Ceritasilat Novel Online

Aksara Batu Bernyawa 1

Wiro Sableng 137 Aksara Batu Bernyawa Bagian 1


BASTIAN TITO Mempersembahkan :
PENDEKAR KAPAK NAGA GENI 212
Wiro Sableng Episode ke 137 :
Aksara Batu Bernyawa
Ebook by : Tiraikasih (Kang Zusi)
Scanning kitab by : Huybee
mailto:22111122@yahoo.com
137-AKSARA BATU BERNYAWA
1 1 WIRO SABLENG AKSARA BATU BERNYAWA
PANTAI Selatan. Arah timur Parangteritis.
Menjelang tengah malam. Langit kelihatan hitam diselimuti awan tebal yang telah
menggantung sejak senja berlalu. Tiupan angin keras dan dingin terasa menusuk
sangat. Kalau saja tidak ada suara debur gulungan ombak yang kemudian memecah di
pasir, kawasan pantai selatan itu niscaya diselimuti kesunyian berkepanjangan.
Di balik sederetan semak belukar liar, dua sosok berpakaian dan berdestar hitam
mendekam tak bergerak laksana batu. Mata masing-masing yang nyaris hanya
sesekali berkedip memandang lekat ke tengah lautan. Ketika salah seorang
diantara mereka keluarkan ucapan memaki, hanya mulut saja yang bergerak. Kepala
dan tubuh tetap diam.
"Sialan!" Orang yang memaki ini memiliki kepala besar. Sepasang alis kelihatan
aneh karena yang kiri hitam lebat sebaliknya alis sebelah kanan berwarna putih
rimbun. Hidung besar tapi
kelihatan seperti penyok. Pada kening dan pipi ada bentol-bentol hitam. Wajah
manusia satu ini sungguh sangat tidak sedap untuk dipandang.
"Apa yang sialan Putu Arka?" tanya kawan si alis aneh yang duduk mencangkung di
sebelah. Orang ini bernama Wayan Japa, berwajah panjang lancip. Kalau Putu Arka memiliki
keanehan pada sepasang alis maka Wayan Japa punya keanehan pada mata kiri. Mata
ini putih semua seolah tidak ada bola mata, tapi anehnya mampu melihat seperti
mata kanan yang terlihat jelas bola matanya.
137-AKSARA BATU BERNYAWA
2 "Langit itu!" Jawab Putu Arka sambil tudingkan telunjuk tangan kanan ke atas.
"Langit?" Teman yang bertanya mendongak ke atas, menatap ke arah langit. "Ada
apa dengan langit?"
"Apa matamu buta"!" Suara Putu Arka menyentak tapi perlahan. Kedua orang ini
sengaja tak mau bicara keras-keras. Kawatir ada orang lain yang tak mereka
ketahui mendekam di sekitar tempat itu dan mendengar percakapan mereka.
"Belum, mataku belum buta. Memangnya kenapa?"
sahut Wayan Japa yang disusul dengan pertanyaan.
"Langit ditelan kegelapan. Aku tidak bisa melihat bintang satupun! Aku tidak
bisa menentukan saat ini apakah menjelang atau sudah tengah malam atau sudah
lewat tengah malam! Waktu sangat penting bagi pekerjaan ini. Meleset sedikit
kita tidak akan mendapatkan benda itu. Percuma jauh-jauh dari Buleleng datang ke
sini. Kalau kita gagal, apa kata guru. Sekarang apa kau mengerti mengapa aku
tadi memaki Wayan?" Wayan Japa anggukkan kepala.
"Cuaca memang tidak membantu. Sebentar lagi mungkin akan turun hujan lebat. Jadi
sebaiknya kita teruskan memperhatikan kearah laut. Aku menduga saat ini baru
menjelang tengah malam.
Seandainya.."
Putu Arka pegang lengan kawannya.
"Ada apa?" tanya Wayan.
"Hidungmu belum rusak?"
"Maksudmu?" Wayan Japa bertanya heran.
"Tadi langit, sekarang hidungku."
"Apa kau tidak mencium bau sesuatu?" Putu Arka bertanya sambil pelototkan mata.
Wayan Japa tinggikan hidung lalu menghirup
udara dalam-dalam.
"Astaga!"
"Sekarang kau tahu! Kau mencium bau apa"!"
Tukas Putu Arka.
"Menyan, bau menyan..." jawab Wayan Japa.
"Di tempat sesunyi ini, malam buta begini menurutmu apakah ada orang gi!a yang
datang ke sini untuk membakar menyan?"
Wayan Japa gelengkan kepala. "Tentu saja 137-AKSARA BATU BERNYAWA
3 tidak. Tapi...tapi ini bukan bau menyan sungguhan. Ini bau rokok. Rokok
klobot..."
"Bagus, kau sadar sekarang, ucap Putu Arka.
"Nyoman Carik! Pasti dia! Siapa lagi!"
"Hebat!" Putu Arka menyeringai. Tampangnya tambah buruk. "Kau tetap di sini. Aku
akan memberi pelajaran pada manusia satu itu. Ini urusan besar.
Urusan nyawa. Enak saja dia membuat ulah yang bisa mengundang datangnya maut!"
Wayan Japa melihat kilatan menggidikkan di
sepasang mata Putu Arka dan cepat berbisik.
"Putu, jangan kau bunuh sahabat kita itu."
Putu Arka menyeringai. "Aku akan pertimbangkan nasihatmu itu. Tetap
memperhatikan ke arah laut."
Wayan Japa mengangguk. Hatinya terasa tidak enak. Putu Arka perlahan-lahan
baringkan tubuh, menelentang di tanah. Dua kaki dilunjur lurus, dua tangan
disilangkan di atas dada. Tiba-tiba tubuh itu bergerak ke samping. Laksana
batang kayu berguling menggelinding, membuat pasir beterbangan ke udara. Belum
sempat Wayan Japa kedipkan mata sosok Putu Arka telah lenyap.
Di balik serumpunan semak belukar sekitar
dua belas tombak di arah belakang tempat Putu Arka dan Wayan Japa berada.
Seorang lelaki yang juga berdestar dan berpakaian serba hitam duduk menjelepok
di pasir asyik menikmati sebatang rokok yang asapnya menebar bau
kemenyan. Orang bertubuh tinggi kurus ini jadi terganggu ketika tiba-tiba ada
suara bersiur. Sebuah benda menggelinding di tanah dan di lain kejap benda itu berubah menjadi
sosok manusia yang setengah berjongkok memandang garang
ke arahnya. "Putu Arka, ada apa...?"
"Bangsat jahanam tolol! Kau masih bisa bertanya ada apa"!" bentak Putu Arka.
"Apa kau masih tidak sadar apa yang tengah kau lakukan"!"
"Aku....Memangnya....Bukankah kau menyuruh aku sembunyi di tempat ini. Mengawasi
kalau-kalau ada orang lain yang datang, jika ada orang muncul aku harus
membunuhnya. Jika mereka lebih dari 137-AKSARA BATU BERNYAWA
4 satu aku harus memberi tanda dengan bunyi suara burung..."
Darah Putu Arka seolah mau muncrat dari
ubun-ubun. Tangan kirinya bergerak mencabut rokok yang terselip di bibir Nyoman
Carik. Rokok dibanting hingga amblas lenyap masuk ke dalam tanah!
"Kita tengah menghadapi pekerjaan besar.
Rahasia besar! Tanggung jawab besar! Kau beraninya bertindak ceroboh! Merokok!
Nyala api rokok dimalam gelap akan mudah dilihat orang!
Bau kemenyan yang menyebar akan mudah tercium!
Sungguh sembrono perbuatanmu, Nyoman Carik!"
"Ah...." Nyoman Carik luruskan tubuhnya yang kurus. Dua kaki yang dilipat dibuka
sedikit. Orang ini membungkuk seraya berucap. "Mohon maafmu Putu Arka."
"Aku maafkan dirimu! Tapi sesuai pesan guru setiap kesalahan besar mati
hukumannya!"
Tangan kanan Putu Arka bergerak ke atas.
Nyoman Carik melihat kilatan maut di kedua
mata Putu Arka.
"Putu, jangan...."
Tangan kanan Putu Arka menghantam laksana
palu godam. "Praakk!"
Sosok malang Nyoman Carik terbanting ke
kiri. Sebelum tubuh itu terkapar di tanah Putu Arka telah berkelebat tinggalkan
tempat itu. Sesaat kemudian dia sudah berada di samping Wayan Japa kembali, di belakang
semak belukar. "Sudah...." jawab Putu Arka pendek. Wajahnya yang buruk diarahkan ke laut. Lalu
dia menatap ke langit. Masih geiap, tak kelihatan satu bintangpun.
"Apa yang sudah?" Wayan Japa bertanya. Hatinya syak tidak enak.
Aku sudah memberi pelajaran pada sahabat
kita satu itu.' Menerangkan Putu Arka.
"Maksudmu, kan telah membunuh Nyoman Carik?"
"Kira-kira begitu." Putu Arka menyeringai, 137-AKSARA BATU BERNYAWA
5 "Gila kau! Jahat sekali membunuh teman sendiri!"
"Teman tidak iagi teman namanya kalau berlaku sembrono yang bisa membuat
kematian diriku. Juga kematian bagi dirimu!"
"Hanya karena merokok?"
"Itu cuma penyebab."
Wayan Japa pegang lengan temannya. "Aku tidak percaya kau telah membunuh Nyoman
Carik." "Sahabat, kau membuatku jadi kesal. Kalau tidak percaya pergi saja ke balik
semak belukar sana. Periksa sendiri apakah Nyoman Carik masih hidup! Kurasa saat
ini dia sudah jadi bangkai tak berguna!"
Wayan Japa terdiam. Dia palingkan kepala ke arah semak belukar di kejauhan.
Gelap. Tengkuknya terasa dingin. Hatinya menduga-duga keculasan sudah mulai
muncul diantara mereka. Putu Arka telah membunuh Nyoman Carik. Kini nanya
tinggal mereka berdua. Dalam hati Wayan Japa membatin.
"Setelah dapatkan barang itu pasti dia juga akan membunuh diriku. Aku harus
berlaku waspada. Aku harus mendahuluinya."
"Putu, bagaimana kita mempertanggung jawabkan komatian Nyoman Carik pada guru?"
"Soal nyawa Nyoman Carik guru tidak akan mau tahu. Kepadanya kita hanya
mempertanggung jawabkan keberhasilan kita mendapatkan barang itu!
Kembali Wayan Japa terdiam. Lalu didengarnya suara Putu Arka berkata.
"Ketololan Nyoman Carik telah mengundang orang lain ke tempat ini! Kita berada
dalam pengintaian musuh yang juga menginginkan barang itu! Mereka tahu kita
berada di sini!"
Wayan Japa terkejut. Membuka mata lebarlebar, memasang telinga. Memandang berkeliling.
Dia tidak melihat apa-apa selain semak belukar dan pepohonan dalam kegelapan.
Dia juga tidak mendengar suara lain kecuali tiupan angin dan deburan ombak di
pasir pantai. "Ketika aku berguling di tanah tadi, aku sempat melihat bayangan manusia di atas
pohon sana. Sewaktu kembali ke sini sekali lagi aku 137-AKSARA BATU BERNYAWA
6 melihat. Ada dua orang di atas pohon. Mungkin lebih tapi yang kulihat jelas
hanya dua orang."
Wayan Japa segera hendak palingkan kepala
ke arah pohon yang dimaksudkan temannya tapi Putu Arka cepat berkata. "Jangan
menoleh! Jangan memandang ke arah pohon! Mereka
tengah mengawasi gerak-gerik kita. Pandanganmu ke arah pohon hanya akan memberi
tanda bahwa kita sudah mengetahui kehadiran mereka. Kita pura-pura tidak tahu
tapi harus waspada! Jangan berbuat tolol seperti Nyoman Carik!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan?"
"Apa yang ada di benakmu?" balik bertanya Putu Arka.
"Sebelum makhluk pembawa barang muncul, bagaimana kalau kita habisi dulu kedua
orang itu. Hingga tidak perlu repot-repot belakangan."
"Itu namanya perbuatan sangat tolol!
Menghabiskan tenaga sebelum pekerjaan
selesai!" jawab Putu Arka pula. Setelah diam sebentar Putu Arka berkata. "Wayan,
kau mengambil alih tugas Nyoman Carik. Begitu makhluk pembawa barang muncul aku
akan merampas barang dan kau menghadang dua masuh di atas pohon."
"Baik Putu," jawab Wayan Japa namun hati kecilnya kemudian berkata. "Setelah kau
dapatkan barang itu hanya ada dua kemungkinan. Kau akan kabur, atau kau lebih
dulu membunuhku."
TAK jauh dari rumpunan semak belukar tempat beradanya Putu Arka dan Wayan Japa.
Di atas sebatang pohon besar berdaun lebat mendekam dua sosok berdandanan aneh.
Muka tua tertutup celemongan entah dipoles dengan apa. Mungkin cat atau kapur.
Rambut sama putih, awut-awutan menjela punggung. Pakaian compang camping
penuh tambalan. Dari jarak sepuluh langkah seseorang bisa mencium bagaimana
tubuh maupun pakaian kedua orang ini menebar bau apek tidak enak. Di atas pohon
keduanya 137-AKSARA BATU BERNYAWA
7 memperhatikan keadaan sekitar pantai. Rupanya sejak lama mereka sudah melihat
gerak gerik Putu Arka dan Wayan Japa. Mereka juga telah mengetahui keberadaan
Nyoman Carik yang
sembunyi beberapa tombak di belakang sana.
Orang tua pertama berbisik pada kawannya.
"Kita kedahuluan, tapi belum terlambat. Aku tidak dapat memastikan siapa tiga
cecunguk itu. Tapi hembusan asap rokok yang menebar bau kemenyan salah seorang dari mereka
mengingatkan aku pada tiga tokoh dari Bali. Mereka berasal dari Buleleng. Kalau
tidak salah mereka dijuluki Tiga Hantu Buleleng."
"Sakra Kalianget, mereka boleh datang duluan.
Tapi barang itu tak bakal menjadi milik mereka."
Orang tua bernama Sakra Kalianget menyeringai lalu usap mukanya yang celemongan.
"Jangan keliwat takabur sobatku Bayusongko.
Tiga Hantu Buleleng sudah punya nama di rimba persilatan kawasan timur."
"Aku tidak takabur. Apa lagi aku pernah dengar, walau terikat dalam satu
kelompok, namun setiap mereka memiliki hati culas. Lebih suka
mementingkan diri sendiri. Lihat saja nanti, kalau salah seorang dari mereka
dapatkan barang itu, ketiganya akan tega saling berbunuhan untuk dapat
menguasai."
"Kabarnya barang itu memang tidak bisa dimiliki lebih dari satu orang," ucap
orang tua berpakaian rombeng bernama Sakra Kalianget, Bayusongko menatap tajamtajam ke mata sahabat yang duduK di cabang pohon di atasnya.
"Maksudmu, kaiau barang itu jatuh ke tangan kita, salah seorang dari kita harus
mati" Kau mau membunuhku" Begitu?"
Sakta Kalianget tutup mulutnya dengan telapak tangan kiri. Di balik telapak dia
tertawa mengekeh tanpa suara.
"Kita berdua bukan orang-orang sinting! Hal itu tidak akan terjadi..."
"Sukra...." Bayusongko pegang kaki temannya.
"Pasang telingamu. Aku dengar sayup-sayup 137-AKSARA BATU BERNYAWA
8 suara dua orang di depan tengah bicara. Seperti bertengkar. Hai, lihat...."
Sakra Kalianget sibakkan pohon yang
menghalangi pemandangannya lalu menunjuk ke arah rerumpunan semak belukar. Di
bawah sana, di balik semak belukar saat itu Putu Arka tampak membaringkan badan
ke tanah. Apa yang dilakukan manusia itu" Tidur" Gila betul!" ucap Bayusongko. Lalu dia
keluarkan suara terkejut. "Astaga, lihat..."
Sosok Putu Arka berguling di tanah. Pasir beterbangan. Cepat sekali gerakan
tubuh yang menggelinding itu lewat di bawah pohon lalu sampai di balik
serumpunan semak belukar dimana Nyoman Carik tengah sembunyi sambil asyikasyikan merokok.
"Manusia tolol! Sengaja menggelinding di tanah agar tidak terlihat orang!
Padahal keberadaan dia dan kawan-kawan sudah kita ketahui!"
Diam Bayu! ujar Sakra Kalianget sambil
menampar perlahan kepala teman yang berada di cabang pohon di sebelah bawah.
"Aku mendengar benda berderak pecah. Lalu suara tubuh jatuh ke tanah..."
Dari tempatnya berada di atas pohon, meski
lebih rendah dari kedudukan Sakra Kalianget namun Bayusongko bisa melihat lebih


Wiro Sableng 137 Aksara Batu Bernyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas apa yang terjadi. Dia keluarkan suara seperti mau muntah.
"Kenapa kamu?" tanya Sakra Kalianget.
"Yang kau dengar adalah suara kepala pecah!
Orang yang menggelinding tadi membunuh
kawannya sendiri. Orang yang merokok! Gila!"
"Gila tapi bagus! Berarti kekuatan mereka kini tinggal dua orang! Lebih mudah
bagi kita untuk merampas barang itu kalau sudah ada di tangan mereka."
"Rupanya benar kabar yang tersiar. Tiga Hantu Buleleng itu masing-masing berhati
culas. Apapun alasannya orang satu itu membunuh temannya.
aku yakin tujuan hati busuknya adalah untuk 137-AKSARA BATU BERNYAWA
9 mengurangi persaingan. Kelak dia bakal
membunuh temannya yang satu lagi..."
'Bisa begitu Bayu, bisa begitu..." ucap Sakra Kalianget pula.
"Sakra, apa kita tetap pada siasat semula"
Membiarkan mereka mendapatkan barang itu lebih dulu baru merampasnya?"
"Siasat tidak berubah. Kita, siapapun, sekalipun memiliki kepandaian setinggi
langit sedalam lautan, tidak bakal dapat merampas barang itu.
Tiga Hantu Buleleng mampu melakukan karena mereka punya penangkal, tahu rahasia
kelemahan makhluk yang membawa barang."
Bayusongko mengangguk-angguk, usap-usap
dagunya yang celemongan lalu alihkan pandangan mata ke tengah laut. Dalam hati
dia bertanya-tanya.
Bagaimana bentuk makhluk yang akan muncul
membawa barang itu" Lebih dari itu bagaimana pula ujud barang yang akan mereka
rampas lalu diserahkan pada guru mereka di Danau Buyan di Buleleng"
137-AKSARA BATU BERNYAWA
10 2 WIRO SABLENG AKSARA BATU BERNYAWA
ANGIN dari arah laut bertiup dingin mengandung garam. Sementara langit semakin
hitam tanpa bintang. Laut selatan diselimuti udara gelap gulita.
Gemuruh suara ombak yang bergulung untuk
kemudian memecah di pasir pantai terdengar tidak berkeputusan. Tiba-tiba di ufuk
tenggara menyambar kilat, seolah muncul dari dalam samudera, melesat ke angkasa
membuat guratan seperti membelah langit. Untuk sesaat kawasan pantai selatan
terang benderang oleh sambaran cahaya kilat. Di lain kejap kegelapan kembali
membungkus. Di balik semak belukar Putu Arka mengusap
wajah, membuka mata lebar-lebar memandang ke tengah laut. Dia mendongak ke
langit, coba mencari bintang pertanda. Tak kelihatan satu bintangpun. Tapi dalam
hatinya tokoh silat dari Buleleng ini punya dugaan keras. Saat menjelang tepat
tengah malam telah tiba. Makhluk pembawa barang akan segera muncul. Dan hujan
rintik-rintik mulai turun.
Sekali lagi kilat berkiblat. Kali ini di arah barat.
Begitu cahaya terang sirna dan kegelapan kembali muncul, mendadak di tengah laut
tampak satu cahaya kehijauan, seolah keluar dari dasar samudera. Secara aneh,
entah apa yang terjadi, entah kekuatan dari mana yang turun ke bumi.
tiba-tiba ombak di laut berhenti bergulung. Air laut diam tak bergerak seperti
berubah menjadi hamparan rumput luar biasa luas. Tak ada lagi ombak yang
bergulung dan memecah di pasir pantai. Anginpun berhenti bertiup dan hujan
rintik-rintik lenyap. Seantero kawasan pantai selatan 137-AKSARA BATU BERNYAWA
11 gelap pekat dan sunyi senyap.
"Saatnya....saatnya sudah tiba," kata Putu Arka dalam hati. Dadanya berdebar,
wajah buruknya tampak tegang, mata terpentang lebar, menatap tak berkesip ke
arah laut. Di belakang sana Wayan Japa merasa tegang. Sekilas dia memandang ke
arah laut. Lalu kembali berpaling ke jurusan semula. Sesuai tugas, dia harus
mengawasi kemunculan mendadak orang-orang yang tidak diingini. Saat itu sepasang
matanya tidak lepas dari memperhatikan pohon besar dimana menurut Putu Arka
bersembunyi dua orang tak dikenal.
Keheningan yang muncul mendadak membuat
semua orang yang ada di tempat itu jadi tercekat bergidik.
"Keanehan apa ini"! Mengapa mendadak sunyi seperti di liang kubur! Ombak
berhenti bergulung, angin tidak bertiup dan hujan yang barusan turun juga
berhenti! Apa yang terjadi"!" Berucap Bayusongko yang berada di atas pohon
besar. "Saat yang ditunggu sudah tiba! Kita berada di tepat tengah malam. Ini saat
munculnya makhluk yang membawa benda mustika itu.
Menurut petunjuk dia akan keluar dari...." Ucapan Sakra Kalianget terputus. Dia
meraba daun telinga sebelah kiri. "Ada suara kuda berlari dari arah timur.
Menuju ke sini. Tapi....Mengapa tiba-tiba lenyap?"
Ada orang lain yang tahu urusan besar ini.
Kita harus lebih waspada," bisik Bayusongko.
Di balik semak belukar Putu Arka yang memperhatikan ke tengah laut tanpa
berkesip mendadak melihat cahaya hijau yang sejak tadi diawasinya berubah tambah
panjang dan tambah terang. Tiba-tiba cahaya itu melesat ke atas. Air laut
laksana terbelah. Cahaya hijau keluar dari dalam laut mengeluarkan suara
bergemuruh. Kawasan pantai bergetar, pepohonan bergoyang.
Di tepi pantai pasir berhamburan sampai setinggi dan sejauh dua tombak. Saat itu
pula air laut kembali, bergerak. Ombak menderu bergulung ke 137-AKSARA BATU
BERNYAWA 12 pantai. Angin kembali bertiup kencang dan dingin.
Lalu hujan rintik-rintik kembali turun dan dengan cepat berubah deras.
Putu Arka tudungi kedua matanya dengan
tangan kiri. Tak tahan silau cahaya hijau yang keluar dari laut. Ketika dia
dapat melihat dengan jelas, kejut tokoh silat dan Bali ini bukan alang kepalang.
Yang barusan melesat keluar dari dalam laut disertai pancaran cahaya hijau
menyilaukan ternyata adalah sosok seekor ular besar dan panjang berkulit hijau.
Sebagian tubuhnya masih berada didalam air laut. Luar biasanya sosok ular ini
memiliki kepala seorang nenek berambut hijau, punya sepasang tanduk hijau serta
dua mata yang juga hijau. Dua tangannya memegang
sebuah peti kayu hitam yang diikat dengan akar tumbuhan laut berwarna hijau. Di
atas kepalanya ada sebentuk mahkota terbuat dari batu hijau.
Keseluruhan sosok nenek ular ini, mulai dari kepala sampai ke bawah memancarkan
cahaya hijau menyilaukan. Orang pertama dari Tiga Hantu Buleleng ini tidak
pernah menduga kalau inilah makhluk yang akan ditemuinya.
Dalam kejut dan ketersiapannya Putu Arka perhatikan peti kayu hitam yang
dipegang nenek ular. "Peti itu...." katanya dalam hati. "Itu, yang harus aku
dapatkan. Makhluk itu pasti tak akan mau menyerahkan secara suka rela. Aku harus
merampasnya. Di dalam peti pasti tersimpan barang yang dicari. Mustika pembawa
nyawa, pemberi kehidupan baru!"
Putu Arka usap wajah buruknya yang basah
oleh air hujan lalu bergeser ke kanan. Saatnya dia keluar dari balik semak
belukar. Gerakannya terhenti sebentar ketika dilihatnya manusia ular rundukkan
tubuh bagian atas lalu meluncur di atas air menuju pasir pantai. Begitu makhluk
aneh mengerikan itu sampai di atas pasir, Putu Arka tidak menunggu lebih lama.
Dia segera melompat keluar dari balik semak belukar lalu melesat ke tepi pasir.
137-AKSARA BATU BERNYAWA
13 "Makhluk ular kepala manusia! Serahkan peti yang kau bawa padaku!"
Putu Arka berteriak keras. Suaranya
menggelegar di bawah deru hujan. Tokoh silat dari Bali ini tentu saja menyertai
teriakannya tadi dengan kekuatan tenaga dalam. Nenek ular serta merta angkat
kepala. Sepasang matanya yang hijau memandang menyorot ke arah orang yang
barusan membentak. Tiba-tiba si nenek keluarkan suara tertawa aneh. Ketika
mulutnya terbuka kelihatan lidah berwarna hijau, menjulur terbelah di sebelah
ujung. Makhluk bertubuh ular berkepala manusia ini bersurut setengah tombak.
Ekornya melesat ke atas, menekuk di udara. Seperti buntut kalajengking yang siap
menyengat, membuat Putu Arka harus berlaku hati-hati.
"Anak manusia, siapapun kau adanya pasti sudah lama menunggu di tempat ini. Kau
begitu sabar menantikan kematianmu. Apakah kau
sendirian atau punya teman. Suruh mereka segera keluar agar aku tidak terlalu
banyak menghabiskan waktu dan tenaga untuk menyingkirkan kalian!"
Putu Arka mengeram marah.
"Aku meminta untuk kali kedua. Itu merupakan kali yang terakhir! Serahkan peti
kayu padaku!"
"Kau meminta barang yang bukan hakmu!
Kau ini bangsa maling, begal atau rampok"!"
Nenek ular sehabis berucap kembali tertawa aneh.
"Makhluk tolol! Kau lebih sayang peti itu dari nyawamu! Lihat, apa yang ada di
tanganku!"
Dua tangan Putu Arka yang sejak tadi
dimasukkan ke balik baju hitam yang basah kuyup melesat keluar. Dia kembangkan
telapak tangan.
Di atas telapak tangan kiri terdapat sehelai daun sirih. Di telapak tangan kanan
kelihatan sebuah Bawang putih tunggal.
Tampang nenek ular serta merta berubah
begitu melihat sirih dan bawang putih tunggal Tubuh ularnya mengkeret dan
bersurut sampai satu tombak.
137-AKSARA BATU BERNYAWA
14 Manusia beralis hitam putih! Katakan siapa
Kau sebenarnya"!"
Putu Arka menyeringai. Maklum makhluk
tubuh ular kepala manusia itu kini merasa jerih terhadapnya.
"Aku tidak suruh kau bertanya. Aku perintahkan agar kau segera menyerahkan peti
kayu!" Habis berkata begitu Putu Arka lalu remas daun sirih di tangan kiri dan bawang
putih tunggal di tangan kanan. Daun sirih dan bawang putih yang sudah hancur
kemudian dimasukkannya ke dalam mulut, dikunyah lumat-lumat.
"Manusia ini tahu kelemahanku' Aku harus membunuhnya sebelum dia menyemburkan
kunyahan daun sirih dan bawang putih." Nenek ular berkata daiam hati. Lalu
sambi! surutkan tubuh ularnya dan rundukkan kepala dia keluarkan ucapan.
'Aku menaruh hormat dan tunduk padamu.
Mungkin kau memang orangnya kepada siapa aku harus menyerahkan peti kayu ini.
Maafkan kelancanganku. Harap kau sudi menerima." Nenek ular rundukkan kepala
lebih ke bawah. Dua tangan yang memegang peti kayu diulurkan ke depan
kearah orang yang meminta. Putu Arka tokoh silat berpengalaman. Dia tidak bodoh.
Dia mencium gelagat yang tidak baik. Tipu daya! Dan ternyata betul. Hanya
seuluran tangan peti kayu berada di depan Putu Arka, tiba-tiba ekor nenek ular
yang ditarik tadi menekuk di udara menghantam kearah kepala Putu Arka. Cahaya
hijau berkiblat menyertai serangan maut itu!
Didahului bentakan keras Putu Arka melompat ke samping. Ekor ular menderu
dahsyat, membongkar tanah. Pasir pantai berhamburan ke udara di tempat itu kelihatan
lobang besar sedalam hampir setengah tombak. Dapat
dibayangkan kalau hantaman ekor ular mengenai kepala Putu Arka.
Begitu ioios dari serangan maut Putu Arka cepat melesat ke udara. Pada saat
kepalanya sejajar dengan kepala nenek ular dia semburkan
137-AKSARA BATU BERNYAWA
15 selengah dari kunyahan daun sirih dan bawang putih yang ada dalam mulut. Hampir
bersamaan dengan itu nenek ular sentakkan kepala.
"Wuss! Wusss!"
Dari sepasang mata nenek ular melesat dua
sinar hijau menggidikkan. Tapi dua larik sinar maut itu serta merta menghambur
berantakan begitu terkena semburan kunyahan daun sirih dan bawang putih tunggal.
Nenek ular keluarkan suara meraung panjang aneh menggidikkan.
Suara ini seperti raungan anjing namun pada ujung raungan berubah seperti
ringkikan kuda.
Kepala nenek ular terbanting ke belakang. Sekujur tubuh ularnya bergoncang
keras. Dalam keadaan menghuyung makhluk ini buka mulutnya. Lidah hijau terbelah
dijulurkan. Memancarkan cahaya hijau menyeramkan.
Putu Arka yang maklum kalau lawan kembali
hendak menyerang. Dengan cepat jungkir balik di udara. Sambil menukik dia
semburkan sisa kunyahan daun sirih dan bawang putih ke arah kepala nenek ular.
Makhluk yang belum sempat menyemburkan racun maut dari mulutnya kembali meraung
keras. Semburan kunyahan daun sirih dan bawang putih tepat mengenai wajahnya.
Saat itu juga kepala nenek ular kelihatan berpijar hebat, mengepulkan asap hijau
lalu seperti lilin terbakar kepala itu leleh, berubah menjadi cairan hijau.
Luar biasa mengerikan. Dua tangan si nenek terpentang ke udara. Menggapai-gapai.
Peti kayu yang sejak tadi dipegangnya terlepas jatuh.
Perlahan-lahan sosok ular si nenek tersurut dan tenggelam ke dalam laut. Putu
Arka bertindak cepat. Dua kaki dijejakkan ke pasir. Tubuhnya melesat ke udara,
menyambar kayu hitam yang siap jatuh ke dalam laut.
"Dapat!" Di balik semak belukar Wayan Japa berucap gembira sambil kepalkan
tangan ketika melihat sobatnya Putu Arka berhasil menangkap dan mendapatkan peti
kayu yang terlepas jatuh dari pegangan makhluk ular kepala manusia.
137-AKSARA BATU BERNYAWA
16 Namun pada saat yang sama, di arah belakangnya terdengar sambaran angin. Dua
makhluk aneh, berwajah celemongan melesat turun dari pohon besar. Musuh yang
ditunggu-tunggu telah keluar unjukkan diri. Sesuai yang sudah diatur, Wayan Japa
segera keluarkan suara siulan menyerupai suara burung malam. !ni adalah tanda
yang harus diberikannya pada Putu Arka.
Putu Arka sempat mendengar suara siulan
pertanda yang diberikan Wayan Japa. Tapi seperti yang sudah diduga, keculasan
pada masing-masing Tiga Hantu Buleleng ini menjadi kenyataan.
Bukannya datang untuk membantu sahabatnya,
malah sambil menyeringai Putu Arka berbalik kabur ke arah barat membawa peti
kayu. Dia tidak
menyadari justru pada saat yang hampir bersamaan dari arah berlawanan terdengar
derap kaki kuda mendatangi.
SEBELUM turun dari atas pohon besar, Sakra
Kalianget berkata pada temannya. 'Bayusongko, kau serang si penghadang. Aku
mengejar orang yang melarikan peti kayu!"
Dua tokoh silat dari Madura itu segera berkelebat turun dari atas pohon sambil
hunus senjata masing-masing yakni sebilah clurit terbuat dari besi biru dilapisi
emas. Sakra Kalianget langsung mengejar Putu Arka sedang Bayusongko menyerbu ke
arah Wayan Japa yang memang
bertindak sebagai penghadang.
Begitu saling berhadapan Bayusongko tenangtenang saja melintangkan clurit emas di depan dada. Sementara Wayan Japa tidak
dapat menyembunyikan rasa kaget ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya dan
siap menyerbu. Namun dia cepat menguasai diri dan merubah sikap.
"Owalah!" ucap Wayan Japa. "Lihat siapa yang jual tampang di hadapanku! Muka
celemongan, pakaian rombeng penuh tambalan, menebar bau busuk. Bersenjata clurit
emas! Siapa lagi kalau 137-AKSARA BATU BERNYAWA
17 bukan tua bangka berjuluk Pengemis Clurit Emas dari Madura!"
Disapa orang begitu rupa Bayusongko tertawa mengekeh.
"Malam begini gelap, hujan pula! Tidak sangka orang masih mengenali diriku!
Rupanya aku memang sudah jadi tokoh kesohor! Ha...ha...ha!"
"Tunggu! Jangan buru-buru berucap sombong!"
Hardik Wayan Japa. "Biasanya Pengemis Clurit Emas selalu muncul berdua. Mana
temanmu" Apa lagi mengemis di tempat lain" Ha...ha...ha!"
"Apa perduiimu dimana temanku!' jawab Bayusongko lalu keluarkan suara mendengus.
Wayan Japa maklum kalau ejekannya membuat lawan mulai marah. Maka dia kembali
keluarkan ucapan.
"Malam-malam buta begini. Di tempat sepi.
Ketika cuaca begini buruk! Aneh kalau kau muncul untuk mengemis! Sendirian
pula!" Bayusongko menahan amarahnya. Batuk-batuk
lalu tertawa gelak-gelak.


Wiro Sableng 137 Aksara Batu Bernyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau mengemis nyawa manusia waktunya
tidak perlu diatur, Malam-malam seperti ini memang paling tepat untuk minta
nyawa orang. Berbarangan dengan kehadiran setan laut yang pasti banyak gentayangan di sekitar
sini! Ha...ha. .ha!"
"Tolol sekali!" tukas Wayan Japa. "Senjata saja terbuat dari emas. Masih mau
mengemis! Jua! saja cluritmu kalau tidak punya uang! Aku sering mendengar kabar. Banyak
pengemis yang sebenarnya kaya raya. Di kampung punya tiga rumah dan tiga istri!
Kau pasti termasuk pengemis macam begituan!"
"Ah, rupanya Pengemis Clurit Emas memang sudah tersohor. Sampai-sampai kau tahu
keadaan diriku! Hai, kalau aku mau menjual clurit ini, apa kau mau membeli"!"
"Siapa sudi!" jawab Wayan Japa lalu meludah ke tanah.
"Kalau begitu biar clurit ini aku berikan cuma-cuma padamu!" kata Bayusongko
pula lalu 137-AKSARA BATU BERNYAWA
18 menerjang ke depan sambil babatkan senjatanya.
Sinar terang kuning berkiblat dalam gelapnya udara dan curahan hujan lebat.
Wayan Japa cepat menyingkir selamatkan diri.
Sinar kuning clurit emas membabat udara kosong.
Curahan air hujan seolah tertahan. Dari sambaran angin yang menggetarkan pakaian
dan tubuhnya Wayan Japa maklum, bukan saja senjata di tangan lawan merupakan
senjata berbahaya tapi yang melancarkan serangan juga memiliki tenaga dalam
tinggi. Sambil melompat mundur mengelak serangan
orang Wayan Japa cepat loloskan destar hitam di kepala. Destar yang basah oleh
air hujan diperas dulu, lalu ditarik, direntang dan diurut-urut. Sesaat saja
destar hitam itu telah berubah menjadi keras dan lurus. Destar dibolang baling
mengeluarkan suara bersiuran. Luar biasa, destar yang terbuat dari kain itu kini
berubah menjadi sebatang tongkat sepanjang lima jengkal.
Bayusongko tertawa bergelak.
"Hantu Dari Buleleng yang katanya punya nama besar di rimba persilatan ternyata
cuma punya senjata butut! Kau akan mampus lebih cepat kalau hanya mengandalkan
destar bau tengik itu!" ejek Bayusongko.
"Jangan banyak mulut! Terima kematianmu!"
kertak Wayan Japa. Lalu orang kedua dari Tiga Hantu Buleleng ini menerjang
lancarkan erangan dalam jurus bernama Tongkat Hantu menghidang Iblis.
Seolah mengejek dan memandang rendah
lawan, Bayusongko sengaja tegak diam menung-gu datangnya serangan Wayan Japa.
137-AKSARA BATU BERNYAWA
19 3 WIRO SABLENG AKSARA BATU BERNYAWA
SIKAP memandang enteng senjata dan serangan lawan serta merta berubah jadi
keterkejutan besar.
Malah Bayusongko sampai-sampai keluarkan seruan tertahan. Destar hitam di tangan
Wayan Japa laksana seekor ular bisa berubah lentur. Laksana seekor ular mematuk
kian kemari, menyerang tiga bagian tubuh Bayusongko dalam satu gebrakan!
Untuk mengelakkan hantaman ujung destar yang mengarah ke bagian dada, perut dan
betisnya Bayusongko dipaksa berkelebat dan berjingkrak kian kemari. Untung saja
orang tokoh silat dari Madura ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkatan tinggi. Dia mampu selamatkan diri dari tiga kali hantaman
senjata lawan. Bayusongko menggeram dalam hati. Baru
jurus pertama lawan mampu membuatnya
kelabakan begitu rupa. Hatinya jadi panas ketika Wayan Japa keluarkan ucapan.
"Ha...ha! Aku tidak sangka pengemis bisa berubah jadi monyet! Jingkrak sana
jingkrak sini!"
"Umur tinggal sejengkal! Masih mau bicara sombong!" hardik Bayusongko pula.
"Lihat clurit!"
Bayusongko membuat satu terjangan. Dua
kaki melesat di atas tanah. Tubuh meliuk aneh.
Clurit emas diputar di atas kepala, lalu menukik dalam bentuk serangan ke arah
pinggang lawan.
Ketika Wayan Japa mundur dua langkah untuk
elakkan sambaran clurit, tubuh Bayusongko yang masih mengapung di udara kembali
membuat liukan aneh dan settt! Clurit emas tahu-tahu membabat ke arah leher
Wayan Japa! 137-AKSARA BATU BERNYAWA
20 Sambil surutkan kaki kiri ke belakang dan kepala dirundukkan, Wayan Japa sambut
serangan orang dengan jurus Tongkat Hantu Menutup Pintu Akhirat. Destar hitam
berkelebat searah perut lawan yang tidak terjaga,, membuat kakek bernama
Bayusongko terpaksa lentingkan tubuh ke belakang dan begitu berhasil selamatkan
perutnya dari sambaran destar dia teruskan babatan clurit ke arah leher lawan.
Jurus Tongkat Hantu Menutup Pintu Akhirat
yang dimainkan orang kedua dari Tiga Hantu Buleleng ini bukan satu jurus kosong.
Ujung destar yang telah berubah menjadi sebatang tongkat luar biasa ampuhnya,
berkelebat di udara.
Ujung atas melintang di depan leher, ujung bawah menohok ke arah perut lawan!
"Trangg!"
Tongkat destar beradu dengan clurit emas, mengeluarkan suara berkerontangan
seolah dua logam atos saling bentrokan di udara! Bunga api memercik. Destar
mengeluarkan cahaya hitam sedang clurit menebar percikan cahaya kuning
benderang. Bentrokan senjata membuat tangan pengemis
tua Bayusongko yang memegang clurit tergetar keras. Ini sudah cukup membuat
tokoh silat dari Madura ini jadi terkejut. Dia tidak menyangka lawan memiliki
kekuatan tenaga begitu besar serta senjata aneh yang tak bisa dianggap enteng.
Dan belum habis kejutnya tiba-tiba bagian bawah tongkat lawan menderu ke arah
perutnya! "Bukkk!"
"Hueekk!"
Bayusongko mengeluh tinggi dan muntahkan
darah segar. Tubuhnya terlipat ke depan. Tangan kiri meraba perut karena mengira
perut itu sudah jebol dihantam tongkat yang terbuat dari destar tapi kerasnya
tidak beda dengan pentungan besi!
Ketika dia hendak mengusap darah yang
membasahi mulutnya, tiba-tiba tongkat di tangan Wayan Japa kembali menderu. Kali
ini dalam gerakan mengemplang ke arah batok kepala si 137-AKSARA BATU BERNYAWA
21 pengemis yang berdiri setengah terbungkuk karena menahan sakit pada perutnya dan
tengah menyeka darah di mulut.
Untungnya Bayusongko masih sempat melihat
serangan maut itu. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah. Sambil berguling
dia babatkan clurit emas ke arah dua kaki Wayan Japa. Tanpa
menggeser kedudukan kedua kakinya, Wayan
Japa tusukkan tongkat ke bawah. Senjata itu menancap di tanah tepat pada saat
clurit emas datang membabat.
Untuk kedua kalinya dua senjata saling
bentrokan dan untuk kedua kalinya pula bunga api hitam dan kuning memercik di
udara gelap. Wayan Japa cepat tarik tongkat tapi alangkah terkejutnya anggota Tiga Hantu
Buleleng ini ketika dapatkan walau telah mengerahkan tenaga sekuat apapun, malah
mempergunakan dua tangan
sekaligus, dia tidak mampu mencabut tongkat yang menancap di tanah itu!
"Celaka! Apa yang terjadi"!" Sepasang mata Wayan Japa mendelik besar. Clurit
emas senjata lawan dilihatnya melingkar pada badan tongkat.
Ujungnya yang tajam dan bagian gagang tidak kelihatan karena terpendam ke dalam
tanah! "Clurit...clurit itu mengunci senjataku!" Wayan Japa pentang matanya ke arah
Bayusongko yang saat itu telah tegak berdiri. Mukanya yang celemongan tambak tak
karuan oleh darah yang membasahi mulut dan dagunya.
Kakek bermuka celemongan itu berdiri itu
sambil tertawa mengekeh dan usap-usap dua
tangannya satu sama lain. Tiba-tiba entah dari mana munculnya tahu-tahu dalam
dua tangan Bayusongko telah tergenggam dua buah clurit kecil. Dua senjata ini
kelihatan aneh karena hanya gagangnya yang tampak jelas sedang bagian yang tajam
dan runcing hampir tidak membekas di dalam kegelapan.
"Clurit Hantu!"
Wayan Japa keluarkan seruan tertahan.
137-AKSARA BATU BERNYAWA
22 Tampangnya berubah. Jelas ketakutan amat Hangat.
Si pengemis tua Bayusongko tertawa
mengekeh. "Bagus sekali! Kau mengenali sepasang clurit gaib ini! Pertanda kau sadar bahwa
kematian sudah di depan hidung! Ha...ha...ha!" Pengemis tua itu tertawa
bergelak. Begitu tawa lenyap dua tangan yang memegang clurit kecil yang
disebutnya sebagai clurit goib bergerak berputar.
"Seettt!"
"Seettt!"
Dua clurit aneh yang hanya kelihatan
gagangnya saja melesat ke arah Wayan Japa.
Tokoh dari Bali ini hanya sempat melihat clurit hantu yang menyerang ke arah
lehernya. Dia cepat menyingkir ke kiri sambil lepaskan satu pukulan tangan
kosong berkekuatan tenaga dalam penuh. Meskipun Wayan Japa berhasil memukul
mental clurit pertama namun dia tidak mampu melihat kelebatan datangnya clurit
hantu kedua. Raungan menggelegar dari mulut orang kedua
Tiga Hantu Buleleng ini ketika clurit hantu kedua menancap tepat di mata
kirinya. Sosok Wayan Japa terhuyung ke belakang. Tangan kiri
menggapai udara kosong. Tangan kanan bergerak ke arah mata, berusaha mencabut
clurit hantu yang menancap di mata itu. Tapi belum sempat menyentuh, mendadak
sekujur tubuh Wayan Japa berubah dingin dan kaku. Dia hanya sempat keluarkan
keluhan pendek lalu sosoknya
terbanting ke tanah tak bergerak lagi. Dalam gelap sekujur kulit tubuhnya
kelihatan membiru. Itulah akibat racun sangat jahat yang ada pada clurit hantu.
Jangankan manusia, makhluk sebesar gajahpun mampu terbunuh oleh racun ini dalam
sekejapan mata! Ternyata Hantu Buleleng tidak sanggup menghadapi clurit hantu
alias clurit goib!
Pengemis muka celemongan Bayusongko
menyeringai sambil usap-usap dua tangan. Secara 137-AKSARA BATU BERNYAWA
23 aneh, dua clurit hantu telah berada dalam
tangannya kembali. Orang tua ini masih terbungkuk menahan sakit pada perutnya
kemudian melangkah mendekati tongkat milik Wayan Japa yang kini telah berubah ke
bentuknya semula yaitu selembar kain ikat kepala dan melingkar di tanah.
Bayusongko cabut clurit emas miliknya yang terpendam di tanah di samping destar
hitam. Kepala pengemis tua muka celemongan ini
terdongak ketika dari arah pantai terdengar suara jeritan orang. Dia mengenali.
Itu adalah suara jeritan sahabatnya, Sakra Kalianget, orang pertama dari
Pengemis Clurit Emas.
KEMBALI kepada Putu Arka. Seperti dituturkan sebelumnya orang pertama dari Tiga
Hantu Buleleng ini berhasil menghancurkan makhluk ular berkepala manusia yang keluar
dari dalam lautan membawa sebuah peti kayu berwarna hitam. Begitu peti berada di
tangannya Putu Arka segera kabur ke arah barat. Dia tidak perdulikan suara
suitan tanda yang diberikan sahabatnya Wayan Japa. Dia seperti tidak mendengar
suara derap kaki kuda banyak sekali datang dari arah timur. Yang penting dia
sudah dapatkan peti berisi benda maha sakti tiada duanya di dunia dan harus
menyelamatkannya.
Namun belum sampai berlari dua puluh
langkah, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat di depan Putu Arka. Cepat Putu
Arka tahan lari kemana gerakan orang jelas menghadang dirinya.
Memandang ke depan, Putu Arka jadi melengak.
Lnam langkah di hadapannya tegak bertolak pinggang seorang kakek bermuka
celemongan, rambut putih panjang awut-awutan. Berpakaian rombeng penuh tambalan.
Dari keadaan serta pakaian orang, Putu Arka segera maklum, dengan siapa dia
berhadapan saat itu.
Sakra Kalianget! Orang pertama Pengemis
Clurit Emas. Gerangan apa kau muncul di malam 137-AKSARA BATU BERNYAWA
24 buta sepertinya sengaja menghadang jalanku"!"
"Putu Arka, jangan pura-pura berbasa-basi.
Serahkan peti yang kau pegang padaku! Sekarang!
Cepat!" "Ah" Putu Arka mundur satu langkah. "Aku memang barusan merampas barang ini dari
orang lain. Tapi aku tahu betul peti dan benda isi di dalamnya bukanlah milikmu!
Mengapa aku merasa perlu menyerahkan kepadamu!"
Sakra Kalianget tertawa bergelak. Rangkapkan dua tangan diatas baju rombengnya
lalu berkata. "Kali pertama aku hanya meminta peti itu. Kali kedua aku meminta berikut
nyawamu! Terserah kau mau memberikan yang mana!"
Sesaal Putu Arka terdiam. Otaknya bekerja.
Dia cukup tahu riwayat kakek muka angker celemongan bernama Sakra Kalianget ini.
Bersama seorang kakek lainnya bernama
Bayusongko di rimba persilatan tanah Jawa
kawasan timur dia dikenal dengan julukan Pengemis Clurit Emas. Mereka selalu
muncul berdua. Mana yang satunya" Tadi dia mendengar jerit raungan Wayan Japa.
Dia tidak perlu menyelidik. Saat ini Wayan Japa pasti sudah menemui ajal.
Pembunuhnya" Besar dugaan si pembunuh adalah Pengemis Clurit Emas yang bernama
Bayusongko. Menghadapi manusia satu ini saja cukup sulit. Apa lagi kalau sampai
temannya muncul membantu.
"Sakra Kalianget, aku tidak mau membuang-buang waktu berurusan dengan manusia
pengemis sepertimu. Tunggu saja sampai siang.
Pergi ke pasar dan mengemis di sana! Jangan mencampuri urusan orang!"
Sakra Kalianget kembali tertawa.
"Urusan yang kau hadapi bukan urusan dirimu sendiri. Tapi adalah urusan para
tokoh rimba persilatan!" Ucap jago tua dari Madura itu.
Dengar, aku akan mengampuni selembar
nyawamu, kalau kau tidak terlalu bodoh mau menyerahkan peti kayu hitam padaku!"
"Jahanam!" maki Putu Arka dalam hati. "Mati 137-AKSARA BATU BERNYAWA
25 hidup peti ini akan aku pertahankan!" Lalu dia keluarkan ucapan. "Pengemis
kesasar! Kalau kau inginkan peti ini silahkan mengambil sendiri!"
"Bodoh sekali! Berani menantang Pengemis Clurit Emas dari Madura!" kata Sakra
Kalianget sambil menyeringai. Begitu selesai bicara kakek pengemis ini keluarkan
clurit emasnya dan langsung menyerang Putu Arka. Perkelahian hobat segera pecah.
Putu Arka segera terdesak begitu memasuki jurus kedua. Sebabnya dia terpaksa
berkelahi sambil satu tangan memegang peti kayu. Seperti Wayan Japa tadi dia
loloskan destar hitam yang terikat di kepala. Kalau Wayan Japa terlebih dulu
harus menarik dan mengurut-urut destar itu, lain halnya dengan Putu Arka.
Karena kesaktiannya jauh lebih tinggi dari Wayan Japa, maka sekali kain hitam
itu disentakkan, serta merta berubah menjadi sebatang tongkat seatos besi!
Ternyata ilmu silat yang dimiliki Putu Arka setingkat lebih tinggi dari Sakra
Kalianget. Walau di awal jurus perkelahian dia kena didesak, namun setelah
keluarkan jurus-jurus andalannya, Putu Arka berhasil mengimbangi serangan lawan
malah sesekali membuat serangan balasan yang
mematikan. Kesal karena tidak bisa menembus pertahanan lawan Sakra Kalianget dengan cerdik
alihkan sasaran serangannya. Kini cluritnya dipakai untuk menghantam ke arah
peti hitam yang dikepit Putu Arka di tangan kiri. Satu kali clurit emas berhasil
membabat sudut kiri atas peti kayu hingga gompal. Untung peti itu cukup tebal
hingga isi di dalamnya masih terlindung. Namun keberhasilan merusak peti harus
ditebus cukup mahal oleh Sakra Kalianget. Karena di saat pertahanan Sakra


Wiro Sableng 137 Aksara Batu Bernyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbuka. Putu Arka berhasil susupkan tongkatnya ke dada kiri lawan.
"Kraakk!"
Salah satu tulang iga Sakra Kalianget berderak patah. Orang ini menjerit
kesakitan. Jeritan inilah 137-AKSARA BATU BERNYAWA
26 yang kemudian didengar oleh pengemis Bayusongko yang baru saja berhasil membunuh
Wayan Japa. "Jahanam Putu Arka! Kau memang minta mampus! Sekarang tidak ada lagi pengampunan
bagi dirimu!" Sakra Kalianget lemparkan clurit emas di tangan kanan ke arah Putu
Arka. Demikian cepatnya lemparan ini, Putu Arka hanya mampu pergunakan peti kayu untuk
melindungi diri. Clurit emas menancap di peti. Putu Arka tidak perdulikan. Dia
lebih memperhatikan keadaan lawan. Sementara Sakra Kalianget
kesakitan, Putu Arka melihat kesempatan untuk menghabisinya. Dengan satu
lompatan kilat Putu Arka kirimkan serangan tongkat dalam jurus
Tongkat Hantu Memburu Iblis.
Tongkat yang terbuat dari kain ikat kepala itu, yang kemudian berubah sekeras
besi, kini berubah lagi laksana sebilah pedang tipis, bergetar keras memancarkan cahaya
hitam. Orang lain mungkin segera menangkis atau
bergerak cari selamat. Senjata di tangan lawan bergetar demikian rupa hingga
sulit diduga arah mana yang dituju sebagai sasaran. Tapi luar biasanya Sakra
Kalianget tegak tenang-tenang saja. Pasti ada yang diandalkannya. Memang benar,
ternyata dia berdiri sambil mengusap dua tangan satu sama lain. Di lain kejap
dua tangan itu telah menggenggam dua bilah clurit yang dalam gelap hanya
terlihat gagangnya. Clurit hantu alias Clurit goib!
Gerakan Putu Arka sesaat jadi tertahan begitu matanya memperhatikan benda apa
yang ada dalam pegangan tangan kiri kanan lawan. Dia belum pernah melihat senjata angker
itu, hanya banyak mendengar cerita,keganasannya saja. Tapi dia maklum yang
tengah dipegang Sakra
Kalianget adalah sepasang clurit hantu yang telah banyak membuat geger rimba
persilatan tanah Jawa bagian timur.
"Jadi benar berita yang tersiar. Bangsat ini memang punya sepasang clurit hantu!
Aku harus cepat membentengi diri dan kabur dari tempat 137-AKSARA BATU BERNYAWA
27 ini!" Didahului bentakan keras, sosok Putu Arka berputar seperti gasing dan
melesat ke udara. Di saat yang sama Sakra Kalianget gerakkan dua tangan yang
memegang clurit hantu. Tapi belum sempat dua senjata maut itu lepas dari
tangannya tiba-tiba di arah kiri belakang terdengar orang berseru.
"Sakra! Biar aku yang menghabisi bangsat itu! Kau cepat menangkap peti begitu
lepas dari tangannya!"
Sakra Kalianget kenali suara orang yang
berteriak. Suara Bayusongko sahabatnya. Selagi dia meragu apakah akan meneruskan
melemparkan clurit hantu ke arah Putu Arka, dari tempat gelap si kakek
Bayusongko muncul dan langsung saja melemparkan dua clurit hantu yang telah
tergenggam di tangannya kiri kanan.
"Bettt!"
"Bettt!"
Putu Arka yang tadinya bersiap untuk
selamatkan diri dari clurit hantu yang hendak dilemparkan Sakra Kalianget tentu
saja jadi terkejut besar dan tidak menduga kalau bakalan ada serangan yang sama
dari arah lain. Apa lagi saat itu dia tengah bergerak untuk mengeluarkan sebuah
benda yang jika dipecahkan akan sanggup membentengi dirinya dari serangan lawan.
Namun sebelum sempat benda itu diambilnya, apa lagi saat itu dia masih memegang
tongkat, tahu-tahu sebuah benda menancap di bahu kirinya.
"Clurit Hantu!" seru Putu Arka. Sekujur tubuhnya mendadak sontak menjadi dingin.
Tidak pikir lebih lama, begitu dua kakinya menjejak tanah, Putu Arka segera
buang tongkat di tangan kanan. Lalu dengan tangan itu dia membetot kuat-kuat
lengan kirinya.
Terjadilah hal yang mengerikan!
Putu Arka menarik tanggal tangan kirinya yang ditancapi clurit hantu pada bagian
bahu. Tangan ini tanggal mulai sebatas persendian bahu ke bawah! Memang hanya
inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari kematian akibat racun
clurit hantu atau clurit goib yang luar biasa 137-AKSARA BATU BERNYAWA
28 ganasnya. Sehabis menarik tanggal tangannya sendiri, Putu Arka jatuh terjengkang
di tanah. Peti kayu hitam telah lebih dulu lepas dari kepitan dan jatuh. Putu Arka
gulingkan diri, masih berusaha untuk menjangkau peti itu dengan tangan kanan.
Namun dia kalah cepat. Seseorang berkelebat mengambil peti!
Bukan Putu Arka saja yang terkejut atas
serangan yang dilancarkan secara mendadak oleh pengemis Bayusongko. Sakra
Kalianget juga ikutan kaget malah sampai keluarkan seruan keras. Salah satu dari dua clurit
hantu yang dilemparkan Bayusongko menancap di lehernya.
Sakra Kalianget keluarkan suara seperti orang digorok. Rasa terkejut luar biasa
dan disusul dengan, kemarahan besar membuat dia lupa
bertindak. Clurit hantu dibiarkan menancap di leher sementara mulutnya keluarkan
sumpah serapah. Sebenarnya memang tak ada yang bisa dilakukan Sakra Kalianget. Dia
tidak mungkin menanggalkan lehernya seperti yang dilakukan Putu Arka
menanggalkan tangan kirinya.
"Jahanam Bayusongko! Kau sengaja
membunuhku! Kau inginkan peti itu untuk dirimu sendiri! Jahanam laknat! Terkutuk
kau!" Si tua muka celemongan Bayusongko batuk-batuk.
Seka darah yang meleleh di bibirnya dan menjawab ucapan orang.
"Kau telah lebih dulu mengkhianati kelompok kita! Pertama kau meyingkirkan
Nyoman Carik dongan alasan yang dicari-cari. Tadi waktu dapatkan peti ini kau
langsung bertindak kabur!
Untung masih tertahan oleh hadangan Putu Arka!
Bukan begitu ceritanya"!"
"Jahanam keparat! Serahkan peti itu padaku!"
teriak Sakra Kalianget seraya melotot memandang ke arah peti kayu hitam yang
kini dipegang oleh Bayusongko. Namun heekkk! Dari tenggorokan Sakra Kalianget
terdengar suara tersedak. Itulah suara tarikan nafasnya yang terakhir kali.
137-AKSARA BATU BERNYAWA
29 Sosoknya mendadak dingin lalu terjungkal di tanah.
Sekujur kulit tubuhnya berubah kebiru-biru akibat racun ganas clurit hantu.
Bayusongko tertawa mengekeh. Dia kepit peti kayu di tangan kiri. Dua tangan
diusap-usapkan. Dua clurit hantu yang tadi dipakainya untuk menyerang orang
pertama Tiga Hantu Buleleng dan kawannya sendiri yaitu Sakra Kalianget, secara
aneh berada kembali dalam genggamannya.
"Pengemis culas! Kembalikan peti itu padaku!
Itu milikku!"
Bayusongko putar tubuh. Memperhatikan orang yang barusan memakinya. Orang itu
adalah Putu Arka yang masih terguling di tanah, berusaha duduk.
"Aha! Orang pertama Tiga Hantu Buleleng!
Belum mati kau! Kau benar-benar inginkan peti ini rupanya! Aku tidak tega
melihat keadaanmu.
Biar kuberikan padamu! Ambillah!"
Bayusongko melangkah mendekati Putu Arka.
Tersenyum dan membungkuk. Ulurkan dua tangan yang memegang peti seolah benarbenar hendak menyerahkan. Tapi begitu Putu Arka duduk dan ulurkan tangan untuk
mengambil peti tiba-tiba Bayusongko tendangkan kaki kanannya.
"Bukkk!"
Darah menyembur dari mulut Putu Arka
bersama jerit kesakitan. Tubuhnya mencelat mental, terkapar tak berkutik di tepi
pasir. Entah mati entah pingsan.
"Manusia tolol!" ucap pengemis Bayusongko.
Lalu putar tubuh, hendak tinggalkan tempat itu sambil menyeringai dan kempit
erat-erat peti kayu hitam di tangan kanan. Namun gerak berputar kakek pengemis
ini serta merta tertahan, seringai di wajahnya yang celemongan mendadak lenyap
seperti direnggut setan ketika tiba-tiba tempat itu telah dikurung oleh enam
orang penunggang kuda. Salah seorang dari mereka berseru.
"Atas nama Kerajaan harap peti kayu hitam diserahkan kepada kami!"
137-AKSARA BATU BERNYAWA
30 WIRO SABLENG 4 AKSARA BATU BERNYAWA
BAYUSOKO sejenak jadi tertegun dalam keterkejutan. Namun kakek pengemis ini
dengan cepat membaca keadaan. Sorotan matanya
memandang tajam pada enam orang berkuda yang mengurung. Dia juga memperhatikan
binatang tunggangan ke enam orang itu.
"Kuda mereka besar-besar. Pelana bagus.
Hiasan di leher kuda dan bentuk tapal kuda menunjukkan tunggangan mereka memang
kuda-kuda Kerajaan. Lalu pakaian yang mereka kenakan. Dua berpakaian sebagai
Perwira Tinggi.
Tiga orang mungkin pengawal. Orang keenam
berpakaian paling bagus. Jabatannya pasti lebih tinggi dari dua perwira. Tapi
mengapa mereka semua menutupi wajah masing-masing dengan
sehelai kain hitam?"
"Pengemis tua! Apa kau tuli tidak mendengar perintah kami"!" Salah satu dari dua
orang berpakaian Perwira Tinggi menghardik.
Bayusongko merasa tanah yang dipijaknya
bergetar. Pertanda sang perwira memiliki tenaga cukup hebat.
"Kami orang-orang Kerajaan! Lekas serahkan peti kayu itu pada kami!" Perwira
Tinggi kedua ikut membentak malah majukan kuda dua langkah.
Bayusongko perkencang kepitan peti kayu di
tangan kiri lalu cepat-cepat membungkuk. Mulutnya berucap hormat.
"Harap maafkan kalau aku, si tua bangka ini tidak segera menunjukkan sikap
hormat. Aku kaget..."
"Sekarang kagetmu sudah lenyap. Lekas serahkan peti itu!" Perwira kedua kembali
majukan kudanya mendekati Bayusongko.
Si kakek lagi-lagi membungkuk hormat. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu
berkata. "Hormatku 137-AKSARA BATU BERNYAWA
31 untuk kalian berenam yang mengaku orang-orang Kerajaan. Kalau boleh bertanya
mengapa kalian semua menutupi wajah dengan cadar hitam?"
"Angin malam begini dingin. Banyak nyamuk.
Apa tidak boleh kami melindungi wajah?" Perwira Tinggi pertama yang menjawab.
Bayusongko tersenyum. Angguk-anggukkan
kepala. Peti kayu yang masih ditancapi clurit emas milik Sakra Kalianget
ditimang-timangnya beberapa kali.
"Aku percaya, aku percaya..." kata si kakek pula. "Kalian orang-orang Kerajaan
memang harus menjaga kesehatan. Di perjalanan bukan cuma nyamuk dan dinginnya
udara yang bisa dltemui. Bisa juga bertemu harimau buas yang siap menggerogot
leher kalian. Atau ular yang
mematuk pantat kalian" Ha...ha...ha! Aneh, kalau orang-orang Kerajaan yang
katanya terkenal hal Ilmu kepandaian tinggi takut pada angin dan nyamuk! Seorang
tua puteri saja kalaupun berada itt tumpat ini kurasa tidak akan menutupi
wajahnya dengan cadar. Kecuali wajah itu penyok hidungnya, alis cuma sebelah,
mata picek, kuping mamplung atau bopengan..."
"Pengemis tua ini terlalu banyak mulut!" Untuk pertama kalinya penunggang kuda
berpakaian paling bagus keluarkan ucapan. Lalu memerintah.
Bunuh dia! Ambil peti kayu hitam!"
Tiga penumpang kuda berpakaian seperti
pengawal segera melompat dari kuda masingmasing. Tiga pedang dihunus keluar dari
sarungnya. Di lain kejap tiga senjata maut membabat ke arah kepala, dada dan
pinggang si kakek pengemis bermuka cemong. Rombongan
orangorang yang mengaku dari Kerajaan itu tidak begitu mengetahui siapa adanya
Bayusongko. Mereka menganggap si kakek seorang tua renta yang punya sedikit ilmu dan
merampok peti yang mereka juga inginkan. Namun semuanya jadi tersentak ketika
Bayusongko cabut clurit emas yang menancap di peti kayu hitam. Lalu
menghamburlah cahaya kuning di kegelapan
malam. Tiga kali terdengar suara bedentrangan
137-AKSARA BATU BERNYAWA
32 disertai percikan bunga api. Dua orang penyerang Bayusongko roboh ke tanah
dengan leher dan
dada muncratkan dada segar akibat dimakan
ujung clurit emas. Pengawal ke tiga masih berdiri tegak, tapi kemudian menjerit
keras ketika melihat dan sadar bagaimana tangan kanannya telah buntung di
pergelangan dan darah menyembur deras! kakek pengemis telah keluarkan jurus
Memapas Rembulan Membelah Matahari untuk menyikat tiga penyerang.
Diam-diam dua orang berpakaian sebagai
Perwira Tinggi Kerajaan leletkan lidah. Mereka kini sadar kalau yang dihadapi
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 4 Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Setan Mata Satu 1

Cari Blog Ini