Ceritasilat Novel Online

Penunggu Jenazah 2

Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap Bagian 2


"Suruh ia tunjukkan jalan!"
"Biyung, anak manis, si bungsu sayang. Maukah kau
bawa bapak ke sana, nak""
Tangan kecil mungil dan pucat kebiru-biruan itu, turun
perlahan-lahan. Kemudian kakinya mulai bergerak.
Mayat tanpa kepala itu berjalan dengan langkahlangkah seorang bocah menuju pintu keluar, diikuti
oleh Kurdi dan Sumantri. Di ruang depan, seseorang
yang rupanya tidak bisa tidur, melihat mayat itu
lewat. Sesaat, mulut dan matanya terbuka lebar,
disaat berikutnya mulut dan mata itu terkatup, disusul
oleh suara tubuhnya yang jatuh terhempas ke lantai.
Pingsan. *** Lolongan anjing menyambut mereka tiba di luar
rumah. Malam telah mulai larut. Kampung itu sepi.
Jangankan makhluk-makhluk hidup. Angin pun seperti
enggan berhembus. Anjing itu berdiri tegak di atas
keempat kaki-kakinya yang kukuh, mendengus
sesaat. Matanya yang bulat dan besar, berkilat
memperhatikan makhluk yang baginya sangat aneh,
dan kini berjalan di sampingnya kearah tempat duduk
kereta. Makhluk itu tampaknya adalah manusia
seperti juga majikanku, mungkin begitu pikiran yang
terlintas di kepala kuda itu. Tetapi... mana kepalanya"
Setelah mereka bertiga duduk di atas tempat duduk
kereta, Kurdi menggerakkan tali kekang menyuruh
kudanya mulai berjalan. Terdengar suara berderak
roda kereta di antara depak-depak kaki kuda, lalu
angin mulai berhembus. Dingin menusuk tulang. Di
samping kereta, anjing berkulit hitam legam tetapi
dengan sepasang mata berkilat-kilat terang itu,
berlari-lari mengikuti. Sebuah pengaruh aneh dari
malam yang gelap tanpa bulan dan angin yang dingin
serta makhluk-makhluk misterius di dekatnya,
membuat sekujur tubuh Sumantri dialiri peluh. Peluh
dingin, tentu. Hanya tekad dan keinginan yang kuat
untuk memakamkan mayat anaknya dalam keadaan
yang sempurna yang membuat ia tetap betah duduk
di tempatnya. Meski sesekali terlintas juga ingatan
untuk terjun saja dari kereta, berlari-Iarian pulang,
menjerit minta tolong, melompat ke tempat tidur dan meminta
isterinya menyelimuti tubuhnya yang gemetar
ketakutan. Bulan pucat di langit kelam, berpegangan kepinggirpinggir awan hitam waktu tangan Dudung bergerak
lurus ke arah kiri. Jalan yang ia tunjuk adalah jalan
menuruni bukit terjal, jauh ke bawah, di mana sebuah
sungai mengalir. Mereka berada di mulut sebuah
jembatan besar yang tinggal puing-puingnya saja.
Seingat Sumantri, jembatan itu runtuh minggu yang
lewat dilanda banjir yang dahsyat. Di kiri kanan jalan
bertumpuk-tumpuk bahan-bahan untuk membangun
sebuah jembatan baru. Sebuah truck kosong di parkir tak jauh dari bukit-bukit
pasir. Nun jauh di belakang mereka, terlihat kelapkelip lampu sayup-sayup dari perkampungan yang
tadi mereka lalui. Tadi, di sana, truck lebih banyak,
ada satu dua orang yang masih tertawa-tawa di
warung kopi ditemani perempuan-perempuan yang
berdandan berlebihan. Tentu pekerja-pekerja yang
sudah siap akan membangun jembatan baru, tidur di
perkampungan itu. "Mereka turun dari kereta. Lalu bergerak ke bawah
bukit. Tiada rasa takut dan cemas lagi dalam diri
Sumantri. Melihat anaknya sempoyongan waktu
menuruni bukit, timbul rasa kasih dan sayangnya. Ia
bimbing Dudung menuruni bukit, berjalan di antara
batu-batu besar, sesekali tergelincir oleh tanah
longsor, bangun lagi, berjalan terus ke bawah dengan
mayat anak tanpa kepala itu tetap berjalan paling
depan. Adakalanya, karena jarak lompatan terlalu
jauh, Sumantri dengan tabah membopong anaknya. Dalam kepala
ayah yang masih berusia muda itu, hanya terpikir satu
hal: kepala anaknya akan segera mereka temukan,
dan si bungsu itu akan mereka makamkan dengan
anggota tubuh yang lengkap.
Tak jauh dari pinggir sungai, Dudung berhenti.
Tangannya menunjuk ke tanah, tak jauh dari kakinya.
Dengan mempergunakan sekop yang mereka bawa
dari rumah Sumantri, tanah di dekat kaki Dudung
mulai mereka gali. Di atas, anjing Kurdi melolong
panjang, mengalunkan nada-nada lirih menusuk ke
tulang, menggetarkan hati.
Sumantri menoleh ke atas. la lihat anjing besar itu
mengangkat kepalanya tinggi-tinggi sambil terus
melolong. Seakan-akan meratap ke arah rembulan.
Waktu mendengar hendusan nafas yang keras, ia
menoleh pula ke samping, dan melihat Kurdi juga
tengah menatap rembulan. Wajahnya yang kelam,
keras seperti batu. Sepasang matanya yang kecil dan
menjorok jauh di balik kelopak, berkilat-kilat dengan
ganjil. Dari mulut Kurdi terluncur ucapan-ucapan
mantera yang tidak bisa dimengerti oleh Sumantri. la
sendiri gemetar dan pucat. Di sampingnya, berdiri
anaknya, Dudung, yang masih berusia enam tahun itu.
Tegak dengan diam. Kedua lengannya terjuntai lemas disisi tubuhnya. Mayat anak
itu tak bergerak sama sekali. Terpaku ditempatnya.
Sumantri mengerti. Semacam pengertian yang aneh.
Dalam pikirannya, ia lihat anak itu dengan wajahnya
yang manis, lugu dan kekanak-kanakan, tengah
memperhatikan sang ayah bekerja. Sumantri terus
menggali. Sampai kemudian tubuh anak itu bergerak
ke kiri kanan, dan Kurdi mendesah:
"Hentikan!" Sumantri berhenti menggali.
"Sekarang, gali dengan tangan."
Dengan bernafsu, Sumantri menggaruk tanah dengan
tangannya. Jari jemarinya berubah jadi cakar besi
yang keras dan tajam, didorong oleh keinginan yang
amat sangat untuk melihat wajah anaknya. Sambil
menggaruk-garuk tanah, mulutnya tidak berhentihenti menceracau:
"Anakku, anakku... Biyung, anakku. Dung, anakku...."
Dan air mata menetes tak berhenti, mengaliri kedua
belah pipi. la tertegun sesaat waktu tangannya
menyentuh benda yang dingin dan lunak. Sumantri
mengerling ke arah Kurdi. Orang itu membalas kerlingannya dan
mengangguk. Sumantri mempergunakan kedua belah
tangannya untuk mengeluarkan benda itu dari dalam
tanah. la kemudian naik dari lubang, berdiri di antara
Kurdi dan mayat anaknya. Dengan mata berlinang
dan tubuh gemetar oleh berbagai perasaan, ia
perhatikan benda itu dibawah jilatan rembulan yang
pucat. Sebentuk kepala kecil berlumpur. la usap
dengan jari jemari bagian wajahnya, dan ketika
mengenali wajah dari kepala ditangannya, seketika
Sumantri bergumam: "Ya Tuhan-ku!" Lantas, ia sempoyongan mau jatuh. Kurdi cepat
menangkap tubuh Sumantri dengan sebelah tangan,
"sementara tangan yang lain menyambar potongan
kepala itu. "Ayoh. Ingat. Tabahkan hatimu. Kita sudah berhasil,
bukan"" la menghibur. Nada suaranya kini sudah
sympathi. Sumantri mengeluh panjang pendek, tidak
berani memandang potongan kepala itu, juga tidak
berani memandang mayat anaknya. Ia kemudian
berjalan mendahului naik ke atas. Kurdi mengikuti
dengan susah payah, karena ia tidak saja harus
memegang potongan kepala Dudung, akan tetapi
juga harus membimbing dan sesekali memangku
mayat Dudung yang tanpa kepala.
Tiba di atas, mereka disambut oleh lolongan panjang
sang anjing. Kurdi mengangguk puas. Anjing itu mengibasngibaskan ekornya. Dan sang kuda mendengusdengus keras. Tidak seorang pun diantara mereka
yang berbicara ketika kereta itu mulai bergerak,
dengan bunyi roda yang berderak-derak. Tanpa
dipecut, kuda itu berlari dengan teratur. Sementara
Kurdi menatap ke langit kelam dengan sinar mata
berkilat-kilat ganjil. Mukanya tampak semakin keras,
dan beberapa kali ia mengeluh. Bukan keluh letih,
tetapi keluh yang seakan-akan kesakitan. Ia gelenggelengkan kepala ke kiri kanan, sesekali mengibasngibaskan tangan ke udara seolah mengusir sesuatu
yang tidak tampak oleh mata.
Sumantri yang telah agak pulih kesadarannya,
bertanya enggan: "Ada apa, Pak Kurdi""
"Ada yang marah."
"Siapa"" "Entahlah." Habis berkata begitu, Kurdi kumat-kamit dengan
keras. Kemudian ia melihat ke arah anjing yang
berlari-lari di samping kereta.
"Bantu aku, kawanku," pintanya.
Anjing itu seperti mendengar. Hati Sumantri menciut
waktu melihat bagaimana seekor anjing bisa berlari
sambil melolong-lolong. Setahunya, anjing hanya
melolong selirih itu dalam posisi tubuh duduk di atas
kedua kaki belakang atau berdiri tegak di atas
keempat kakinya, dengan kepala tertengadah.
Kuda di depan kereta mendengus-dengus keras, sekali
meringkik dengan suara menyeramkan, sehingga
Sumantri terpaksa menelan ludah, sambil memandang
berkeliling dengan mata ketakutan.
*** Begitu sadar dari pingsannya, orang yang tadi melihat
mayat Dudung berjalan ke luar memandang seputar
ruangan dengan mata melotot dan wajah pucat
seperti kapas. Ada tiga orang lainnya yang tertidur di
ruang depan itu. Ketiga orang itu tampak nyenyak.
Seperti tidak terjadi apa-apa.
"Ataukah hanya mimpi jelekku saja"" orang itu
berbisik pada diri sendiri.
la mencoba tidur. Tetapi tidak berhasil. Suara dengkur
kawan sebelahnya membuat ketakutan. Seingatnya,
tadi juga ia tidak tertidur. Sumantri sudah
menyuruhnya pulang, demikian juga tiga orang
lainnya, tetangga-tetangga sudah pada pergi, mungkin
juga kini tengah tertidur nyenyak seperti orang-orang
di sebelah kiri kanannya. Akan tetapi, mereka
berempat adalah sanak keluarga yang wajib
menunggui rumah, dan begitu bangun pagi-pagi
besok, harus mempersiapkan segala sesuatunya
untuk pemakaman, ya, pemakaman Dudung. Tetapi
tadi... Ah, sekedar mimpikah"
la tajamkan telinga. Tidak. Tak terdengar suara apa-apa di ruangan dalam
yang... ah, pintunya terbuka! Ketika Sumantri masuk
"tadi, pintunya ia tutupkan. Dan dari dalam ia dengar
suara sepupunya itu tengah berbicara dengan tamu
mereka. Penunggu jenazah yang konon punya ilmu
gaib yang masyhur itu. Pak Kurdi, yang hidup
menyendiri di sebuah rumah kecil, tanpa orang lain
untuk menemani, kecuali seekor anjing, seekor kuda,
dan sebuah kereta di mana ia lebih banyak diam
untuk berkeliling memenuhi panggilan orang-orang
yang membutuhkan pertolongannya.
Dan, kehadiran Kurdi malam ini, adalah atas
permintaan Sumantri, dengan maksud untuk minta
tolong menemukan kepala mayat keponakannya Jadi,
tadi... Seraya menelan ludah, ia berjingkat-jingkat ke arah
pintu ruang tengah. Lalu mengintai ke dalam. Sepi.
Tak ada suara-suara. Tak ada Sumantri tak ada Pak
Kurdi. Dan... juga mayat itu tidak lagi ada di tempatnya.
"Astaga!" ia tersentak. Semakin pucat.
Lalu melihat pada kawan-kawannya yang masih
mendengkur. Dan tiba-tiba menjerit:
"Hai, kalian. Bangun! Bangun! Bangun!"
Ia goncang tubuh mereka satu persatu. Yang seorang
menggeliat. Yang lain menggerutu, lantas tidur lagi.
Yang ketiga, bangun seraya bersungut-sungut. la
mendengarkan penuturan orang pertama dengan
setengah sadar setengah mengantuk. Setengah
mengantuk pula, ia mengintai ke ruang dalam. Dan
apa yang dilihatnya, membuat suara bersungutnya
semakin menjadi. "Lantas itu, apa, eh"" ejeknya, seraya menunjuk.
Yang ditanya, melongokkan kepala ke dalam.
Matanya seakan mau terloncat ke luar. Di atas tikar,
di tempat di mana barusan ia melihat hanya ada kainkain selendang menutup mayat, ia lihat kain-kain
selendang itu memang menutupi sesosok tubuh kecil.
Sesaat, ia memandang temannya dengan bingung.
Tatap dan seringai ejekan yang ia peroleh. Puas
mengejek, sang teman lantas tidur kembali, tak lupa
meninggalkan umpatan: "Dasar penakut!"
Yang diejek sakit hati. Memang, ia takut. Tetapi, ia
ingat apa yang pertama kali dilihatnya. Mayat
berjalan ke luar. la pingsan. Bangun kembali, ia lihat
ruangan tengah yang kosong. Lalu membangunkan
teman-temannya yang lain, dan kini... mayat itu telah
ada di tempatnya semula. Mungkinkah" Dan ke mana
Sumantri" Ke mana dukun itu"
Ya, ya, ia takut. Tetapi ia tidak mau menyerah begitu
saja. Dengan kaki gemetar, ia merangkak hati-hati
masuk ke ruang dalam. Kain selendang ia singkapkan.
Itu memang mayat Dudung, beku dan dingin,


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa..... Seraya memejamkan mata, ia bergerak mundur
kembali ke ruang depan, lantas membaringkan tubuh
di samping temannya yang telah mendengkur
kembali. Ia berbaring di sana diam-diam, tidak berani
bergerak, apalagi untuk membuka matanya.
Di luar rumah, Sumantri bergumam:
"Ia sudah tidur kembali!"
Kurdi menarik pandangannya
?"Bab 2 Dengan matanya yang menembus
pintu depan terus ke ruang dalam, ke arah kain
selendang terhampar. Perhatiannya berpindah pada
orang yang baru saja membaringkan tubuh, lewat
kaca jendela. Lantas bersungut:
"Untung aku berhasil menyesatkan pandangan mata
mereka," lalu seraya menimang potongan kepala
anak kecil di tangan yang satu dan menggenggam
telapak tangan kecil Dudung di tangan yang lain, ia
melanjutkan dengan perasaan lega: "Kalau tidak,
penyempurnaan jasad anakmu ini akan gagal kita
lakukan...." Mereka kemudian membuka pintu, masuk ke dalam
dan berharap orang tadi tidak bangun kembali. Orang
itu memang tidak bangun, tidak pula membuka mata
untuk melihat apa yang didengar telinga: suara
langkah-langkah kaki membuka pintu rumah.
Langkah-langkah kaki orang
dewasa. Dan langkah-langkah kaki anak kecil...
Begitu berbaring, tubuh si kecil Dudung, diam tidak
bergerak-gerak. Waktu menutupkan selendang
sampai pertengahan dada mayat, tangan Sumantri
terasa menyentuh tubuh yang beku dan dingin. Tidak
lagi kehangatan. Tiada lagi gerakan. Sosok tubuh itu
memang telah mati. Dengan air mata berlinang, ayah
yang malang itu memperhatikan kepala anaknya
yang masih terpisah dengan leher. la telah mencoba
menyatukannya, namun toh masih jelas terlihat garis
pemisah berwarna pucat kebiru-biruan diselemaki
oleh darah mengering. "Dudung, betapa malang nasibmu, nak," keluh
Sumantri. Lirih dan sakit. "Apa dosamu, sehingga
harus engkau yang dijadikan tumbal untuk jembatan
terkutuk itu"" Habis berkata begitu, Sumantri menangis terisak-isak.
Kurdi menghela nafas. "Sudah"ah," katanya. "Ditangisi
pun anakmu tidak akan hidup kembali. Yang penting,
harus kita sempurnakan jasadnya. Untuk itulah aku
kau minta datang, bukan""
Sumantri mengangguk. Patah-patah.
Kurdi meneruskan: "Sudah kita temukan kepalanya. Sekarang, tinggal
penyempurnaannya. Ketabahan masih diperlukan."
Dengan mata basah, Sumantri memandang Kurdi.
"Apalagi yang harus kulakukan"" tanyanya dengan
bersemangat. "Tak ada." "Tidak"" "Ya. Kecuali ketabahan. Dan hati yang ikhlas."
"Maksud bapak""
""Relakan kematian anak ini."
Sumantri menangis lagi. Sesenggukan. "Dudung yang
malang," isaknya. "Mengapa ia.."
"Kau relakan""
Lama baru terdengar sahutan:
"Demi anakku, aku rela."
"Tak ada dendam""
Sumantri diam. "Camkanlah," ujar Kurdi mengingatkan. "T idak ada
orang yang bisa kau tuduh. Tidak ada bukti, anakmu
dijadikan tumbal. Orang pasti angkat bahu. Mungkin
mentertawakan. Lantas mengelak dengan alasan, toh
anak ini bisa mati di mana saja Oleh siapa saja.
Hanya kebetulan yang menyebabkan kepala anak ini
tertanam di bawah jembatan. Begitulah yang sering
terjadi. Apa sebabnya ia mati, orang tidak peduli.
Memang diselidiki, tetapi penyelidikan akan berhenti
suatu ketika. Dengan dua kemungkinan. Penyelidikan
dihentikan berkat pengaruh sejumlah uang. Atau
kalau pun si pembunuh diketemukan, hanya ia yang
dihukum, terpantang bagi seorang dukun pencari
tumbal, untuk mengakui bahwa ia melakukan
pembunuhan itu atas permintaan seseorang..."
Kurdi berhenti sebentar. Ia memperhatikan Sumantri,
untuk melihat reaksi ayah yang malang itu, akan
tetapi, perhatian Sumantri hanya tertuju pada bagian
tubuh anaknya yang terpisah. Begitupun, apa yang
diutarakan oleh Kurdi, jelas terdengar di telinganya.
Kurdi yakin akan hal itu, dan dengan keyakinan itu ia
melanjutkan: "Jadi begitulah. Sekali ucapan itu terlontar dari mulut
si dukun, ia akan mencelakakan diri sendiri. Toh orang
lain hanya meminta ia agar membantu keselamatan
pembangunan jembatan, bukan untuk membunuh
seorang anak yang tidak berdosa. Ada dukun yang
minta tumbal kambing atau kerbau. Tetapi ada pula
yang menjadikan tumbal nyawa manusia. Sayangnya,
pemborong jembatan itu minta bantuan ke alamat
yang keliru. Dan jangan lupa. Mayat anakmu akan
kita sempurnakan. Bila itu terlaksana, mana ada yang
percaya bahwa kepala anakmu pernah dijadikan
tumbal" Sukar membuktikannya. Kecuali, bila kau rela
anakmu kita makamkan seperti keadaan yang
sekarang..." Sumantri memperhatikan mayat anaknya lagi. Lagi
dan lagi. Lalu: "Tidak. Anakku harus dimakamkan dalam keadaan
yang utuh." "Kalau begitu, lupakanlah dendammu."
"Dan membiarkan dukun terkutuk itu tidak menerima
akibat perbuatannya"" dengus Sumantri, tajam.
"Dukun itu akan menerima akibatnya. Percayalah."
"Bagaimana Pak Kurdi tahu" Bahkan kita tak tahu
siapa orangnya." Kurdi memandang mayat Dudung: "Anak ini tahu
siapa orangnya." Sumantri ikut pula memperhatikan mayat anaknya."
Tetapi ia...." "Jasadnya. Memang jasadnya sudah mati. Tidak
rohnya. Roh anakmu masih hidup...."
Pengertian yang ganjil membersit di kepala Sumantri.
Wajahnya memucat. Lantas dengan suara kering, ia
bergumam: "Anakku mau kau suruh membunuh""
Kurdi tersenyum. Tipis. Jawabnya:
"Anakmu tidak akan membunuh dengan tangannya
sendiri. Percayalah..."
"Bagaimana mungkin""
""Kalau tidak, tak akan kau memintaku datang!"
Sumantri menelan ludah. Lalu tercenung, lama,
memandangi mayat anaknya. Airmatanya menetes
pula. Kurdi berkata dengan suara menghibur:
"Tidurlah sekarang. Ada yang harus kukerjakan. Bila
kau bangun pagi-pagi, mayat anakmu sudah dalam
keadaan utuh. Aku berjanji...!"
Tuan rumah menatap penunggu jenazah itu.
Kemudian, bangkit, dan berjalan masuk ke kamarnya,
menutupkan pintu dengan enggan, lantas berbaring di
samping isterinya yang rupanya karena letih tubuh
dan jiwanya, sudah tertidur resah dengan mata
bengkak bekas menangis. Sepeninggal Sumantri, Kurdi mengheningkan cipta.
Dari pedupaan, mengepul asap menyan dengan
baunya yang khas. Berulang kali asap menyan itu ia
hirup, berulang kali pula ia kumat-kamit membaca
mantera. Sekali, tubuhnya tergoncang keras dan
keringat menetes ke lantai. Dengan mata liar, Kurdi
memandang seputar ruangan. Dari mulutnya lepas
ucapan membantah: "... memang aku. Memang aku yang mengambil anak
ini. Tetapi aku tidak bermaksud mencelakakan
engkau!" Diam lagi. Tergoncang lagi tubuhnya.
Lantas: "Terkutuk" Pekerjaan kita memang sama-sama
terkutuk. Kita sama-sama pengabdi setan. Tetapi aku
tidak pernah mencabut nyawa-nyawa orang yang
hidup. Aku hanya mengganggu orang-orang yang
telah mati. Dan kau" Kau""
la meludah. Tiga kali. Ke udara!
Terdengar angin bersiuran kencang. Jendela
terhempas membuka. Dan, rembulan yang pucat, mengintai ke dalam. Ada
lolongan anjing. Keras. Dan dengus kuda. Keras.
Kurdi menggoyang-goyangkan kepala dengan keras,
kumat kamit lagi. Menambah menyan ke dupa,
berpercik-percik apinya. Pakaian yang ia kenakan
basah oleh peluh, demikian pula rambut dikepalanya.
Ketika gerakan tubuhnya perlahan berhenti, tatapan
matanya terpusat ke kepala yang terpisah dari leher
Dudung. "Demi kesempurnaan jasadmu, bergeraklah, arwah
anak yang tersiksa!"
Tiada gerakan. Tapi, ada suara. Suara seorang anak, suara bocah
yang menangis. Sayup-sayup sampai, terdengar dari
mulut di kepala Dudung. Suara tangis yang
memilukan itu mengaung di seluruh ruangan.
Kurdi memejamkan mata rapat-rapat. Di kamarnya,
Sumantri terlonjak duduk. Di ruang depan, saudara
Sumantri yang disesatkan pandangan matanya oleh
kekuatan gaib Kurdi, terpentang lebar matanya, tetapi
segera memejamkan matanya kembali seraya
mengerang: "Celaka. Mimpi buruk lagi!"
Tangis bocah itu menyayup, kemudian lenyap dibawa
angin yang bertiup lewat jendela.
*** Puluhan kilometer letaknya dari kampung Sumantri,
seorang laki-laki setengah umur, tersentak dari
duduknya yang resah. Di atas meja yang ia hadapi,
terletak sebuah baskom besar berisi air bening. Di
dasar baskom, terbenam segumpal darah yang telah
dibekukan. Darah yang telah beku itu, secara
berangsur-angsur mulai mencair. Warna air berubah
jadi merah, merah dan semakin merah. Permukaan
air bergolak seperti digerakkan oleh
tangan-tangan yang tak mau diam. Meja sama sekali
tidak bergerak, demikian pula laki-laki setengah baya
itu. Diam di tempat duduknya dengan tubuh tegang,
ia dengar tangis bocah yang sayup-sayup sampai.
la tutup telinga dengan kedua telapak tangan. Namun
suara tangis itu malah semakin jelas di telinganya. la
berteriak, marah: "Siapa kau, yang telah kurang ajar mengganggu
tumbalku"!" Tangis bocah itu lenyap seketika.
Orang itu menarik nafas. "Celaka," keluhnya. "Aku
harus memeriksa kesana...!"
Ia bergegas ke luar rumah. Setengah berlari ke
kandang, mengeluarkan seekor kuda berkulit coklat
kehitaman dengan tubuh yang kurus. Tetapi waktu ia
naiki dan pecut, kuda itu berlari dengan keempat
kakinya yang kurus seperti melayang di permukaan
tanah. Tiba di dekat reruntuhan jembatan, ia turun dari kuda.
Subuh hampir datang, ketika ia meluncur ke bawah
bukit berlari naik kembali, meloncat ke punggung
kuda seraya mencaci maki:
"Sialan, aku gagal kali ini!"
Bergegas ia pacu kudanya kearah perkampungan di
mana para pekerja yang akan mulai membangun
jembatan keesokan harinya, menginap.
Sayup-sayup ia lihat kelap kelip lampu, dan sayupsayup suara itu kembali memenuhi telinganya. Suara
tangis seorang bocah. la sudah berhari-hari berkeliling waktu menemukan
seorang anak bermain-main sendirian di tengah
sawah, tak jauh dari sebuah perkampungan. Anak itu
mungkin menemani ayahnya ke sawah, lantas
berkeliaran sendirian selagi orangtuanya bekerja. la
rupanya mengejar seekor kupu-kupu yang bersayap
warna warni, indah sekali.
Kupu-kupu itu ia tangkap, lalu diberikan pada si anak.
"Mau lebih banyak lagi" Yang lebih bagus, biyung""
bujuknya. Anak itu mengangguk. Tertawa senang sewaktu
menerima kupu-kupu yang ia inginkan. Bocah yang
"tidak ia tahu namanya itu, ia bawa menjauh dari
sawah, lalu dinaikkan ke atas kuda.
Anak itu terkejut. Tetapi kuda sudah berlari. Tiba di pinggir sungai, anak
yang mulai ketakutan itu ia turunkan. Tia da lagi
wajah kebapakan, tiada lagi ucapan membujuk.
"Biyung." Yang ada hanyalah wajah kejam, kilatan
golok yang melayang, darah yang memercik kian


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemari, tubuh bocah yang didorongkan jatuh ke kali...
tanpa kepala. Sesaat sebelum kilatan golok itu melayang kebawah,
terdengar suara tangis yang memilukan hati.
Kemudian diam, disusul oleh bunyi benda berat jatuh
tercebur ke dalam sungai...
"Celaka. Mengapa tangis bocah itu terdengar lagi""
pikirnya selagi memacu kuda ke arah perkampungan
dimana para pekerja itu menginap. la harus
membangunkan kepala rombongan pekerja itu
secepatnya, untuk memberitahukan agar
pembangunan jembatan ditunda
untuk sementara. Tentu saja, ia tidak boleh
mengatakan bahwa ia harus mencari tumbal baru.
Katakan saja, harinya yang tidak cocok,
perhitungannya agak meleset. Dan....
Dan suara tangis bocah itu semakin menyayat juga.
Di antara suara tangis, seolah-olah ia dengar si bocah
berkata: "Aku tak mau jadi tumbal. Aku tak...."
Dan ketika ia berhadapan dengan pemimpin
rombongan pekerja yang bangun tergopoh-gopoh,
dari mulut dukun setengah umur itu terlontar ucapan yang oleh
kekuatan yang luar biasa ditelinganya merupakan
ucapan sang bocah: ".... cari tumbal anak lain. Cari tumbal anak lain.
Cari... !" Ucapan sang dukun terputus sampai di situ. Tadi,
waktu ia bangunkan, orang yang berhadapan
dengannya adalah mandor para pekerja jembatan.
Tetapi bersamaan waktunya dengan ia mengucapkan
kata-kata panik diluar kemauannya sendiri itu, tibatiba terjadi perubahan. Yang berdiri di hadapannya,
memang tubuh... Paniknya kian menjadi. "Si... apa... Kk-kau..."" ia
bertanya. Gugup. Wajah bocah di atas leher tubuh si mandor yang
tegap perkasa itu menyeringai. Dari mulutnya tidak
keluar jawaban, melainkan suara tangis yang sangat
menghiba: "Jangan bunuh aku... jangan!"
Sang dukun bermaksud memusatkan pikirannya.
Akan tetapi, mandor yang heran melihat sikap tamu
yang membangunkannya subuh-subuh itu, telah
bergerak dengan perasaan tak senang. la maju ke
depan untuk menampar laki-laki yang ia kenal
sebagai dukun penyelamat pembangunan jembatan,
namun kini bersikap ganjil setelah dengan kurang ajar
membangunkannya dari tidur yang nyenyak di
samping seorang perempuan pelacur.
"Jadah!" ia memaki sambil maju.
Konsentrasi pikiran sang dukun buyar seketika. la
bergerak mundur. "Jangan coba-coba dekati aku..." desisnya.
Tetapi sang mandor bergerak pula maju. Tak perduli.
Untuk pertama kali selama sekian ratus kali
melakukan pengorbanan tumbal seorang anak, dukun
itu benar-benar panik. Untuk pertama kali selama
hidupnya, ia menjadi ketakutan. Belum pernah arwah
korbannya muncul untuk membalas dendam. Dan
sekarang,... Sekarang, tubuh laki-laki dewasa
berkepala anak kecil yang terus menangis dengan
"suara menghiba-hiba itu, dengan cepat telah berada di
hadapannya kembali. Wajah bocah di atas leher yang
perkasa itu, menyeringai. Menyeringai kejam.
"Tidak!" jerit sang dukun. Lantas, golok yang
senantiasa terselip di balik pinggang, berkilap waktu
melayang di udara. "Kubunuh kau. Kubunuh kau!" ia menjerit-jerit seraya
menghunjamkan goloknya berkali-kali. Sang mandor
yang tidak menduga datangnya serangan itu, tidak
bisa mengelak. la terpekik kaget dan kesakitan,
waktu mata golok menebas salah satu lengan yang
tadi terangkat mau menampar dukun itu.
Sebelum kesadarannya muncul kembali, mata golok
telah menyerang bagian tubuhnya yang lain. la
terpekik dan terpekik keras, meraung-mung
kesakitan. Suaranya membahana di subuh itu,
membangunkan penduduk, membangunkan para
pekerja dari tidur yang nyenyak.
Seseorang berseru: "Hai, siapa itu."
Lalu langkah-langkah kaki berlari.
Disusul: "Eh, apa yang kau lakukan""
Dukun itu memandang orang-orang yang
mengerumuninya. Ia tidak mengenal mereka, tetapi ia
melihat wajah-wajah mereka yang marah. Panik, ia
menunjuk kearah korbannya yang menggelepar di
tanah: "Anak ini...." la tidak meneruskan kata-katanya. Yang
dilihatnya telah kembali pada ujudnya semula. Tubuh dan wajah
seorang mandor yang sudah ia kenal. Mandor itu
melejat-lejat sesaat, kemudian menghembuskan
napas yang terakhir dalam sebuah lejatan yang keras.
Ketika tubuh itu telah diam, mati, dukun
memperhatikan orang-orang yang mengerumuninya.
"Pembunuh!" maki mereka, lantas mulai bergerak.
Sang dukun mundur seraya mengamang-amangkan
goloknya. "Jangan mendekat!" ia menceracau. "Atau golokku...."
Pekerja-pekerja itu ragu-ragu. Dan sang dukun
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ia
berlari ke arah kudanya, duduk diatas punggung kuda
yang kurus itu dengan sekali loncatan, lantas:
"Hyyyaaaaal" ia pecut kuda itu keras-keras. Binatang
itu meringkik, kedua kaki depannya terangkat ke
atas, lantas waktu menyentuh tanah kembali,
keempat kaki kuda itu telah berlari.
"Hei, ia kabur!" teriak seseorang.
"Kejam. Jangan biarkan dia lepas!" sambut yang lain.
"Bunuh dia. Bunuh!" dimeriahi oleh teriakan-teriakan
yang menggema memecah kesepian subuh,
memecah gendang telinga sang dukun yang terus
memacu kudanya dengan panik. Tali kekang di
tangannya tegang, tidak terarah. Pikirannya kacau
oleh kejadian yang ia alami, kegagalan tumbal yang
ia lakukan, dan pembunuhan yang barusan ia
lakukan. Selama ia berlari, diantara teriakan
bergemuruh dari orang yang mengejarnya, juga ia
dengar suara tangis yang menyayat menghiba-hiba.
Dukun mengangkat kedua tangan menutupi telinga.
"Pergi Pergi. Pergiiii...!" makinya. la pejamkan kedua
mata. "Pergil Jangan dekati aku lagi. Pergiiiii!"
Kuda tunggangannya meringkik keras. Kedua kaki
depannya terangkat ke udara. Dukun itu terperanjat
oleh ringkikan kuda yang tidak berhenti. Mata ia
pentangkan lebar-lebar, menembus remang-remang
cahaya subuh. Mula-mula ia hanya melihat kegelapan. Kemudian, ia
lihat jurang besar yang menganga. Jauh di bawah, tampak
"sungai mengalir dengan suara ribut. Cepat tali kekang
ia sentakkan. Tetapi sentakan itu tidak tepat. Kuda
terus bergerak, berputar-putar dengan ditumpu kedua
kaki belakang, makin lama makin sempoyongan dan
ketika salah satu dari kaki belakang itu menginjak
kayu jembatan lama yang sudah lapuk, terdengar
ringkikan ngeri dari mulut kuda. Kendali tidak lagi ada
gunanya. Bagaikan sebongkah batu gunung yang
besar dan hitam, kuda itu melayang jatuh ke bawah
membawa tubuh tuannya. Pekik ngeri dukun itu menggema di udara, disambut
oleh si pengang, memantul dari bukit ke bukit,
kemudian terenggut oleh suara hempasan-hempasan
yang keras, benda besar jatuh ke sungai, lalu suara
air mengalir yang acuh tak acuh.
Orang-orang yang mengejar saling susul ke bibir
jembatan, memandang ke bawah. Lama baru
terdengar gumaman: "Manusia biadab itu telah menebus dosanya!"
Dari ufuk timur, matahari pagi itu mengintai.
Cahayanya putih kekuningan, hangat gemerlapan.
Orang-orang bergerak meninggalkan tempat
mengerikan itu dengan diam, tak ada yang
mengeluarkan sepatah katapun juga. Cahaya
matahari pagi menjilat sosok tubuh mandor mereka
yang tergeletak berlumur darah. Mereka
menggotongnya beramai-ramai, masuk ke salah satu
rumah... *** Di rumah Sumantri, cahaya matahari pagi itu masuk
lewat jendela. Orang pertama yang meloncat dari tempat tidur,
adalah Sumantri. Tidak bisa tidur, penasaran,
bercampur baur jadi langkah-langkah bergegas
menuju ruang tengah. Ia lihat Kurdi masih duduk
bersila di samping tubuh mayat anak Sumantri.
Penunggu jenazah itu tampak amat letih, pucat dan
berkeringat. Ia sedang mengusapkan telapak tangan
kanannya ke bagian leher mayat Dudung. Setelah itu,
ia bangkit. Gontai. Lalu berjalan kearah jendela.
Gontai. Sumantri berjongkok di dekat mayat anaknya. Leher
Dudung ia perhatikan. Tidak ada guratan. Yang ada
hanya selemukan darah-darah kering. Sumantri
mengusap darah kering itu. Lalu memperhatikan
dengan tajam. Kepala anaknya telah bersatu dengan
leher. Bersatu seperti tidak pernah berpisah
sebelumnya. Bahkan sama sekali tidak meninggalkan
bekas diperlakukan dengan kejam. Anak itu terbaring
dalam keadaan mati, seolah-olah terbaring dalam
keadaan tidur yang nyenyak dan nyaman. Ada
senyum halus di bibir sang anak. Tersenyum. Sumantri
memeluk tubuh mayat itu, menangisinya dengan
suara tersedu. Orang-orang lain di rumah itu, bergegas masuk
mendengar tangis Sumantri. Mereka berkerumun di
sekeliling mayat. Isteri Sumantri menjerit:
"Anakku! Anakku sayang..." lantas memeluk anaknya,
meratap. terus pingsan. Orang yang tadi malam melihat mayat Dudung
berjalan, melongo sesaat.
Lalu: "Apa kubilang. Aku tidak bermimpi. Dudung memang
keluar untuk... untuk mengambil kepalanya!"
Gumam bergaung di ruang itu, bercampur tangis.
Sumantri menoleh pada sanak keluarganya.
Mendesah, haru: "Jangan. Jangan ada lagi yang menganggap Dudung
mati dengan kepala berpisah dari
badannya. Anak ini mati sempurna. Mati wajar. Harap kalian camkan!"
dan ia menangis pula. Tersendat-sendat. Sekilas,
matanya menangkap bayangan tubuh di jendela.
Kurdi tersadar di sana. Lengan kirinya teracung ke
udara, menyambut terbitnya matahari pagi. Hati-hati,
tangan kanannya membuka pembungkus dari daun
kelapa muda pada bagian luka di urat nadi lengan kiri
itu. Sumantri tidak terlalu jauh untuk bisa melihat
dengan mata kepalanya sendiri. Ketika pembalut dari
kelapa muda itu terbuka, sempat ia lihat bekas luka
oleh goresan pisau cukur. Luka itu dicium oleh cahaya
matahari, mengabur lalu sirna perlahan-lahan. Ketika
Kurdi menarik tangannya dari luar jendela, tiada lagi
bekas luka di lengan kirinya. la tersenyum puas.
Memandang ke arah kuda, kereta serta anjingnya di
luar. Anjing itu menggonggong, lembut. Kuda itu
mendengus. Lembut. Dan kereta itu bergerak kearuh pintu depan.
"Sudah waktunya aku pulang... " gumam Kurdi kearah
Sumantri. Di bawah siraman matahari pagi, kereta kuda itu
bergerak sepanjang jalan perkampungan demi
perkampungan, diikuti pandangan orang-orang yang
kebetulan melihatnya. Kereta kuda yang aneh,
dengan sebuah peti mati di bak belakang, kuda besar
yang hitam legam, serta anjing bertubuh seram
berlari-lari di sampingnya dengan lidah terjulur-julur
keluar. Kurdi memegang tali kekang seenaknya saja. la
biarkan kuda berjalan tanpa tuntunan. Betapa
inginnya ia tidur. Istirahat yang panjang. Kurdi amat
letih. Pekerjaan mencari kepala anak itu tidaklah
sukar. Yang sukar, adalah menyempurnakan jasadnya
agar utuh seperti semula. Ia harus berjuang melawan
pengaruh gelap selama pemusatan pikirannya
meminta bantuan kepala Dudung mengalahkan
kekuatan dukun yang telah memenggal kepala itu
putus dari lehernya. Dan ketika kepala itu akhirnya tidak mengeluarkan
suara tangis lagi, ia tahu pengaruh yang mengitari
dirinya telah lenyap. Dengan beberapa kali usapan,
leher dan kepala itu telah bersatu. Utuh.
Benar-benar pekerjaan yang meletihkan. Setelah
didahului oleh rasa kecewa yang tak tertahankan.


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ya, betapa ia kecewa. Arwah Nengsih Sumarni bangkit dari kuburnya. Kurdi
tahu arwah itu telah berhasil melaksanakan niatnya.
Akan tetapi, arwah Nengsih Sumarni tidak mau
"kembali masuk ke dalam kubur. Betapa Kurdi sangat
kecewa, waktu dalam pemusatan pikiran di sebelah
kubur yang terbongkar hebat itu, ia dengar suara
cekikikan Sumarni: "... kembali" Aku tak bisa. Aku tak bisa!"
Waktu itu, Kurdi masih berusaha membujuk. "Demi
kebaikanmu, Marni. Kembalilah."
"Tidak. Aku tidak bisa kembali. Bumi tidak
menerimaku, manusia pengabdi setan. Tidak
mengertikah kau" Bumi tidak mau menerima jasadku.
Mereka akan segera menguburkan jasad kekasihku.
Tetapi aku tahu, bumi pun tidak akan sudi
menerimanya. Aku tidak mau membiarka n ia
terkatung-katung sendirian. Aku akan ikut dengannya,
berkelana di alam yang penuh kegelapan ini. Kami
orang-orang yang dikutuk, tahukah kau" Kami orangorang yang dikutuk. Kami kawin, meski kami sadar
bahwa kami adik kakak satu susu. Bumi tidak mau
menerima orang-orang terkutuk seperti kami..." suara
Marni berbaur dengan tangis yang memilukan. "Kami
tidak menyesal. Karena kami saling mencintai.
Dengarlah, laki-laki pengabdi setan. Kau telah
menodai tubuhku. Kau telah menjamah perempuan
yang bukan hakmu. Kau telah melakukan apa yang
hanya berhak dilakukan suamiku atas tubuhku.
Ingatlah ini: kami akan kembali pada suatu saat. Kami
akan melawanmu, membalaskan
sakit hatiku...." Suara Nengsih Sumarni tertawa nyekikik, membuat
bulu roma Kurdi berdiri. Ia tidak pernah mengenal
takut, tetapi pelanggaran yang dilakukan Nengsih
untuk segera kembali masuk ke dalam kubur,
membuatnya harus berhati-hati. Semenjak saat itu ia
tidak pernah bisa merasa tenteram lagi.
"Huh!" rutuknya, di antara derak-derak roda kereta.
"Mengapa harus kupikirkan benar. Mungkin ia tidak
kembali memang karena bumi tidak sudi menerima
orang berdosa seperti perempuan itu!"
Lalu ia sentak tali kekang kuda.
*** Matahari sudah sepenggalah langit ketika kereta
mayat yang dikendarai Kurdi memasuki mulut sebuah
desa. Dengan mata setengah mengantuk ia melihat
beberapa orang penduduk tergopoh-gopoh berjalan
kearah sungai yang mengalir di pinggir desa itu serta
membatasinya dengan desa lain. Dari desa yang
bersebelahan Kurdi juga melihat beberapa penduduk
berlari-larian melalui sebuah titian bambu ke tempat
yang sama. Mula-mula Kurdi acuh tak acuh.
"Paling-paling ada anak tenggelam," ia berkesimpulan.
"Mereka sudah cukup banyak untuk menolong. Dan
ah... betapa berat rasanya kantuk yang menggantung
di kelopak mata!" la sentakkan tali kekang kuda. Binatang berkulit hitam
legam itu mendengus. Keras. Kepalanya bergerak ke
samping, seolah memperhatikan majikannya. Enggan,
kaki-kaki kuda itu bergerak maju. Dari mulutnya yang
berbuih, beberapa kali terdengar hendusan-hendusan
keras yang tidak berkeputusan.
"Hem. Kau tentu sudah letih." rungut Kurdi ditujukan
pada kudanya. "Sabarlah. Tidak sampai lima kilometer
lagi, kita akan segera tiba di rumah...."
Anjing yang berlari-lari kecil di samping kereta, tibatiba melolong halus. Kurdi mengernyitkan dahi. Itu
bukan kebiasaan si hitam bermata kemerah-merahan
itu. Dengan lidah terjulur-julur keluar, anjing itu
berlari bukan lurus ke arah menuju jalan yang membelah
desa, akan tetapi justru menyimpang ke arah orangorang semakin banyak berlarian ke pinggir sungai.
"Kurdi bermaksud memanggil anjingnya kembali,
waktu salah seorang dari yang berlari-lari itu, keluar
dari kelompoknya dan bergegas ke arah kereta yang
berhenti tanpa dikehendaki Kurdi.
"Ingin dipecut kau rupanya!" geram Kurdi kepada
kudanya. Namun pecut itu tidak sempat terangkat. Karena
orang tadi telah berada di samping kereta. la adalah
seorang laki-laki tua dengan muka keras dan hitam
dipanggang matahari. Blangkon menutup kepala
orang itu sampai batas pertengahan dahi yang
kulitnya sudah berlipat-lipat.
"Kebetulan!" seru orang itu begitu ia berhadapan
dengan Kurdi yang masih duduk dengan kesal di atas
kereta. "Kebetulan sekali kau lewat, Nak Kurdi...."
Kurdi memperhatikan jenggot yang sudah ubanan di
dagu lancip orang itu, dan mencoba tersenyum
seramah mungkin. "Apa yang terjadi, Pak Suryo""
tanyanya. "Ada mayat terdampar di pinggir sungai..."
"Oh!" cetus Kurdi, seraya tengadah menatap langit,
"Hari masih belum begitu siang. Saya kira waktu
untuk mengurus dan menanam mayat itu cukup
banyak. Bukankah...."
"Kalau cuma itu soalnya," si orangtua memotong
cepat-cepat sambil mengusap-usap jenggotnya yang
menjuntai sampai ke batas dada. "Aku tak perlu
mencegahmu pulang, meskipun kulihat kau sudah
ingin mengukur alas tempat tidur..." orangtua yang
dipanggil Pak Suryo oleh Kurdi itu, tersenyum kecil.
"Ketahuilah, Nak Kurdi. Penduduk desa ini tidak ada
yang merasa kehilangan. Juga desa tetangga di
sana..." ia menunjuk ke seberang sungai.
"Hem!" Kurdi menghela nafas. "Jadi mayat itu terbawa
hanyut dari desa lain""
"Benar. Dan itupun tak perlu kita persoalkan,
andaikata mayat itu mayat orang biasa."
"Orang biasa"" Kurdi menggernyitkan dahi.
"Maksudku, kami mengenalnya dengan baik, seperti
kami mengenal diri sendiri. la bernama...."
"Peti mati tak pernah bertanya soal nama orang yang
akan ditampungnya. Apa pekerjaan orang itu semasa,
hidupnya"" "Dukun." "Melihat sinar mata Pak Suryo yang gusar, saya bisa
menduga tentunya orang itu penganut magi hitam..."
Kurdi menghela nafas sekali lagi. Panjang dan pasrah.
"Baiklah," ia melanjutkan seraya meloncat turun dari
atas kereta. "Saya bisa membayangkan betapa orangorang di sini tidak menyukai orang itu selagi hidupnya,
dan membenci orang itu setelah kematian merenggut
nyawanya...." "Tepatnya, tidak seorang pun yang sudi untuk
mengurus mayatnya," tumbal orangtua itu seraya
berjalan mendahului Kurdi ke arah orang-orang
berkerumun beberapa ratus meter dari jalan desa.
Kurdi menepuk-nepuk punggung kuda sambil
bersungut-sungut: "Jadi ini sebabnya kau memaksa
kereta berhenti, eh""
la kemudian berjalan ntengikuti orangtua itu ke
pinggir sungai. Dari jauh, anjingnya yang hitam legam
dengan matanya yang kemerah-merahan serta
lidahnya yang berlendir berlari lari menyongsong.
Setelah dekat dengn Kurdi, kedua kaki belakang
anjing itu merapat dengan posisi merendah, menjepit
ekornya yang melingkar di bawa perut. Sesaat, Kurdi
tertegun. Sikap ganjil yang diperlihatkan anjing itu,
jelas merupakan suatu pertanda buruk. la mencoba
mengerti arti gonggongan halus serta pandangan
mata sahabatnya itu. Namun suara hiruk pikuk di
pinggir sungai telah menyita perhatiannya.
"Orang-orang menyisi memberi jalan waktu Kurdi dan
Pak Suryo tiba. Sesosok tubuh terlentang di rerumputan yang basah.
la berkaki telanjang. Celananya dibagian lutut robek
besar memperlihatkan kulit yang memar dan tulang
yang tersembul ke luar. Putih seperti salju di antara
warna merah kehitam-hitaman. Darah beku. Memar
yang mengerikan terdapat hampir di seantero bagian
tubuhnya yang lain. Yang membuat kerumunan
orang-orang itu tidak berani terlalu dekat, adalah
posisi tubuhnya. Orang yang telah menemukan mayat
itu telah menyeretnya dari pinggir sungai dimana
mayat terdampar. Karena ingin tahu, tentu mayat itu
telah dibalikkan. Jelas kelihatan, mayat itu seolaholeh
merangkak ke pinggir sungai dan berusaha mencakar
rumput untuk naik. Kedua tangannya berkembang
dengan jari jemari ditempeli rumput dan lumpur,
seakan ingin mencakar langit di atas mereka. Yang
paling menakutkan adalah wajah mayat itu. Pucat
kebiru-biruan, kaku dan memar di sana sini. Kedua
tulang pipinya rekah berdarah yang sudah membeku.
Demikian pula dagu. Bibir sobek memperlihatkan
gigi gigi kuning kehitam-hitaman yang mencuat
dari dalam gusi. Hidung remuk. Tetapi ajaib. Kedua
belah matanya masih tetap utuh. Sepasang mata itu
terbelalak lebar. Tidak ada cahaya sama sekali di
sepasang mata itu. Akan tetapi, Kurdi merasakan jantungnya berdenyut.
Mata itu seperti menatap lurus ke mata Kurdi.
Menuduh. Kurdi mengerdipkan matanya sendiri. Menarik nafas
berkali-kali, lantas meludah ke tanah. Juga berkalikali.
"Kau juga mengenalnya"" tanya Pak Suryo.
Kurdi manggut-manggut. Sahutnya:
"Siapa yang tak mengenal Ki Sanca ini" Ia bisa
membuat perempuan jelek tampak jadi cantik di
mata orang lain yang diingini. Bisa menjadikan orang
yang sehat dan segar bugar tiba-tiba jatuh sakit
bahkan mati. Aku jarang bertemu dengannya, tetapi
sudah sering mendengar tentang sepak terjangnya. Sebenarnya...
sebenarnya aku tidak suka mengantarkan mayat ini
pulang ke rumah keluarganya."
Orang-orang yang berkerumun bergumam dengan
suara menggaung. Pak Suryo mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Gaung
itu lenyap serentak seperti debu tertimpa hujan.
"... kami tahu Nak Kurdi sudah dekat ke rumah," ujar
Pak Suryo. "Desa Ki Sanca setengah hari perjalanan
dari sini. Memang suatu siksaan. Tapi Nak Kurdi, tak
bakalan seorang pun penduduk desa ini yang sudi
pemakaman mereka dihuni oleh Ki Sanca. Juga
demikian desa-desa di sekitar sini. Jadi, tak ada jalan
lain. Mayatnya harus dipulangkan ke keluarganya,
atau kita buang kembali ke sungai. Saya tahu, Nak
Kurdi tidak tega untuk melakukan hal yang terakhir...."
Kurdi menggelengkan kepala. Katanya, lesu:
"Bukan itu maksudku. Aku... ah, mata Ki Sanca ini
benar-benar tidak kusukai sama sekali."
Orang-orang bergumam lagi. Ramai.
"Baiklah!" akhirnya Kurdi berkata dengan suara
dikeraskan untuk menenteramkan orang-orang itu.
"Aku bersedia mengantarkannya!"
Wajah-wajah pucat dan layu di sekelilingnya,
seketika berubah cerah. Meskipun enggan, mereka
kemudian bersedia mengangkat mayat yang sudah
tidak karuan bentuknya itu menggotongnya beramairamai ke jalan dan kemudian memasukkannya ke
dalam peti mati di bak kereta Kurdi. Penunggu
jenazah itu meludah berkali-kali dengan pandangan
"tidak senang melihat peti matinya diisi oleh mayat Ki
Sanca. Perasaan tidak senang itu dalam hati kecilnya
bercampur baur dengan perasaan cemas yang tidak
berujung pangkal. Pandangan mata dari mayat itu
tidak lepas dari benaknya. Seolah-olah sepasang mata
yang terbuka lebar di wajahnya pucat serta rusak itu,
berusaha menembus papan penutup peti mati,
berusaha menjilati sekujur tubuh Kurdi yang sudah
naik ke tempat duduk kereta.
Kurdi merasa kuduknya bergidik.
Seolah ada yang mencakar. Jari jemari yang
mencengkeram, keras, kaku serta dingin. la belum
pernah secemas ini menghadapi mayat seseorang.
Tak perduli orang itu seorang haji atau seorang
pemuja setan. la coba menenteramkan hatinya
dengan ingatan bahwa ia merasa tidak ada hubungan
apa-apa dengan Ki Sanca, tidak pernah berbuat
sesuatu yang melukai hati dukun itu semasa
hidupnya. "Diamlah baik-baik di tempatmu kini terbaring," Kurdi
menoleh ke arah penutup peti mati sebelum
menggerakkan keretanya meninggalkan tempat itu.
"Aku toh mau mengantarmu pulang. Mana gratis!" ia
tersenyum sendiri, lantas mulai memecut kuda.
Binatang itu menggerakkan kedua kaki-kaki
depannya dengan serempak.
Kereta bagai terlonjak, kemudian berlari tanpa
tergesa-gesa. Di sampingnya, sang anjing mengikuti
dengan enggan. Lolongannya sudah tidak terdengar
lagi. Lidah tak lagi terjulur, demikian pula dengan
ekor, kini mengibas-ngibas ke kiri ke kanan.
Kerumunan orang-orang yang mereka tinggalkan
tidak beranjak dari tempat masing-masing berdiri
terpaku. Makhluk-makhluk yang berlari menjauh itu
tetap ganjil di mata mereka. Sebuah kereta tua
dengan peti mati berisi mayat, seorang laki-laki
bermuka tirus dan pucat di tempat duduk, kuda yang
mendengus-dengus serta anjing bermata kemerahmerahan.
Penduduk desa itu memang membenci mayat yang


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbaring dalam peti mati. Namun itu tidak berarti,
bahwa mereka semua menyukai orang yang dikenal
di seantero daerah itu sebagai penunggu jenazah.
Konon, jenazah-jenazah orang-orang yang mati
penasaran. Itu bukan pekerjaan
yang enak untuk dipegang, dan bukan jabatan yang
mudah memperolehnya. Kurdi itu senantiasa bergaul
dengan mayat, dan mayat senantiasa bergaul dengan
setan. Bukankah tidak mungkin Kurdi sendiri dalam
tugasnya sering juga melakukan hubungan dengan
setan" Dan setan memang tengah merajalela di kepala Kurdi.
Setan kantuk. Saking tidak tahan, di kaki sebuah bukit kereta ia
hentikan. Setelah memandang acuh tak acuh ke arah
peti mati, ia meloncat turun dari tempat duduk. Kereta
ia tinggalkan di pinggir jalan, dan membiarkan
kudanya yang seluruh tubuhnya sudah basah oleh
peluh, merumput di antara semak belukar. Kurdi
berjalan ke bawah sebuah pohon yang berdaun
rimbun, diiringi oleh anjing kesayangannya.
Waktu Kurdi merebahkan tubuh di rerumputan, anjing
itu menjilati tangannya. Kurdi menepiskan mulut
binatang itu. Terdengar lolongan kecil yang sayupsayup, dan sinar mata kemerah-merahan di bawah
kelopak berbulu hitam legam itu memperhatikan
perasaan hatinya kepada Kurdi.
"Apa yang kau khawatirkan"" rungut Kurdi pada
anjingnya, dan acuh tak acuh mengatupkan kelopak
matanya. Dedaunan yang rimbun, rumput yang sejuk dan angin
"yang berhembus dari pegunungan, membuai Kurdi
sehingga ia terlelap dalam seketika. la tidur dengan
nyenyak. Tidak perduli pada waktu. Tidak perduli pada
rintihan anjing, serta dengus-dengus resah dari sang
kuda. Tidak perduli pada matahari yang tak lama
kemudian tergelincir di ufuk barat. Malam telah jatuh.
Bersamaan dengan itu, tutup peti mati pelan-pelan
bergeser terbuka.... Tiada suara apa pun yang terdengar waktu tutup peti
mati itu bergeser ke samping. Perlahan sekali. Kuda
yang berdiri tak jauh di depan kereta mengangkat
kepalanya sedikit. Matanya berkilat-kilat memandang
ke arah peti mati yang tutupnya bergeser semakin
lebar. Binatang itu mengangkat kepalanya lebih tinggi,
dengan bibir-bibirnya yang tebal ternganga
memperhatikan gigi-gigi panjang, besar-besar dan
kuning. Rupanya kuda itu ingin meringkik, namun yang keluar
dari mulutnya hanya hendusan halus semata.
Lambungnya kembang kempis dengan hebat
pertanda betapa ia tersiksa oleh keadaan itu.
Binatang itu kemudian menoleh ke arah tuannya yang
berbaring di bawah pohon. Dalam kegelapan, Kurdi
tampak seperti seonggok kayu mati. Hanya suara
dengkurnya yang jelas terdengar memecah kesepian
di kaki bukit itu yang memberi petunjuk bahwa si
penunggu jenazah masih hidup adanya.
Tutup peti itu bergeser semakin lebar. Kemudian
sebuah tangan tampak menjulur ke luar. Pucat bagai
kapas, seakan merahup angin malam yang
berhembus enggan. Tangan itu menggapai tepi tutup
peti mati, menggerakkannya lebih cepat sampai
benar-benar menganga lebar. Dengan sedikit
dorongan, tutup peti itu terjatuh ke samping.
Terdengar suara berderak yang lembut.
Di bawah naungan dedaunan pohon yang rimbun,
Kurdi menggeliat. Mulutnya berkecap-kecip tidak
menentu, menggeliat lagi lalu diam tidak bergerakgerak. Suara dengkur kembali menggema mengisi
kesepian malam. Dari dalam peti mati yang menganga, pelan-pelan
terjulur ke luar sebuah kepala yang memar-memar
dan luka. Bulan yang baru saja muncul menjilati
cahaya kemerah-merahan yang menetes dari lukaluka itu, mengalir membasahi leher yang biru lembab
bekas benturan benda keras, lalu kemudian
mengendap di kain kemeja yang kotor oleh lumpur.
Ki Sanca kini terduduk dalam peti mati.
Sepasang matanya mengedip. Berkali-kali. Mata itu ia
seka dengan tangannya. Menghilangkan rasa perih.
Kemudian ia seka juga darah yang menetes dari
dahinya, bergumam setengah marah lantas
memandang berkeliling. Mula-mula ia melihat jalan
yang lengang dan hitam, semak belukar di kiri kanan
serta batang-batang pohon yang tegak menjulang
dengan kukuh, tak ubahnya raksasa-raksasa yang
diam tidak bergerak-gerak, balas menatap
pandangannya. Malam pun jadi ikut terdiam. Juga
kuda tak jauh di depan kereta. Dan seekor anjing
meringkuk dengan kepala menempel di atas
rerumputan, ekor menyipat diantara kedua kaki
belakang, serta mata kemerah-merahan tidak
berkedip sedikitpun juga.
Ki Sanca kemudian melihat sesosok tubuh yang
berbaring di sebelah anjing itu. Sepasang mata di atas
pipi-pipi yang pecah-pecah berdarah itu, mengecil
tibatiba. Dari mulutnya tercetus desisan lemah:
"Kurdi. Si penunggu jenazah!"
Desisan itu disusul oleh geram yang tidak
"berketentuan. Mulut Ki Sanca yang sobek dengan
susah payah berusaha mengeluarkan manteramantera. Bunyinya seperti suara nyinyir seekor
monyet tua yang cerewet, diiringi gerak tangan yang
berulang-ulang menebas ke kiri kanan. Dengkur Kurdi
tenggelam ditelan oleh suara Ki Sanca yang terus
membaca mantera tanpa berhenti walau setarikan
nafas sekalipun. Suaranya makin lama makin tinggi.
Anjing Kurdi pelan-pelan menggeram. Geramannya
pun tenggelam ditelan suara mantera Ki Sanca. Kepala
anjing itu terangkat. Terdengar lolongan lirih lepas
dari moncongnya. Lolongan itu terhenti waktu Ki Sanca
pelan-pelan berdiri. Tepatnya, merangkak dalam
usahanya untuk bisa berdiri tegak. Tetapi tempurung
salah satu lututnya yang remuk, menggagalkan
keinginannya. Ki Sanca meringis oleh rasa sakit yang
hebat, dan berusaha menahan sakit itu dengan
menyumpah-nyumpah tidak menentu. la terus
merangkak, keluar dari peti mati, turun dari kereta
dan setelah kakinya menginjak tanah, tubuhnya yang
letih serta sakit-sakit ia sandarkan pada bak kereta.
Berdiri dalam posisi serupa itu, mulutnya kembali
kumat-kamit membaca mantera. Sesekali ia tujukan
pandangan kedua matanya kearah Kurdi. Sesekali
pula terdengar ia bertanya. Tajam.
"Mengakulah!" Kurdi mengerang dalam tidurnya.
"Mengakulah!" Kurdi bergumam dalam tidurnya:
".... aku... aku...."
"Kaukah orangnya""
"... ya!" "Jadah!" Tidak ada sahutan dari mulut Kurdi. Hanya keringat
berbutir saja yang menetes keluar dari ujung
hidungnya. Hidung itu kembang kempis dengan cepat,
berusaha menghirup udara sebanyak mungkin. Mulut
Kurdi terbuka, melepas nafas panjang berkali-kali.
Kedua belah matanya masih terkatup rapat, waktu Ki Sanca
menyeringai kejam lewat bibirnya yang sobek dan
bengkak-bengkak. "Kau beruntung. Kekuatanku tidak seberapa dalam
keadaanku yang serupa ini. Tetapi suatu waktu,
kelak...." Ki Sanca meludah. Lalu bergerak menjauhi kereta,
menjauhi tempat itu dengan menyeret sebelah
kakinya yang hancur. la berjalan tersuruk-suruk tanpa
menoleh lagi ke belakang, sesekali terjatuh tanpa
mengaduh, bangkit juga tanpa mengaduh, lalu
berjalan terus, tersuruk-suruk. Tubuhnya kemudian
lenyap dalam kegelapan malam di antara bayangbayang pepohonan.
Barulah pada saat itu, kuda yang berdiri di depan
kereta, tiba-tiba menggerakkan seluruh tubuhnya
yang kejang kaku. Kedua kaki depannya terangkat
tinggi, kemudian menjejak dengan suara keras dan
ribut ke tanah. Dengusannya yang ribut disambung
oleh raungan anjing yang melengking tinggi. Anjing
itu berlari-larian ke arah sosok hitam tadi menghilang
di antara pepohonan. Lalu menyalak berkali-kali.
Menyalak ribut, tanpa berusaha untuk mengejar.
Suara yang riuh rendah itu seketika membangunkan
Kurdi dari tidurnya yang nyenyak namun gelisah.
Begitu matanya terbuka, begitu ia terlonjak berdiri.
Perhatiannya langsung tertuju ke atas kereta. Ia
melihat peti mati sudah terbuka. Tutupnya terkapar di
samping peti. Dengan kaki-kaki yang gontai, Kurdi
berjalan ke arah kereta. Di sana, ia tertegun, dengan wajah mendadak pucat.
Tanpa melihat ke dalam peti mati, ia telah tahu apa
yang terjadi. "Hem!" Kurdi mendengus. Lantas bersiul. Anjing yang
masih menyalak-nyalak ke arah pepohonan berlarilarian mendatangi Kurdi. la menjilati kaki tuannya
dengan erang-erangan lirih tidak berkeputusan.
Kurdi mengangguk. "Aku tahu. Aku tahu," katanya.
"Kalian telah berusaha membangunkan aku.... Biarlah.
Ki Sanca sudah pergi. Jadi ia belum mati. Hem. Sudah,
sudah. Kalian jangan ribut lagi. Sudah waktunya kita
pulang, sekarang. Biarin manusia yang bangkit dari
kematiannya itu menempuh jalannya sendiri. Itu lebih
baik. Kita tak usah bersusah payah lagi
mengantarkannya...."
Akan tetapi, ketika Kurdi sudah menghenyakkan
pantat di atas tempat duduk dan kereta itu mulai
bergerak ke arah mereka semula datang, belakang
kepala Kurdi terasa berdenyut-denyut. Dahinya
melipat, dan mataya mengecil tanpa sinar,
memandang lurus ke depan, ke arah kegelapan. Jalan
yang mereka lalui kadang-kadang bersiram sinar
rembulan, kadang-kadang seperti lenyap ditelan bumi.
Tetapi kuda yang menarik kereta sudah tahu ke mana
jalan pulang. Kurdi tidak perlu
merasa gelisah. Yang ia gelisahkan, adalah bau tak
enak dari udara yang berhembus ke kiri kanan
tubuhnya. la mencium adanya pandangan mata
tersembunyi dari tengah kegelapan, tanpa Kurdi bisa
melihatnya. Hanya nalurinya yang merasakan. Naluri
itu mengatakan padanya. "Ki Sanca telah berhasil
menarik keterangan dari mulutmu."
Keterangan! Keterangan apakah itu gerangan" Dalam tidurnya,
Kurdi tidak merasa bermimpi. la begitu nyenyak oleh
karena letih, kurang istirahat dan tidak kuat menahan
kantuk yang begitu hebat menyerangnya. Diam-diam
ia menduga, kantuk itu semakin menjadi begitu tubuh
Ki Sanca yang mereka sangka sudah menjadi mayat,
dinaikkan ke atas kereta, dan terbaring dalam peti
mati selama perjalanan mengantarkan dukun itu
pulang ke kampungnya. "Ia tidak mati," geram Kurdi. "la tersiksa hebat, entah
kecelakaan apa yang menimpa dirinya. Tetapi
sebelum kematian datang, Ki Sanca pasti masih
"keburu bersemedi. Semedinya itu berhasil
menolongnya dari cengkeraman malaikat maut yang
sudah mengulurkan tangan. Pantas... Pantas
pandangan matanya seperti mengandung arti.
Siapakah yang dituduhnya" Orang-orang kampung
itu" Atau... aku""
Kurdi menghela nafas. Belakang kepalanya berdenyut semakin keras.
Otaknya bekerja lembur. Lalu tiba-tiba ia berhasil
menyimpulkannya. Dan kesimpulan itu, membuat
Kurdi terhenyak di tempat duduknya, dengan wajah
semakin pucat, dan bibir gemetar dan kering
kerontang. Dengan liar matanya
memandang ke kegelapan. Mencari-cari. Ia tidak
menemukan apa yang ia cari. Otaknya yang masih
kerja lembur, memberikan kesimpulan kedua. Kurdi
menyeringai. Kecut. "... bahaya itu tidak akan muncul sekarang,"
gumamnya sendirian. "Kalau Ki Sanca mau, ia bisa
mencelakakan aku selagi tidur.... Terkutuk, mengapa
sebelum rebah dibawah pohon itu, aku lupa membaca
mantera-mantera penjaga diri" Ah. Di tempat yang
begitu sepi dan nyaman, masih juga berhembus angin
jahat. Salahku sendiri. Tidak memperhitungkan
kemungkinan Ki Sanca belum mati!"
la sentak tali kekang. "Hiiiaaaaa!" bentaknya.
Malam seperti berderak. Dan roda-roda kereta ikut
berderak. *** Menjelang Subuh, Ki Sanca tiba di rumahnya. Isterinya
yang membuka pintu untuknya. Perempuan setengah
baya itu menjerit lirih waktu melihat sosok tubuh
mengerikan yang terhuyung-huyung jatuh kearahnya,
waktu pintu ia buka. Kalau tidak mengenali pakaian
suaminya yang sudah robek-robek dikotori lumpur
bercampur darah itu, tentulah ia sudah meninggalkan
pintu depan dan menghambur masuk kembali ke
kamar tidurnya, bergulung di bawah selimut.


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ki...!" jeritnya, lalu membungkuk untuk memeriksa
tubuh itu. "Ki! Apa yang terjadi denganmu" Apa Ki"
Apa"" Dengan air mata bercucuran, si perempuan menyeret
tubuh suaminya ke kamar, membaringkannya diatas
tempat tidur dan dengan ribut menangis di samping
tempat tidur itu. Mulut Ki Sanca yang robek mengeluarkan suara
tersendat-sendat: "... ambilkan ramuan-ramuan itu. Jangan cuma
menangis. Cepat..." Yang disuruh cepat-cepat berdiri. Cepat-cepat pula
berlari ke luar, masuk ke sebuah kamar lain yang
terkunci. la ribut mencari anak kunci, membongkar isi
lemari, menggapai-gapai ke bagian atas bendul pintu
dan jendela, meraba-raba dalam rak, sampai akhirnya
ia berlarian lagi ke kamar tidur untuk menanyakan di
mana suaminya menyimpan anak kunci.
"Bodoh!" rungut Ki Sanca. "Ludahi saja pintu itu!"
Si isteri berlari lagi ke luar. la ludahi pintu berkali-kali.
Setelah itu daun pintu ia dorong. Demikian keras,
sampai terhempas membuka. Berdebam bunyi daun
pintu menghantam dinding. Si perempuan menerobos
masuk. Dalam jilatan lampu minyak, matanya mengitari
ruang sempit dan berbau pengap itu. Sebuah meja
yang diatasnya terletak baskom, panci-pa nci berisi
darah yang sudah dibekukan, golok berkilat-kilat
terselip di antara tumpukan tulang belulang manusia,
kemudian sekaranjang rempah-rempah di bawah
meja. Ia rahup sebagian rempah-rempah itu, memasukkan
"ke baskom yang kemudian dicampurnya dengan
segumpal darah, diisi air gentong, kemudian
membawanya ke kamar tidur.
Susah payah, Ki Sanca berhasil duduk.
"Segera setelah aku sembuh, si penunggu jenazah itu
akan tau rasa!" umpatnya, lalu mulai membaca
mantera. Di luar, angin subuh bertiup dengan kencang.
Perempuan yang berdiri dengan muka pucat di
samping tempat tidur, menggigil seketika. la berjalan
ke luar, dan menutupkan pintu cepat-cepat.
*** Tak ubahnya sebuah meja jagal yang bundar dan
bidang, langit di ufuk barat tampak berwarna merah
darah kekuning-kuningan. Matahari baru saja
merangkak ke balik bukit. Warna merah darah
kekuning-kuningan itu berpadu dengan kehijauan
dedaunan rimbun sebuah pohon beringin yang
tumbuh telah beratus-ratus tahun lamanya di pinggir
hutan. Percikan-percikan sisa-sisa sinar matahari mengintip
lewat celah dedaunan, menerpa akar-akar beringin
yang berjuntai seperti ratusan ekor ular-ular raksasa
yang saling berpagut, mengelilingi bagian samping
dan belakang sebuah rumah kecil beratap ijuk.
Sebagian dari cabang pohon beringin itu menyapu
dinding setengah papan tepas dengan daun-daunnya
yang beriak-riak ditiup angin senja, menimbulkan
suara berisik lembut ditengah-tengah kesepian yang
mencekam di sekelilingnya.
Seekor kuda mendengus keras di sebuah kandang.
Dari kejauhan, di dekat pintu masuk kelihatan
sebongkah benda berwarna hitam Iegam bagai
melata di tanah. Semakin dekat, bongkah itu semakin
berbentuk dan tiba-tiba berdiri tegak di atas keempat
kaki-kakinya yang ramping dan kukuh. Ekor di
belakang tubuhnya mengibas ke kiri dan ke kanan.
Benda yang tidak lain dari seekor anjing itu
menggereng dengan suara mengilukan tulang.
Kepalanya tegak dengan mata yang merah
memandang tajam pada seorang laki-laki yang
muncul di pekarangan. Nafas orang itu terengahengah. Pakaiannya basah oleh peluh, demikian pula
wajahnya yang tampak legam.
Selama beberapa saat, laki-laki itu bersandar ke
batang kayu pagar pekarangan, berusaha mengatur
nafas. Matanya tidak beranjak dari anjing yang
sebaliknya tidak pula mau melepaskan pandangannya
dari tamu asing yang baru muncul itu.
Sesaat, jantung si laki-laki menciut melihat warna
darah di mata anjing itu.
"Ehem!" la terbatuk. Atau sengaja batuk.
Keras. Anjing itu tiba-tiba menggonggong.
Keras. Si lelaki mundur setapak. la memandang ke kiri
kanan. Tak tau apa yang akan ia cari. Tetapi
andaikata ia harus berjuang, sebuah kayu atau
sebongkah batu mungkin bisa menolong. Akan tetapi,
setelah menggonggong keras, anjing bertubuh kekar
hitam itu kemudian mengibas-ngibaskan ekornya
perlahan-lahan, lalu meringkuk kembali di atas kedua
kaki belakangnya. Sepasang telinganya yang panjang,
jatuh lunglai di kedua samping kepala. Lidahnya
terjulur keluar, memperdengarkan suara mendengusdengus. Sepasang matanya berkilat-kilat, namun
sikapnya yang diam membuat jantung laki-laki tadi
kembali berkembang. "Ehem!" ia batuk lagi. Tidak sekeras tadi.
Dan anjing itu diam saja. Tetap diam, selagi si lelaki
bergerak maju dengan hati-hati dan mata awas,
"berjalan ke arah pintu, berusaha membuang
bayangan anjing yang menakutkan itu jauh-jauh dari
kepala, lantas mengangkat tangan kanan, yang
kemudian ia gedorkan ke daun pintu.
Sekali. Dua kali. Tiga. Setelah itu diam menunggu.
Tidak ada sahutan. Tidak ada suara gerakan dari
dalam. Sekali lagi orang itu menggedor, kali ini
secara beruntun. Lalu tiba-tiba gedoran itu ia
hentikan. Anjing hitam yang dari tadi duduk meringkuk diamdiam, mulai melolong. Nyaring, lengking dan panjang.
Laki-laki itu mundur dari pintu, dengan bulu kuduk
bergidik. Untung senja begitu redup. Kalau tidak, ia
lebih suka untuk terpencil dengan makhluk-makhluk
menakutkan itu. Lolongan anjing memantul sampai ke dalam rumah.
Suasana lengang di dalam, pelan-pelan diisi oleh suara
bergerit yang lembut. Sebuah peti mati yang terletak
di tengah-tengah ruangan, bagian atasnya bergerak
terbuka. Dari dalamnya, bangkit seorang laki-laki
setengah baya, dengan wajah pucat dan mata kecil
berkilat-kilat. Kumisnya yang besar bergerak sedikit
waktu ia menguap, merenggangkan otot-otot lalu
berdiri. Setelah berada di luar peti mati, ia tutupkan kembali
bagian atas peti itu, lalu berjalan terseok-seok ke
arah pintu. Gedoran tadi sudah tidak terdengar lagi, namun
lolongan anjing itu semakin lirih juga di telinga.
"Hem!" ia bergumam sendiri. Lalu membuka pintu.
Melebarkannya. Laki-laki yang masih berpeluh wajahnya itu, sesaat
termangu memandangi tuan rumah. Lalu di saat
berikutnya, dari bibirnya yang pucat terdengar suara
menggeletar: "... Pak Kurdi""
"He-eh!" "Syukurlah bapak ada di rumah. Jauh-jauh saya
datang hanya dengan bekal sepercik harapan saja.
Kami dengar Pak Kurdi amat sibuk akhir-akhir ini...."
"Biasanya. Ada orang lagi yang sudah putus asa
menghadapi hidup ini""
Sang tamu tersenyum. la heran tidak dipersilahkan
masuk. Tetapi ia merasa itu lebih baik, karena sekilas
lewat bahu Kurdi ia lihat ruangan yang lengang itu
hanya diisi oleh sebuah peti mati, persis di tengahtengah. Tidak ada perabotan lain. Tidak ada makhluk
lain. Entah, dibalik sebuah pintu kecil yang tertutup,
tak jauh dari peti mati itu terletak. Bukan sebuah
ruangan yang menyenangkan untuk duduk sebagai
tamu yang dihormati. Pelan-pelan ia bergumam: "Yang ini bukan karena putus asa, Pak Kurdi!"
"Oh!" Merasa ia ditunggu untuk menjelaskan sendiri, lakilaki itu melanjutkan:
"Nyi Ijah mati setelah melahirkan."
"Nyi Ijah""
"Bapak kenal""
"Ah. Tidak!" "Oh...." Diam setelah itu. Kaku. Di luar pintu, anjing tadi
menggereng lirih. Dengus kuda terdengar memecah
disamping rumah, dari arah kandang. Hanya ketiga
makhluk itu saja yang berdiam di pinggir hutan ini,
terpencil dari kampung-kampung lainnya maupun dari
"kehidupan orang-orang sekitarnya.
Seekor anjing, seekor kuda, seorang penunggu
jenazah, ditambah sebuah kereta dan sebuah peti
mati. Mual perut mengingatnya, lebih-lebih melihat
betapa rumah di mana semua itu berada, terletak di
bawah pohon beringin yang sudah ratusan tahun
umurnya. "Kampung bapak"" tanya Kurdi tiba-tiba setelah
melihat tamunya berdiam diri saja dengan sikap kaku.
"Cikadut...." "0h. Cuma beberapa kilo dari sini. Syarat-syaratnya""
Orang itu membuka sebuah keranjang yang dari tadi
ia kepit di bawah ketiaknya. la keluarkan sekantong
kecil beras putih, sekantong kecil pula beras merah,
bangkai seekor ayam jantan besar dan gemuk
berbulu putih berkaki merah, dan sebuah botol kecil
berisi cairan kental berwarna merah. Sambil
menyerahkan benda-benda itu ke tangan Kurdi, sang
tamu menjelaskan: "Darah ayam ini masih segar. Saya tidak
memotongnya di rumah, melainkan tadi ditengah
perjalanan..." "Lebih baik begitu!" rungut Kurdi, setengah ramah,
setengah enggan. "Syukur kalian tahu aku tidak suka
menyembelih makhluk hidup.... Hem, jadi di Kampung
Cikadut, dan perempuan itu bernama ljah. Sanak
keluargamu"" "0h. Bukan. Nyi Ijah tak punya sanak keluarga."
"Maksud saya, tidak, setelah ia ditinggal mati
suaminya beberapa bulan yang IaIu...."
"Hem. Lantas""
"Sebelum meninggal, Nyi Ijah sempat berpesan. la
ingin dikuburkan berdampingan dengan kuburan
suaminya." "Tempatnya""
"Justru itu. Tak seorang pun yang tahu, kecuali Nyi
Ijah. Sayangnya, ia lupa memberitahukannya sesaat
sebelum ia menghembuskan nafas yang terakhir...."
"Ah...." "Kami sangat memerlukan bantuan Pak Kurdi."
"Tentu, Tentu. Pulanglah. Lewat Isya, aku telah
berada di sana..." Ketika orang itu telah bergerak menjauh, Kurdi
memanggil: "Hei...!" "Ya, Pak Kurdi""
"Anak Nyi ljah. Bagaimana keadaannya sewaktu
dilahirkan"" "... mati!" Kurdi menghela nafas. Lantas mengangguk. Patahpatah.
Orang tadi menunggu sebentar, tetapi rupanya tidak
ada hal-hal lain yang ingin ditanyakan Kurdi. Setelah
mengangguk sekali lagi, Kurdi kemudian menutupkan
pintu, tercenung sesaat di tempatnya berdiri, dengan
telinga melebar cupilnya waktu mendengar anjing di
luar melolong lirih dan panjang. Cepat-cepat Kurdi
membuka pintu kembali. la memandang sebentar ke
luar. Dikejauhan, ia lihat laki-laki tadi berlari-lari kecil
menuruni bukit. Mungkin orang itu tergesa-gesa.
Tetapi biasanya, memang begitulah selalu tiap orang
yang telah berkunjung ke rumahnya. Pulang dengan
sikap anjing baru dilempar dengan kayu. Lari terbiritbirit. Ketakutan. Lagi Kurdi menarik nafas.
"Nasibku," gumamnya. Lesu. "Orang-orang
membutuhkanku, tetapi tidak pernah merasa
tenteram berada di dekatku. Apakah aku demikian
menakutkan bagi mereka""
Setelah tercenung lama, ia keluarkan bangkai ayam
dari dalam keranjang. Ia mengamat-amatinya sesaat.
"Membaca beberapa kalimat mantera dengan suara
lirih, meludahi bangkai itu tiga kali, kemudian
mencabuti bulunya dengan tangan yang terlatih.
Maklum baru disembelih, tidak pula disepuh dengan
air mendidih terlebih dahulu. Tak ayal, sebagian kulit
bahkan sayap ayam itu ikut terlepas bersama bulubulunya. Bagian daging yang masih utuh, kemudian
dilemparkan Kurdi ke tanah. Dalam sekejap mata,
anjing kesayangannya telah melompat menerkam
bangkai ayam itu, lalu dengan taring-taringnya yang
tajam diboyong ke samping rumah.
Kurdi mengikuti anjing itu sampai ke kandang. Di
sana, ia lemparkan bulu-bulu ayam bercampur kulit
berdarah itu ketumpukan jerami. Dengan rakus, kuda
yang ada dalam kandang segera mengunyah hidangan yang pasti
asing dan menjijikkan buat makhluk sejenisnya yang


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain. Ia memperhatikan sebentar bagaimana binatangbinatang kesayangannya bersantap dengan nikmat.
Selera Kurdi ikut terbangkit. Ia masuk ke dalam
rumah. Setelah menutupkan pintu, ia berjalan
melewati peti mati ke arah kamar kecil yang tertutup
di dekatnya. Pintu kamar kecil ia buka dengan hatihati. Ia masuk ke dalam, lantas menutupkan pintu di
belakangnya tanpa menimbulkan suara yang
sehalus apapun juga. la berjingkat ke atas sebuah
tikar yang terhampar di lantai. Cahaya remangremang yang masuk lewat jendela, menerangi
sebuah benda berwarna putih kekuning-kuningan
yang terletak di atas tikar, dikelilingi oleh talam berisi
kembang serta rempah-rempah, serta beberapa buah
pedupaan yang mengepulkan asap. Bau menyan
memenuhi ruangan sempit itu. Andai saja tidak
berjendela, asap tentulah mengurung ruangan serta
segenap isinya, menutup jalan pernafasan dengan
tidak mengenal ampun. Kurdi duduk bersila memandangi benda putih
kekuningan itu. Bentuknya bulat, sedikit pipih dan
panjang di bagian bawah. Bagian atas sampai ke
belakang, licin berkilat-kilat, dan di bagian depan
memperlihatkan dua buah lubang sebesar telur, dan
tepat di tengah-tengah sedikit di bawah antara kedua
lubang itu, terdapat pula lubang lain berbentuk
kerucut dengan ukuran yang sedikit lebih besar. Lebih
ke bawah, lubang menganga yang lebih lebar,
memanjang ke samping kiri dan kanan. Sebuah
tengkorak kepala manusia.
Setelah kumat kamit sebentar, Kurdi bergumam:
"Kakek, bantu aku lagi!"
Lalu darah ayam ia tuangkan dari botol melalui kedua
belah mata tengkorak. Dalam sekejap, darah itu telah
mengucur keluar dari lubang di mana seharusnya
hidung terletak, juga dari mulut tengkorak. Tikar
pandan di bawah tengkorak segera digenangi darah
tersebut. Kurdi membungkuk. la geser tengkorak kepala itu
sedikit ke belakang, sehingga terpisah dari genangan
darah, yang kemudian ia hirup dengan mulutnya, tak
ubahnya seekor anjing yang menjilati madu yang
tertumpah ditanah. "Terima kasih kakek," gumam Kurdi setelah menjilati
habis darah ayam itu sampai kering.
la kemudian berdiri, berjalan ke luar. Otot-ototnya
bertonjolan waktu peti mati ia pindahkan dari lantai
ke bak kereta mayat. Kereta itu ditarik ke luar dari
kandang, disusul oleh kuda serta anjingnya.
Setelah naik ke tempat duduk kereta, Kurdi tidak
segera menggerakkan tali kekang. Dengan
membungkuk sedikit, ia tepuk-tepuk punggung
kudanya. Binatang itu menggerakkan kepala ke
"samping, kemudian mendengus. Pelan. Kaki kirinya
yang depan ia hentak-hentakkan ke tanah.
Kesenangan. Di samping kereta, anjing hitam legam
dengan matanya yang berwarna kemerah-merahan
itu, menyalak keras. Kurdi tersenyum padanya. Dan
anjing itu menggerak-gerakkan ekor, mengibas ke kiri
kanan seraya menjulurkan lidahnya yang panjang
berlendir ke arah tempat duduk. Kurdi melonjorkan
kaki kanannya yang panjang. Anjing itu menjilatinya
kesenangan. "Jangan suka cemburu!" gumam Kurdi. la pun merasa
senang. Dan agak kemerahan mukanya, tersipu,
sewaktu sadar bahwa ucapan yang keluar dari
mulutnya telah membuka kedoknya sendiri. la
berkata begitu, karena si anjing tidak suka kalau
hanya si kuda yang dimanja. Maka ia lonjorkan kaki
untuk meredakan kecemburuan binatang hitam legam
bermata merah itu. Cemburu. Hem! Biarlah kedua ekor binatang itu saling
mencemburui satu santa lain.
Betapa tidak. "Pasien" yang akan mereka kunjungi,
adalah seorang perempuan. Baru beranak satu pula.
Bayangkan! Kurdi tersenyum lagi. Memandang ke bawah bukit. Bermandi cahaya
matahari senja, tampak rumah-rumah dari desa
terdekat di lembah sana, tak ubahnya peti-peti kayu
yang berserak tidak beraturan. Peti-peti itu mengecil
jadi kotak-kotak korek api di desa-desa yang
berikutnya. Sebagian terletak di lapangan terbuka,
dikitari oleh sawah berselimut beludru hijau. Sebagian
terlindung di balik pohon-pohon yang tumbuh subur
selama sekian kurun tahun. Sekian kurun tahun pula,
desa-desa di lembah sana, dan tempat Kurdi
memandang, selalu tampak diam. Bukan acuh tak
acuh. Melainkan, sebuah kebisuan yang menimbulkan
kekakuan serta ketidaksukaan. Tidak terlihat suasana
cerah dari bawah sana. Yang ada hanya kediaman
yang mengilukan tulang. Begitu pulalah penghunipenghuni desa-desa di seantero lembah itu. Kaku
serta tidak pernah memperlihatkan wajah suka, tiap
kali Kurdi datang. Bahkan walau cuma sekedar lewat
saja. Desa-desa itu baru bersikap ramah, apabila
kehadiran Kurdi dibutuhkan. Bila tidak...
Dengan senyum yang terenggut hilang dari bibir, Kurdi
mengalihkan matanya ke arah perginya laki-laki itu
ia lihat tersenyum ramah, bersikap penuh
kekeluargaan sewaktu mereka berhadapan. Dan
begitu laki-laki itu memperlihatkan punggung, maka ia
pun lantas lari terbirit-birit menuruni bukit, pasti
dengan wajah dibayangi ketakutan serta ketidaksukaan. Padahal, ia tidak perlu
lari sifat anjing begitu. Toh ia bisa jalan bertenangtenang. Kalau takut terlambat tiba di desanya, ia bisa
naik kereta. Tetapi, puih. Mana ada pemilik kereta kuda yang mau
naik sampai ke atas bukit ini, selama mereka tahu
yang menghuni tempat ini adalah orang yang
bernama serta mempunyai pekerjaan semacam Kurdi.
"Persetan!" Kurdi memaki.
Lalu. "Hiyaaaaaa!" Pecutnya naik ke udara, mendarat di
punggung kuda. "Tasss!" Kuda penarik kereta meringkik keras. Kaki-kakinya
menjompak ke depan dengan suara berdetak-detak
di tingkah bunyi roda-roda kereta berderak-derak di
atas jalan berbatu. Hingar bingar. Kurdi tidak perduli.
Pecutnya terus mendera. Kereta berpacu. Tak
tertahan. Di sebuah Pengkolan menurun, roda kereta
menghantam sebuah batu besar yang menonjol dari
pinggir jalan. Bak kereta terlonjak ke udara. Kurdi
terangkat pantatnya, kemudian terhempas kembali di
tempat duduk waktu roda-roda kereta kembali
melaju di jalan rata. Namun sebuah suara yang
menghempas dengan ribut, membuat Kurdi
menolehkan kepala ke belakang.
Peti mati yang ia letakkan di bak kereta, terbuka
tutupnya. Kurdi cepat-cepat menarik tali kekang kuda. Pelanpelan kereta itu berhenti. Kurdi turun ke bak,
memungut tutup peti mati yang hampir jatuh lalu
bermaksud menutupkannya kembali, di saat itulah ia
tertegun. Peti mati itu kosong melompong.
Memang! Memang kosong. Tadi malam, di rumah, ia tidur di dalam peti mati itu.
Tak sampai satu jam berselang, ia keluar dari
dalamnya untuk menyambut tamu yang datang sore
itu. Kemudian peti mati ia naikkan ke bak kereta, di
tempatnya yang sekarang. Jadi, ia yakin benar, peti
mati itu memang kosong. Akan tetapi, kenapa waktu mau ia tutup sekarang,
terasa uap dingin keluar dari dalam peti menyambar
tangannya" ltu belum penah terjadi. Mungkinkah
karena tutup peti mati telah terbuka semenjak tadi
dan ruangannya diisi oleh udara dingin"
Kurdi memusatkan pernafasan.
Benar. Udara senja itu memang teramat dingin. Tidak
ada suatu keanehan, kalau begitu. la membungkuk,
bermaksud meneruskan niatnya. Dan otot-otot Kurdi
seketika mengencang. Keringat membersit dari jidat.
la kerahkan terus tenaganya. Namun jelas, ada
dorongan menolak dari dalam ruangan peti mati.
Dorongan yang sangat keras, dan uapnya teramat
dingin. Menusuk-nusuk, menembus kulit-kulit
lengannya, merambat liar seperti tusukan ribuan
jarum yang secara teratur ditusukkan oleh tangantangan ahli. Kurdi meringis kesakitan, lantas cepatcepat menarik mundur tutup peti mati.
Sesaat, ia tegak dengan muka kaku dan dingin. Lalu,
di saat berikutnya, tutup peti mati ia letakkan di dekat
kakinya. Setelah mana ia kemudian duduk bersila, di
atas permukaan tutup peti mati itu. Matan ya
terpejam. Rapat. Kedua telapak tangan ditekap
menutup dada. Sementara mulut Kurdi kumal kamit
membaca mantera, kain sarung yang melingkari
punggungnya berkibar-kibar ditiup angin kencang
yang tiba-tiba melanda tempat sekitar kereta
berhenti. Kuda di depan, berdiri kaku di atas keempat
"kaki-kakinya yang kokoh, dengan kepala tegak. Diam.
Uap putih berpencar-pencar keluar dari lubang hidung
yang kembang kempis tak teratur. Anjing di belakang,
memperlihatkan sikap yang sama. Keempat kaki
berdiri kaku, kepala tegak, hidung mengendus-endus.
Lalu, saat majikannya mengggyang-goyangkan
kepala ke kiri kanan, mula-mula pelan, kemudian
makin lama makin cepat, anjing itu mulai melolong.
Mula-mula sayup-sayup. Sampai, kemudian panjang
melengking. "Puah!" Kurdi tiba-tiba meludah ke dalam peti mati di
depannya. Kuda di depan meringkik. Anjing di belakang
menyalak. Kurdi berdiri, memungut tutup peti mati,
kemudian menempatkannya di tempat yang
seharusnya. Tiada uap dingin lagi. Tiada dorongan
aneh lagi. Peti mati itu memang kosong. Kosong
melompong. Kurdi menarik nafas panjang beruang-ulang,
mengulangi ketegangan otot-otot tubuhnya. Pelanpelan mulutnya melepas seringai hambar.
"Ada orang mau mengusik ketenangan kita," ia
bergumam sedikit keras. Kuda dan anjing itu sama-sama mendengus. Kurdi
kembali naik ke tempat duduk kereta, lantas mulai
menarik tali kekang. "Hiyyyaaaaa!" Roda-roda kereta mulai berputar. Berderak-derak.
Pelan. Lalu cepat. Dan malam pun segera jatuh.
*** Gemeretak roda-roda kereta mayat itu menarik
perhatian orang-orang yang sedang berada di luar
rumah waktu Kurdi memasuki desa yang ia tuju.
Dalam jilatan lampu-lampu minyak di pintu-pintu
pekarangan, gambaran kereta itu tampak amat
menakutkan. Di depan, berjalan terengah-engah
seekor kuda berkulit hitam yang berkilat-kilat mandi
keringat, sementara binatang sejenisnya telah pada
masuk kandang karena tidak biasa ke luar malam. Di
atas tempat duduk kereta, tampak bayangan laki-laki
berpakaian hitam dengan sarung membelit pundak
sampai sebatas pinggang, terhenyak diam dengan
wajah acuh tak acuh, serta mata yang lurus
memandang ke depan. Di belakangnya, berlari-larian
seekor anjing besar juga berkulit hitam legam, akan
tetapi dengan mata yang merah seperti darah tiap
kali terpantul pada sinar lampu.
".... siapa dia"" seseorang mendesah.
Temannya menunjuk: "Lihat saja apa yang ada di bak kereta. Kau akan tahu
siapa dia." "0h. Diakah si penunggu jenazah yang tersohor itu""
"He-eh!" "Orang misterius. Dengan makhluk-makhluk
menakutkan sebagai teman-teman setianya.
Kudengar, orang itu adalah penjelmaan setan...."
"Husy! Pelan-pelan sedikit kalau ngomong. Bila ia
dengar...." orang yang satunya lagi dengan tangan
gemetar menarik tangan temannya agar menyingkir
jauh-jauh. Gemeretak roda-roda kereta menyayup, dan
bayangan tamu-tamu asing itu semakin pudar ditelan
malam. Hanya sesekali tampak merupakan makhlukmakhluk ganjil yang samar-samar terlihat melewati
lampu demi lampu minyak di pinggir jalan.
"Jadi benar ia penjelmaan setan"" orang pertama
masih penasaran. "Setan tidak muncul di siang bolong. Kalau orang
bertamu ke rumahnya, tak pernah ada yang berani
malam hari. Orang-orang itu bertemu dia, jadi dia
"bukan penjelmaan setan. Menurutku, ia ada sering
berhubungan dengan setan. Kalau tidak, tak akan ia
berani bekerja sebagai penunggu mayat. Konon lagi
mayat-mayat yang diakibatkan mati karena
penasaran. Seperti Nyi Ijah itu misalnya...."
"Benarkah Nyi Ijah akan menjelma jadi kuntilanak""
"Entahlah. la mati bersama bayi yang ia lahirkan.
Jadi..." yang menyahut menggigil.
Cepat-cepat masuk ke rumah yang mereka tuju, dan
cepat-cepat pula menutupkan pintu. Di luar, angin
malam mendesau-desau, keras tetapi kering.
Mengerang-ngerang. Merintih-rintih. Lirih.
Hanya sebuah pintu rumah yang masih terbuka di
desa itu. Dan hanya beberapa orang yang masih


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggal di sana. Satu dua diantaranya keluar masuk
untuk mengurusi sesuatu. Tetapi semakin larut
malam, semakin sedikit orang yang masih tinggal. Satu
persatu mereka kembali ke rumahnya masing-masing,
cepat-cepat menutup pintu, mungkin cepat-cepat pula
menggulung diri di bawah selimut, biarpun yakin
sampai pagi esoknya mata tidak akan sudi terpejam.
Kurdi menghentikan kereta di pekarangan rumah
yang pintunya masih terbuka itu. Seseorang
menyongsong keluar waktu ia turun. Setelah melihat
siapa tamu yang datang, orang yang baru keluar dari
rumah sesaat tertegun, lalu:
"... Pak Kurdi"" sapanya.
"He-eh!" Orang itu mendekat untuk lebih seksama mengenali
tamu desanya. Mulutnya melepas sebuah senyuman,
tampak amat ramah dan senang didatangi. Tetapi
mata Kurdi yang awas, menangkap bayangan yang
sebaliknya di mata orang itu. Gambaran curiga, takut
dan tidak senang. Selalu begitu. Dan selalu pula Kurdi
harus menyabarkan diri. Sudah kodratnya untuk
bekerja seperti apa yang segera harus ia laksanakan.
Setelah sekilas melirik ke arah peti mati di bak kereta,
orang tadi bergumam: "Masuk. Masuklah, Pak Kurdi. Kami sudah lama
menunggu...." "Maaf. Ada gangguan di jalan, sehingga aku
terlambat." "Ah, pokoknya Pak Kurdi datang!"
Ucapan terakhir itu bernada senang. Tentu saja, pikir
Kurdi. Dengan kehadiranku, orang itu tidak lagi harus
duduk diam-diam di samping mayat yang mati karena
melahirkan. Orang ini takut mayat itu bangkit lalu
mencekik lehernya seraya tertawa mengikik...
"Puah!" "Boleh minta beras putih""
Orang tadi yang sedang memperhatikan kuda serta
anjing Kurdi, terjengah. "Ya, Pak Kurdi""
"Beras putih!" "Oh. Ada di dalam. Mari, masuk. Nanti akan...."
"Ambilkan sekarang saja."
"Tak masuk dulu""
Kurdi tak menjawab. Dan orang itu tahu, ia tidak akan
memperoleh jawaban lisan, karena mata Kurdi yang
mengecil memandang dengan dingin ke arahnya.
Mata yang sangat pucat... sehingga mengingatkan
orang itu pada mata Nyi Ijah yang terbaring diam di
ruang tengah rumah. Dalam satu helaan nafas, ia telah membalikkan tubuh
lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Terdengar
suara berbisik-bisik di dalam, diikuti suara berbisik
orang-orang sedang sibuk. Kurdi tak perduli. Ia
tengadah. Menatap langit kelam digantungi mendungmendung hitam. Tiada sekerlip bintang pun. Yang
tampak hanya rembulan yang berwajah pucat,
mengintip dengan enggan dari awan pekat yang
"berarak ke arah utara.
Pantas desa ini sepi. Hujan akan turun. Pasti. Yang
tidak pasti, hanya bahwa malam ini desa itu akan
diganggu oleh makhluk bernama kuntilanak. Biarpun
kehadiran kuntilanak itu belum bisa dipastikan,
mereka toh lebih baik mengunci pintu rumahnya
masing-masing dari pada memberanikan diri ke luar
rumah dan tiba-tiba.... Tiba-tiba sesosok tubuh sudah berdiri di samping
Kurdi. *** Desah nafas orang itu menyadarkan Kurdi. la melepas
nafas panjang, kemudian bertanya:
"Mana"" Orang itu menyodorkan sebuah baskom berisi penuh
dengan beras putih. Kurdi tersenyum kecil.
"Tidak perlu sebanyak ini!"
Lantas ia comot beberapa butir beras dari baskom,
didekatkan ke mulutnya yang kemak-kemik
membaca mantera. la memerlukan hanya beberapa
detik untuk melakukan itu. Setelah ia semburkan
dengan sedikit ludah, butir-butir putih itu ia taburkan
satu persatu mengelilingi rumah dengan jarak masingmasing satu tombak. Waktu ia mengakhiri putaran
mengelilingi rumah dan tiba di depan kembali, orang
tadi masih berdiri termangu-mangu. la memegang
baskom berisi beras putih dengan tangan terangkat,
sikapnya tetap seperti menyodorkan benda tersebut
seperti tadi. "Hei!" tegur Kurdi seraya menyentuh bahunya.
Orang itu tersentak kaget. Hampir saja baskom jatuh
dari tangan. Tetapi tak urung beberapa jumput beras
ikut tertumpah. "Ya Pak Kurdi"" tanyanya gagap.
"Ah. Enggak apa-apa. Mari kita, masuk sekarang!"
Kurdi berjalan duluan. Orang itu mengikuti kemudian.
Wajahnya pucat, dan tubuhnya masih gemetar.
Berkecamuk pikiran dibenaknya. Betapa tidak. Begitu
butir beras pertama jatuh ke tanah dari tangan Kurdi,
ia merasa sekujur tubuhnya dingin dan kaku. Semula
ia kira karena pengaruh udara malam. Tetapi ketika ia
mau menggerakkan kaki, ternyata kakinya terpaku di
tanah. Demikian pula dengan kedua tangannya. la
sadar penunggu jenazah itu berkeliling rumah
menaburkan butir beras, akan tetapi ia tidak dapat
menggerakkan leher untuk bisa melihat dengan mata
kepalanya. Yang ia tahu, hanyalah, tiba-tiba bahunya
disentuh oleh Kurdi, dan segala kejadian ganjil yang
menjalari dirinya, seketika menghilang.
Karena tak kuat menahan hati, ia bertanya takuttakut:
"Apa yang Pak Kurdi lakukan tadi""
"Menaburkan beras," jawab Kurdi. Tenang-tenang saja.
"Untuk apa""
"Di jalan tadi ada yang mengusikku. Di sini, aku tak
mau diusik lagi. Kalau diusik, tidak saja pekerjaanku
gagal, akan tetapi juga keselamatanku bisa
terancam..." "Oh!" "Itukah mayatnya"" Kurdi menunjuk pada sesosok
tubuh yang ditutupi kain selendang batik, terbujur
"diatas permadani kecil dengan rajutan-rajutan warna
yang semarak. Satu-satunya orang yang ada di
ruangan itu selain Kurdi dan laki-laki yang
menyongsongnya, hanyalah seorang perempuan tiga
perempat umur, yang duduk bersimpuh di dekat
bagian kaki mayat. Kepalanya tegak waktu Kurdi
masuk. Mulutnya yang keriput mencoba
mengeluarkan senyum ramah. Namun ia gagal.
Karena kesedihan yang terbayang di matanya, telah
memukul habis keinginan yang sangat bertentangan
itu. "Dia Bu Enjuh," menjelaskan laki-laki di samping
Kurdi. "Ia yang punya rumah ini. Nyi Ijah indekost di sini
semenjak almarhumah mula-mula datang ke desa
kami." "Hem..." Kurdi mengangguk pada perempuan tua itu,
yang dibalas dengan anggukkan samar-samar,
sekedar untuk basa basi. "la sendirian tinggal di sini""
"Ya." "Dan..."" Kurdi menyidik dengan matanya ke arah lakilaki di sampingnya.
"Oh. Saya lurah."
"O, Pak Lurah. Mana orang-orang lainnya""
Laki-laki itu kelihatan sangat gugup. Lama baru ia
menjawab dengan suara terputus-putus:
"Mereka... mereka... Ah. Bagaimana ya" Siang tadi sih
banyak yang melayat. Tetapi begitu matahari turun...
Oh ya. Keamanan di desa belakangan ini kurang
terjamin. Maka lumrah kalau mereka cepat-cepat
menutup pintu." Kurdi tertawa kecil. la tahu laki-laki itu berdusta,
maka ia nyeletuk seenaknya: "Tak aman kok malah mengunci diri. Bukan berjagajaga...."
Lurah tertawa. Pahit. Ia tak suka berbantah dengan
tamu mereka. Dan ia lebih tidak suka untuk tinggal
berlama-lama di tempat itu. Oleh karenanya ia segera
mendekati Bu Enjuh, berbisik di telinganya.
Perempuan itu bangkit dengan enggan.
"Bu Enjuh ada baiknya menginap di rumahku saja
malam ini. Ada sesuatu yang Pak Kurdi perlukan
sebelumnya..." "Jangan pergi dulu!"
Lurah menyeringai. Kurdi juga menyeringa i. Bu Enjuh
tampak agak senang. Kelihatan dari nada suaranya
waktu ia berkata enggan: "Biarlah aku tinggal, Nak lbing."
Lurah bernama lbing itu kelihatan ragu-ragu, akan
tetapi pandangan mata yang tegas dari tuan rumah
membuatnya tidak berdaya. Oleh karena itu ia angkat
bahu seraya berkata. "Saya maklum betapa sayang
ibu pada Nyi ljah. Tadinya saya khawatir kalau-kalau
ibu...." "Ah," potong Bu Enjuh. "Aku sayang pada Nyi Ijah
seperti kau katakan, bukan" Jadi, karena Nyi Ijah pun
tau aku sayang padanya, maka arwahnya tidak akan
mengganggu ibu!" Lurah lbing jadi tersipu. Tanpa berkata apa-apa lagi,
ia segera ke luar. Juga tanpa menoleh ke belakang,
biarpun hanya satu kali. la berjalan seperti orang yang
sedang diburu setan. Barangkali kalau punya sayap, ia
ingin terbang saja. Hanya beberapa detik, ia telah
berada di luar rumah, disambut oleh kepekatan
malam, udara dingin sepi yang memekik, dan
ditengah jalan... sebuah bayangan keputih-putihan
keluar dari dalam kegelapan. Bayangan samar-samar
itu bergerak cepat ke arah lurah lbing. la terpaku diam
ditempatnya, dengan wajah pucat-pasi, ketiak
"bersimbah peluh, tubuh gemetar dan mulut terkatup
rapat, berbeda dengan sepasang mata ya ng
terpelotot lebar-lebar. Lurah Ibing ingin menjerit, waktu bayangan itu tibatiba melalui lampu minyak di pintu pagar terdekat.
Ternyata bukan arwah Nyi Ijah yang penasaran,
melainkan sosok tubuh seorang laki-laki yang berjalan
dengan nafas tersengal-sengal dan baju basah kuyup
oleh keringat. "... Kau itu, Dung"" seru Lurah lbing. Suaranya masih
gemetar. "Saya, pak lurah."
"Wah, kenapa tak bilang-bilang dari tadi...."
Ketegangan otot-otot Lurah lbing mengendur. "Dari
mana kau"" Orang itu tercengang. la mengatur nafas sebentar.
Lalu: "Lho, kan menjemput dukun turunan set...."
"Sssst," Lurah lbing menekan jari telunjuk ke bibir,
dengan wajah semakin pucat. "Pelan-pelan, jangan
main tuduh. Ia sudah di dalam dan...dan...."
Kalimatnya terputus sampai di situ. Matanya jelalatan
memandang kearah kereta. Diikuti oleh orang yang
baru datang. Mereka melihat kuda dan anjing si
penunggu jenazah, berdiri resah di dekat kereta.
Secara kebetulan pada saat yang bersamaan
pandangan mata anjing serta kuda itu, tertuju pula
kearah lurah dan temannya.
"Nah. Apa kubilang," bisik Lurah, sengau. "Bahkan
binatang-binatang itu pun telah jadi mata-matanya.
Ayo, kita cepat pulang...."
Lurah kemudian bergerak kearah utara.
Temannya ke arah selatan.
"He, kau mau ke mana"" seru lurah.
Temannya berhenti. "Pulang." "Jalannya ke sini, Dung."
"Rumah saya di sana, pak Lurah."
"Jangan bertingkah. Kau tidur di rumahku malam ini.
Hayo!" Mau tak mau, orang itu menurut. la berjalan
disamping pak Lurah yang melangkah tergopohgopoh.
Dan waktu tiba-tiba anjing Kurdi melolong dengan
suara halus tetapi tinggi menyayat tulang, tanpa
berkata ba atau bu lagi, Lurah lbing kabur mengambil
langkah seribu kearah rumahnya. Tak ayal pula,
temannya ikut berlari dengan kaki bagai tak
menginjak tanah samasekali....
Lolongan anjing itu sayup-sayup sampai ke telinga
Kurdi yang sudah duduk bersama Bu Enjuh di samping
mayat Nyi ljah. Kepala Kurdi tegak. Matanya berkilatkilat, menatap ke arah pintu luar, sementara cupil
telinganya bergerak-gerak. Lama ia berlaku demikian,
sampai lolongan anjing itu mereda, kemudian lenyap
sama sekali. Barulah ia menghela nafas, seraya
bergumam: "Hem. Si pengusik itu mengikuti aku rupanya....
Bu Enjuh memandang Kurdi, bertanya lewat sinar
mata. Cepat-cepat Kurdi tersenyum. "Ah, bukan siapa-siapa,"
katanya, maklum arti pandangan mata Bu Enjuh. "Tak
usah dicemaskan. Si pengusik tak bakal mengganggu
sampai ke sini..." ia menghela nafas lagi. Berulangulang. Lantas: "Jadi Nyi Ijah indekost dengan ibu...."
"Benar, Nak Kurdi. Rumahku ini tadinya gubuk bobrok.
Ketika Nyi Ijah datang ke desa, kebetulan akulah
orang pertama yang bertemu dengannya. Setelah ia


Penunggu Jenazah Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu aku menjanda dan hidup sendirian, ia lantas
"memaksa untuk diberi tempat tinggal dirumahku.
Mula-mula aku menolak karena maklumlah, tidak saja
rumahku sudah bobrok dan jelek, akan tetapi juga
aku tak sanggup menerima tamu. Maklum, untuk satu
dua suap nasi, aku peroleh dari belas kasihan orang.
Yaitu, orang-orang yang mau dipijit karena otot-otot
pegal-pegal atau sakit-sakit pusing..."
"Hem. Lantas""
Bu Enjuh tampak senang karena tamunya serba ingin
tahu. "Nyi Ijah tetap memaksa ikut tinggal denganku.
Setelah masuk ke rumah, ia tidak kecewa. la punya
uang banyak, dan sekali dua pergi meninggalkan
desa. Kalau kembali, ia membawa uang lebih banyak
lagi, dan persediaan makanan yang tidak sedikit....
Malah kemudian ia membantu memperbaiki rumahku
yang jelek. Hasilnya, seperti kau lihat sekarang..." Bu
Enjuh menoleh berkeliling ruangan dengan mata bangga.
Untuk memuaskan hatinya, Kurdi ikut melihat
berkeliling sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Nyi Ijah benar-benar anak semang yang baik,"
gumamnya mengomentari, seraya menatap sosok
mayat berselimut kain selendang batik yang terbujur di
depan mereka. "Anak semang" Nyi Ijah sudah kuanggap anak
sendiri...." Mata perempuan itu tiba-tiba basah.
"Sayang, ia pergi terlalu cepat..."
"Kudengar ia mati ketika melahirkan. Pendarahan""
Bu Enjuh lama baru menjawab.
"He-eh." "Bayinya""
"Sudah dikubur di belakang rumah, sesaat setelah
dilahirkan..!" "Koq..."" Setelah mengigit bibir sesaat, Bu Enjuh menjelaskan:
"Ijah tak mau dipanggilkan bidan. la minta agar aku
yang mengurus pada saat-saat yang mencemaskan
Misteri Mayat Darah 2 Rencana Paling Sempurna The Best Laid Plans Karya Shidney Sheldon Pawang Jenazah 2

Cari Blog Ini