalau si jelita berkulit kuning langsat ini adalah seorang dari
kalangan persilatan. Maka timbullah niatnya untuk ingin berkenalan. Apalagi
wajah perempuan muda ini mengingatkannya pada wajah Anggini, murid Dewa Tuak yang
pernah dikenalnya beberapa waktu yang lalu (Baca serial Wiro Sableng "Maut
Bernyanyi di Pajajaran") Namun sebelum maksdunya kesampaian di luar kedai
terdengar ada kehebohan. Banyak orang berbondong-bondong menuju dermaga.
"Apa yang terjadi...?" tanya pemilik kedai pada seseorang yang kebetulan
lewat. Orang itu menjawab "Puteri saudagar Cina yang datang dari seberang itu
meninggal. Tabib Chou tak keburu menolongnya!"
"Ah kasihan....!" Terdengar desah perempuan berbaju biru tadi. Lalu seperti
tamu lainnya dia berdiri dan melangkah keluar kedai untuk melihat rombongan
pembawa jenazah. Wiropun segera tinggalkan tempat duduknya.
Sebuah kereta terbuka tampak ditarik oleh dua ekor kuda, bergerak menuju
dermaga di mana perahu besar berada. Di belakangnya ada sebuah kereta lain
ditumpangi keluarga Wong. Wong Tam Pie duduk dengan kepala tertunfuk,
mengucurkan air mata, menangis tanpa suara. Di sebelahnya duduk istrinya yang
sepanjang jalan menangis keras tiada henti. Lalu putera mereka duduk di sebelah
kusir kereta dengan kepala tegak tapi mata merah.
Di kiri kanan kereta mengawal enam orang. Di sebelah belakang sekali, jauh
tertinggal dari rombongan induk menyusul sebuah gerobak sarat berisi sayur.
Orang banyak ikut mengiringi rombongan itu menuju tepi dermaga. Wiro tegak di samping
perempuan cantik berbaju biru. Dia tengah berpikir-pikir bagaimana cara yang
baik untuk menegur perempuan ini. Tiba-tiba si baju biru berpaling padanya,
tersenyum. Ah pucuk dicinta ulam tiba, pikir Wiro Sableng. Dia balas tersenyum. Perempuan
itu mengulurkan tangannya menyerahkan sejumlah uang kecil.
"Sahabat, kau tentu mau menolongku."
"Tentu saja. Eh, apa ini?"
Si baju biru memasukkan uang receh itu ke dalam genggaman Wiro seraya
berkata "Aku ada keperluan penting. Tolong berikan uang ini pada pemilik kedai
pembayar makanan yang tadi kusantap!"
Senyum lebar penuh harapan yang tadi menyeruak di mulut Wiro serta merta
lenyap ketika dia mengetahui apa maksud perempuan cantik itu. Sebelum dia sempat
berbuat atau mengatakan sesuatu, si baju biru telah lenyap di antara orang
banyak. Dengan jengkel Wiro timang-timang uang itu dan akhirnya melangkah menuju kedai
tempat dia makan tadi. Tetapi langkahnya belum jauh ketika mendadak dari arah
dermaga terdengar suara keributan.
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Saat itu Wiro melihat kusir kereta yang membawa peti mati mencelat
mental dan terhempas di jalanan dihantam tendangan seorang lelaki yang
pakaiannya tampak seperti pengemis. Orang ini kemudian menyambar tali kekang dua ekor kuda
lalu menggebarak kedua binatang itu. Sebelum kereta mayat menghambur, dua orang
tampak berusaha menghalangi. Keduanya adalah Wong Tam Pie dan puteranya.
Masing-masign membawa sebatang tongkat. Enam orang berkuda ikut pula mencegat.
Tapi pengemis di atas keeta mayat hebat sekali. Dia pergunakan cambuk kuda untuk
menghantam oran-orang itu. Tongkat di tangan Wong Tam Pie mental sedang tongkat
di tangan puteranya patah daua. Lalu enam orang pengawal dihajar dengan cambukan
hingga luka-luka melintir kesakitan.
Peristiwa itu berlangsung cepat sekali. Hingga ketika Wiro Sableng sampai di
tempat itu si pengemis yang melarikan kereta mayat sudah lenyap di tikungan
jalan. "Kejar!" teriak salah seorang pengawal. Mukanya tampak luka bekas
hantaman cambuk.
"Tidak usah!" Wong Tam Pie mencegah yang membuat pengawal itu serta
kawan-kawannya keheranan.
"Orang itu melarikan peti mati jenazah puterimu seudagar Wong!"lkata si
pengawal. "Biarkan dia mencuri peti dan jenazh anakku. Semua segera naik ke atas
perahu! Dahulukan gerobak sayur itu...!"
Wogn Tam Pie, isterinya dan anak laki-lakinya segera naik keatas perahu
besar. Para awak perahu dibantu oleh enam pengawal tadi menaikkan gerobak sayur
ke dalam perahu. Tak lama kemudian perahu besar itu pun mulai merenggang
meninggalkan dermaga.
Di atas anjungan Wong Tam Pie nemapak berdiri dengan wajah lega.
"Untung tabib Chou menyusun siasat jitu. Kalau tidak pasti jenazah Cui Lan
sudah kena diculik penjahat!"
"Heran..." kata puteranya sang saudagar. "Siapa sebenarnya pencuri tadi.
Tampaknya seperti peminta-minta. Apa perlunya mencuri mayat orang?"
"Akupun tidak mengerti. Dunia ini semakin tua. Segala kejahatan dan
keanehan bisa saja terjadi" kata saudagar Wong lalu dia masuk beranjak
meninggalkan anjungan.
Kita kembali ke pelabuhan. Ada dua hal yang dirasa aneh oleh murid Sinto
Gendeng. PErtama orang berpakaian pengemis itu melarikan peti mati berisi
jenazah puteri saudagar Cina itu. Kedua mengapa sang saudagar sendiri mencegah para
pengawalnya mengejar si pencuri dan memerintahkan cepat-cepat naik keatas perahu
besar. Karena tidak mendapatkan jawabannya maka Wiro Sableng akhirnya
memutuskan untuk mengejar sendiri kereta mayat yang dibawa kabur itu. Dia
menyambar seekor kuda yang tertambat tak jauh dari situ lalu membedal binatang
ini ke arah lenyapnya kereta tadi.
Kira-kira beberapa ratus tombak dari tikungan jalan Wiro menemukan kereta
itu berhenti di tepi jalan. Penutup peti mati berada dalam keadaan terbuka.
Ketika dia meneliti ke dalam peti ternyata peti itu kosong!
"Jenazh puteri saudagar itu dilarikan...." Membatin Wiro. Dia coba meneliti
keadaan sekitarnya. Tak ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk kemana jenazah
itu dibawa kabur. Berarti rasa ingintahunya menemui jalan buntu hanya sampai di
situ. BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sementara itu selagi Wiro berusaha meneylidiki kejadian itu, di pelabuhan
telah terjadi lagi kegemparan. Saat itu orang benyak masih berkumpul di
sepanjang dermaga. Mereka membicarakan apa yang barusan terjadi sambil memandangi perahu
besar semakin menjauh ke tengah laut. Saat itulah seseorang terdengar berteriak.
"Hai! Orang yang melarikan kereta mayat itu ada di sana! Lihat dia
menendang pemilik perahu pukat!"
Semua orang memalingkan kepala ke jurusan yang ditunjuk. Benar, mereka
menyaksikan seorang pemilik perahu kecil yang biasa dipakai untuk manangkap ikan
terjatuh ke dalam air akibat tendangan lelaki berpakaian pengemis yang tadi
diketahui melarikan kereta pembawa peti mati. Oang itu kemudian mendayung perahu menuju
ke tangah laut, kea rah perahu besar milik saudagar Wong. Yang luar biasanya
ialah dia menggunakan kedua tangannya sebagai pendayung.
Perahu pukat itu seperti melesat membelah air laut, meluncur cepat di atas air
menuju perahu besar. Membuat semua orang hampir tak mempercayai pemandangan
mata meeka sendiri!
"Tak ada manusia yang mampumendayung perahu dengan tangan seperti itu!"
kata seseorang.
"Kalau bukan malaikat pasti dia seorang sakti luar biasa!" kata seorang
lainnya. Lalu ada seorarng lainnya lagi yang seprti bertanya "Eh, bukankah tadi dia
melarikan peti mati berisi jenazah puteri Cina itu! Sekarang seperti hendak
Kampung Setan 4 Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Ratu Peri Selat Sunda 3

Cari Blog Ini